Sabtu, 29 Oktober 2011

puisi



Puisi untuk Sang Malam

Langit tak lagi tersenyum
Ribuan bintang tak lagi ku temui
Sinar terang bulan tak ku dapati
Teduhnya malam kini berubah menjadi asa
Benarkah keindahan malam kini telah hilang?
Benarkah cintanya bulan terhadap malam
tak lagi seperti dulu
Malaikat-malaikat kecil tak lagi menari
Cahaya terang kunang-kunang
sesaat telah sirna
Lalu…?
Apakah semua ini akan berlanjut?
Dapatkah aku kembali melihat indahnya
malam dengan taburan bintang
Ku rindukan tarian-tarian indah sang malam
Ku rindukan mimpi-mimpi melayang
bersama semilir angin membelai jiwa
Kurindukan malam yang terdahulu…

Buah Tangan     : Viafariska


Message to Dava


Selasa, 14 Desember 2010
Message to Dava

Cerita ini aku tulis ketika mendengar, melihat bahkan mungkin pernah mengalaminya. Cerita cinta yang mengisahkan kesetiaan. Dan inilah kisahnya…

                Vita menyusuri jalan yang lengang. Pandangannya di lemparkan pada hijaunya pohon-pohon yang menjulang di pinggir jalan. Hembusan angin yang dingin membelai tubuh Vita yang tebalut baju putih abu-abunya. Yah, memang sekarang adalah musim penghujan, siklus musim begitu terasa.
                Tiba-tiba langkah Vita terhenti ketika terdengar suara seseorang yang memanggilnya.
                “Vit!” teriak seseorang dengan setengah berlari. Vita hanya bengong tak mengerti.
                “Deni,” kata Vita. Deni, cowok yang demam bola itu kini sibuk mengatur nafasnya yang ngos-ngosan.
                “Tumben, lo nggak di antar sampai depan gerbang,, Vit?” tanya Deni. Kini mereka berjalan bersama.
                “Mulai sekarang, gue ingin di antar sampai jalan melati aja, kesininya biar gue jalan kaki” tutur Vita menjelaskan. “Lha, motor lo sendiri mana? Nggak lo gadain kan?” tanya Vita melihat Deni tanpa motornya.
                “Motor gue lagi di operasi Vit, kena radang mungkin, alias masuk bengkel” kata Deni “Gimana??” lanjutnya.
                “Gimana apanya?” vita tanya balik. Melihat Vita dengan wajah ketidaktahuannya membuat Deni harus menepuk jidatnya.
                “Kemarin kan, udah gue kacih tahu”
                “Hmm…apa sih? Gue lupa, Den” percuma Vita mengingat-ingat, tetap saja ia lipa dengan yang di maksud Deni tentang ‘kemarin’.
                “Well, gue ulang lagi. Jadi gini, besok kan mulai libur sekolah, lo mau kan gue kenalin sama sepupu gue, sekarang sudah ada disini, di Bandung” terang Deni. Vita tersentak kaget.
                “What! Di Bandung?! Bu…bukannya di…dia…” jadilah Vita tergagap. Yang mendengar semakin terlihat memohon.
                “That’s right, memang dia orang semarang, tapi asal lo tahu Vit, semalem setelah mengenal lo lewat hp dan Facebook, paginya dia langsung ke Bandung, disamping pengen liburan dia juga ada tujuan khusus datang kesini, yaitu hanya ingin bertemu sama lo” jelas Deni. Vita terdiam mendengarnya. Yang dimkasud sepupu Deni adalah Dava. Cowok yang baru semalam ia kenal melalui facebook dan hp atas perantara Deni. Dan vita tidak menyangka sekarang Dava sudah ada disini, Bandung.
                “Vit, lo kok malah bengong sih, lo mau kan gue kenalin sama sepupu gue, Dava” tanyanya lagi meminta persetujuan Vita. Cewek cantik dengan rambut tergerai itu hanya diam, bingung.
                “Lo yakin Dava nggak akan nyesel kalau seandainya dia ketemu sama gue, karena gue takut aja entar Dava malah akn mendapatkan kekecewaan, hanya kekecewaan” Vita masih bingng dengan permintaan Deni yang disodorkan padanya.
                “Gue yakin, dia nggak akan kecewa, lo tuh cantik, Vit” ucap Deni.
                “Cantik?! Jangan ngarang deh, Den,”
                “Eh Vit, lo tuh nggak tahu aja apa yang dirasakan Dava. Dia itu suka sama kamu?” Deni berusaha meyakinkan Vita.
                “Alah?! Lo ini tambah ngaco aja, udah di cuci belum sih otak lo, atau lo lupa minum pengingat” vita semakin tak percaya.
                “Whatever, lo mau percaya apa nggak sama gue. Yang penting gue udah jujur sama lo. Tapi gue mohon, lo mau yah ketemu sama Dava. Lo bayangin deh Dava datang jauh-jauh dari Semarang ke Bandung hanya ingin ketemu sama lo, Vit. Gue mohon, lo mau yah?” Deni terus memohon. Vita yang aslinya mempunyai hati yang lembut, tak kuasa melihat Deni yang terus memohon padanya.
                “Well…well…gue usahain yah? Udah ayo, entar telat lagi, gue nggak mau dihukum, apalagi harus dihukum sama lo” kata Vita menarik tangan Deni.
                “Yeeh…siapa juga yang mau dihukum sama lo, ogah gue. Lagian gue nggak mungkin menghianati sepupu gue sendiri yang udah cinta  banget sama lo” tutur Deni.
                “Apaan sih , lo” Vita memukul lengan Deni. Di sepanjang jalan mereka tertawa sembari membicarakan cowok misterius bernama Dava.
                Awan mendung mengantar kedua anak SMA itu ke sekolah tercinta. Esok adalah di mulainya libur panjang. Dimana para pelajar menyuun segala acara yang akan di adakan liburan nanti. Di mulai dari berlibur ke Vila, camping bersama dan segudang acara lainnya yang tak kalah menarik. Tapi berbeda dengan Vita. Dirumah yang sunyi dan nyaman tempat tinggalnya, cukup membuat Vita berlibur dirumah saja.
* * *
                Gerimis turun membasahi jalan. Tapi anak-anak masa bodoh dengan gerimis itu. Mereka menerobos memaksa pulang. Vita hanya berdiri di depan koridor. Kakinya ragu untuk melangkah. Tegur sapapun mulai terlontar dari beberapa teman-temannya. Termasuk cowok berambut ikal yang tergolong anak konglomerat, yaitu Ricky yang sekarang berdiri di sampingnya.
                “Neng Vita, belum pulang neng. Bareng abang Ricky aja yuk? Naik mobil abang” kata Ricky meluncurkan jurus-jurusnya menawarkan tumpangan mewahnya pada Vita.
                “Abang, Neng, lo kira gue anak betawi, hah?” kata Vita.
                “Duh galak bener, gue kan cuma pengen nawarin lo tumpangan, Vit” katanya.
                “Abang Ricky yang ganteng sejagat planet Pluto, makasih yah atas tawarannya. Tapi sayang, guenya nggak mau? Sorry yah bang” kata Vita manis, semanis gula aren. Mendengar kata-kata Vita, Ricky mengedipkan salah satu matanya.
                “Neng Vita, beneran nolak nih ajakan abang? Gerimis lho,?” tawar Ricky sekali lagi. Vita menggeleng.
                “Pupus sudah harapan gue ngajak neng Vita pulang” Vita yang sudah tahu sifat Ricky hanya tersenyum.
                “Maaf yah bang”
                “Yah sudah, biar abang kirim malaikat-malaikat penjaga neraka buat ngejagain neng Vita” mulai lagi lontaran Ricky yang aneh-aneh.
                “Emangnya gue calon penghuni neraka, apa?!” sela Vita. Ricky hanya nyengir kuda lalu meluncur menerobos gerimis yang mulai deras. Vita menghela nafas. Ia kumpulkan niatnya untuk pulang, biarlah toh ini hanya gerimis, ia sudah terbiasa.
                Titik-titik air terus jatuh dari langit ke tanah membentuk sebuah ikatan antara tanah dan air. Menggambarkan kekuasaan Tuha, bagaimana tanah selalu menyerap air yang begitu banyaknya. Bagaimana sebuah akar pohon yang mampu menampung beberapa liter air. Dengan pelan Vita menyusuri jalan yang lengang. Entah mengapa hari ini ia ingin sekali jalan kaki. Menikmati siang yang mendung.
                Sepatu Vita menapaki dermaga dengan pelan. Teringat lagi tentang perkataan Deni, tentang Dava. Yah, cowok yang menurutnya cukup nekad itu sekarang benar-benar ada di Bandung. Dan parahnya ia sudah menyanggupi permintaan Deni untuk bertemu dengan Dava. Ada rasa ragu dalam hatinya.
                Suara kaki terdengar melangkah di belakangnya. Begitu Vita berbalik, ia kaget. Deni berdiri tepat di hadapannya. Dengan setengah bingung, ia langsung memukul lengan Deni seperti kebiasaannya. Baju Deni di titik-titik tertentu sudaha basah terkena gerimis.
                “Deni?!” serunya bingung.
                “Gue mau kasih kejutan buat lo, Vit” kata Deni dengan senyum mengembang  dibibirnya. Vita bengong tak mengerti.
                “Maksud lo apa, Den?”
                “Gue akan bawakan malaikat yang selama ini lo butuhkan, malaikat yang membawa sejuta cinta buat lo, dari kediamannya ia menyimpan sebuah kesetiaan yang besar. Dan gue minta sama lo, perlahan mengertilah tentang dia” kata Deni dengan perkataan yang membuat Vita terbengong-bengong. Kalimat yang di lontarkan Deni terdengar teduh. Ternyata cowok satu ini bisa juga berkata dengan bahasa-bahasa yang puitis. Belum sempat Vita menjawab Deni kembali melanjutkan kata-katanya.
                “Saat lo berbalik, lo akan menemukannya, Vit” setelah berkata seperti itu Deni langsung berbalik pergi
                “Eh Den, maksud lo apa?!” teriak Vita tak mengerti, tapi bayangan Deni sudah menghilang. Antara bingung dan penasaran Vita perlahan berbalik. Di lihatnya sosok tinggi dengan sweiter serta celana jeans berdiri didepannya. Jantung Vita berdegup kencang. Sosok di depannya tersenyum. Senyum yan langsung dapat ia baca keteduhannya. Mulut Vita seakan terkunci. Gerimis yang turun dan mengenai baju putih abu-abunyanya pun seakan tak ia rasakan. Ia berusaha menarik urat-urat di sekitar bibirnya untuk membalas senyum itu.
                “Hai!” sapanya, lalu mengulurkan tangannya. Perlahan Vita menggapai tangan itu.
                “Dava?” ucapnya menyebutkan nama. Seketika Vita langsung  menunduk. Ada perasaan aneh dalam hatinya.
                “Dava?” lirinya. Dava mengangguk, ia menatap Vita lekat. Awan mendung serta gerimis yang turun menyaksikan pertemuan mereka.
                Di kursi bawah pohon di pinggir jalan mereka duduk. “Tuhan…semoga tak ada rasa kecewa di hati Dava” harapnya dalam hati.
                “Sorry yah, tadi aku udah buat kamu kaget” kata Dava. Vita hanya menggeleng. “Aku harap, kamu nggak kecewa sama aku, kenal denganku, dan…”
                “Aku sama sekali nggak kecewa, Va” potong Vita langsung. Ia melihat kearah Dava, lalu kemabali ia temukan tatapan teduh dari matanya. Vita kembali tertunduk.
                “Apa nggak sebaliknya, aku yakin dan sangat yakin kamu akan kecewa setelah kamu bertemy denganku dan tak lama kemudian menghilang. Yah, seperti itulah setiap kali orang mengenalku” Tutur Vita. Teringat kembali orang-orang yang mengenalnya dan ujung-ujungnya akan menghilang walaupun itu  teman. Apakah teman, sahabat dan cinta harus melihat fisik dan materi? Seperti itulah kurang lebihnya Vita bertanya-tanya.
                “Tapi sayangnya keyakinan  kamu itu berlaku denganku dan untukku. Aku bahagia bisa mengenalmu. Dan gerimis ini saksinya. Kita kan buktika suatu hari nanti” Ucap Dava membuat Vita terdiam.
                “Aku sama sekali nggak pernah menyangka kamu benar-benar datang ke Bandung” Vita masih belum sepenuhnya percaya. Tiba-tiba Dava tertawa.
                “Kenapa kamu ketawa?” tanya Vita bingung. Dava meamandang gerimis-gerimis yang turun. Ia seakan berbicara pada gerimis-gerimis itu.
                “Aku juga nggak pernah menyangka, aku sampai nekad datang kesepupu dan berlibur kesini setelah semalam kita kirim pesan singkat. Sebegitu menarikkah dirimu, Vit?” tuturnya masih dengan tatapan lurus ke depan. Vitapun mengikuti pandangan Dava.
                “Aku bahagia bertemu denganmu dan mengenalmu” ucapnya pelan lalu mengalihkan pandangannya ke Vita. Seketika itu juga Vita melihat kearah Dava. Dan disaat itulah tatapan mereka bertemu. Ada gemuruh hebat dalam hati Dava.
                “Jangan lebay kayak sepupumu deh, Va?” kata Vita melambaikan tangannya kedepan wajah Dava, berusaha membuyarkan Dava dari tatapannya.
                “Apaan sih, Vit. Kamu…”
                “Apa??” Dava mencubit pipi Vita. Tapi dengan segera Vita langsung menghindar. Kemudian gelak tawa terdengar di antara mereka. Canggung yang ttadinya ada kini hilang. Deni benar hari ini ia menemukan malaikat yang telah lama ia cari. Dava.
                “Kamu nginap dirumah Deni, Va?” tanya Vita. Dava mengangguk. Lalu Vita membuka telapak tangannya, meraskan gerimis itu turun dengan leput di telapak tangannya.
                “Aku sangat suka dengan gerimis. Karena aku yakin setelah gerimis aka nada pelangi yang indah, iya kan Va?” Dava kembali mengangguk. Pandangan ke Vita dan tersenyum. Lalu Vita berdiri dari duduknya.
                Kini gerimis berubah menjadi hujan. Dengan tawa riangnya Vita menikmati hujan yang turun. Melihatv Vita yang terlihat bahagia, Davapun mengikuti jejak Vita.
                Hujan terus turun, indahnya langit memancarkan goresan pelangi dengan bias warna yang  berpadu dengan gumpalanawan mendung. Dalam keindahan itu, Vita dan Dava menikmati kebersamaan untuk pertama kalinya.
* * *
                Sinar mentari masuk dari jendela kamar Vita yang terbuka. Sejauh mata memandang tumbuhan hijau terhampar di depan mata. Pohon pinus yang menjulang tinggi seakan menggapai langit, ribuan pohon rindang tumbuh dengan subur. Suatu keindahan yang tak pernah bosan untuk di pandang.
                Dengan syal yang di lingkarkan di leher, Vita membuka pintu rumahnya, dan seketika udara dingin langsung menerpa tubuh Vita dan gaun selututnya.
                “Eyang, Vita keluar dulu yah” kata Vita menemui eyang yang sedang menyiram bunga.
                “Vita, kalau kamu mau liburan ikut saja sama Alfa ke Surabaya” tawar Eyang sembari melihat ke Vita.
                “Nggak eyang, Vita pengen disini aja sama eyang” jawabnya masih sama seperti kemarin-kemarin setiap eyang menawarkan liburan ke Surabaya atau ke tempat lainnya.
                “Yah sudah, kalau kamu tidak mau” eyang mengalah lagi. Vita memeluk eyang tercintanya.
                “Vita sayang sama eyang” ujarnya. Sejak ibunya meninggal, Vita menjadikan Eyang sebagai penganti ibunya.
                “Iya, eyang juga sayang sama Vita” ucap eyang. Lalu  Vita mecium punggung tangan eyang.
                “Vita pergi yah yang, Assalamuailaikum”
                “Waalaikumsalam” jawab Eyang. Dengan tenang Vita melangkah pergi. Ia akan ketempat yang ia biasa datangi, untuk sekedar duduk, merenung atau hanya sekedar melihat pemandangan alam yang indah. Dengan buku bersampul biru dengan motiv yang lucu, yang tak pernah ia lupakan dan selalu dibawa.
                Tiba-tiba pandangannya terhenti pada dua orang yang naik sepeda di sertai gelak tawa riang “Bukannya itu Deni dan Dava?” gumamnya dalam hati.
                “Hai! Vit!” teriak Deni melambaikan tangan kearahnya. Vita hanya tersenyum. Lalu mereka mengayuh kembali sepedanya menuju kearah Vita.
                “Kalian mau kemana?” tanya Vita.
                “Mau ke…” Dava malah bingung.
                “Mau jalan-jalan aja. Katanya Dava pengen keliling daerah sini, nggak tahunya kearah rumah lo Vit.” Sela Deni dengan tawa kecilnya. “Mungkin hati kecil Dava memintanya kesini kali yah” lanjutnya. Dava  dan Vita tersipu malu.
                “Terus kalian mau kemana lagi” tanya Vita lagi.
                “Nah, itu dia, gue juga bingung” Deni menggaruk-garuk kepalanya.
                “Jangan kebanyakan mikir deh, lo kan yang bawa gue kesini” timpal Dava memukul lengan Deni pelan membuat sepeda Deni oleng. Vita tertawa melihat muka oon Deni. Pandangan Dava langsung ke Vita menikmati tawa indahnya.
                “Bukannya gitu Va, lo tahu kan gue belum mandiin kucing peliharaan gue. Mumpung disini ada Vita, lebih baik lo jalan-jalan aja sama Vita, guenya mau pulang?” kata Deni denagn mudahnya melimpahkan tanggung jawabnya.
                “Gue…?” lirih Vita
                “Nggak apa-apa kan Vit, lagian Dava pasti seneng tuh di temenin sama lo..hehe” dan lagi Dava memukul lengan Deni.
                “Yah, nggak apa-apa sih? Tapi Davanya mau nggak”
                “Yah jelas mau atuh, kan itu yang di harapkannya” kata Deni langsung. Dava tersipu malu. “Udah yah, gue pulang. Bye…” lalu Deni meluncur dengan sepedanya meninggalkan Vita dan Dava.
                Angin berhembus membelai rambut Vita yang tergerai. Untuk kedua kalinya ia berhadapan dengan Dava. Ada perasaan aneh yang selalu menggelitikinya.
                “Eg…kamu mau kemana, Vit?” tanya Dava membuka percakapan.
                “Tadinya aku mau kesuatu tempat yang biasa aku kunjungi, mau nggak?” tanay Vita meminta persetujuan Dava. Dava hanya mengangguk. Lalu menuntun sepedanya menyamakan langkah kakinya dengan Vita.
                Entah keberanian darimana datangnya, berbagai cerita terlontar dari mulut mereka. Vita menceritakan segala sesuatu yang ada di Bandung tempat tinggalnya. Begitupun dengan Dava juga sama.
                “Ternyata disini enak jugga yah pemandangannya?” kata Dava sambil terus menuntunsepedanya. Vita hanya mengangguk.
                “Kita duduk disitu yuk?” ajak Vita menarik tangan Dava. Keceriaan langsung tergambar jelas tiap kali ia berada di tempat ini.  Tempat yang berkesan baginya. Dan untuk pertama kalinya ia mengajak seseorang ke tempat ini. Sejurus kemudian Vita langsung membuka buku bersampul birunya lalu disobeknya satu lembar dan di serahkan pada Dava. Sedangkan Dava hanya diam tak mengerti.
                “Ini…buat apa?” tanya Dava bingung.
                “Aku minta kamu tuliskan semua perasaan kamu di kertas itu, semua kekesalanmu, harapanmu dan impianmu. Lalu serahkan kertas itu ke aku jika kamu udah selesai menuliskannya, nanti aku panggil peri kecilku untuk mengabulkan semua impian kamu” terang Vita. Dava hanya mengangguk-angguk paham.
                “Sekarang?”
                “Nggak, tahun depan. Yah sekarang Dava…” kata Vita. Dava tersenyum melihat cewek cantik itu menatapnya. Lalu Dava meraih bolboint dari tangan Vita. Vita mengangguk yakin.
                Dava kini sibuk dengan kertas itu dan semua impiannya. Sedangkan Vita, ia melemparkan pandangannya  pada pemandangan yang ada di depannya. Bukit-bukit terlihat indah dengan tumbuh-tumbuhan yang subur. Jalan-jalan di pegunungan terlihat kecil di matanya. Kebun teh dapat terlihat dari sini terhampar hijau mewarnai siang ini. Perpaduan antara birunya langit dengan hijaunya pemandangan gunung, menambah keasrian pemandangan di daerah ini.
                Angin yang berhembus membelai-belai manja pada rambut tergerainya. Rumput hijau di depannya seakan berbisik satu sama lain, entah apa yang Vita rasakan. Rumput itu seperti menyadarkannya dari sosok yang sedang memandanginya. Begitu melihat ke Dava. Ternyata benar Dava kini asyik memandanginya.
                “Hei, kok malah liatin aku sih?” kata Vita membuyarkan pandangan Dava.
                “Eg….”
                “Mana? Udah jadi tulisan impian kamu?” tanya Vita memninta kertas itu pada Dava. Perlahan Dava menyodorkannya.
                “Tapi, kamu nggak akan ketawa kan?” kata Dava. Vita mengangguk. Kini kertas itu berada di tangannya. Disana ada tulisan Dava yang rapi. Dengan cermat Vita mulai membacanya. Sedangkan Dava memandang polos wajah Vita.
          Entah perasaan apa yang sekarang aku rasakan
            Entah dari mana datangnya getaran ini, desiran di hati ini
            Kerap kali muncul tiap ku lihat matanya
            Binar mata itu yang telah menarikku jauh ke dalam dimensi lain
            Binar cinta, kerlingan cinta. Dan senyum yang meneduhkan
            Aku tahu Tuhan tak pernah salah menciptakan cinta
            Tak pernah salah menempatkan cinta
            Dan aku yakin Tuhan telah memberikan cinta di hatiku
            Cinta yang tulus, cinta yang menyentuh hati kecilku
            Dan cinta itu sekarang ada di depanku…
            I’m fallin in love with you…
                Vita tertegun setelah membaca tulisan Dava. Tulisan yang mempunyai arti begitu dalam. Tiba-tiba Dava bangun dari duduknya dan mengulurkan tangannya pada Vita.
                “Sini tanganmu” pinta Dava.
                “Kamu…” Vita tak dapat berkata-apa lagi. Ia menerima uluran tangan Dava dan meletakkan kertas itu di kursi. “A…ada apa, Va?” tanya Vita bingung. Fikirannya masih terbagi pada tulisan Dava di kertas itu.
                “Aku mau ngomong sesuatu sama kamu?” kataya.
                “Ngomong apa sih? Wajah kamu kok jadi serius gitu”
                “Vit, please kali ini aku ngomong serius, aku harap kamu dengar baik-baik.” Kata Dava. “Aku tahu kamu sudah baca tulisanku” kata Dava pelan. Ia menggenggam tangan Vita dan menatapnya.
                “Itu semua…untuk…” Vita terbata mengatakannya. Kata-kata Dava mudah di pahami tapi artinya sulit untuk dikatakan dengan mudah.
                “Yah, untuk kamu. Semua itu untuk kamu, Vit. Kamu tahu apa artinya?” tanya Dava. Ia menatap bola mata Vita. Ingin rasanya Vita berpaling dari tatapan matanya. Tapi genggaman tangan Dava begitu erat, namun penuh kasih sayang.
                “Aku sayang sama kamu? Aku cinta sama kamu. Mungkin ini terdengar lucu karena kita baru beberapa hari kenal. Tapi hatiku memilih kamu, hati kecilku mengatakan kalau aku sayang dan cinta sama kamu. Aku percaya dengan kata hati kecilku” katanya membuat Vita sulit berbafas. Tatapan mata Dava penuh cinta.
                “Kamu yakin” tanya Vita sekali lagi. Dava mengangguk yakin.
                “Kamu mau nggak jadi pacar aku. Jadi seseorang yang special dalam hatiku, jadi bagian dari hidupku. Dan jadi bidadari kecilku” kata Dava. Vita terdiam. “Jadi pacar Dava?”  gumam Vita dalam hati.
                “Aku butuh jawaban kamu sekarang, Vit” Dava tak melepaskan genggamannya. Vita mengangguk. “Kamu mau…”
                “Yah, aku mau jadi pacar kamu. Jadi seseorang yang special di hatimu, jadi bagian dari hidupmu. Dan jadi bidadari kecilmu” jawab Vita mengulang kata-kata yang Dava ucapkan. Seketika Dava langsung memeluk Vita, mendekapnya erat.
                “Thanks Vit, aku seneng banget. Aku janji aku akan sayang dan cinta kamu selamanya. Selamanya” kata Dava kembali menatap mata Vita. Vita hanya tersenyum manis.
                Kini mereka duduk dibawah pohon rindang sembari memandang pemandangan bukit di depan mereka, angin berhembus membelai lembut. Kebahagiaan terpancar jelas dari bola mata Dava.
                “Va,” lirih Vita masih dengan pandangan lurus ke depan. Dava langsung melihat kearah Vita. “Kamu kan bukan asli orang sini, apa kamu yakin akan menjalani hubungan jarak jauh.” Tanya Vita, mengingat asal Dava. Sekian detik tak ada jawaban dari Dava.
                “Aku tahu kok, Vit. Tapi aku yakin dengan rasa cintaku padamu, jauh ataupun dekat bagiku sama saja. Yang terpenting kita saling percaya. Maka cinta juga akan menunjukan jalannya” tutur Dava tenang. Jawabannya yang langsung membuat hati Vita tenang. Vita tersenyum manis kepadanya.
                “I will always love you” tuturnya menggenggam tangan Vita.
*
Semenjak saat itu, tepatnya setelah Vita dan Dava jadian, mereka menghabiskan waktu liburan bersama, apalagi dengan adanya Deni semakin menambah indahnya suasana liburan jadi menyenangkan. Seperti saat ini, di taman belakang rumah Vita mereka berkumpul.
                “Duh, pengennya nempel terus yah,kaya perangko?” timpal Deni yang melihat Dava dan Vita duduk berdekatan, membuat Vita tersipu malu. “Ehm…ehm…panas yah?” lanjutnya.
                “Apaan sih lo Den” sergah Dava “Sirik aja deh lo, perangkonya aja kaya kita berdua,” kata Dava.
                “Eits, sorry aja kalau gue sirik sama lo. Lagian gue udah punya Dinda, yang mirip sama putri kerajaan” Deni membayangkan wajah Dinda kekasihnya, dengan tersenyum-senyum sendiri. Dava dan Vita hanya menggeleng melihat tingkah Deni yang fikirannya terbang mengintip wajah Dinda di balik otak mesumnya. Dava langsung menyenggol lengan Deni, seketika wajah Dinda langsung buyar dari otaknya.
                “Kebayakan ngayal , lo” ujarnya dengan tawa kecil di susul dengan Vita. Deni hanya melongo layaknya sapi ompong. Tiba-tiba wajah Deni jadi berubah.
                “Vit, gue izin ke toilet yah, kebelet nih?” katanya. Vita yang tadinya bengong kini tawanya meledak. Vita hanya mengangguk.
                “Deni…Deni…kirain wajah lo berubah karena apa, ternyata kebelet” sela Dava dengan tawa kecilnya. Deni hanya nyengir lalu melengos pergi menuju toilet. Begitu Deni tidak ada, Dava langsung kembali mendekati Vita. Ia senyum-senyum sendiri memandang wajah Vita.
                “Eg…kenapa kamu jadi liatin aku gitu sih?” tanya Vita mulai heran dengan tingkah Dava yang semakin memperdekat jarak duduknya.
                “Nggak kok, kamu manis banget sih, jadi tambah sayang sama kamu” ujarnya.
                “Ih, gombal banget sih kamu”
                “Beneran”
                “Beneran gombalnya”
                “Bukan Vit, aku bicara yang sesungguhnya, kamu itu benaran manis.”
                “Nggak ah, entar semutnya pada ngerumunin lagi”
                “Kalau semutnya kaya aku sih, nggak apa-apa kan?” Vita tertawa mendengarnya.
                “Kamu ini ada-ada aja”
                Tiba-tiba suara pintu berderak terbuka, membuat Vita dan Dava seketika meredakan tawanya, karena Eyang sudah berdiri di depan mereka. Eyang melihat ke arah Dava dengan tatapan yang tak suka, sedangkan Dava hanya tertunduk. Ia tahu ada ketidaksetujuan dari Eyang Vita tentang hubungannya dengan cucunya itu.
                “Eyang, ada apa?” tanya Vita kemudian.
                “Vita, ada tamu buat kamu. Dan biar akrab Eyang bawa kemari buat gabung sama kalian, nggak apa-apa kan?”kata Eyang. Vita dan Dava saling pandang. Sedangkan Deni yang sudah berada di belakang pintu juga terdiam.
                “Siapa Eyang” tanya Vita penasaran. Lalu Eyang memanggil seseorang.
                “Affan…” serunya. Vita terhenyak kaget mendengar Eyang menyebut nama itu. sosok cowok tinggi dengan jaketnya berdiri di samping Eyang. Vita terbengong melihat siapa yang Eyang bawa dan sebagai tamunya.
                “Nah Vita, ini Affan anaknya om Indra teman bisnisnya papa kamu.” Eyang mengenalkannya pada Vita tanpa memandang ke arah Dava. “Affan sekarang kamu gabung saja sama mereka, anggaplah rumah sendiri yah?” kata Eyang mempersilahkan Affan bergabung.
                “Makasih yah, Yang” jawabnya.
                “Yah sudah, Eyang tinggl dulu yah, selamat bersenang-senang” Eyang beranjak pergi dari situ. Vita masih terbengong melihat sosok yang ada di depannya. Ia masih belum percaya Affan adalah anak dari Om Indra yang sudah beberapa kali datang ke rumahnya.
                Begitu tersadar, Vita langsung menghampiri Affan. “Eg…kamu…” ia terbata. “Oh yah, Affan kenalin ini Dava, dan itu Deni” kata Vita memperkenalkan. Affan berjabat tangan dengan keduanya disertai senyum yang tersungging dibibirnya.
                “Dava, Deni ini Affan, dia…teman sekolahku” kata Vita berat. Deni kaget mendengarnya. Karena jujur Deni tidak begitu familiar dengan wajah tuh cowok. Hanya saja namanya yang sering ia dengar.
                “Lo kenal dia, Vit?” ujarnya heran memandang postur tubuh Affan yang sama dengannya.
                “Gue tahu lo kok, cowok team kesebelasan di sekolah, dan juga lo sekelas sama Vita kan? Gue di kelas bahasa.” Katanya menjelaskan. Deni hanya mengangguk-angguk.
                “Yah sudah, silahkan duduk Fan” pintanya. Affan duduk di kursi yang tak jauh dari Vita. Vita sendiri masih bingung dengan kehadiran Affan, apalagi di sini ada Dava yang tak lain adalah pacarnya. Sedangkan Affan, dia orang yang pernah mengatakan cinta kepadanya. Tapi dengan lembut Vita menolaknya. Lalu, apa tujuan Affan ke sini?
                Dengan sedikit canggung mereka terus bercengkrama di siang yang teduh di taman belakang rumah Vita. Perbincangan dari sesuatu yang  berbau liburan, hingga tentang satu minggu lagi mereka menemui bangku sekolah. Itu tandanya liburan akan cepat berakhir. Hanya saja, Dava lebih banyak diam dari sebelunnya. Bukan tak ada sebab ia berdiam seperti ini. Ia sedikit kesal, atau bisa dibilang cemburu melihat Affan yang selalu memperhatikan Vita, bahkan dengan segera Affan memberikan minuman yang Bi Minah bawa pada Vita. Tentu saja sikapnya itu membuat mereka bertiga saling pandang dengan pikirannya masing-masing.
                “Makasih” hanya itu yang dikatakan Vita menerima minuman dari tangan Affan. Dan itu berlanjut untuk seterusnya. Dava hanya bisa melihat itu semua  dengan helaan napas. Affan sekan menggantikan posisinya. Tapi ia berusaha untuk tidak berpikir negative, bisa saja itu karena Affan tak tahu tentang hubungannya.
                Beberapa jam kemudian, Dava pamit pulang setelah mendapatk sebuah telpon. “Vit, aku pulang yah?” katanya disusul dengan Deni.
                “Pulang, tapi…” ia tak melanjutkan kata-katanya. “Yah sudah, aku antar yah?”
                “Nggak usah” tiba-tiba Eyang datang. “Biarkan saja mereka pulang, kamu temenin saja Affan, nggak apa-apa kan Dava, Deni” kata Eyang. Dava dan Deni mengangguk bersamaan.
                “Tapi Eyang, mereka kan tamu Vita, nggak sopan juga kan kalau seandainya Vita nggak mengantarnya” ujar Vita.
                “Affan juga tamu kamu kan? Nggak sopan juga kalau kamu nggak nemenin dia” kini Eyang bermain kata-kata dengannya.
                “Eyang kamu benar Vit, kamu temenin Affan saja yah?” kata Dava sembari tersenyum. “Eyang, kita pamit yah?” lalu mereka bersalaman dengan Eyang.
                Begitu Dava dan Deni pulang, Vita langsung duduk kembali dengan tarikan nafas yang panjang. Hatinya tak menginginkan Dava pulang. Ia juga kecewa dengan sikap Eyang yang begitu terang-terangan menunjukkan sikap tak sukanya terhadap Dava. Apalagi dengan disaksikan Affan.
                “Vit, besok ke festival yuk?” ajak Affan. Vita hampir melupakan kehadiran Affan di depannya.
                “Festival? Besok? Nggak ah Fan, aku mau di rumah saja” jawab Vita yang juga terang-terangan menolak ajakan Affan. Tapi itu tak membuat tekad Affan surut untuk mengajak Vita keluar.
                “Gimana kalau kita nonton?” tawarnya lain.
                “Affan, aku udah bilang kan? Aku nggak mau.” Katanya mulai kesal. “Lagian, aku heran ,kok kamu bisa ada di sini dan  jadi anak om Indra.” Tanya Vita heran. Affan hanya tersenyum. Lalu beralih duduknya di samping Vita.
                “Kamu tahu kan Vit, menyayangi seseorang itu gimana. Kamu juga tahu kan Vit, bagaimana rasanya menyimpan rasa cinta di dalam hati. Apalagi jika cinta itu tak terbalas” tuturnya membuat Vita seketika melihat ke arahnya.
                “Aku mohon sekali lagi Vit, izinkan aku memilikimu. Izinkan aku mewarnai hidupmu” katanya memegang tangan Vita. Dengan pelan Vita langsung melepaskannya.
                “Sudah berapa kali aku bilang, aku nggak bisa nerima cinta kamu. Dimataku kau adalah teman, sebatas  teman, tak lebih. Maaf Fan, aku nggak bisa balas perasaan kamu?” terang Vita lalu bangkit dari duduknya dan berlalu meninggalkan Affan yang terdiam mendengar jawaban Vita yang sebelumnya pernah ia dengar.
                Selanjutnya Eyang yang menemui Affan. Tapi tak lama kemudian Affan pamit pulang. Dari balik jendela Vita melihat mereka berbicara. Entah apa yang mereka bicarakan. Tapi, di sana Vita melihat Affan begitu memohon kepada Eyangnya. Setelah Affan pergi, Eyang langsung menemui Vita di kamarmnya.
                “Vita, kenapa kamu bersikap seperti itu pada Affan?” tanya Eyang terdengar membela cowok itu.
                “Eyang ngapain sih, nyuruh-nyuruh dia nemuin Vita, Vita nggak suka sama dia, Eyang” sungut Vita. Eyang menghampiri cucu kesayangannya itu.
                “Vita dengar Eyang, Eyang tahu kamu nggak suka sama Affan. Tapi Eyang minta kamu terima Affan, jadikan dia pacar kamu. Cinta itu bisa tumbuh ketika kita selalu bersama. Eyang yakin, itu juga akan dirasakan sama kamu dan Affan.” Pinta Eyangnya, membuat Vita kaget setengah mati. Eyang menyuruhnya menerima cinta Affan. Vita tak mengerti dengan permintaan Eyang, sebelumnya Eyang tak pernah mempermasalahkan siapa yang menjadi pacarnya. Tapi sekarang, Eyang mengambil alih perasaan dan hatinya.
                “Tapi Eyang, Vita nggak bisa. Eyang liat Dava, cowok itu yang Vita sayang, cowok itu yang sekarang jadi pacar Vita. Meskipun Eyang tidak suka sama Dava, tapi Vita sayang sama dia, Yang.” Vita masih tak setuju. Eyang melihat wajah Vita dengan tatapan yang memaksa namun tak tega melakukan pemaksaan ini. Ia membelai lembut rambut Vita.
                “Lakukan demi papa kamu, Vita?” ucap Eyang. Begitu mendengar Eyang menyebutkan papa, Vita terdiam. Apa hubungannya dengan papa?
                “Vita, kamuu tahu kan siapa Affan. Dia anak om Indra, teman bisnis papa kamu. Dan sekarang papamu sedang mengalami kesulitan di Jakarta, om Indra akan memutuskan hubungan kerjanya jika kamu tidak menerima Affan, anaknya. Papa kamu menyuruh Eyang untuk menjelaskannya padamu, papamu dan Eyang mohon padamu sayang, lakukan demi papa kamu, yah?” terang Eyang tenang. Vita tak berkata apa-apa.
                “Tapi Yang, Vita nggak suka sama Affa?” kembali ia berontah menerima Affan. Matanya mulai berkaca-kaca, ia tak ingin kehilangan Dava. Seandainya ia menerima Affan, berarti melepas Dava. Disisi lain papa berharap padanya. Vita bingung, haruskah cintanya dengan Dava berakhir sampai di sini, secepat ini?
                “Eyang tahu, kamu sayang sama papa kamu. Eyang tahu, kamu sudah besar, bisa mengambil keputusan yang baik, yang tidak membuat papa dan Eyang  kecewa.” Tutur Eyang lalu berlalu meninggalkan kamar Vita.
                Vita berbaring di tempat tidurnya sembari memandangi foto Dava yang ada diponselnya. Hati Vita sudah sangat menyayangi Dava, tapi papa? Ia tidak mungkin membiarkan papanya kesulitan, apalagi hanya mementingkan perasaannya saja. Terlalu egois, melihat papa yang kerja keras untuk dirinya, sedangkan ia tak memenuhi permintaan papa. Lalu Vita mengambil ponselnya, dan langsung ke kontak Affan.
                “Hallo?” sapa Vita ramah. Yang berada di saluran sana terdengar gembira.
                “Iya, Vit?”
                “Aku…mau nerima ajakan kamu nonton besok.” Kata Vita berbesar hati menerima ajakannya.
                “Benarkah?” Affan seakan tak percaya dengan apa yang didengarnya. Dan kemudianVita basa-basi menerangkan mengapa ia akhirnya mau menerima ajakannya. Di sela-sela pembicaraan mereka, Vita hanya sesekali menjawab ‘ya’ ‘mungkin’ setiap kali menjawab pertanyaan dari Affan.
                Vita melakukan semua ini demi papanya, hanya demi papanya. Ia rela mengesampingkan perasaannya kali ini. Berusaha melakukan semua hal yang papa mau. Termasuk menerima cinta Affan yang tak lain adalah anak dari Om Indra.
*
                Esok harinya, Affan sudah berada di ruang tamu rumah Vita. Dengan pakaian rapi cowok itu melemparkan pandangannya pada sekeliling tatanan rumah yang antik dan rapi, ada foto-foto Vita yang masih kecil beserta keluarga-keluarganya. Tak lama kemudian Vita datang dengan berpakaian rapi juga.
                “Maaf udah nunggu lama?” katanya berusaha ramah dan tersenyum.
                “Nggak apa-apa kok, cuma sebentar. Gimana, kamu sudah siap?” tanya Affan. Vita hanya mengguk. Tiba-tiba saja Affan menarik tangan Vita, awalnya Vita ingin menarik kembali tangannya. Tapi perkataan Eyang terngiang kembali di telinganya. Perkataan tentang papa, tentang semua masalah papa, dan itu juga mencakup masalah keluarga dan dirinya.
                Dengan menelan kesabaran, Vita tak menolak ketika Affan menyuruhnya naik ke motor besarnya. Saat Affan akan menjalankan motornya, Vita segera turun dan menghampiri Dava yang datang dari sudut lain tempat ia berdiri. Dengan sedikit tak percaya Dava memandang Vita.
                “Dava…” kata Vita yang sudah berada di depan Dava yang masih terdiam dengan wajah yang kusam.
                “Dia…”
                “Affan.” Sela Vita tertunduk. Dava melihat ke arah Affan yang berdiri di motornya. “Maafkan aku Va, tapi ini semua…”Vita bingung apakah ia akan menceritakan alasannya kepada Dava sekarang. “Bukan kemauanku.” Lanjutnya. Nafas Dava seakan tertahan. Ia sudah dapat membaca apa yang terjadi. Sesuatu yang mungkin akan memisahkan dirinya dengan Vita. Sesuatu hal yang mungkin saja akan meruntuhkan cintanya. Dengan tenang Dava tersenyum melihat wajah Vita.
                “Vita!” teriakan Eyang terdengar dari pintu depan rumahnya. Mengingatkan agar ia segara pergi dengan Affan. Kembali ia menatap wajah Dava di depannya. Cowok tampan itu hanya bisa memberinya sebuah senyuman yang Vita tahu Dava sakit dengan semua ini. Tapi Eyang…Vita tak mngkin membntah perintahnya.
                “Pergilah…” kata Dava. Perlahan Vita melangkah ke arah Affan yang berdiri di samping motornya. Dengan berat hati, Vita meninggalkan Dava yang masih berdiri mematung. Kekasihnya kini pergi bersama orang lain. Dan ia tak bisa berbuat apa-apa.
*
                Di taman kota, Vita dan Affan duduk. beberapa kali Vita minta pulang, tapi Affan selalu memberi alasan yang membuat Vita mengurungkan niatnya. Apalagi kalau bukan alasan, Eyang yang meminta dia menemaninya. Angin yang berhembus sama sekali tak bisa Vita rasakan, kupu-kupu yang beberapa hinggap di pohon di dekatnya tak bisa Vita baca dengan jelas keberadaannya. Di benaknya masih ada Dava.
                “Vit…”lirih Affan pelan. Vita enggan melihat ke arahnya. Seakan sudah tahu reaksi apa yang diberikan oleh Vita, Affan tak menyerah begitu saja. Perlahan ia meraih tangan Vita, meletakkannya di pangkuannya. Ia berusaha menatap mata Vita yang masih terlihat apatis dengannya.
                “Vit, aku mohon kali ini saja , beri aku kesempatan untuk bisa mencintai kamu. I know, you never love me, tapi hatiku tak bisa untuk tidak mencintaimu.” Katanya menatap Vita lekat. Vita bingung, hatinya memilih Dava, tapi bagaimana dengan papa?
                “Affan, kamu lihat cowok yang kemarin ada di rumahku?” tanya Vita dengan yakin. Affan tak menjawab. “Dia adalah Dava, dia pacarku. Aku nggak mungkin ninggalin dia?” kata Vita berbalik menatap Affan. “Please Fan, pahami aku. Cinta tak bisa dipaksakan, begitupun dengan hatiku.” Vita berseteru, berharap Affan mengerti. Tapi cowok di depannya seakan tak peduli dengan semua perkataannya.
                “Aku akan lakukan apa saja demi mendapatkan kamu Vit.” Tuturnya dengan yakin juga. Vita melepaskan tangan Affan dan berdiri dari duduknya. Ia hendak meninggalkan taman itu. “Kamu harus ingat papa kamu, Vita”lanjutnya membuat langkah Vita terhenti. Ia sama sekali tak percaya Affan akan menggunakan cara ini untuk mendapatkan cintanya. Haruskah cinta seperti ini?
                Vita berbalik menghadap Affan. “Baiklah Fan, aku akan berusaha untuk mencintaimu.” Kata Vita akhirnya. Affan yang mendengar langsung memeluknya, menumpahkan semua rasa bahagianya. Meskipun dalam hati ia tahu, Vita menerimanya karena papanya, tak lebih. Bahkan mngkin sebenarnya tak ada cinta untuknya. Tapi dengan tekadnya, Affan tetap ingin bersama Vita. Ia yakin cinta itu ada untuknya. Ya, suatu saat Vita akan berikan cinta itu.
                “Aku janji padamu Vit, aku akan membahagiakan kamu, aku janji. Terima kasih Vit.” Kali ini Vita tak melepaskan rengkuhan Affan. Setetas bening dari bola matanya jatuh. Inilah kenyataan yang harus ia telan. Tapi satu hal yang membuat hatinya perih, ia tak ingin kehilangan Dava.
                “Maafkan aku, Va”
*
                Ribuan bintang bertabur di atas sana, di jendela kamar, Vita duduk menatap langit. Angin berhembus menerbangkan poni-poninya. Di pangkuannya buku bersampul biru tergeletak membuka. Angin membuka satu persatu lembaran buku itu, dan berhenti pada sebuah kertas yang Vita selipkan di dalamnya. Sebuah kertas yang bertuliskan kata-kata dari Dava. Vita menatap kertas itu, membacanya kembali.
                “Dava, mengapa cinta kita seperti ini. Aku tak tahu bagaimana mengatakan semua ini padamu.” Gumamnya. Teringat kembali ketika Dava megatakan perasaannya. Semuanya terasa begitu cepat, dan hari itu juga Vita sudah memutuskan untuk mencintai Dava sepenuhnya. Ia tak peduli Dava mau mencintainya atau tidak. Tanpa ia sadari, Vita juga bersikap seperti Affan, memaksa cinta itu jangan pergi.
                Terngiang lagi perkataan Eyang di telinganya. Dan…papa. Ah kenapa semua ini harus terjadi padaku. Desah Vita dalam  hati. Ia kembali berbaring di tempat tidur. Karena besok Affan akan mengajaknya jalan-jalan. Sesuatu yang tak Vita suka. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Pesan dari Dava.
                Vit, besok aku ke rumah kmu yah?
                Deg! Hatinya berdegup kencang. Dava tak boleh datang ke rumahnya. Dengan setengah hati Vita menonaktifkan ponselnya. Mungkin sekarang ini, keputusan yang tepat adalah menjauh dari Dava. Ia lakukan semua ini karena ia tak ingin Dava terluka melihatnya bersama Affan yang bukan siapa-siapa. Tapi dimata Eyang Affan adalah sosok yang berarti bagi cucunya dan bagi keluarga.
                Esok paginya, Vita masih tak mengaktifkan ponselnya. Ia tahu Dava maupun Deni akan terus menghubunginya, dan mungkin sekarang ini, mereka curiga terhadap sikap Vita yang mulai menjauh. Tanpa mereka tahu apa yang Vita rasakan, berusaha menjaga perasaan Dava dan cinta Dava.
                Hari ini matahari begitu menguasai siang. Ia tak segan-segan membagi semua cahaya panasnya ke bumi ini. Dan sangat terasa panas buat Vita yang berjalan menyusuri taman dengan Affan di sampingnya.
                “Fan, aku mau pulang.” Katanya menghentikan langkahnya. Affan langsung menyuruh Vita duduk. Dengan lembut Affan menyeka keringat yang membasahi pelipis Vita dengan sapu tangan.
                “Maafkan aku yah, karena terlalu memaksa jalan bareng aku.” Tuturnya sembari terus mengusap wajah Vita. Vita hanya terdiam, ia sendiri bingung dengan sikap Affan terhadapnya. Dalam beberapa hari ini Vita sudah dapat melihat perubahan Affan yang bersikap lembut padanya. Namun, terkadang Affan menunjukkan sikap memaksa untuk mendapatkan sesuatu yang ia inginkan dari Vita dengan membawa-bawa nama papa. Itu yang Vita tak suka dari Affan.
                “Nggak apa-apa kok?” tutur Vita melihat ke wajah manis Affan. Cowok di depannya begitu keren, pantas saja di sekolah Affan menjadi idola bagi kaum hawa. Tapi ia berbeda dengan cewek-cewek lainnya. Dimata Vita Affan hanya cowok biasa, yang membedakan adalah ia anak konglomerat dengan sikap yang menunjukkan ia punya segalanya. Dan sekarang cowok itu berada di depan Vita bersikap lembut mengusap wajahnya. Cowok yang sebelumnya tak pernah ia sukai. Mungkin besok lusa ketika libur berakhir, ia akan membuat iri hati para cewek yang ada di sekolah jika mengetahui tentang hubungannya dengan Affan.
                Siang semakin panas, Vita harus bersabar. Karena ia sendiri tak tega melihat Affan yang begitu tulus menjaganya. Dan begitu tulus menyayanginya, walau pun dengan cara yang tidak Vita suka. Tepat jam tiga sore Vita sampai rumah dengan wajah yang kusut karena lelah. Ia melangkah memasuki rumahnya. Tiba-tiba terdengar seseorang memanggil.
                “Vit!” Deni berdiri di depan rumah. Vita urung membuka pintu, ia menghampiri Deni dengan perasaan bingung. Ia tahu Deni akan menanyakan sesuatu yang sulit untuk Vita jawab.
                “Iya, Den?” kini Vita di depan cowok penggila bola itu.
                “Lo, kemana aja sih? Kenapa ponselnya di nonaktifkan. Lo tahu nggak, Dava pusing mencari kabar lo. Terus lo habis dari mana?” pertanyaan Deni runtut, membuat Vita bingung harus jawab apa. Lalu ia duduk di kursi di bawah pohon di depan rumahnya. Deni pun duduk di samping Vita.
                “Sorry deh, hari ini gue bener-bener sibuk. Soal ponsel yang nonaktif, itu karena batereinya habis.” Kata Vita masih dengan wajah yang kelelahan.
                “Lo keliahatan cape banget. Habis apa sih?” tanya Deni.
                “Nggak kok, tadi habis nemenin….” Vita tak melanjutkan kata-katanya. Ia tak mungkin mengatakan kalau ia menemani Affan. “Nemenin Chandra sepupu gue.” Lanjut Vita berbohong, ia menarik pandangannya dari tatapan Deni. Ia takut Deni bisa membaca kebohongannya.
                “Lo nggak bo’ong kan?” selidik Deni. Vita menggelengkan kepala. “Vit, kalau sekarang gue sama Dava ngajak lo ke suatu tempat boleh nggak. Katanya lo mau tahu tempat-tempat yang indah.” Tawar Deni. Vita tak menjawab, sebanarnya ingin sekali menyetujui rencana Deni. Tapi ia masih tak sanggup melihat wajah Dava. Itu hanya akan membuatnya merasa bersalah.
                “Eg….maaf banget yah Den, hari ini gue nggak bisa. Banyak tugas yang belum gue selesaikan. Kapan-kapan aja yah?” kata Vita gugup. Deni memandang Vita denga heran. Biasanya Vita langsung menyetujui jika diajak ke tempat yang ia suka. Deni menghela nafas pendek.
                “Sorry yah?”
                “Its ok. Tapi kapan-kapan lo harus mau yah, Vit.” Ucap Deni. Vita langsung mengangguk lalu bangun dari duduknya.
                “Den, gue masuk dulu yah, gue takut Eyang marah. Lo nggak apa-apa kan?” kata Vita tak enak hati.
                “Ya, tenang aja, gue nggak apa-apa kok.” Jawab Deni. Vita melangkah memasuki pelataran rumahnya. Sebelum ia masuk rumah, Vita berbalik.
                “Oh yah Den, tolong bilang sama Dava. Aku minta maaf.” Pinta Vita. Deni hanya mengangguk. walau pun ia tak tak tahu maaf buat apa. Ia sendiri merasa heran dengan sikap Vita hari ini.
*
                Bersama angin malam Vita duduk di teras depan. Ia duduk bersama Eyang. Dengan tenang ia bersandar di bahu Eyang membayangkan Mama hadir bersama dirinya, membelai lembut rambut Vita seperti dulu ia kecil. Tapi kini ia merasakan sentuhan lembut dari tangan keriput milik Eyang. Vita tetap bersyukur karena ia masih mempunyai Eyang, Papa dan kak Alfa yang sangat menyayangi dirinya. Meskipun kali ini semua keluarganya meminta sesuatu yang berat untuk ia lakukan. Dan kali ini ia harus mengesampingkan hati dan perasaannya.
                Deru mesin mobil terdengar berhenti tepat di depan rumahnya. Vita tehenyak bangun dari sandaran Eyang. Eyang langsung bisa menebak siapa yang datang. Siapa lagi kalau bukan Affan. Eyang bangun dan menyuruh Affan duduk di samping Vita yang sedari tadi tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Eyang dengan tenangnya berjalan masuk rumah meninggalkannya bersama cowok berjaket abu-abu itu.
                “Vit besok kan sudah masuk sekolah, bareng sama aku yah?” katanya menatap mata Vita lekat. Tatapan yang langsung Vita dapat melihat cinta dari pancaran bola matanya meski hanya diterangi lampu yang cukup jauh dari tempatnya.
                Vita mengangguk. Mungkin saatnya ia membalas semua kebaikan papa untuknya, membantu Papa keluar dari masalahnya. Dari dalam saku bajunya Affan mengeluarkan sebuah kalung cantik. Lalu ia memasangkan langsung pada leher mulus Vita.
                “Thanks yah, ini…cantik.” Ucapnya datar. Affan mengangguk lalu memeluk tubuh Vita. Mata Vita sendiri ke arah sudut lain dimana dua orang memperhatikannya dengan pandangan yang kecewa. Dua orang itu berdiri mematung melihat adegan yang semestinya tak ia lihat dan tak mau ia lihat. Vita hanya menelan semua sikap yang membuat orang yang memperhatikannya itu terluka. Dia adalah Dava dan Deni.
                “Aku sangat menyayangimu, Vit.” Lirih Affan. Vita tak menjawab, fikiran masih pada dua orang itu. Sepandai-pandainya ia menyimpan rahasia ini tetap saja akan ketahuan. Tertangkap basah atau tidak, mereka telah mengetahui tentang penghianatannya ini.
Sedangkan dari sudut lain Deni yang sudah mulai gondok melihat tingkah Vita bersiap-siap menghampiri Vita dan Affan. Tapi dengan pelan dan tenang, Dava langsung mencegahnya. Meski wajahnya menggambarkan kekecewaan terhadap kekasihnya itu.
                “Jangan Den, gue tahu Vita lakuin ini  punya alasan.” Katanya.
                “Va, lo liat kan tingkah Affan yang sengak itu. Lagian ngapain sih Vita mau sama tuh anak.” Deni mencak-mencak. “Ini nggak bisa dibiarin, Vita udah bohongin kita berdua.”
                “Gue tahu gimana Vita. Gue sangat yakin, dia nggak seperti itu.” Dava membela Vita. Dengan perasaan dongkol Deni berbalik pergi tak menghiraukan Dava yang terus membela Vita dan bersikap setenang itu.

                Detik berganti menit, dan menitpun berganti jam. Diantara cahaya lampu jalan Dava duduk sendiri menunggu sesuatu yang belum ia tahu kepastiaannya. Menunggu Affan pulang. Dava mencoba untuk berfikir positif walaupun dalam kenyataannya semua ini bertolak belakang  dengan apa yang difikirkannya.
                Deru mesin mobil terdengar kembali. Affan akan pergi. Dan mobil itu melewati dirinya yang bersembunyi di balik pohon. Setelah bayangan mobil itu menghilang Dava langsung menghampiri Vita yang saat itu berdiri di depan pintu mengantar Affan.
                “Vit!” teriak Dava. Vita berhenti membalikkan badannya. Dengan perasaan bersalah Vita berhambur memeluk Dava. Pelukan yang tadi telah diberikan pada Affan. Dava tak bereaksi apa-apa. Kecewa. Tentu saja. Tapi semua itu terkalahkan dengan sayangnya pada Vita.
                “Maafkan aku Va, maafkan aku. Aku tahu kamu kecewa sama aku, kamu marah sama aku. Aku terima Va.” Tak ada kata appapun yang keluar dari mulut Dava. Ia hanya merasakan isakan Vita, walau pun dalam hatinya ia juga terisak.
                Dava melepaskan pelukan Vita,  ia menatap kedua mata cewek cantik itu, memasukinya hingga pada titik terakhir. Mencari tahu bahwa yang di lakukannya tidak seperti kata hatinya. “Tenanglah Vit, aku nggak marah sama kamu.” Tuturnya lembut. “Tapi aku mohon jelaskan padaku mengapa kamu bisa melakukan ini. Jangan biarkan aku merasakan perih ini lebih dalam lagi.” Lanjutnya sembari menghapus air mata Vita.
                Mereka duduk di taman tak jauh dari rumah Vita. Tentu saja untuk menghindari Eyang Vita, yang jelas-jelas menampakkan ketidaksukaannya terhadap Dava. Perilaku Eyang demi anaknya __Papa Vita__             
                Mengalirlah cerita dari mulut Vita, ia tak ingin ada satu pun yang terlewat. Ia ingin Dava mengetahui semuanya, meski pada ujungnya cowok itu akan marah, Vita siap menerimanya. Toh  cinta memang tak bisa dipaksakan. Setelah ia selesai bercerita, Vita hanya menunduk tak berani melihat ke arah cowok yang ada di sampingnya sekarang ini. Dalam hatinya berharap Dava dapat mengerti keputusan yang diambilnya itu.
                “Kamu tahu Vit,” Dava menarik nafas lebih panjang dari sebelumnya. “Cinta itu butuh pengorbanan, dan apalah artinya cinta jika tak ada pengorbanan. Aku datang ke sini untuk mendapatkan cintamu, aku datang atas tuntunan hatiku. Dan pada akhirnya kau pun menjadi milikku. Tapi aku sadar perjalanan cinta tak semudah itu. Masih banyak rintangan yang belum kita hadapi esok harinya. Dan sekarang, satu rintangan kini datang menghadang cinta kita.” Vita mendengarkan ucapan Dava dengan penuh seksama.
                “Kau melakukan ini demi orang yang kamu sayang, yaitu papa kamu. Kau berkorban untuknya, walaupun ini berat untukmu. Aku mengerti itu. Sekarang aku juga akan berkorban untuk cinta kita berdua. Percayalah, aku rela kau bersamanya, aku rela dia merasakan kasih sayangmu, aku hanya ingin yang terbaik untukmu dan keluargamu.” Kata-kata terakhir Dava bagai lebah yang menyengat di telinganya. Seketika ia melihat wajah Dava. Wajah itu tetap terlihat tenang, oh tidak, berusaha tenang.
                “Dava….”
                “Aku di sini Vit, bersamamu. Aku nggak mau menyerah begitu saja dengan keadaan, aku yakin kau adalah milikku dan akan tetap jadi milikku. Dan satu permintaanku, jangan pernah ada pikiran untuk meninggalkanku.” Tuturnya menatap bola mata Vita.
                “Aku janji Va, aku janji…” kata Vita dengan yakin. Lalu Dava menggenggam erat tangan Vita, merasakan apa yang keduanya rasakan. Membagi kepedihan yang kini telah melampisi dinding hati mereka.
*
                Udara sejuk langsung menyambut Vita begitu ia membuka jendela kamarnya. Seperti biasa tumbuhan hijau selalu memanjakan matanya. Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah. Sudah terbayang di benaknya bagaimana suasana di sekolah nanti. Ributnya kelas XII.IA 1. Pagi-pagi sekali Vita sudah siap dengan seragam putih abu-abunya. Sebelum ia ke sekolah ia ingin menemui Dava terlebih dulu. Tentunya di tempat itu, tempat yang biasa ia bertemu dengan Dava.
                Sampai di sana, Vita sudah melihat Dava duduk sembari menikmati udara yang sejuk. Tubuhnya terbalut jaket biru. “Dava…” lirih Vita. Seketika Dava langsung menoleh ke a rah suara itu. Dari bibirnya terlukis senyum yang manis. Vita pun duduk di samping Dava. Ada beberapa menit untuk berbicara dengan Dava sebelum Affan menjemputnya.
                “Aku nggak tahu, apa yang harus aku lakuin hari ini di sekolah.” Kata Vita datar.
                “Lakuian saja seperti biasanya.”
                “Tapi sepertinya kali ini beda, cowok itu akan menjadi bayang-bayangku.” Tutur Vita yang terdengar seperti sebuah keluhan. Dava tersenyum mendengarnya. Pandangannya kini beralih pada gadis itu.
                “Tenanglah Vit.” Dava menghela napas berat. “Minggu ini aku nggak jadi berangkat ke Semarang.” Lanjutnya mengingat liburan sudah habis. Sedangkan sekolahnya pun juga telah berjalan seperti halnya sekolah Vita.
                “Benarkah?” Dava hanya mengangguk. Memang semalam mereka membicarakan tentang keberangkatan Dava ke Semarang. Tapi itu belum pasti Dava akan meninggalkan Vita. Mendengar penuturan Dava seperti itu, Vita bernapas lega, ia berharap dalam beberapa hari ke depan ia bisa mengatasi masalah ini. Mengembalikan cinta mereka seperti semula.
                Mentari mulai memancarkan sinar kuningnya, menghilangkan embun-embun yang masih ada pada daun-daun bukit ini. “Semoga Deni dapat mengerti hal-hal apa saja yang akan terjadi pada hari ini di sekolah.” Vita berharap. Dengan wajah yang tetap tenang Dava telah menjelaskan semuanya pada sepupunya itu. Ia sendiri berharap Deni pun mau mengerti sama seperti dirinya.
                Setelah beberapa menit berlalu, Vita pun bangkit dari duduknya, mungkin sekarang Affan sudah berada di depan rumahnya, berbincang dengan Eyang tentang bagaimana di sekolah nanti.
                Dan benar saja apa yang di fikirkannya. Affan duduk di kursi lengkap dengan seragamnya, dan juga eyang langsung menatap Vita tajam. Tanpa berbicara apa-apa, Vita masuk ke dalam dan mengambil tasnya. Waktu seakan berjalan begitu lambat, di sepanjang jalan Vita tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
                “Vita…” lirih Affan sembari terus mengemudikan motornya.
                “I..iya,”
                “Tadi kamu habis kemana?” Tanya Affan terdengar menyelidiki.
                “Dari rumah temen.” Jawab Vita singkat. Perlahan Affan menarik tangan Vita dan di lingkarkan pada perutnya. Vita tak menolak, hatinya benar-benar harus menerima apa pun yang cowok satu ini minta. Hanya untuk memenuhi amanat Eyang.
                Sesampainya di sekolah siswa-siswi seketika melihat ke arah mereka dengan laju motor Affan yang cukup pelan. Membuat kaum hawa kontan langsung melihat siapa yang di bonceng pangeran yang di idolakan di sekolah ini. Vita hanya menunduk, tak ingin melihat tatapan anak-anak. Termasuk cowok yang berdiri termangu di depan gawang bersama teman-temanya. Bahkan matanya tidak terlepas dari pemandangan ini. Dia_Deni.
                Berbeda dengan Affan, dia begitu percaya diri menggandeng tangan Vita, berjalan di antara anak-anak yang terus memandanginya. Mereka seakan melihat seorang pangeran bersama putri cantik. Putri cantik yang dulunya sama sekali tidak menyukai pangeran itu.
                Waktu seakan terhenti ketika Vita berjalan melewati Deni yang masih melongo, tatapannya bukan ke Affan tapi ke Vita. Rasa tak percaya dengan apa yang dilakukan oleh pacar sepupunya ini.
                “Vita…” lirih Deni tepat di depan Vita. Tak ada jawaban dari Vita, ia sendiri berharap Deni memahami keadaannya saat ini, seperti halnya Dava. Sekian detik ia melihat ke arah Deni, dan saat itulah Deni dapat membaca arti tatapan cewek cantik itu. Tatapan yang seolah-olah berbicara ia tak ingin menyakiti Dava. Tapi dengan segera Affan menarik pandangan Vita dan meremas tangannya.
                Langkah Affan agak cepat, sehingga Vita harus menyamakan langkahnya itu.  Affan terus berjalan menggandeng tangan Vita, menuju kelasnya. Tentu saja, para kaum hawa yang berada di koridor kontan langsung mengalihkan pandangannya ke arah mereka berdua. Vita tahu, dalam hati mereka saling berbisik mengenai dirinya yang tiba-tiba saja jalan dengan Affan. Dan begitu sampai di tempat tongkrongan Affan, dia semakin menggenggam tangan Vita erat.
                “Hai guys, perkenalkan nih, cewek gue. Putri paling cantik, Vita.” Affan memperkenalkan Vita pada teman-temannya. Vita hanya tersenyum tipis.
                “Hebat lo man, akhirnya lo dapetin cewek cantik ini.” Kata  Kiki si jangkung. Mata Vita langsung melirik ke arah Affan, ternyata selama ini Affan serta teman-temannya sering membuat rencana untuk mendapatkannya.
                “Oh yah, entar malam datang ke rumah gue yah, ada pesta kecil-kecilan.” Kata Affan menyampaika idenya. Yang lain bersorak gembira. Siapa sih yang tidak mengenal Affan si konglomerat dengan segala haknya mengeluarkan uang.
                Dengan agak kesal, Vita menarik tangannya dari genggaman tangan Affan, lalu langsung berlari. Melihat sikap Vita seperti itu, teman-teman Affan melongo, apa yang salah? Affan pun langsung mengejar Vita yang berlari ke Taman sekolah.
                “Vita!” akhirnya Affan dapat mengejar Vita dan langsung menarik tangannya. “Kamu kenapa sih, Vit?” Tanya Affan dengan nada suara yang lembut.  Tak ada jawabana dari mulut Vita. “Apa ada yang salah dengan aku?” lanjutnya.
                “Aku nggak suka kamu memamerka aku pada teman-teman kamu.” Jawab Vita dengan sedikit membentak. “Lepasin tanganku!”
                “Oke, aku minta maaf. Aku…aku lakuin itu  karena aku sangat bahagia bisa memiliki kamu.”
                “Tapi bukan gini caranya, dan pesta itu, aku nggak suka.” Ucap Vita angkuh.
                “Please ngertiin aku Vit, itu cuma pesta kecil-kecilan, aku mohon kamu juga harus datang yah?” Affan mulai memohon. Hati Vita sudah terlanjur tidak menyukai semua yang Affan rencanakan. Ia marah, tentu. Bukankah, ia melakukan ini hanya demi papa?
                Affan menunggu jawaban dari gadis cantik di depannya ini, namun tak kunjung ia dapati jawaban itu. “Kamu tahu kan, aku bisa saja berbuat sesuatu terhadap papa kamu.” Mendengar itu, Vita meleparkan pandangannya pada pohon di sampingnya. Lagi-lagi Affan menggunakan cara ini lagi.
                “Nanti malam aku jemput jam tujuh. Inget yah Vit, aku lakuin ini karena aku sayang sama kamu.” Kata Affan lalu berbalik meninggalkannya. Setelah bayangan Affan pergi Vita duduk di bangku panjang, memukul-mukul bangku yang terbuat dari kayu itu. Ia benci dengan sikap Affan yang seperti itu, tapi sekuat apa pun ia berontah, tetap saja tidak bisa melepaska diri dari Affan. Kalau memang  ia bisa, berarti ia juga harus mengorbankan papanya.
                “Hiks…”air mata Vita pun nyeloroh jatuh. Tiba-tiba Deni datang dan langsung duduk di sampingnya. “Deni…”
                “Gue udah liat semuanya Vit.” Ujarnya. Karena sedari tadi ia bersembunyi mendengarkan Affan dan Vita debat. Ia hanya ingin memastikan kalau Vita benar-benar tidak menghianati sepupunya.
                “Gue…gue nggak tahu harus apa.”
                “Lakukan saja apa yang telah lo sepakati dengan Dava juga orang tua lo. Gue yakin cinta kalian berdua tidak terpatahkan.” Kata Deni yang mampu meredakan sedih dan amarahnya. Selajutnya sambil menunggu bell masuk, mereka bercengkarama.
*
                Sudah tiga hari Vita tidak bertemu dengan Dava, rasa rindu langsung menyeruak dalam hatinya. Ia ingin sekali bertemu dengan Dava,tapi Eyang selalu mengawasi aktivitasnya. Bahkan kini Affan semakin sering main ke rumahnya, meski hanya ngobrol-ngobrol dengannya, menceritakan sesuatu yang tidak Vita suka, memandanginya tanpa bosan, dan semuanya. Vita tahu bagaimana perasaan Affan, rasa sayangnya begitu besar. Namun, tetap saja Vita tak bisa menerima hadirnya sebagai orang special di hatinya, karena ruang itu sudah terisi nama Dava.
                “Vita?!” teriak Deni yang berdiri menghadap tiang bendera dengan sikap hormat bersama dua orang temannya. Baru tiga hari berangkat sekolah, tapi cowok itu sudah kena hukuman. Vita pun melangkah mendekatinya.
                “ Kenapa lagi lo.” Tanya Vita
                “Yah, biasalah cowok. Ups sorry, ternyata ada si Mince.” Deni melirik Mike yang sudah di kenal sekolah sebagai cowok yang ngondek.
                “Ih apaan sih lo, gini-gini gue cowok tulen tahu.” Mike tak terima. Deni dan Hadi tertawa.
                “Sebenernya ada apa sih?” Tanya Vita lagi.
                “Tadi kan gue sama Deni lagi main bola, lha si Mike malah asyik-asyik ngobrol sama cewek yang aksesorisnya pink semua. Terus Deni ngasih tantangan buat Mike, untuk membuktikan kalau tuh anak emang bener-benar cowok tulen dengan bermian sepak bola, Mike yang termakan hasutan Deni pun menyetujui. Eh pas main bola si Mike nendang bola keras banget, berharap bisa memasukkannya ke gawang, tapi parahnya tendangannya itu mengenai Pak Santoso yang gendut itu.” Terang Hadi panjang lebar.
                “Lo tahu, bagaimana Pak Santoso tumbang kena tendangan Mike. Lo tahu kan gimana kalau Pak Santoso marah. Dari ujung kaki sampai kepala keluar asap. Hahahha…” Deni tertawa di barengi dengan Vita. Ia tahu betul bagaimana sifat Pak Santoso.
                “Dan ujung-ujungnya kita kayak ini gara-gara tantangan lo, Den.” Sungut Hadi.
“Iya tahu ih, kalau lo nggak ngompor-ngomporin gue, kejadian itu nggak terjadi kampret.” Mike pun nimbrung, Deni dan Vita hanya tertawa.
                “Lo itu Den ada-ada aja. Udah tahu si Mike nggak bisa main sepak bola, lo malah bikin tantangan seperti itu.”
                “Udah deh, debatnya entar aja sekarang tolong kita dong Vit, beliin minuman yang dingin. Panas nih?” pinta Hadi.
                “He-eh, gue hampir aja jadi pisang panggang nih.” Mike merengek-rengek.
                “Ok..ok.. gue beliin sekarang yah.” Dan begitu Vita berbalik, Affan langsung menarik tangannya, membawanya pergi dari hadapan mereka bertiga. Vita tak bisa melawan karena cengkraman Affan sangat erat.
                “Eh kalau berani sini lo, jangan beraninya dari belakang, sama cewek lagi?!” Hadi meluap-luap.
                “Fan, lo akan menyesal telah melakukan ini terhadap cinta mereka, lo bangsat Fan!” teriak Deni, mendengar itu Affan sekilas menengok ke belakang, tatapannya tak dapat di mengerti oleh Deni, yang pasti ia tahu Affan mendengar perkataannya dengan jelas. Bayangan Vita dan Affan pun menghilang, meninggalkan mereka bertiga masih  dengan hukumannya, hormat di tiang bendera.
                “Emangnya Affan ngelakuin apa, Den?” Tanya Mike.
                “Iya Den, yang di maksud cinta mereka, siapa?” sambung Hadi. Deni tak langsung menjawab, ia tak mungkin memberitahu mereka tentang masalah ini.
                “Si Affan udah ngerusak hubungan kucing gue.” Jawab Deni asal, lalu melangkah menuju kantin untuk minum. Karena bell masuk telah berbunyi berarti hukumannya juga sedah selesai. Hadi dan Mike terbengong mendengar jawaban Deni, tanpa pikir panjang lagi mereka juga membuntuti Deni menuju kantin.
*
                Dengan agak terburu-buru Vita mengayuh sepedanya menyusuri jalan yang lengang dan teduh, bahkan pohon-pohon yang berjajar di setiap pinggir jalan seakan menatapnya heran melihat tingkah Vita, yang biasanya bersepeda santai kini terburu-buru.
                Sampailah ia di rumah Zee. Cewek tomboy, yang sudah tahu kedatangan sahabatnya itu langsung menyuruh Vita masuk ke kamarnya. Di sana Vita menangis dalam pelukan Zee.
                “Gue benci dengan semua ini Zee,  gue harus bersikap manis dan menuruti semua yang di katakan Affan. Ini bukan diri gue, meski gue akui Affan adalah cowok baik, tapi dia terlalu memaksa Zee. Kenapa semua ini terjadi sama gue…” kata Vita dengan tangisnya.
                “Biar gue yang bicara sama tuh cowok, biar dia sadar kalau cinta itu bukan seperti ini.” Timpal Zee.
                “Percuma Zee, Affan selalu memanfaatkan bisnis papanya untuk mendapatkan gue. Dan gue, nggak bisa berbuat apa-apa melihat bagaimana kondisi perusahaan papa yang memburuk, mana mungkin gue membiarkan papa kesulitan.” Tutur Vita, Zee dapat mengerti bagaimana posisi Vita sekarang ini. Mungkin kalau ia di posisi Vita, ia juga merasakan hal yang sama. Seorang anak mana mungkin membiarkan orang tuanya kesusahan.
                “Terus gimana dengan Dava, Vit?” kata Zee teringat dengan Dava, cowok yang berasal dari Semarang itu.
                “Dia tetap bertahan Zee, gue nggk tega kalau setiap hari harus menyakiti hati Dava. Gue sangat menyayanginya.” Ucap Vita menahan air matanya yang hampir berjatuhan lagi. “Zee bantu gue bertemu dengan Dava.” Lanjut Vita, karena ia tak  mungkin bisa bertemu dengan Dava kalau di sekitar rumah, Eyang pasti memarahi Dava dan dirinya. Zee mengangguk.

                Di bukit  belakang rumah Zee, Vita dan Dava bertemu. Mereka duduk di sebuah kursi yang  terbuat dari kayu, memandangan pemandangan di bawah sana. “Va, kamu nggak bosen kan untuk menjaga cinta ini.” Kata Vita, ia hanya melihat Dava tersenyum tipis.
                “Seberat apa pun cobaan ini, aku tetap menjaga cinta ini sampai kapan pun, Vit. Kamu tenang aja, kau adalah milikku dan aku adalah milikmu. Aku sudah tahu semuanya bagaimana kalau kamu di sekolah bersama…Affan. Seperti yang aku yakini, kau juga akan menjaga cinta ini. Dan itu benar kan?” setenang itu Dava mengatakannya, tapi Vita tahu bagaimana perihnya hati Dava. Namun, Dava menutupi perih itu dengan serapi mungkin dengan semua kasih sayang kepadanya.
                “Dava…” Vita menggenggam erat tangan Dava. “Jangan tinggalkan aku.” Dava hanya tersenyum sambil mengangguk menatap cewek cantik di sebelahnya.
*
                Gedung sekolah yang berdiri tegak itu tetap sama seperti pertama kali Vita masuk sekolah ini. Hanya ada sedikit perubahan. Beberapa bulan lagi, ia akan meninggalkan sekolah tercinta ini, dimana Vita menghabiskan masa-masa SMA bersama sahabat-sahabatnya. Angannya terbang menjemput bayangan Dava. Kalau boleh berharap, Vita ingin Dava tetap di sini, bersamanya. Tapi Vita sadar satu hal, Dava tidak selamanya harus memenuhi semua keinginannya. Dava mempunyai dunia sendiri, dunia yang tidak mesti Vita ganggu.
                “Sekolah itu, nggak akan berjalan Vit, selamanya sekolah itu akan tetap bertengger gagah di jalan kenanga ini. Kecuali, ada penggusuran, hehehe…” Deni sudah berada di sampingnya. Lalu mereka duduk di bawah pohon depan sekolah. Masih ada setengah jam lagi sebelum bell masuk berbunyi. Nongkrong di sini memang membuat Vita nyaman.
                “Lo kok nggak bawa motor lagi, napa?” Tanya Vita tidak melihat motor jagoan Deni. Cowok itu hanya menggeleng.
“Oh yah, tumben lo kagak bareng sama tuh cowok konglomerat.” Ujar Deni. Vita juga menggeleng. “Huh! Gue harap hari ini gue nggak liat muka tuh cowok, pengen muntah gue liat dia suka banget gandeng-gandeng tangan lo. Dia nggak mikir apa, lo itu udah punya sepupu gue, dasar otaknya di dengkul.”cerocos Deni panjang lebar. Vita juga merasa, semakin hari Affan menekannya. Seperti yang Deni bilang, setiap hari ia di jemput dan di antar oleh Affan, di sekolah Affan memperlakukannya layaknya putri. Dan apa  sikap Vita, ia hanya diam membiarkan Affan dengan semua tingkahnya yang sebenarnya membuat Vita risih sendiri.
“Gue ingin semua ini berhenti Den,” ucapnya pelan, bahkan jika ada angin yang berhembus mungkin suaranya akan terbawa. Namun Deni mendengarnya, tapi ia juga mengerti bagaimana posisi Vita sekarang. Berhenti di sini, berarti sama saja ia membunuh keluarganya sendiri. Ia hanya bisa berharap, Vita mampu menghadapi semua ini.
“Vit…” lirih Deni. Vita tak menjawab. “Apakah cinta kalian akan kembali seperti semula, sebelum Dava balik ke Semarang?”angin berhembus menggugurkan daun-daun dari pohon mengiringi kediaman Vita yang mendengar pertanyaan Deni. Vita tak langsung menjawab pertanyaan itu.
“Nggak usah di jawab.” Katanya. Deni ancang-ancang untuk berdiri. “Oh yah, ini!” Deni menyodorkan sebatang cokelat dan setangkai mawar juga sebuah surat kecil. Vita hanya melongo menerima tiga benda itu yang biasa identik dengan keromantisan. “Itu dari sepupu gue. Hmm…yah udah gue ke kelas duluan yah Vit.”lalu Deni pun berlalu meninggalkannya. Vita tahu kenapa tiba-tiba saja Deni bergegas pergi. Karena ia sudah melihat sosok Affan melenggang ke arahnya. .
Begitu Affan beberapa langkah lagi di depannya, Vita langsung memasukkan pemberian Dava ke dalam tasnya. “Ngapain tuh cowok?” Tanya Affan, Vita langsung memasang muka asamnya.
“Bukan urusan kamu.”
“Tapi aku pacar kamu Vit.”
“Hanya status.” Jawabnya angkuh. Hanya beberapa detik mereka terdiam. Entah apa yang terjadi dengan Vita, setiap kali ia melihat Affan ia merasa benci, marah dan sebagainya. Ia akui Affan baik, tapi…ah!
Affan meraih tangan Vita. “Aku…aku mohon padamu Vit, belajarlah untuk menerima aku dihatimu. Sekian lama aku menunggu kau berlabuh dihatiku, dan sekarang kau telah menjadi milikku meski tidak seutuhnya.” Tutur Affan, tatapannya ke mata Vita, mencoba meyakinkan gadis cantik itu.
“Aku mohon Vit, izinkan aku mausk ke dalam hatimu.” Pintanya lagi. Masih tak ada jawaban dari bibir tipis Vita.
“Jika keajaiban itu ada, maka tunjukkan padaku Tuhan, satukan aku dan Dava kembali. Walau aku tahu kini keajaiban itu jauh dariku. Tapi aku kan terus berharap.” Gumam Vita dalam hati. Tiba-tiba bell berbunyi . semua siswa berlari-lari memasuki gerbang.
Begitu pun dengan Vita dan Affan mereka juga bergegas masuk. Kali ini Vita tak melempar senyum pada satpam, seperti biasanya. “Duh neng Vita teh cemberut aja, entar cantiknya ilang loh neng.” Kata si satpam. Tapi Vita tetap aja melenggang. Affan yang ada di dekatnya saja hanya terdiam melihat sikap Vita yang angkuh.
Ketika mereka di koridor Affan langsung menggandeng tangan Vita. Ia tak ingin anak-anak tahu kalau Vita tak mau dengannya, ia hanya ingin anak-anak memandang Vita dan dirinya bersama karena saling menyayangi.
Vita ingin melepaskan cengkraman Affan, tetapi Affan mencengkramnya dengan erat. Melempar senyuman pada anak-anak yang jelas-jelas memandang ke arah mereka.
“Affan lepasin!” Vita menarik tangannya kembali. Dengan langkah yang panjang Vita langsung memasuki kelas menghampiri sahabat-sahabatnya. Affan yang masih termangu di depan kelasnya hanya bisa memandang cewek cantik itu, tetapi dibalas dengan tatapan tajam Zee yang seakan mau memakannya. Melihat Zee seperti itu, Affan pun beranjak pergi.
Tiba-tiba ponselnya bergetar.
Pulang sekolah ke rmh aq dlu yah…
Mama pgen ketmu ama km.
Dag…sayang… I Love You…:*
Kembali Vita masukkan ponselnya ke dalam tas setelah membaca pesan dari Affan.
“Muka lo asem banget sih, Vit.” Timpal Bella sembari merapikan rambutnya.
“Ah, lo ini bell nggak tahu apa, Vita asem kayak gini karena di antar sama pangeran yang suka maksa dan sok kecakepan itu.” Sambung Zee mencak-mencak.
“Affan?”
“Bukan, pak Sanusi satpam sekolah. Ya iyalah Affan, siapa lagi. Dava, dia kan bukan siswa sini.” Lanjut Zee.
Bella manyun, lalu merubah posisinya di depan Vita. “Kalau lo nggak suka dan nggak tahan lagi sama sikap Affan bilang aja Vit, jelasin padanya kalau lo nggak bisa maksain perasaan lo. Bukankah cinta itu tidak bisa di paksakan. Affan lagi buta cinta lo Vit.” Saran Bella. Masih tak ada jawaban dari Vita.
“Memangnya lo kira Vita nggak berusaha selama ini, dia selalu berusaha Bell, tapi dasar Affannya aja yang nggak nyadar-nyadar” timpal Zee langsung.
“Eh, gue tanyanya sama Vita, kenapa dari tadi lo terus yang jawab.” Bella mulai kesal dengan Zee yang terus-terusan menjawab pertanyaan.
“Yah, gue kan sebagai perantara mulut Vita, Bell.” Sungutnya. Dan tak lama kemudian guru masuk. Pembelajaran pun berlangsung dengan serius karena yang di hadapi adalah guru matematika yang terkenal killer itu. Tapi tidak dengan Vita, memang pandangannya ke papan tulis, namun pikirannya entah kemana.

Bel pulang sekolah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Vita yang masih memasang muka asamnya masih tak mau beranjak dari tempat duduknya. Ia ingin menghindar dari Affan, tak ingin melihat wajah Affan. Namun, keberuntungan tidak berpihak padanya, Affan muncul dan langsung menarik tangan Vita keluar kelas. Dengan agak berat ia melangkah.
“Lepasin!” Vita menarik tangannya. “Aku bisa jalan sendiri.” Hari ini ia begitu kesal pada Affan. Sudah satu minggu ini, Affan selalu memamerkan Vita pada teman-temannya, hari-hari Vita di sekolah di bayang-bayangi sosok dirinya, memperlakukan Vita seolah-olah Vita putri raja yang harus di jaga. Vita sudah muak dengan semua ini. Keajaibannya terampas dengan hadirnya cowook satu ini, dan ujung-ujungnya ia hanya menyakiti perasaan Dava yang sangat menyanyanginya.
“Mama pasti senang melihat kamu main ke rumah, apalagi papa, dia suka banget sama muka kamu yang manis ini.” Kata Affan, Vita hanya tersenyum tipis, terpaksa tentunya. “Nanti kalau sampai rumah, mama pasti ngajak kamu ke teras belakang yang penuh dengan koleksi bunga mama.” Lanjutnya sambil membayangkan keakraban Vita dengan mamanya. Vita tak merespon lagi. Mimpi Affan terllau tinggi.
Mereka pun pergi dengan motor Affan, fasilitas yang mewah untuk sebagian orang yang memandang. Di sepanjang perjalanan Vita hanya terdiam sibuk dengan pikirannya tentang Dava, juga tentang pertanyaan Deni tadi pagi.
“Kamu tahu, pangeran yang buruk rupa sekalipun bisa mendapatkan putri yang cantik, begitu pun dengan aku. Aku yakin, aku juga bisa mendapatkan kamu.” Kata Affan sembari terus mengemudi. Perlahan Affan meraih tangan Vita dan di lingkarkan pada perutnya. Tapi dengan segera Vita menariknya kembali.
“Aku mau turun di sini.”kata Vita tiba-tiba.
“Tapi kan Vit, rumah aku masih jauh.” Sergah Affan melirik ke belakang.
“Fan, aku mau turun di sini, kamu denger nggak sih!” Vita mulai marah. Affan pun berhenti di pinggir jalan yang di sana-sini pohon. Cuaca cukup panas tapi tetap sejuk, tapi tidak dengan Vita, hatinya benar-benar meradang. Vita langsung turun dari motor di susul dengan Affan.
“Cukup Fan!” bentak Vita kesal. Affan tak mengerti.
“Kamu kenapa sih, Vit.”
“Aku…aku nggak bisa terus-terusan memaksakan hatiku untuk mencintaimu, menerima kamu di hatiku, aku bener-bener nggak bisa Fan.” Ujar Vita sedikit tertahan mengatakannya. “Rasa cinta itu  nggak ada di hatiku Fan, aku hanya mencintai Dava.” Tutur Vita, Affan tak menjawab ia hanya menatap Vita sayu, meski ia kaget mendengarnya. Vita berbalik hendak meninggalkan Affan. Tetapi baru dua langkah tiba-tiba saja Affan langsung berhambur memeluk Vita dengan erat.
“Aku mohon jangan tinggalin aku Vit, aku mohon…” Vita langsung melepaskan pelukan Affan dengan sedikit mendorongnya.
“Cinta itu bukan seperti ini Fan, kau selalu berusaha membuat aku cinta, tapi bukan ketulusan yang kamu beri, kau malah memaksanya. Dan hatiku tidak memilihmu Fan, mengertilah…” Vita berkaca-kaca. Namun sepertinya Affan masih teguh dengan pendiriannya, merasa sikapnya selama ini itu semata-mata karena cinta.
                “Kamu tahu Vit, aku sangat menyayangimu, semua yang aku lakukan hanya untuk kamu, demi kamu seorang.” Affan terus berusaha meyakinkan Vita.
                Vita menarik tarikan panjang dari napasnya. Agar sedikit mengurangi sesak di dadanya. “Sebenarnya aku muak dengan semua sikap kamu yang seperti ini. Sudah satu minggu di sekolah kamu memperlakukan aku layaknya seorang putri, aku nggak suka Fan. Cintamu sendiri yang membuat aku benci, cintamu yang menumbuhkan semua rasa benci itu.” Tak ada jawaban dari mulut Affan. “Mencintai bukan harus memiliki bukan?” pernyataan Vita terlontar.
                “Harus dengan apa lagi aku buktikan bahwa aku sangat menyayangimu, Vit.” Perkataan Affan terdengar mulai runtuh pertahanannya. Pikirannya kembali soal bisnis papanya dan papa Vita, sekalipun ia menggunakan cara ini percuma saja, karena Vita berada dalam tingkat emosi yang tinggi. Perkataan apa pun tak bisa diterimanya.
                “Terkadang tanpa melihat pembuktian pun, cinta itu akan terlihat. Dan selama ini aku tahu, aku melihatnya. Namun, seperti yang aku bilang, hatiku tetap tidak memilihmu.” Terang Vita dengan menekankan setiap kata-katanya. Hanya ingin  membuka mata Affan dari kebutaan cintanya.
                “Bagaimana dengan kebahagiaanku, Vit. Apa tak ada sedikit pun rasa itu kau beri untukku.” Tutur Affan.
                “Kebahagiaan?! Kamu meminta kebahagiaanmu. Oke, sekarang aku juga minta kebahagiaanku kembali.” Vita balas menjawab penuturan Affan tadi. Seketika Affan terdiam, bahkan sepertinya ia tidak merasakan angin yang berhembus melihat pertentangannya dengan Vita. Hatinya perih mendengar kata-kata cewek di depannya.
                “Aku tahu Fan, nggak ada yang nggak tersakiti dalam hal ini, bukan hanya kita berdua, ada Dava, Deni dan yang lainnya. Kau jangan egois mempertahankan kemauan kamu saja, kamu tidak melihat di sekelilingmu. Apa kamu akan tetap bahagia meski pun orang disekitarmu merasa sedih?” lagi-lagi pertanyaan Vita membuat Affan terdiam, kali ini daun-daun kering yang tersapu angin pun tak bisa di rasakan gerakannya.
                “Ku harap kamu mengerti apa yang aku katakan.” Setelah berkata seperti itu Vita berbalik, kali ini Affan tak lagi mengejarnya, tetap membiarkan Vita berlalu meninggalkannya sendiri  bersama luka di hatinya.
                “Aku yakin apa yang aku lakukan benar, Tuhan bersamaku.” Gumam Vita tanpa melihat ke belakang.
                “Apa ini skenario yang sudah Tuhan tulis untukku.” Lirihnya pelan, sangat pelan. Ia hanya berdiri di motornya dengan lemas. Pendiriannya seakan rontak, hatinya hancur. Ia masih belum bisa meyakinkan dirinya sendiri. Bayang-bayang Vita pun hilang di perempatan jalan.
*
                Vita membuka jendela kamarnya. Seketika udara sejuk langsung menyambutnya dengan senyum mengembang di bibirnya. Kicauan burung terdengar merdu meramaikan pagi ini. Sejenak ia manjakan matanya melihat pemandangan bukit yang indah. Tiba-tiba pintu berderak terbuka. Eyang yang sudah rapi berdiri di ambang pintu sembari memandangi cucunya kalem.
                “Eyang…” Vita langsung berhambur kearahnya.
                “Cucu eyang udah bangun,” beliau memeluk Vita penuh kasih sayang. “Hari ini kamu ada acara sama Affan?” tanya Eyang kemudian, Vita terdiam. Hatinya masih marah pada cowok yang bernama Affan itu. Vita menggeleng menjawab pertanyaan Eyang.
                “Vita nggak suka Yang dengan sifat Affan yang selalu memanfaatkan kerja sama antara papa dan orang tuanya.” Sungut Vita. Eyang hanya mendengarkan keluhan cucunya itu. “Eyang, Vita mohon jangan paksa Vita untuk bersama Affan, Vita nggak mencintai dia, Yang. Karena Vita…” ia tak melanjutkan kata-katanya.
                “Karena kamu mencintai orang lain yang bernama Dava?” sela Eyang langsung.
                “Kok, Eyang bisa tahu sih?” Vita bingung. Eyang hanya tersenyum membelai rambut panjang Vita.
                “Eyang tahu semua tentang kamu, Vita. Maafkan Eyang dan papa kamu juga yah, karena sudah memaksa kamu untuk bersama Affan. Sekarang Eyang dan papa menyerahkan soal ini kepada hati kamu” ujar Eyang.
                “Benarkah Eyang?” Vita senang mendengarnya. Eyang mengangguk. “Makasih yah Yang” Vita langsung memeluk Eyangnya. Tergambar jelas kebahagiaan di raut wajah Vita. Affan cowok yang sebenarnya mencintainya itu sudah mau melepaskannya.
                “Hari ini Eyang mau ke Jakarta, mungkin pulangnya malam. Kamu disini saja sama Mbok Minah” kata Eyang melepaskan pelukannya. Vita hanya mengangguk. memang Eyang sering sekali ke Jakarta tempat papanya tinggal. Sedangkan Vita jarang sekali bertemu dengan papanya. Kecuali dihari-hari tertentu yang memungkinkan papanya pulang ke Bandung.
                “Hati-hati yah, Yang?” kata Vita mencium punggung tangan Eyangnya.
                “Oh yah, Eyang hampir lupa?” ia kembai berbalik dan mengambil sesuatu dari dalam tasnya. “Ini surat dari Affan, tadi malam dia kesini, tapi kamunya sudah tidur.” Terang Eyang menyerahkan surat itu ke tangan Vita. Vita hanya menerimanya dengan sedikit bingung. Surat? Tumben banget tuh anak bikin surat? Gumamnya.
                “Yah sudah, Eyang berangkat yah Vit” lalu Eyang berbalik dan pergi dari kamar Vita. Sedangkan Vita langsung duduk di pinggir ranjangnya. Membuka perlahan amplop biru berisi surat dari Affan. Disana ada tulisan Affan yang kecil-kecil dan rapi.

                Dear…Vita…
          Surat ini aku tulis untuk mengatakan sesuatu kepadamu…
Aku ingin kau  tahu betapa aku sangat mencintaimu…
Aku ingin kau tahu bagaimana perasaan ini makin hari kian tumbuh…
Aku ingin kau tahu betapa selama ini aku merindukanmu…
Semua itu aku rasakan hanya untukmu. Aku tahu, mimpiku untuk bersamamu tak akan pernah jadi kenyataan. Selamnya mimpi itu akan tetap bersemayam dihatiku. Dengan mengukir satu nama yang tak pernah aku lupakan. Vita.
Aku tahu cinta tak harus memiliki, dan cinta tak pernah bisa di paksakan. Cinta adalah perasaan bahagia jika melihat orang yang kita sayangi bahagia. Cinta adalah  kekuatan yang alami dari jiwa. Cinta adalah tetap tersenyum meskipun orang yang kita cintai merengkuh orang lain. Dan sekecil apapun cinta itu, harus di ucapkan. Begitupun denganku, aku tak bisa memaksamu untuk jadi milikku, aku tidak bisa memaksamu tuk  mencintaiku. Aku akan bahagia jika kau pun bahagia. Cintaku kepadamu membuatku kuat menahan perih. Aku akan tersenyum meskipun kau merengkuh orang lain. Dan cinta besarku aku ucapkan hanya untukmu.
Dear…Vita…
Melalui surat ini aku minta maaf, telah mengacaukan hubunganmu dengan Dava. Aku buta karena cintaku sendiri. Aku telah egois terhadapmu, tapi aku mohon dengan sangat padamu. Maafkan aku… dan mulai sekarang aku janji tidak akan menganggumu lagi. Dan biarlah cinta ini tumbuh atau musnah bersama waktu. Karena aku tak dapat memmusnahkannya sendiri.
Yang mencintaimu
Affan 
                Vita melipat surat itu kembali, ia terdiam. Ada perasaan bahagia dalam hatinya. Affan telah melepasnya, tapi disisi lain ia merasa bersalah karena selama ini ia tidak menyadari keberadaan Affan yang mencintainya. Tapi seperti yang di tuliskan Affan tadi, Cinta tidak bisa di paksakan. Di dalam hatinya kini bersemayam nama Dava, dan selamanya nama Dava.
                Tiba-tiba ponselnya berbunyi, nama Dava tertera di  layar ponselnya.
                “Hallo, Va?” sapanya dengan senyum mengembang dibibirnya.
                “Vit, sebentar lagi aku ke tempat biasa yah, aku pengen ketemu kamu?” kata Dava kemudian.
                “Yah, segera aku kesana” jawabnya. Lalu telpon mati. Segera Vita ke kamar mandi.
                Kurang dari sepuluh menit Vita sudah siap dengan baju biru selututnya. Ia melangkah keluar dari kamar, dengan sebelumnya menyimpan surat Affan di meja belajarnya. “Thanks  Fan, kamu udah ngertiin aku. Aku yakin kamu akan mendapatkan cewek yang lebih baik daripada aku” kata Vita dalam hati memandang surat itu. Lalu keluar dari kamarnya.
*
                Di kursi bawah pohon Dava duduk sendiri sembari memandang pemandangan bukit di depannya. Di tambah dengan angin yang berhembus membelai lembut. Tempat yang sangat indah. Tiba-tiba Vita datang, membuat cowok itu terbengong melihatnya.
                “Udah lama yah, Va?” Sapa Vita langsung.
                “Nggak kok, Vit. Lama-lama di sini juga nggak  apa-apa. Tempatnya enak” kata Dava. Vita hanya tersenyum. Ia melihat wajah Dava yang terlihat sedikit pucat.
                “Dava, kamu sakit?” tanya Vita. Dava hanya menggeleng. “Kamu jangan bohong, wajah kamu nggak bisa menutupinya, kamu beneran sakit kan?”kata Vita mulai cemas. Lagi-lagi Dava hanya menggeleng menjawab kekhawatiran Vita, kekasihnya.
                “Dava, please jangan bohong sama aku?” Vita masih belum percaya. Perlahan Dava langsung memegang tangan Vita dan mentapanya.
                “Aku nggak  apa-apa kok, Vit. Cuma kurang tidur aja” katanya. Vita terdiam. “Percaya kan sama aku” lanjut Dava. Vita langsung mengangguk. Tatapan Dava membuatnya luluh seketika. Tatapan yang baru Vita temui keteduhannya. Vita tersenyum dan Dava membalasnya dengan senyum tipis di bibirnya.
                “Vit, aku kesini mau pamit sama kamu?” kata Dava. Vita kaget. Ia langsung dapat membaca maksud Dava. Ia akan pulang ke Semarang, kerumahnya. “Habis ketemu kamu, aku langsung berangkat ke Semarang. Sudah satu minggu aku bolos sekolah” jelasnya tetap melihat ke Vita. Cewek cantik itu tak menjawab. Ada kesedihan tergambar di bola matanya.
                “Kamu tenang aja yah, aku janji aku akan kembali kesini untuk ketemu sama kamu? Aku janji nggak akan ninggalin kamu. Karena aku sanyat mencintaimu, Vit?” katanya menatap mata Vita lekat. Jujur Vita tak dapat menyembunyikan rasa sedihnya mendengar Dava akan pulang ke Semarang.
                “Tapi kamu janji, nggak akan ninggalin aku, kan?” tanyanya dengan nada cemas. Perlahan Dava kembali memeluk tubuhnya, menyandarkan kepala Vita ke dadanya yang bidang.
                “Aku janji Vit, demi Tuhan aku akan menjaga hubungan ini sebaik mungkin. Aku janji nggak akan ninggalin kamu, sampai kapanpun aku nggak akan ninggalin kamu” kata Dava meyakinkan.
                “Kanapa kau pergi disaat hari ini Affan benar-benar melepaskanku. Kenapa kau pergi di saat benteng cinta kita kembali utuh” ucap Vita teringat dengan Affan yang kini sudah melepaskannya bersama Dava.
                “Tuhan telah membuka jalan cinta kita Vit, Tuhan mendengar doa kita untuk menyatukan hati kita tanpa ada yang merusak. Tapi Tuhan belum mngabulkan untuk aku selalu ada di samping kamu? Tapi aku yakin, Tuhan mempunyai rencana lain untuk kita berdua.” Tutur Affan. Vita tak bisa berkata apa-apa.
                “Aku juga mau mengatakan sesuatu sama kamu? Dan mungkin ini akan menyakitkan” kata Dava pelan. “Sebenarnya aku dapat nomor ponsel kamu bukan dari aku yang nyuri dari kontak di ponsel Deni, tapi karena aku sudah ada rencana sama Deni. Maafkan aku, Vit” kata Dava dengan berat mengatakan kebohongannya selama ini. Vita bagai mendengar petir di telinganya. Orang yang selama ini ia percaya dan ia sayang telah membohongiya.
                “Tapi sungguh, aku melakukan kebohongan ini demi aku bisa kenal sama kamu, demi kita dan demi Deni. Aku mohon kamu jangan marah sama Deni, karena aku yang bersalah, karena sudah meminta nomor kamu yang sama sekali nggak aku kenal sebelumnya” terangnya masih memeluk Vita. Tanpa Vita sadari airmatanya mengalir mendengar semua ini.
                “Jadi kamu juga tidak menyukaiku sejak awal, kamu bohong tentang semua perasaan kamu, kamu hanya ingin menipuku kan?” sela Vita mulai marah.
                “Nggak Vit, aku sama sekali nggak ada niat untuk menipumu atau membohongimu. Aku tulus menyayangimu, aku tulus cinta sama kamu. Aku tahu kebohongan ini membuat kamu kecewa sama aku, tapi sungguh aku nggak bermaksud untuk membohongi kamu, Vit. Aku mohon, maafkan aku” Dava berusaha menjelaskannya. Vita langsung melepaskan pelukan Dava.
                “Kamu jahat Va, kamu jahat sama aku” Vita memukul-mukul dada Dava. “Kalau kamu emang sayang sama aku, kamu seharusnya jujur dari awal, terangkan padaku tentang semuanya, bukan dengan kebohongan ini. Kamu jahat Va, kamu jahat” dengan tangis Vita terus memukul-mukul Dava sembari berontah melepaskan tangan Dava yang berusaha menarik dan menenangkannya.
                “Vita, dengerin aku” Dava menarik tangan Vita dan berusaha menatap matanya. Vita terdiam air matanya masih mengalir. “Liat mataku, apa kamu melihat ketulusan cintaku. Aku memang bohong sama kamu tentang bagaimana awalnya aku mengenalmu. Tapi sungguh, perasaan ini sama sekali nggak bohong, aku tulus mencintaimu, Vit” Vita melihat jauh mata Dava. Ada keteduhan cinta di mata Dava, cinta yang tulus. Tapi kebohongan Dava masih menutupi kepercayaannya.
                “Tapi bisa saja, kebohongan kamu itu berlanjut sampai sekarang, dan sebenarnya kamu sama sekali nggak sayang sama aku” Vita berucap denga nada suara yang kecewa pada cowok  itu.
                “Nggak Vit, kamu salah. Aku sama sekali nggak bohong tentang perasaanku padamu. Please Vit, percaya sama aku. Demi Tuhan, aku sayang dan cinta sama kamu” Dava terus meyakinkan cewek di depannya. Dava masih dapat membaca kekeceweaan dari raut wajah Vita. “Vit, aku mohon maafkan aku. Aku nggak mau kehilangan kamu, aku nggak mau, Vit” tutur Dava menatap mata Vita. Ia menghapus air mata Vita dengan jari-jemarinya.
                “Maafkan aku, karena sudah membuatmu menangis seperti ini” kata Dava pelan.
                “Aku  sayang banget sama kamu Va,”kata Vita. Ia percaya dengan perkataan Dava, ia percaya Dava benar-benar menyayanginya. Ia tahu kebohongan Dava karena terpaksa, karena tak ingin dia marah pada Deni, sepupu yang sangat Dava di sayangi.  Apalagi pengorbanan Dava hanya untuk ketemu dengannya sangatlah besar. Semuanya cukup membuktikan kalau Dava sayang padanya.
                “Kamu mau kan maafin aku?” tanya Dava masih belum tenang melihat Vita yang menangis. Ia sangat mengerti perasaan Vita sekarang ini. Vita mengangguk  yakin, dan memberi senyum manis di bibir tipisnya.Dava tak lepas menatap mata cewek cantik yang berada sangat dekat di depannya.
                Perlahan-lahan wajah Dava semakin mendekati wajah Vita. Vita tak bisa menghindar, tangan kiri Dava memegang tangannya, sedangkan tangan kanannya memegang dagu Vita. Melihat Dava memejamkan mata, Vita semakin bingung. Perlahan ciuman itu mendarat di bibir tipisnya. Ia sama sekali tak percaya, akan melakukan first kissnya bersama Dava,  Dengan lembut Dava melumatnya. Seakan waktu berhenti saat itu juga, yang mengendalikan waktu adalah mereka, mereka tak perduli dengan kicauan burung yang menyaksikan. Angin yang berhembus pelan menambah keteduhan first kiss mereka. Dunia mereka kuasi saat itu juga. Dava dan Vita seperti berada dalam kolam ice cream yang lembut dan manis, dengan rasa tak tak bisa di gambarkan dengan kata-kata.
                Tiba-tiba terdengar bunyi ponsel yang mengangetkan, seketika Vita dan Dava melepaskannya. Vita langsung menunduk malu, sedangkan Dava yang masih bingung dan kaget langsung mengambil ponsel dari kantong jeansnya. Pesan  dari Deni:
                Sorry gue ganggu kalian berdua. Va cepetan, hr sdh siang, perjalanan lo msh jauh. Om & tante sdh nunggu lo…
                Pesan  Deni yang mengingatkannya untuk segera berangkat ke Semarang. Ia melihat ke arah Vita yang masih tertunduk. “Dari Deni yah?” ujar Vita seakan sudah tahu. Dava mengangguk. Hatinya tak ingin meninggalkan Vita sendiri. Sedangkan Vita, perasaannya tak karuan, rasa sedih, bahagia, bingung, kehilangan, rindu, semuanya berbaur jadi satu. Lalu meneteslah air matanya. Dava kembali merengkuh tubuh Vita.
                “Vit, aku…aku harus pergi sekarang. Tapi kamu tenang aja, aku pasti kembali untuk kamu, hanya untuk kamu”katanya menenangkan Vita. Vita mulai sesegukkan. Ia tak ingin Dava pergi, tapi ia tak bisa menahan Dava untuk tetap disini, ia tak mau egois pada cowok itu. Mau tidak mau ia harus merelakan Dava pergi.
                “Vit, kamu percaya kan sama aku?” tanyanya lagi.
                “Iya Va, aku percaya sama kamu. Kamu juga harus percaya sama aku, aku akan menjaga cinta ini Va?” jawab Vita meyakinkan. Dava menghapus air mata Vita.
                “Aku pamit yah, ingat aku terus” katanya lalu mencium kening Vita dengan  penuh kasih sayang. Dava berbalik meninggalkan Vita yang masih berdiri memandang kepergiannya namun tak ada senyum di bibirnya. Dava yang belum jauh melangkah kembali berhambur memeluk Vita. Ia juga tak rela meninggalkan Vita.
                “Aku mohon, tetap tersenyum buat aku” pinta Dava, mata Vita mulai berkaca-kaca. Ia tahu ia sedih, tapi cowok di depannya tak ingin melihatnya sedih seperti ini. Kebahagiaan Dava, kebahagiaannya juga. Vita melukiskan seulas senyum di bibirnya untuk Dava. Dava membalas, melihat Vita yang mulai tenang kini Dava dengan yakin melangkah, sembari tersenyum untuk Vita.
                “Aku akan kembali untukmu, Vit!” serunya melambaikan tangan. Vita mengangguk memandangi kepergiaan Dava, kekasihnya. Hingga bayang-bayang Dava tak terlihat lagi. Vita terduduk di kursi bawah pohon.
                “Dava  telah pergi, ia pergi…” aimatanya kembali menetes. Pelukan Dava masih ia rasakan, bahkan first kiss tanda perpisahannya masih melekat dalam benaknya. First kiss yang membuatnya merasakan indahnya cinta. First kiss yang tak dapat Vita lupakan di tempat ini.
*
                  Semenjak kembalinya Dava ke Semarang, Vita menjalani hari-hari seperti biasanya. Hanya saja, ada sesuatu yang membuat harinya terasa sepi, tak ada Dava yang menemaninya. Dan sejak saat itu, ia jadi sering liatin Deni yang ada kemiripan dengan Dava. Hanya sekedar memandang dan membayangkan wajah Dava pada diri Deni. Sedangkan cowok yang sekelas dengannya itu hanya tersenyum-senyum saja melihat tingkahnya.
                “Vit, ke kantin yuk?” ajak sahabatnya Zee si tomboy yang punya wajah manis. Bella si cantik pun langsung nimbrung.
                “Iya yuk, laper gue” tanpa menunggu jawaban dari Vita, mereka langsung menarik tangan Vita keluar dari kelas. Tiga sahabat itu kini berjalan anggun di sepanjang koridor. Tegur sapa terdengar dari anak-anak yang duduk santai di kursi. Mereka memang cukup terkenal di sekolah. Bukan hanya saja karena kekompakkan mereka, dibidang akademik dan non akademik mereka cukup menonjol. Ibarat siswa-siswa yang lain, mereka juga sering berbuat ulah, apalagi Zee yang tomboy. Sangat suka menjahili orang.
                “Eh yah, katanya si Dava udah kembali ke Semarang yah?” tanya Zee seusai memesan makanan untuk mereka bertiga. Vita mengangguk pelan.
                “Duh…kasian banget sih? Tapi tenang aja deh, selama ada kita berdua lo nggak akan kesepian, Vit. Iya kan Zee” timpal Bella merangkul bahu Vita.
                “He-eh, lo tenang aja. Gue percaya Dava orangnya baik,” jawab Zee melahap gorengan di depannya.      
                “Percaya sih percaya, tapi kira-kira dong  Zee kalau makan gorengan, sampe lo susun gitu” sergah Bella yang merasa ngeri melihat Zee melahap gorengan tanpa ampun. Vita hanya tersenyum melihat tingkah sahabat-sahabatnya. Yah,mereka benar-benar sahabat yang baik. Sahabat yang selalu ada jika dibutuhkan, selalu ada disaat deraian air mata membasahi pipi. Sahabat yang selalu tahu apa yang di rasakannya.
                Tiba-tiba segerombolan siswa cowok melewati meja mereka. Dan salah satu cowok itu memandang teduh wajah Vita, walau hanya sebentar. Lalu mereka duduk di pojok kantin. Berkumpul dengan topik pembicaraan yang beda dengan siswa cewek.
                “Tuh, si Affan liatin lo sampe kaya gitu? Sok manis banget sih” kata Zee yang kini melahap bakso mang Ujang. Benar-benar tingkahnya seperti cowok.
                Ih, maneh mah Zee, si Affan teh nyaan manis.” Kata Bella dengan logat sundanya. “ Lo aja yang kagak nyadar”
                “Siapa yang pingsan, orang dari tadi gue itu sadar Bell,” Zee tetap tidak  setuju. “Lagian cowok yang bisanya merebut pacar orang lain aja di bilang manis.”
                “Hati-hati lho Zee, pepatah bilang ‘benci bisa jadi cinta’, bisa aja besok-besok lo jadi cinta sama Affan” Bella meminum es jeruk di depannya.
                “Ih, ogah gue. Affan itu udah cinta mati sama Vita” kini pandangannya kearah Vita yang asyik dengan minumannya.
                “Ih kok jadi gue sih” sergah Vita langsung. “Bisa nggak sih kalian jangan keras-keras ngomongnya, tuh anak bisa dengar tahu nggak” kata Vita yang melihat Affan masih memadang dirinya sebentar-sebantar. “Lagian, Affan sudah lepasin gue kok, dan gue bisa hidup dengan Dava walaupun dengan jarak jauh” katanya.
                “Affan lepasin lo” Bella kaget. Vita hanya mengangguk, tak bereaksi apa-apa dengan kekagetan sahabatnya itu. “Syukur deh, gue bisa lega karena nggak liat lo marah-marah dan murung lagi”
                “He-eh, pinter juga tuh cowok ngambil keputusan yang tepat, cinta memang nggak harus memiliki kan?” kata Zee mengabiskan bakso terakhirnya. Bella langsung memegang dahi Zee.
                “Apaan sih lo?” Zee heran.
                “Sejak kapan lo bisa ngomong kaya gitu” Bella berkata dengan nyengir kuda memperlihatkan barisan gigi-giginya yang rapi.
                “Yah, lo Bell. Gini-gini hati gue lembut, bunuh nyamuk aja gue nggak tega” Bella tertawa mendengarnya disusul dengan Vita. Membuat seisi kantin melihat ke arah meja mereka.
*
                Kelas sudah seperti kapal pecah, semuanya berantakan. Siswa-siswi ribut sendiri, seperti ngobrol, bercanda, tidur, lempar-lempar kertas, bergosip dan lain sebagainya. Itulah aktivitas yang selalu mereka lakukan setiap kali guru tidak mengajar di kelas. Tetapi, Vita dengan tenangnya duduk di kursi sembari melihat ke arah Deni yang fokus dengan komiknya. Yah, seperti itulah kurang lebihnya aktivitas yang sering Vita lakukan, memandang Deni seperti memandang Dava.
                Entah ada angin dari mana, tiba-tiba Deni tersenyum padanya dan dengan pelan ia langsung berjalan menuju Vita yang saat itu masih termangu memandang Deni.
                “Ngapain sih lo liatin gue mulu? Naksir yah?” dengan percaya diri ia mengatakannya dan duduk disamping Vita.
                “Pe de banget lo,” Vita tertunduk, tak berani menatap cowok itu. Suasana masih sama seperti setengah jam yang lalu, ribut. Vita membuka buku bersampul birunya.
                “Buku apaan sih? Liat dong” Deni hendak mengambil buku itu, tapi dengan segera Vita menghindari tangan Deni.
                “Jangan?! Ini tuh buku berharga buat gue, lo nggak boleh tahu” sungutnya dengan wajah yang manja. Deni hanya tersenyum melihatnya. Bola matanya terus memandang wajah cantik Vita. Entah apa yang difikirkannya, tiba-tiba saja Deni membelai lembut rambut panjang Vita. Kontan Vita bengong dibuatnya, untung saja seisi kelas tak ada yang memperhatikan, kalau tidak bisa-bisa mereka menganggap Vita dan Deni sedang beradegan romantis, layaknya Romeo dan Juliet.
                “Lo beneran sayang kan sama Dava” wajah Deni berubah lembut dan serius. Vita tak mengerti apa maksud dari perkataan Deni. “Gue mohon, lo jangan sakiti sepupu gue yah?” lanjutnya, Vita tak menjawab, ia masih mencari jalan pembicaraan Deni sebenarnya.
                “Tenang aja Den, gue nggak akan nyakitin Dava, karena gue sayang sama dia.” jawabnya tenang. “Tapi…apakah Dava juga bisa menjaga cinta gue” tanya Vita.
                “Gue sangat yakin, Dava bisa menjaga cinta lo, Vit. Gue tahu bagaimana karakter Dava, ia adalah tipe cowok yang setia.” Terangnya. Vita tersenyum, Deni kembali membelai lembut rambutnya. Baginya Vita sudah seperti saudaranya sendiri. saudaranya yang harus ia jaga demi Dava.
                “Oh yah, lo belum jawab pertanyaan gue, kenapa lo liatin gue terus, apa benar lo naksir gue yah?”
                “Ih, pe de banget sih lo” Vita memukul lengan Deni pelan, seketika mereka tertawa bersama. Yah, seperti inilah mereka, mulai sangat dekat ketika Deni mengenalkan Dava pada Vita. Hingga keakraban mereka erat. Benar pepatah bilang, cinta dapat merubah segalanya.
*
                Jam waker di kamarnya berbunyi nyaring membangunkan penghuni kamar yang masih asyik tidur bersama mimpinya, jam sudah menunjukkan pukul 06.00. Dengan sisa kantuk, Vita langsung bergegas mematikan jam waker dan berlari ke kamar mandi. Beberapa saat kemudian suara air yang menguyur tubuhnya terdengar.
                Kurang lebih lima belas menit, kini Vita sudah siap dengan seragam putih abu-abunya. Dengan terburu-buru ia langsung pamit pada Eyang. Eyang hanya terbengong-bengong melihat cucunya yang tergesa-gesa meminum segelas susu di meja makan. Dan langsung memanggil Pak Parmin untuk segera mengantarnya.
                Sampai di jalan melati Vita langsung turun. Dan mengucapkan terima kasih pada Pak Parmin yang sudah bertahun-tahun mengabdi jadi supir di rumahnya. Langkah kaki yang biasanya pelan dan santai, kini berubah menjadi langkah kaki yang cepat mengejar waktu, bisa gawat kalau seandainya ia telat masuk sekolah, hukuman empuk siap menantinya. Gara-gara semalam menghubungi Dava tak bisa-bisa Vita sampai begadang. Hanya ingin mengetahui kedaan kekasihnya itu, entah kenapa, semalam perasaannya tak enak memikirkan Dava.
                Vita terus berjalan, tanpa melihat kekanan dan kiri, ia menyebarang. Tiba-tiba suara klakson mobil terdengar begitu nyaring ditelinganya. Vita tersentak kaget melihat sebuah mobil melaju kencang di depannya, ia tak dapat berteriak, seakan suaranya tertahan di tenggorokannya. Ia hanya memejamkan mata, pasrah saja mengahadapi semuanya. Tinggal beberapa senti meter lagi dari tubuhnya mobil itu berhenti. Sejurus kemudian omelan dari supir mobil itu terdengar, namun Vita tak bisa mendengar omelan itu dengan jelas, hatinya masih ketakutan. Ia hanya mendengar omelan supir itu agar ia segera  beranjak dari situ.
                “Ma…maaf pak” kata Vita terbata. Ia melangkah ke pinggiran jalan. Vita masih menenangkan hatinya. Hampir saja nyawanya melayang tertabrak mobil. Beberapa kali Vita menarik nafas dan menghembuskannya. Tiba-tiba terlintas Dava dalam benaknya.
                “Dava…” desahnya.  Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Nama Deni tertera dalam layar ponselnya.
                “Halo?!” sapa Vita mencoba untuk tetap tenang.
                “Vit, gue minta bantuan lo?” kata Dava di saluran telponnya.
                “Apa?”
                “Gue nggak berangkat dan mungkin untuk waktu yang lama. Entar juga ada surat keterangan dari keluarga gue, dan di titipkkan ke  lo” terang Deni.
                “Lo dimana Den?”
                “Gue di Semarang”
                “Semarang?”Vita mengulang nama kota tempat Dava tinggal.
                “Iya, ada hal penting yang harus diurus sama ortu gue di sini, dan mau nggak mau gue harus ikut. Tolong gue yah Vit, lo kan sekretaris di kelas” kata Deni.
                “Ya sudah, entar gue bilang ke wali kelas.”
                “Thanks yah Vit.”
                “Iya, sama-sama Den” jawabnya. Ada rasa penasaran dalam hatinya. “Oh yah Den,  lo kan ada di Semarang, gimana keadaan Dava?” tanya Vita tak bisa menahan rasa ingin tahunya. Beberapa detik tak ada jawaban dari Deni.
                “Dava…dia baik-baik saja kok Vit, lo tenang aja yah?” jawabnya. Vita menghela napas lega.
                “Syukur deh, gue khawatir banget sama dia Den,” katanya.
                “Lo…lo tenang aja, gue akan jaga Dava baik-baik kok.”
                “Tapi, kenapa semalam nomor Dava nggak aktif, Den”
                “Itu…karena…karena…” Deni tergagap.
                “Kenapa? Kok lo gugup gitu sih”
                “Dava lagi latihan teater di sekolahnya, jadi ponselnya dinonaktifkan” jelas Deni. “Vit, udah dulu yah, gue udah di panggil sama papa” lalu telpon tertutup. Vita kembali berjalan menuju sekolah. Yang ini ia akan lebih berhati-hati, agar tidak membahayakan nyawanya lagi.
*
                Di taman sekolah, Vita duduk murung memandang  ponselnya, berharap ada balasan dari Dava. Sejak kemarin ponselnya tidak dapat dihubungi, sejak kemarin juga Vita dibuat kesal setengah mati dengan ocehan operator. Beberapa kali ia kirim pesan untuk Dava, tapi yang ada pesan itu pending.
                “Dava, kamu kemana sih? Nggak biasanya kamu kayak gini, apa masih latihan teater” gumamnya. Disenderkannya badannya ke pohon. Ia biarkan imajinasinya melayang melukis birunya langit. Memberi sejuta warna dihari ini. Namun, ia tak bisa melukis wajah Dava dalam benaknya. Ia merasa bayang Dava semakin samar dalam ingatannyya. Ada apa ini? Dava tidak mungkin meningglkannya.
                Tiba-tiba terdengar suara orang yang bertengkar. Vita melihat ke sisi taman lainnya. Vita tak ingin memperdulikan pertengkaran dua orang itu. Tapi ia berubah pikiran setelah mendengar namanya disebut-sebut. Ia terdiam mendengarkannya di balik pohon tempat ia duduk. Cewek itu menangis di depan seorang cowok. Mungkin mereka sepasang kekasih. Dengan jarak yang lumayan dekat, Vita dapat melihat jelas siapa cowok itu. Affan.
                “Kenapa kamu nggak bisa melihat pengorbananku, Fan. Kenapa aku nggak bisa masuk kehati kamu.” Kata cewek itu. Affan hanya terdiam.
                “Tolong katakan padaku, harus dengan apa lagi aku menghapus nama Vita dari hati kamu,” Affan berusaha menarik tangan cewek itu. tapi dengan segera cewek itu menghempaskan tangan Affan.
                “Maafkan aku, aku tahu selama ini kamu tersakiti karena sikap ku. Tapi aku mohon mengertilah”
                “Apa lagi yang harus aku mengerti dari kamu, Fan. Apa?!” suara cewek itu mulai pelan. Vita terdiam mendengarnya. Benarkah, ini semua karena dirinya?
                “Aku juga ingin kamu mengerti perasaanku, Fan. Perasaan yang selalu kau hiraukan” tuturnya. “Aku minta kalau memang kamu masih mengharapkan Vita, pergilah dan kejarlah dia semampu kamu.” Lanjutnya lalu berlari dari hadapan Affan.
                “Nay….” Teriak Affan, tapi cewek itu tak menggubris teriakannya. Affan terduduk di kursi. Wajahnya terlihat menyesal. Sedangkan Vita tak dapat berkata apa-apa. Matanya mulai berkaca-kaca. Rasa bersalah menghampirinya. Lalu ia segara bangun dari duduknya dan pergi menyusul cewek itu.
                “Hey….!” Teriak Vita melihat cewek itu berjalan sendiri. Melihat Vita menghampirinya cewek itu menghapus air matanya. Sepertinya ia cewek itu sudah tahu tentang Vita. Ia memandang Vita dengan pandangan yang tak Vita mengerti.
                Di bawah pohon mereka duduk. Vita dapat melihat cewek itu baik dan sangat tulus menyayangi Affan. Cewek itu juga cantik. Ia seperti pernah melihat cewek itu sebelumnya, tapi ia lupa di mana. Dan cewek itu siswi SMA lain yang jaraknya tak jauh dari sekolahnya.
                “Kamu…” Vita tak melanjutkan kata-katanya.
                “Nayla, aku Nayla. Dari SMA Pekerti Luhur” jawabnya seakan tahu apa yang akan dikatakan Vita. “Kamu Vita kan?”ujarnya mengalihkan pandangnnya pada Vita. Vita hanya mengangguk menjawab pertanyaan yang di lontarkan Nayla.
                Vita menghela nafasnya. “Maaf sebelumnya, karena aku…” Vita melanjutkan kata-katanya. Nayla terlihat begitu tertekan dan kecewa.
                “Jadi kamu mendengar semuanya. Maaf yah, kalau aku sudah membawa-bawa nama kamu dalam masalah aku dengan Affan” ujarnya pelan.
                “Nggak apa-apa kok, tapi kenapa kamu berpikir seperti itu?” tanya Vita hati-hati. Ia tidak ingin pertanyaannya menyinggung perasaan Nayla ataupun sampai menyakitinya. Cewek di depannya ini sangat terlihat lembut.
                “Jujur aku tak tahan lagi dengan sikap Affan yang selalu membicarakan kamu setiap kali kita bersama, dia seolah-olah melupakan kehadiranku meskipun aku berada di depannya. Yang dipikirkannya hanya kamu.” Katanya, membuat Vita tak enak hati dan hanya tertunduk.
                “Tapi aku tahu kok, Vit. Ini bukan salah kamu, aku mengerti kenapa Affan bisa seperti itu. karena….dia sayang kamu, Vit.” Tuturnya. Vita tertunduk. Mungkin benar, semua ini karenanya. Perlahan Vita meraih tangan Nayla dan tersenyum.
                “Kamu harus berusaha mendapatkan cintanya, Nay. Aku yakin dia sebenarnya sayang sama kamu. Percaya sama aku, tatapan matanya sudah melihat ketulusan cinta kamu” katanya sembari tersenyum memberi semangat. Nayla yang mendengar tergugah hatinya. Ia pun membalas senyum Vita.
*
                Setelah berbicara dengan Nayla, Vita kembali ke kelas sembari mecoba menghubungi nomor Dava. Sama seperti semalam, tetap tak bisa dihubungi. Ia menghela nafas, ponsel Dava yang tak bisa dihubungi dan kepergian Deni ke Semarang begitu tiba-tiba. Setelah ponsel Dava nonaktif lalu Deni ke Semarang. Kejadian yang sulit ia percaya, tapi Vita berusaha membuang pikiran-pikiran negativenya.
                Malam harinya, Vita mencoba mengirim pesan kepada Dava, dan terkirim. Melihat laporan itu, hampir saja Vita melompat kegirangan saking senangnya. Kembali ia kirim pesan  ulang.
                Sayang, knpa number km nggak aktif sih? Aku kngen bnget sm kmu….:(
                Pesan send. Dengan perasaan senang Vita menunggu balasan dari Dava. Sekian menit  ia menunggu, kembali ia murung. Dava tak membalas pesannya. “Dava, kamu kenapa?” gumamnya dalam hati. Ia kembali merebahkan tubuhnya ke tempat tidur. Tak lama kemudian, ponselnya berbunyi, pesan dari Dava.
                Maaf yah, sayang baru bls. Aku lg sbuk dgn teaterku. Maaf yah, aku jga kgen sm kmu Vit???
                Dan malam itu, Vita menghabiskan waktunya hanya dengan kirim pesan singkat bersama Dava. Cinta yang jauh, cinta yang membuat ia harus menaruh harapan dan impian setinggi mungkin. Impian cintanya, impian akan cinta yang menyatu selamanya. Cinta untuk Dava.
*
                Mentari menyapa malas pagi ini. Mentari masih suntuk tak mau berbagi cahayanya. Di kamar Vita, Eyang menarik gorden kamarnya. Dengan malas Vita menggeliat mencoba mengalahkan rasa kantuk karena begadang semalam.
                “Vita, ayo bangun” kata Eyang di samping cucunya.
                “Eyang…” Vita hendak menarik lagi selimutnya. Tapi Eyang langsung duduk di sisi ranjang tempat tidurnya.
                “Ayo bangun Vita, entar kamu telat sekolahnya.” Bujuk Eyang. Lalu memberikan ciuman dikeningnya. Dengan segera Vita berhambar menyambar handuk dan pergi ke kamar mandi. Eyang hanya geleng-geleng kepala melihat cucunya yang semakin besar saja. Beliau sendiri merasa kasihan terhadap Vita, karena sudah lama tak merasakan kasih sayang ibu kandungnya sendiri.
                Lima belas menit kemudian Vita sudah siap dengan seragam putih abu-abunya. Sebuah seragam terakhir masa-masa sekolahnya. Dengan sedikit malas ia menghampiri meja makan Eyang. Dan langsung  menyambar segelas susu dan sepotong roti, meletakkan tas di kursi. Tatapannya masih kosong.
                “Vita?” sapa Eyang berusaha menyadarkan lamunan cucunya.
                “Iya, Yang.”
                “Kok melamun, pamali atuh” kata Eyang. Vita terus menguyah rotinya tanpa menjawab pertanyaan Eyang.
                “Vita, dua minggu lagi kan, ulang tahun kamu. Kamu mau hadiah apa dari Eyang.” Kata Eyang, mengingat dua minggu lagi cucunya ulang tahun. Vita terdiam meminum segelas susu.
                “Hadiah apa saja yang Eyang berikan buat Vita, Vita pasti suka. Lagian bagi Vita hadiah tidak penting Yang, Vita menginginkan papa , kak Alfa dan Eyang ada di ulang tahun Vita, itu sudah cukup Yang” tutur Vita. Eyang tersenyum, kini cucunya bisa berfikir dewasa.
                “Iya sayang, pasti di hari ulang tahun kamu, papa kamu pasti pulang.” Eyang meyakinkan. Vita bangun dari duduknya menghampiri Eyang dan mencium pipinya.
                “Vita sayang banget sama Eyang.”
                “Iya, Eyang juga sayang sama Vita?” dengan senyum Eyang mengatakannya.
                “Ya sudah, Vita berangkat dulu yah, Yang. Assalamuailaikum…” Vita mencium punggung tangan Eyang lalu pergi dengan sebuah doa dari Eyang.
*
                Hari itu hujan turun begitu deras. Vita berdiri sendiri di depan koridor. Langit seakan mengamuk, memuntahkan semua airnya turun ke bumi. Angin juga berhembus dengan kencangnya. Beberpa kali halilintar pun menyambar-nyambar, membuat Vita meringkuk ketakutan. Kalau seperti ini, ia tak bisa pulang. Sedangkan Alfa tak bisa menjemput karena sedang ada urusan di kampusnya. Vita melangkah ke sudut kooridor yang lain, agar tidak terkena percikan air hujan yang diterpa angin.
                Sekolah mulai sepi, hanya ada beberapa siswa yang juga sedang menunggu hujan reda sama seperti dirinya. Hanya saja tak ada sebuah benda yang melindungi tubuhnya yang mulai kedinginan.
                Detik berganti menit, hampir setengah jam ia menunggu, tapi apa daya langit seakan tak mau berhenti memuntahkan airnya. Siswa lainnya sudah pulang di jemput dengan berbagai kendaraan. Karena dirasakan hanya Vita yang belum pulang, akhirnya ia pun bertekad menerobos hujan.
                Vita pun pergi dengan tubuh tanpa pelindung, ia tak peduli ia ingin segera sampai di rumah. Sekian menit ia berjalan, lalu berhenti di halte untuk menunggu busmini. Rasanya tak mungkin jika ia harus berjalan di tengah hujan deras seperti ini sampai rumah. Ia bisa mati kedinginan.
                Di tengah-tengah ia menunggu, ia sempatkan mengirim pesan kepada Dava.
                Ouch, damn! Hujannya gk berhenti-henti…
          Kirimin api kecil dari hatimu sayang…agar bisa menghangatknku…
                Send. Lalu Dava pun membalasnya…
                Tenang aja yah, aq akn jd api kecil dalam hdupmu. Api cinta, api yg kan menghangtkanmu….km blum pulang sayang…
                Vita tersenyum membaca sms dari Dava. Cowok itu selalu saja membuatnya merasa bahagia, selalu membuatnya tersenyum. Ingin rasanya Vita call Dava, tapi Dava selalu melarang dengan alasan jangan ‘buang-buang pulsa’ atau ‘lagi sibuk, entar aja yah’. Tapi kali ini ia ingin sekali mendengar suara Dava. Dengan agak ragu ia menelpon Dava. Tak diangkat, Vita terus mencobanya. Tetap saja. Terlintas dalam benaknya, kalau Dava tak mau berbicara dengannya.
                Pantang menyerah. Itu yang Vita lakukan, ia terus menghubungi Dava, dan diangkat.
                “Hallo!” sapa Vita mendekatkan ponsel ketelinganya, agar suara Dava terdengar jelas, karena harus melawan suara hujan yang juga menyaingi suaranya.
                “Hallo…” yang di sana menjawab, setelah beberapa kali Vita menyapanya.
                “Dava…”
                “Iya…” hanya kata-kata pendek yang Dava lontarkan, seakan tak mau mengeluarkan suaranya. Vita terdiam sesaat. Ada yang beda? Yah, suara Dava berbeda. Ia sangat mengenali suara Dava, bukan ini. Bukan.
                “Dava kan?” tanya Vita meyakinkan. Tak ada jawaban dari saluran sana.
                “Ya, ini aku?”
                “Suara kamu kok…” belum sempat Vita melanjutkan kata-katanya seseorang menabraknya dengan keras dari sisi lain. Saking kagetnya, ponsel Vita jatuh, dengan segera ia mengambil ponselnya.
                “Aduh, maaf yah. Gue nggak sengaja.” Seorang cowok menunduk-nunduk minta maaf. Vita tak bergeming, ia sibuk dengan ponselnya.
                “Iya, nggak apa-apa” kata Vita menaikan 1 okta dari suaranya. Memang hujan-hujan seperti ini, membuat orang-orang panik ingin berteduh. Vita kembali memeriksa ponselnya.
                “Hallo, Dava.” Kata Vita lagi, tapi ternyata mati. “Ah, damn! Ponsel gue rusak” umpat Vita, ia duduk di kursi yang jauh dari orang-orang berteduh. Tiba-tiba sebuah mobil berhenti dan melihat ke arah Vita.  Oh, kak Alfa akhirnya datang juga… gumamnya dalam hati. Segera ia melangkah dan masuk mobil, meninggalkan halte yang menyebalkan itu. Mobil itu pun melaju di tengah-tengah hujan yang tak henti-hentinya.
                Sampai di rumah, Eyang menyambutnya dengan cemas. Memeriksa seluruh tubuh Vita, memeluknya. Tak peduli dengan tubuh Vita yang sudah basah kuyup. Sedangkan Vita hanya menjawanb sekenanya. Lalu Eyang menyuruhnya untuk mandi dan makan. Vita hanya mengangguk.
                Setelah selesai membersihkan diri, Vita duduk di pinggir ranjangnya, sembari memeriksa ponselnya lagi. Kali saja masih bisa nyala. “Ayo dong, nyala…” harapnya. Sesekali melepas baterai dan memasangnya lagi. Dan…nyala. Vita tersenyum bahagia. Ia mencium-cium ponselnya.
                “Thanks Tuhan….” Tapi ia masih penasaran dengan suara Dava waktu itu. “Itu pasti Dava, karena gue yakin ponselnya ada padanya. Tapi, suara itu? siapa? “ Vita bertanya-tanya dalam hati. “Ah, mungkin dia sedang tak enak badan jadi berpengaruh pada suaranya” pikirnya positif.
*
                Dua hari menjelang pesta ulang tahunnya. Tepatnya malam minggu besok. Semuanya telah dipersiapkan dari gaun, undangan bahkan dekorasi pun telah dirancang. Eyang dan Alfa membantu semuanya. Apalagi dengan adanya papa, semakin menambah kebahagiaan Vita. Dan dengan keyakinan, Vita pun terus berharap Dava kekasihnya datang ke acara ulang tahunnya.
                “Vita…!” teriak Bella si cewek centil. Mereka langsung berhambur menghampiri Vita dengan Zee di belakangnya. Vita menghentikan langkahnya ketika akan masuk kelas.
                “Suara lo bikin gendang telinga pecah tahu nggak.” Sungut Zee sembari menutup telinganya. Bella hanya mencibir tak memperdulikan perkataan Zee.
                “Vit, gimana kalau pulang sekolah kita belanja cari gaun pesta buat di ulang tahun lo.” Kata Bella sumringah dengan rencananya. Cewek satu ini, langsung senang bahkan sangat antusias jika menyangkut fashion. Sedangkan Zee sama sekali tak mengerti dengan fashion. Boro-boro gaun, pakai rok abu-abu saja ia lakukan untuk menggugurkan kewajibannya sebagai seorang pelajar SMA. Kepribadian mereka sangat bertolak belakang.
                “Apa?! Belanja? Bukannya kemarin lo habis belanja Bell, tuh sampai bagasi mobil penuh karena belanjaan lo yang segunung.” Timpal Zee.
                “Ih, itu buat di rumah Zee, gue butuh gaun yang indah untuk cewek cantik kayak gue ini” jawabnya.
“Pe de banget lo,”
“Bodo. Bilang aja Zee, lo sirik kan sama gue?” ujarnya dengan senyum-senyum.
                “Apa? Sirik sama lo, ih ogah banget gue, mendingan gue sirik sama kambing daripada sama lo.” Timpal Zee tak mau kalah. Memang kalau masalah fashion Zee dan Bella sangat berbeda jauh.
                “Udah, apa kalian mau ribut terus” sela Vita melerai pertikaian antara Zee dan Bella, yang kalau dilanjutkan bisa dua hari dua malam. Kini mereka masuk kelas, duduk di kursi paling pojok. Apalagi yang mereka lakukan, selain ngerumpi.
                “Vita, Zee gue punya usul.” Kata Bella menatap kedua sahabatnya. Zee dan Vita seketika langsung berpandangan. Mereka tahu, tiap kali rencana atau pun usul dari Bella pasti ujung-ujungnya berantakan. Ada saja yang dirugikan atas usulnya itu.
                “Memangnya apa Bell?” tanya Vita mulai was-was.
                “Gini, bentar lagi kan ada acara pesta ulang tahun di rumah lo, Vit. Nah, gue punya tantangan buat lo, Zee” Bella melihat ke arah Zee. Kontan Zee kaget mendengar Bella menyebut namanya. Pikirannya mulai khawatir dengan tantangan Bella. Takut sesuatu yang tak Zee bisa.
                “Zee? Emangnya usul lo apa sih Bell, gue harap ini nggak membuat Zee mati berdiri.” Kata Vita. Bella hanya tersenyum-senyum.
                “Kita kan sama-sama nggak pernah liat Zee pake gaun, ataupun berpenampilan femine. Gue minta di acara pesta ulang tahun Vita nanti lo harus pake gaun, Zee.” Terang Bella. Mendengar itu Vita hanya melongo, begitupun dengan Zee. Ia tak percaya dengan usul Bella. Usul Bella benar-benar diluar kemampuan Zee.
                “Hah?!!” Zee seakan sulit untuk menarik napasnya lebih dari biasanya. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepala tak setuju dengan usul Bella yang  terdengar konyol.
                “Dengerin penjelasan gue dulu. Gue cuma pengen buktiin ke orang-orang kalau lo itu cantik pake gaun dan pakaian cewek. Liat aja, wajah lo manis, kulit lo bersih dan putih, tubuh lo juga bagus. Hanya saja lo terlalu kuat buat seorang cewek. Nggak ada salahnya kan, lo pake gaun.” Terang Bella mengangkat wajah Zee menunjukkan wajah manisnya. Vita mengangguk setuju.
                “Benar kata Bella, lo  itu pantas pake baju cewek. Ayolah Zee, lo mau yah?” kini Vita pun membujuk Zee. Zee diam tak menjawab. Ia masih berfikir tentang itu semua. Ia tahu, kalau menyetujui usulan Bella, itu hanya akan mempermalukannya.
                “Gaun? Oh no!!” Zee mulai parno dengan rencana Bella. Ia tak bisa membayangkan dirinya memakai gaun.
                “Zee, ini demi kelancaran ulang tahun gue, dan itung-itung hadiah buat gue Zee.” Ujar Vita. Kini sahabat-sahabatnya menginginkannya berubah.
                “Tapi, kalian tahu kan, gue sama sekali nggak ngerti masalah gaun atau sejenisnya lah.” Kata Zee.
                “Tenang aja Zee, kita bantuin kok,” timpal Bella yakin dengan senyum mengembang dibibirnya. Zee memandang kedua sahabatnya bergantian. Gaun? Pesta? Zee? Apa bisa?
                “Zee, kita nggak nyuruh lo untuk berubah. Kita seneng kalau lo mau jadi diri sendiri, dengan lo apa adanya. Tapi kali ini, lo harus buktikan kalau lo itu cantik pake gaun, terutama pada geng Nana yang sok cantik itu.” jelas Vita. Bella hanya mengangguk.
                “Kita lakuin ini, demi lo Zee.” Bella pun menimpali.
                “Tapi, kalau seandainya gue di ketawainlah, dipermalukanlah. Mengatakan seorang Zee pake gaun?” Zee masih membayangkan semua itu terjadi padanya.
                “Tenang Zee, itu ulang tahun gue, itu pesta gue. Dan gue nggak akan membiarkan sahabat gue dipermalukan.” Kata Vita yakin. Zee tersenyum. Lalu merengkuh kedua sahabatnya. Yah, Zee hanya perlu membuktikan pada semua orang, kalau perubahan itu ada. Sesuatu yang sulit berubah pun pasti bisa jika berusaha. Dan benar kata Vita, meraka tak menginginkan Zee untuk tidak jadi dirinya sendiri.
                Mereka lalu kembali ke tempat duduk masing-masing. Sebelum pelajaran dimulai. Vita melihat ke bangku Deni yang kosong, penghuninya masih belum pulang dari semarang. Ia pun mulai parno dan khawatir Deni maupun Dava tak datang ke acara ulang tahunnya. Tetapi hatinya berbisik untuk tetap percaya, dan yakin kalau keajaiban itu ada. Keajaiban yang akan membawa cintanya datang kembali menemuinya.
*
                Sepulang sekolah, Vita langsung merebahkan tubuhnya ke tempat tidur, membiarkan angin membelai-belai wajahnya melalui jendela kamar yang ia buka. Cinta, Dava, keajaiban? Tiga kata itu yang Vita inginkan. Tiga kata itu yang sekarang ia butuhkan. Tiba-tiba ponselnya berdering menyanyikan lagu dari soundtrack Love Is Cinta. Seseorang call. Segera ia meraih ponselnya yang berada di sampingnya.
                “Deni?” Vita membaca nama Deni yang tertera di layar ponselnya. “Hallo?” sapa Vita setelah mengangkatnya.
                “Hai! Vit? Gimana kabarnya?” tanya Deni dengan riangnya.
                “Baik? Lo sendiri?”
                “Yah, baik juga.”
                “Lama banget sih di Semarang, betah yah?” kata Vita.
                “Memangnya kenapa Vit, lo kangen yah sama gue, sampe segitunya?” dengan tawa kecil Deni mengatakannya.
                “Ih, pe de lo nggak hilang-hilang yah? Oh yah, entar malam minggu gue ultah, dan gue ngadain pesta gitu di rumah gue, lo datang yah? Dan jangan lupa bawa Dava juga?” tutur Vita.
                “Iya, gue udah tahu kok, dari pangeran lo,hehe. Tenang aja, gue usahain datang ke acara ultah lo.” Deni meyakinkan Vita.
                “Thanks yah, oh yah Den, Dava mana? Lo ada di rumah Dava kan?” tanya Vita tak segan-segan. Jujur ia sangat merindukan Dava, merindukan suaranya.
                “Dava…Dava lagi keluar sebentar Vit, di suruh sama mamanya, iya disuruh sama mamanya” jawab Deni.
                “Oh…terus kapan kamu berangkat sekolah….” Mereka terus berbicara. Membicarakan apa saja. Ada untungnya juga Deni menelponnya. Dengan begitu ia bisa tahu langsung dari mulut Deni tentang kedaan Dava. Karena bebarapa hari ini Dava jarang membalas pesannya, dan selama itu Vita berusaha untuk tetap berfikir positif tentang cowoknya itu. hubungan jarak jauh memang seperti ini. Membutuhkan sebuah kepercayaan yang ekstra.
                Disela-sela pembicaraan Vita sempat menanyakan apakah Dava bisa hadir dalam acara ulang tahunnya, tapi Deni dengan ragu menjawab ‘entar diusahakan’ sebuah jawaban yang menurutnya tak pasti.
*
                Malam Minggu pun tiba, itu artinya pesta ulang tahun Vita. Di rumah yang jauh dari keramaian itu ramai dengan tamu-tamu undangan. Dari teman sekolahnya, teman-teman papa, dan keluarga besarnya. dan malam ini pun dunia akan melihat seorang Zee memakai gaun yang cantik secantik orangnya.
                Dengan gaun berwarna biru, Vita duduk di jendela kamarnya, dari sini ia bisa melihat indahnya cahaya bulan di atas langit dengan taburan bintang yang menghiasinya. Terlintas lagi Dava di benaknya. Beberapa kali ia menghubungi ponsel Dava, tapi hanya ada suara operator yang memberitahu bahwa nomor tujuan sedang tidak aktif atau berada di luar jangkaun, Vita cemas Dava tak datang ke pesta ulang tahunnya. Padahal sebelum ia berangkat ke Semarang pernah berjanji akan datang ke acara ulang tahunnya.
                “Vita…” suara Eyang memanggil. Vita menyeka air matanya yang menetes mebasahi pipinya.
                “Sayang, kok malah di dalam kamar sih? Kasihan tuh, yang lain sudah pada menunggu kamu?” kata Eyang “Kamu kenapa, Vita?” Eyang membelai lembut rambut cucunya.
                “Eyang…Dava datang belum?” tanya Vita. Eyang tak langsung menjawab. Vita semakin terlihat murung.
                “Belum, tapi kamu tenang saja. Eyang yakin, Dava pasti datang?” Eyang meyakinkannya.  “Sudah jangan sedih yah? Yuk, kita keluar. Tuh si Zee sama si Bella sudah nyari-nyari kamu?” ajak Eyang. Vita hampir lupa, ia ingin melihat perubahan Zee. Lalu ia dan Eyang menemui tamu-tamu yang sedang mengobrol dengan sesamanya dengan hidangan yang ada.
                “Bella…!” seru Vita menghampiri Bella.
                “My Beiby, cantik banget…” pujinya. Vita hanya tersenyum. “Tapi lebih cantik sahabat kita, yaitu…” “Zee!” ucap Bella dan Vita bersamaan. Zee muncul dari balik pintu ruang tengah. Dengan gaun putihnya Zee layaknya seorang putri karajaan. Ia terlihat sangat cantik. Membuat semua mata memandang ke arahnya. Terutama geng Nana yang melongo melihat perubahan si cewek tomboy.
                “Zee, lo cantik banget?!” Vita begitu takjub dengan penampilan sahabatnya itu. Yang dipuji hanya tersenyum malu. Vita maupun Bella tak melihat sisi tomboy Zee, yang ada sisi femine. Senyum manis yang terlukis dibibir tipisnya. Zee melangkah ke arah sahabat-sahabatnya.
                “Bell, Vit, gue malu banget tahu?” katanya.
                “Ngapain harus malu sih? Udah cantik kayak gini juga.” Timpal Bella. Lalu mereka bergabung dengan yang lainnya. Vita sendiri sibuk menerima ucapan selamat ulang tahun dari semua tamu undangan. Sesekali Vita melihat ke sekeliling, kali saja ada tanda-tanda kehadiran Dava maupun Deni.
                Lalu Eyang memberi tanda agar acara segera dimulai. Vita melangkah menghampiri Eyang yang di depan kue tar yang cantik dengan angka 17 di  atasnya.
                “Eyang, Dava dan Deni udah datang belum?” bisik Vita pada Eyang. Eyang hanya mengelus-elus bahu Vita. Ia tahu jawaban Eyang, Dava dan Deni belum datang juga. Papa menyuruh untuk segara dimulai acaranya, karena para tamu sudah pada datang.  Dengan didampingi Eyang dan Papa serta Alfa acara tiup lilin pun dimulai. Semuanya menyanyikan lagu selamat ulang tahun, kemudian disusul dengan make a wish oleh Vita. Lalu dilanjutkan dengan makan-makan oleh para tamu yang hadir. Vita sendiri memilih duduk di depan rumah saja.
                Di kursi panjang ini, Vita duduk dengan terus memandang langit yang gelap dengan bintang yang menghiasinya.
                “Dava…kenapa kamu nggak datang.” Matanya mulai berkaca-kaca. Malam ini ia sangat merindukan dua orang yang sangat berarti dalam hidupnya. Yaitu, Mama dan Dava. Ia masih ingat dengan perkataan Eyang waktu ia kecil saat di tinggal Mama. Eyang mengatakan pada Vita kecil yang polos kalau Mama menjadi bintang yang terang di atas langit sana. Dan selamanya menjadi bintang yang terang untuk Vita.
                “Mama, Vita tahu, itu pasti mama. Mama liat Vita kan? Vita kangen banget sama mama.” Kata Vita sembari memandang salah satu bintang yang bersinar begitu terang.
                “Ma, ini adalah hari ulang tahun Vita, mama mau kasih kado apa buat Vita?” tuturnya, kini tetesan air matanya jatuh. “Ma, kalau Vita minta permohonan kepada mama boleh nggak. Vita pengen banget bisa ketemu sama mama dan Vita pengen banget ketemu sama Dava, dia pacar Vita.” Ucapnya dengan air mata yang membesahi pipinya.
                “Jangan halangi keindahan dan kecantikan lo dengan tangisan Vit.” Tiba-tiba seseorang mengatakan itu. Vita berbalik, di temukannya Deni berdiri di belakangnya. Dengan segeraVita mengusap air matanya. Lalu Deni duduk di samping Vita.
                “Lo, Den. Bikin kaget aja” kata Vita mencoba untuk tenang.
                “Maaf yah, gue telat. Gue baru aja datang dari Semarang.” Terangnya. Vita mengangguk, memaafkan Deni. Ia tahu perjalanan dari Semarang ke Bandung cukup jauh. Vita melempar pandangannya ke sekeliling berharap Deni datang bersama Dava. Tapi nyatanya, ia tak menemukan Dava,tak ada.
                “Den…Dava mana? Lo nggak bareng dia?” tanya Vita, sesaat Deni terdiam tak menjawab, ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Den….”
                “Sorry Vit, gue ke sisni cuma sendiri. Dava nggak bisa datang, karena Dava sakit.” Terang Deni pelan.
                “Sakit? Kok tiba-tiba?!” Vita pun kaget.
                “Yah, jadi dia nggak bisa ke sini. Lo nggak mau kan, sakit Dava makin parah karena dipaksakan ke sini?” kata Deni, Vita menggeleng pelan. Pandangannya ke bawah, dalam hatinya ia sedikit kecewa karena orang yang sangat ia sayangi tak hadir dalam pesta ulang tahunnya. Deni dapat membaca kekecewaan itu dari tatapan Vita.
                “Dan gue ke sini untuk mewakili sepupu gue. Dava nitip ini buat lo.” Deni mengeluarkan sebuah kado cantik berwarna biru kesukaannya. Vita menerimanya dari tangan Deni.
                “Makasih yah?” ucap Vita.
                “Sudahlah, lo nggak boleh sedih. Masa yang ulang tahun malah sedih seperti ini. Nggak lucu tahu.” Kata Deni berusaha menghibur suasana hati Vita. “Vita yang cantik kaya bidadari, malam ini adalah malam kebahagiaan dan indah  buat lo. Meskipun nggak ada pangeran di sisi lo, gue siap kok jadi penggantinya.” Deni merangkul pundak Vita. Vita hanya tersenyum mendengar perkataan Deni.
                “Kalau mau jadi  penggantinya, berarti gue harus ngalahin si cantik Anggi dulu dong…” dengan tawa kecil Vita mengatakannya. Deni hanya tersenyum mendengar nama Anggi yang tak lain adalah kekasihnya.
                “Ah sudahlah, malam ini biar gue temenin lo, ok my sister.” Katanya dengan tersenyum, membuat Vita merasa melihat sisi Dava dari diri Deni.
                Selanjutnya mereka bercengkrama dengan tawa yang memperlihatkan bahwa Deni berusaha membuat Vita tertawa dan tersenyum. Di dalam rumah tamu-tamu masih dengan hidangannya. Sedangkan Vita dan Deni di depan rumah ditemani ribuan bintang menghiasi langit dan cahaya bulan yang semakin menambah keindahan malam ini.
                Seusai pesta ulang tahunnya, Vita langsung kembali ke kamar. Dengan setumpuk kado yang diberikan sahabat-sahabatnya dan semua tamu undangan. Vita merebahkan dirinya ke tempat tidur. Tiba-tiba Eyang datang dan menghampirinya.
                “Gimana sayang, kamu seneng nggak dengan pestanya?” tanya Eyang. Vita mengangguk.
                “Iya Yang, Vita seneng banget. Makasih yah Yang, apalagi ada papa.” Jawabnya, Eyang hanya tersenyum.
                “Apa sih nggak buat anak papa yang cantik ini.” Tiba-tiba saja papa sudah berada di ambang pintu dengan Alfa di sampingnya. Lalu mereka menghampiri Vita dan Eyang. Vita langsung memeluk papanya, dan mengucapkan terima kasih pada kakaknya, Alfa.
                “Papa, makasih yah Pa, Vita sayang banget sama papa.” Ujarnya. Vita merasa malam ini begitu bahagia, walaupun tak bisa melihat Dava. Tapi dengan kehadiran semua keluarganya itu sudah menghapuskan rasa sedihnya.
                Kemudian Papa, Eyang dan Alfa membiarkan Vita untuk beristirahat. Karena sedari tadi ia sibuk dengan ucapan dari para tamu. Setelah mereka keluar dari kamar, Vita langsung ganti baju tidurnya. Jam sudah menunjukkan pukul 23.00. Dengan jendela kamar yang masih terbuka, Vita duduk di tempat tidur lalu meraih kado dari Dava yang berada di meja.
                Kado itu terbungkus cantik, perlahan ia membuka kado itu. Sebuah bola kecil dengan dua orang yaitu cewek dan cowok yang duduk berdua di sebuah kursi dengan nuansa dingin dan hujan salju. Dan jika sebuah kunci di pasangkan ke bawah bola itu maka akan terdengar nada-nada yang merdu. Sebuah kado yang indah.
                Vita tersenyum melihat bola itu, ia terus memandang bola itu yang mengeluarkan nada-nada indah. Membayangkan wajah Dava dalam benaknya, berharap Dava dapat merasakan betapa saat ini ia sangat merindukannya.
*
                “Vita…” kata Eyang di sampingnya membangunkan Vita yang masih tertidur pulas. Vita pun terbangun. Cahaya mentari langsung dapat ia rasakan dari jendela kamar yang sudah terbuka.
                “Eyang…” Eyang hanya tersenyum lalu memberikan sebuah amplop surat kepada Vita. “Apa ini Eyang?” tanyanya.
                “Tadi pagi Deni datang dan memberikan surat ini kepada Eyang, katanya buat kamu.” Kata Eyang, lalu berlalu meninggalkan Vita dengan sebuah surat di tangannya. Kemudian Vita membuka amplop itu. di sana ada tulisan yang berderet rapi. Dengan seksama Vita membacanya.
Arti Cinta sejati…
Hari-hari begitu indah
Tak ingin ku lewatkan sedikitpun bersamamu
Andai kau ada di sisiku saat ini
Akan kupeluk erat-erat dirimu bersamaku
Sungguh, engkaulah bidadari kecilku
Yang selalu membuatku tersenyum
Tersenyum indah akan pancaran kesetiaanmu kepadaku
Tak kan kusia-siakan belas kasih yang telah kau berikan padaku
Karena kusayang kamu
Ku cinta dirimu dengan segenap hatiku
Dengan seluruh jiwa ragaku
Karena aku merasa engkaulah arti cinta sejatiku…
Yang mencintaimu
Dava
          Membaca kata-kata itu mata Vita berkaca-kaca. Dava membuat kata-kata itu untuk dirinya, dengan kata-kata yang indah dan makna yang menyentuh hatinya. “Dava…” lirihnya memeluk surat itu. ia tak tahu harus berkata apa. Benar yang dikatakan Dava. Tuhan tak pernah salah menciptakan cinta. Dan ia tak salah mencintai Dava.
*
                “Permisi…permisi…” dengan terburu-buru Vita menuju kelasnya. Ia ingin bertemu dengan Deni. Mungkin sekarang cowok itu berada di kelas. Sesampainya di kelas, ia tak melihat sosok Deni di dalamnya.
                “Eh, Wa lo liat Deni nggak?” tanya Vita pada Dewa yang saat itu tekun dengan buku biologinya. Rambutnya yang sudah berdiri tambah berdiri karena menghafalkan nama-nama latin.
                “Tadi dia ke ruang BK.” Jawabnya.
                “Thanks yah Wa.” Lalu Vita langsung berlari ke ruang BK. Di sepanjang jalan ia melihat ke sekeliling sekolah berharap melihat Deni. Sampai di depan ruang BK, kosong. Pak Budi sedang menangani siswa lain, bukan Deni. Vita terduduk lemas di samping pintu.
                Beberapa saat kemudian, Pak Budi keluar, dengan segera Vita langsung menghampirinya. “Permisi Pak, saya mau tanya, tadi Deni datang menemui Bapak yah?” tanya Vita. Pak Budi mengangguk dengan wajah bijaksananya.
                “Oh iya, tadi Deni membicarakan tentang ketidakberangkatannya bulan lalu dan dua minggu ke depannya.” Terang Pak Budi.
                “Dua mingggu ke depan?” seru Vita heran.
                “Iya, dia izin lagi ke Semarang. Ternyata anak itu mendapat amanat untuk mengurusi perusahaan ayahnya.”kata Pak Budi. Vita hanya terdiam, itu artinya Deni sudah berangkat lagi ke Semarang.
                “Jadi artinya, Deni nggak berangkat lagi Pak,” kata Vita. Pak Budi mengangguk. “Ya sudah Pak, makasih.” Lalu Vita pamit dari hadapan Pak Budi dan melangkah pergi. Ia menuju ke taman sekolah, dan duduk di kursi bawah pohon.
                “Gila tuh cowok, main pergi gitu aja. Gue kan belum ngucapin terima kasih padanya.” Gumamnya dalam hati. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Deni.
                “Hallo?”
                “Hallo Vit, sorry yah gue nggak pamit sama lo. Karena papa nyuruh gue segara berangkat. Jadi setelah dari sekolah gue langsung berangkat.” Jelasnya langsung.
                “It’s ok.” Jawab Vita.
                “Oh yah, lo udah terima surat dari Dava.”
                “Iya, tadi pagi Eyang memberikannya pada gue, thanks yah Den, lo udah mau jadi perantara dan jembatan bagi gue dan Dava.” Kata Vita.
                “Sudah menjadi tugas gue itu sih Vit, karena gue juga yang ngenalin lo ke Dava. Gue ngerasa nggak enak sama lo, karena saat ultah lo, gue nggak bisa datang bersama Dava, gue tahu lo kecewa.” Deni tak melanjutkan kata-katanya.
                “Nggak apa-apa kok, yang penting kan lo udah mewakilinya.”
                “Hehehe” deni tertawa kecil. “Vit, udah dulu yah, karena perjalanan masih jauh.” Katanya, lalu telpon tertutup. Lalu pesan dari Dava datang.
                Sayang…maafin aku, krena aku nggak bisa datang ke pesta ulang thun km. dan buat merpati cantikku. Selamat Ulang tahun, semoga kebahagiaan selalu tercurahkan padamu… I Love You Vita…
                Vita tersenyum membaca pesan dari Dava. Meskipun ia tak datang semalam, tapi semua yang dilakukan Dava membuatnya merasa sangat berarti dimata Dava. Membuat Vita berfikir, kalau Dava tak kan meninggalkannya.
                I Love You Too Dava…terima kasih atas semua yg km beri untukku…aku syg km selmanya…J
                Pesan Send. Vita tersenyum-senyum sendiri. mendekap ponselnya. Tiba-tiba Zee dan Bella datang menghampirinya.
                “Duh, kayaknya seneng banget, ada apa sih?” tanya  Bella.
                “Biar gue tebak, pasti kado yang Dava berikan ke lo sangat istimewa yah buat lo,” Zee pun menimpali.
                “Yah, tebakan kalian  benar.” Vita tersenyum manis.
                “Nah, gitu dong. Kita-kita seneng bisa liat lo bahagia seperti ini. Dan thanks buat shobat-shobat gue, dengan kalian merubah penampilan gue semalam, membuat gue sadar kalau perubahan itu perlu terjadi dalam hidup kita. Semalam bokap gue yang biasanya cuek sama gue, tapi sekarang nggak lagi, bokap seneng banget liat gue berpenampilan feminime. Thanks yah shobat.” Zee memeluk Vita dan Bella.
                “Sama-sama Zee, itulah gunanya sahabat. Tidak pernah mempunyai niat untuk merubah kepribadian sahabatnya sendiri. Tapi hanya membuka jalan yang terbaik untuk sahabat kita.” Kata Bella.
                “Kalian semua, sahabat terbaik gue…” Vita merangkul kedua sahabatnya.
***
                Tubuh itu penuh darah, dingin dan beku. Vita tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya memandangi tubuh itu yang tergeletak di tempat yang biasa ia kunjungi bersama Dava. Air mata Vita tak henti, pandangannya tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Yang mempunyai tubuh itu adalah Dava, kekasihnya.
                “Dava, bangun Dava…” Vita mengguncang-guncangkan tubuh Dava, berharap Dava membuka mata. Lalu segerombolan orang datang dan langsung menggotong tubuh Dava pergi. Vita ingin mencegahnya. Tapi ia tak bisa mengenali siapa segerombolan orang itu yang memakai jubah hitam, saat Vita ingin mengejar. Tiba-tiba saja kakinya tak bisa digerakan, tubuh Vita pun kaku, ia hanya bisa menangis melihat segerombolan orang itu membawa pergi Dava.
                “Dava….!” Teriak Vita terbangun dari tidurnya. Keringat membasahi seluruh wajahnya, nafasnya turun naik. “Hanya sebuah mimpi,” desahnya pelan. Vita langsung meraih ponselnya. Jam sudah menujukkan pukul 01.15 dini hari. Mimpinya itu benar-benar membuat Vita khawatir terjadi apa-apa dengan Dava. Ia langsung mengubungi nomor Dava, mailbox. Nomornya tak bisa dihubungi. Vita bingung, perasaannya benar-benar tidak enak. Ia langsung menghubungi nomor Deni. Tak diangkat. Tiba-tiba jendela kamar berderak membuat Vita kaget. Ternyata ia lupa menutup jendela, ia pun bangkit.
                “Ah..!” seru Vita. Tangannya tersayat kaca jendela yang pecah. Darah pun mengalir dari tangannya. Ia heran, perasaan kaca jendela tak pecah saat ia membuka jendela sore tadi. Tapi….
                Begitu selesai menutup jendela. Vita langsung keluar kamar dan membalut tangannya dengan perban. Vita ke kamar Eyang yang tak jauh dari kamarnya. Eyang kaget melihat cucunya dengan wajah yang ketakutan.
                “Vita…kamu kenapa?”
                “Malam ini Vita tidur sama Eyang yah?” kata Vita. Eyang terbengong. Lalu menyuruh Vita masuk kamar. Vita berbaring di sisi Eyang.
                “Vita, tangan kamu kenapa?” tanya Eyang melihat tangan Vita yang terbalut perban. Vita hanya menggeleng. Malam ini perasaannya begitu takut, apalagi dengan mimpinya itu. membuat Vita parno sendiri.
                “Yah, sudah mending kamu tidur aja. Eyang temenin kamu.” Dan malam pun terus merambat. Hanya kesunyian dan kegelapan yang menguasai. Sesekali terdengar suara hewan-hewan malam bersenandung pilu. Dengan sekuat tenaga Vita menghilangkan bayangan Dava yang bercucuran darah di mimpinya. Berusaha menghilangkan mimpi buruk itu.
                Pagi harinya, terdengar suara Eyang memerintah seseorang. Vita terbangun dan langsung keluar dari kamar Eyang. Eyang yang saat itu berada di kamarnya dengan pakaian yang sudah rapi.
                “Eyang…”
                “Sayang, sudah bangun,” kata Eyang. Vita melihat seseorang sedang memperbaiki jendela kamarnya. Ia ingat, semalam tangannya  tergores karena kaca jendela yang pecah.
                “Eyang, jendela itu…” Vita tak melanjutkan kata-katanya.
                “Eyang juga bingung, kenapa kaca jendela itu bisa pecah. Tapi kamu tenang aja, Eyang sudah menyuruh orang untuk memperbaikinya.” Terang Eyang. Vita terdiam. Ia juga bingung, tiba-tiba saja kaca jendelanya pecah.
                “Udah jangan dipikirin, sekarang Eyang mau ke Jakarta diantar sama Pak Parmin. Kamu berangkat sekolah bareng kakakmu saja.” Kata Eyang. Vita mengangguk, lalu beranjak ke kamar mandi Eyang. Ia tak mungkin mandi di kamarnya karena sesorang sedang memperbaiki jendela.
                Dua puluh menit kemudian,Vita sudah siap dengan seragam putih abu-abunya. Eyang yang saat itu sudah berangkat ke Jakarta hanya meninggalkan sebuah sarapan di meja makan untuknya dan Alfa. Sedangkan papa sudah berangkat ke Jakarta seminggu setelah Vita ulang tahun.
                “Vit, kita naik motor aja yah?” kata Alfa yang saat itu sudah rapi dengan jaket birunya. Kakaknya satu ini memang keren, cuek tapi baik. Itulah Alfa. Vita hanya mengangguk. Sebelum ia naik, ia menceritakan tentang mimpinya kepada Dava dengan mengirim pesan.
                Dava…L aku takut banget. Mimpi itu benar-benar membuat aku takut setengah mati akan dirimu. Ku harap km baik2 aja…
                Send, dan tak lama kemudian Dava pun membalasnya.
                Sayang…itu hanya buah tidur. Aku nggak apa2. Km harus percaya padaku…
                “Vita, ayo cepat.” Seru Alfa yang sudah naik di atas motornya.
                “Iya kak…” lalu motorpun melaju. Kali ini Vita tak menolak ketika Alfa mengantarnya sampai depan sekolah. Kontan membuat para kaum hawa terkagum-kagum karena seorang mahasiswa keren datang dengan motornya yang cool. tak jarang orang-orang mengira Alfa adalah pacar Vita. Karena kalau dilihat mereka seperti sebaya, yang satu cantik dan yang satu tampan. Siapa sangka orang-orang akan mengira mereka pacaran. Kecuali Zee dan Bella yang sudah tahu. Tapi, Bella sendiri suka cari perhatian teradap kakaknya.
                “Tuh kan, kakak sih ngantarnya sampai sini, orang-orang jadi ngira kita pacaran kan?” sungut Vita, merasa malu ketika siswa-siswi berlalu lalang melihat ke arah dirinya dan Alfa. Dengan tenang-tenang saja, Alfa membuka helmnya. Wajah tampannya pun terlihat.
                “Aduh, pakai lagi helmnya…” pintaVita.
                “Apaan sih, gerah tahu. Kata Eyang semalam lo ketakutan, karena gue takut lo malah bengong di jalan, mending gue antar lo sampai depan. Tenang aja, gue nggak akan bikin cewek-cewek di sekolah lo jadi suka sama gue…” katanya melihat eskpresi Vita yang manyun-manyun.
                “Gimana cewek-cewek nggak suka liat kakak sekeren ini.” Tutur Vita. Alfa hanya tersenyum. “Lagi-lagi kalau mau ngantar Vita ke sekolah kak Alfa harus pake topeng.” Katanya.
                “Lo ini ada-ada aja. Sekalian aja gue pake baju kakek-kakek biar nggak ada yang ngelirik gue.” Timpal Alfa, Vita tertawa kecil. Tiba-tiba suara Bella yang nyaring itu terdengar. Dengan terburu-buru Bella yang disusul dengan Zee langsung menghampiri Vita dan Alfa.
                “Hai kak Alfa, tumben ngantar Vita sampai depan. Pasti pengen liat Bella yang manis ini yah?” katanya dengan gaya sok kecentilan. Vita di buat heran, karena kini Zee juga ikut-ikutan ngecengin kakaknya. Tuhan…ternyata Zee sudah tertular sifat centil Bella. Gumamnya heran.
                “Enak aja, kak Alfa ke sini pengen liat Zee kan kak?” sela Zee. Alfa hanya tersenyum-senyum sendiri melihat tingkah sahabat adiknya. Tapi dasarnya sudah kenal dengan Bella dan Zee kini Alfa tak lagi cuek tidak seperti pertama kali bertemu dengan Bella dan Zee.
                Karena dirasa tak sanggup melihat kecentilan sahabat-sahabatnya. Vita ngeloyor begitu saja memasuki gerbang sekolah. Membiarkan kakaknya bersama Bella dan Zee. Siapa suruh ngantar sampai sini, akibatnya di kerubutin cewek kan? Batinnya.
                “Vita!” teriak seseorang memanggil namanya. Vita menole ke belakang. Affan berlari ke arahnya. Begitu di depan Vita, Affan sibuk mengatur nafasnya. Aduh, cowok ini lagi…
                “Vita, itu kakakmu yah?” tanyanya. Vita mengangguk menjawab pertanyaan Affan. “Tangan kamu kenapa?” ia melihat ketangan Vita.
                “Oh, nggak kok. Ini cuma kegores sedikit,” Affan mengangguk-angguk. “Mana Nayla…” Vita melihat ke sekeliling, tak ada Nayla.
                “Kamu ini, dia masuk ke sekolahnya lah, masa ke sekolah kita sih?” kata Affan. Vita menggigit bibirnya. Lagi-lagi ia salah. Sering kali Vita menganggap Nayla sekolah yang sama dengan Affan, karena ia sering melihat Affan dan Nayla bersama. “Oh yah, aku mau ngucapin terima kasih sama kamu karena kamu sudah membuka mata hatiku, sudah memberikan sebuah pengertian sayang yang sebenarnya terhadapku. Kini aku mengerti tentang semua ketulusan cinta Nayla terhadapku, aku akan berusaha membahagiakan Nayla, Vit.” Terangnya. Vita hanya tersenyum. Ia ingat ketika suatu hari menjelaskan kepada Affan tentang ketulusan Nayla terhadapnya. Vita berusaha membuka mata hati Affan yang _dulu mencampakkan Nayla dan selalu mengejarnya.
                “Iya sama-sama, karena Nayla dan kamu adalah…temanku.” Katanya. Kini mereka berjalan beriringan menuju kelas masing-masing. Vita selalu berkeyakinan kalau cinta itu tak bisa dipaksakan. Ia sendiri tak pernah memakasa Affan untuk menyayangi Nayla seperti Nayla menyayanginya. Tidak menyuruh Affan menerima semua cinta Nayla. Tapi ia bisa melihat kalau sebenarnya Affan juga menyayangi Nayla, hanya saja Affan belum yakin. Dengan keoptimisannya, hari itu pun Vita berniat menumbuhkan keyakinan Affan dan membantu Nayla mendapatkan cinta yang seharusnya ia dapatkan.
*
                Siang yang cukup panas. Dengan di temani minuman dingin, Vita duduk di taman sekolah, jam istirahat masih panjang. Lumayan untuk sms-an sama pangerannya, si Dava. Ia mulai mengetik beberapa kata di ponselnya.
                Hai, sayang…lg ngpain? Aku kangen sm km, bnyk hal yg mo aku ceritakn sm km…
                Lalu pesan send, dan terkirim. Kembali ia minum. Sesaat tak ada balasan dari Dava. Vita berfikir positif, mungkin Dava sedang sibuk. Pasti lima menit lagi juga dia akan balas. Tapi ternyata tidak, tujuh menit berlalu, tetap tak ada balasan. Tidak biasanya Dava seperti ini. Lalu Vita membuka buku bersampul birunya, sejurus kemudian Vita tenggelam membaca tulisan tangan Dava yang dua minggu lalu ia terima dari Deni. Tulisan yang mengandung makna cinta yang besar. Dan itu semua Dava tunjukan padanya.
                Kembali ia melirik ponselnya, tak ada balasan dari Dava. Tiba-tiba terdengar suara bel. Tanda istirahat kedua sudah selesai. Dengan agak malas Vita bangun dan melangkah menuju kelas yang tak ada habisnya membuat keributan itu. Dan atas tingkah teman-temannya kelas itu mendapat julukan ‘monster class’. Kelas pilihan tapi anak-anaknya monster-monster semua.
                Vita duduk dan memanjakan punggungnya bersender di kursi. Seperti yang ia fikir, kelas ramenya minta ampun. Setiap guru yang masuk kelas ini pasti terlambat, dengan alasan ‘ada urusan sebentar?’ padahal hanya ingin mengurangi kepusingan menghadapi murid-murid XII.IA 1 yang tetap rame.  Setiap guru mendapat giliran mengajar 2 jam, jadi mengurangi jam belajar sedikit menjadi 1 jam 30 menit. Kecuali guru-guru killer, seperti guru mata pelajaran Fisika, Kimia, Matematika. Tiga mata pelajaran yang bersaudara angka-angka itu sama seramnya dengan gurunya. Hehe…
                Tiba-tiba sosok cewek cantik melangkah anggun kearahnya. Anggi, nama cewek itu. Siapa lagi kalau bukan ceweknya penggila bola, si Deni.
                “Hai! Vit?” sapanya dengan ramah. Meski beda kelas tapi Anggi cantik, PD alias percaya diri saja masuk kelas lain, apalagi ini kelas pacarnya sendiri.
                “Hai! Nggi” balas Vita tersenyum. Mata indah Anggi mengitari seisi kelas yang ramenya minta ampun. Vita langsung bisa menebak siapa yang Anggi cari. Siapa lagi kalau bukan Deni.
                “Deni masih nggak berangkat yah?” tanya Anggi. Vita mengangguk.
                “Iya, dia masih di Semarang, Nggi. Kangen yah?” kata Vita. Anggi tersipu malu.
                “Oh yah, gue nitip ini yah,” kata Anggi mengeluarkan buku catatan Deni. “Ini buku catatan Deni, gue mau kasih ke dia langsung tapi dianya nggak berangkat-berangkat, yah udah gue nitip ke lo aja yah Vit, lagian rumah lo juga nggak jauh-jauh amat kan sama Deni?” tutur Anggi. Vita hanya mengangguk.
                “Yah udah Vit, gue ke kelas dulu, bye…” lalu Anggi berbalik meninggalkan kelas Vita. Kini buku catatan itu berpindah ke tangannya. Vita memandang tubuh semapai Anggi.
                “Pinter juga si Deni bisa dapatkan cewek cantik kayak Anggi” gumam Vita dalam hati. Lalu ia membereskan buku-bukunya masuk kedalam tas. Tiba-tiba seseorang menabraknya, membuat buku catatan Deni dan buku bersampul birunya terjatuh.
                “Ops! Sorry Vit, gue nggak sengaja. Gue di kejar sama Leon, sorry yah Vit” kata Dewa cowok jangkung itu terus menunduk-nunduk minta maaf.
                “Mau di kejar Leon kek, anjing gila kek, terserah lo, Wa. Tapi yang hati-hati dong, sakit nih gue” sungut Vita.
                “Yah, sorry deh Vit,”
                “Yah udah nggak apa-apa”
                “Thanks yah, Vit” Dewa bersiap-siap merentangkan kedua tangannya memeluk Vita. Segera Vita menunjukan kepalan tangannya. Membuat Dewa mundur dan pergi.
                Vita langsung mengambil buku-bukunya. Ia tertugun diam, memandang kearah buku-buku itu. Bingung dan kaget Vita melihat tulisan di buku catatan Deni dengan kertas Dava di buku  bersampul birunya. Ia letakkan buku-buku itu di atas meja.
                “Ini…tulisan Deni” desahnya bingung, kembali ia buka halaman-halaman yang lain buku catatan Deni. Semua tulisannya sama, tak ada yang beda. Dan juga sama seperti tulisan Dava di kertas yang dua minggu ia terima dari Deni. Lalu ia langsung mengambil kertas selembar yang Dava berikan waktu pertama kali jadian. Ia sangat yakin ini benaran tulisan Dava, karena ia sendiri tahu waktu Dava menuliskannya.
                Vita bandingkan kembali, antara catatan Deni, kertas yang dari Deni atas nama Dava, dan selembar kertas milik Dava. Vita benar-benar tak percaya, selembar kertas yang dari Dava sama sekali tidak mirip dengan tulisan di keduanya.
                “Ja…jadi…Deni yang nulis kata-kata ini” ia tak percaya dengan semua ini. Vita terdiam, ia ingin meneteskan air matanya. Deni telah membohonginya, Deni telah menipunya dengan berpura-pura jadi Dava.  Ia tak mngerti maksud Deni melakukan semua ini. Hatinya marah pada Deni.
                Pulang sekolah Vita langsung menelfon Deni, dan dengan kekesalannya ia langsung marah-marah. “Gue nggak nyangka Den, lo ngelakuin ini sama gue. Maksud lo apa, hah?!” Vita emosi. Deni yang menerima telpon hanya terdiam bengong.
                “Maksud lo apa sih, Vit?” tanya Deni tak mengerti.
                “Udahlah jangan belaga sok nggak tahu deh!”
                “Sumpah Vit, gue nggak ngerti” Vita benar-benar marah.
                “Maksud lo apa dengan nulis kata-kata ke gue atas nama Dava, apa Den? Lo udah bohongi gue, lo udah tipu gue” katanya. Deni tertegun mendengar penuturan Vita. “Lo inget sama kertas yang dua minggu lalu lo kasih ke gue. Tulisan di kertas itu sama sekali bukan tulisan Dava, tapi tulisan lo, iya kan Den?” Deni terdiam tak menjawab. “Kenapa lo diem, omongan gue benar kan?”
                “Lo tahu darimana, Vit?” tanya Deni mulai cemas. Vita mendesah. Kemarahannya semakin memuncak. Deni yang menulis semua itu. “Vit, lo harus percaya sama gue. Gue sama sekali nggak bermaksud buat bohongi lo. Gue ngelakuin ini karena ada alasan tertentu”
                “Apa? Apa alasan lo!”
                “Gue…gue…”
                “Udahlah gue nggak mau denger apapun dari mulut lo!” lalu Vita langsung mematikan ponselnya. Airmatanya menetes. Selama ini Deni telah membohonginya. Menjadi Dava yang selama ini ia rindukan. Lalu Vita mengirim pesan singkat untuk Dava.
                Aku benci banget sama Deni, Va. Aku marh sm dia. Dia bohongi aku…L
                Pesan send. Tak  ada laporan terkirim. Vita semakin kesal, ia langsung call nomor Dava. Tapi hanya terdengar suara operator yang mengoceh. Nomor Dava tak aktif, lalu langsung melempar ponselnya ke tempat tidur.
                Beberapa kali Deni mencoba telpon balik. Tapi tak Vita hiraukan. Ia benar-benar marah sama Deni. Deni telah mempermainkan perasaannya, Deni menipunya. Belasan kali Deni mencoba menelpon Vita, tapi dasarnya orang lagi marah, Vita terus membiarkan ponselnya bergetar. Air matanya mulai jatuh. Dan saat telpon ke lima belas  kalinya Vita mau mengangkat.
                “Ada apa lagi sih lo!” bentak Vita kasar.
“Gue mau ngomong sesuatu sama lo?” kata Deni di hp canggihnya. Vita yang masih setengah mati keki sama Deni menanggapinya dengan acuh. Bahkan ia beniat untuk mematikan ponselnya.
                “Bukannya lo udah ngomong sekarang? Udah yah, gue males tahu nggak ngomong sama orang kaya lo” katanya ketus.
                “Vit, lo boleh marah sama gue, tapi kali ini gue mau ngomong serius sama lo” Deni berusaha meyakinkan.
                “Apa lagi sih?!”
                “Gue harus ngomong sama lo dan harus ketemu” ujarnya lagi.
                “Gue nggak mau!” Vitapun masih sama dengan keketusannya.
                “Please Vit, ini tentang Dava” kata Deni terus berusaha membujuk Vita agar ketemu dengannya. Mendengar nama Dava Vita langsung terdiam, cowok  yang sangat ia rindukan.
                “Dava…” lirihnya. Lirihan yang masih dapat terdengar oleh Deni.
                “Yah Dava, ini penting Vit, sekarang juga gue kerumah lo” katanya. Vita masih tak menjawab. “Dava, aku kangen sama kamu?” batinnya dalam hati.
                “Bukannya lo ada di semarang”
                “’Gue udah pulang barusan, sekarang gue  kerumah lo yah?” seketika telpon mati. Ada perasaan takut langsung menghinggapi hatinya. Vita tak  tahu rasa takut apa itu? Seharusnya  ia harus senang karena Deni akan membawa kabar tentang Dava padanya. Tapi kali ini beda. Ia terduduk lemas di kursi kamarnya.
                Tujuh menit kemudian Deni sudah berada di depan pintu rumah Vita. Vita yang saat itu hanya sendiri dirumah langsung mengajak Deni ke taman belakang rumahnya. Melihat Deni, Vita seakan melihat Dava. Karena Dava dan Deni hampir mirip. Kini kemarahannya mereda, demi Dava.
                “Lo mau ngomong apa tentang Dava, gue harap lo nggak boong lagi Den sama gue” kata Vita pelan. Deni menarik  nafas lalu menghembuskannya perlahan. Berat baginya untuk mengatakan semua ini pada Vita. Tapi mau tidak mau ia harus mengatakannya jika ia ingin semua kebohongan ini tidak berlanjut.
                “Tapi sayangnya ini tentang kejujuran yang sebelumnya gue tutupi” kata Deni pelan. Vita terbelalak kaget.
                “Sebenarnya ada apa sih, Den” Vita semakin penasaran karena berbelit-belit Deni berbicara.
                “Gini deh, gue tanya sama lo. Selama ini lo percaya kalau Dava nggak ninggalin lo” tanya Deni. Vita terdiam, lalu mengangguk  pelan. Deni menghempaskan tubuhnya ke kursi. Siang yang teduh dengan pohon-pohon rindang di belakang rumah Vita. Tapi keteduhan yang sama sekali tak bisa Deni rasakan saat ini. Vita semakin bingung.
                “Sebenarnya ada apa sih Den?” ulang pertanyaan Vita. Ia melihat kearah Deni yang semakin terlihat cemas. Perlahan Deni meraih tangannya, Vita terdiam, dirasakannya tangan Deni begitu dingin.
                “Sebelumnya gue mau minta maaf sama lo, Vit.” Kata Deni semakin erat ia menggenggam tangan Vita. “Sebenarnya…sebenarnya Dava udah nggak ada, Dava…Dava udah meninggal” akhirnya kata-kata itu keluar dari mulut bekunya. Sedangkan Vita seketika kaget mendengar penuturan Deni dan langsung melepaskan genggaman tangannya.
                “Lo ngomong apa sih?! Sama sekali nggak lucu tahu nggak?  Kalau lo pengen gue nggak marah, jangan melucu seperti ini?!” Vita kesal mendengarnya.
                “Tapi gue sama sekali nggak bercanda Vit, demi Tuhan  ini benaran, Vita?” kata Deni berusaha meyakinkan cewek cantik itu. Kejujuran yang tidak bisa Vita terima, dan menganggap omongan Deni adalah bohong. Lalu Vita bangun dari duduknya.
                “Gimana gue mau percaya sama omongan lo, sedangkan tiap hari gue sama Dava selalu kontek-kontekan, dia selalu kirim sms, dia selalu kabari gue. Gimana bisa Den, lo ngomong seperti itu, immposible  banget tahu nggak” Vita tak  percaya dengan perkataan Deni
                “Itu karena gue yang kabarin lo!” ujar Deni langsung. “Selama ini, gue yang sms lo, gue yang selalu kasih tahu kabar ke lo, gue yang selama ini jadi Dava” tutur Dava menatap mata Vita lekat. Vita hanya menggeleng-gelengkan kepala tetap tidak percaya.
                “Lo  semakin gila Den, omongan lo benar-benar nggak waras. Itu nggak mungkin lo, itu pasti Dava. Dava nggak mungkin ninggalin gue, omongan lo itu semuanya bohong, bohong!” seru Vita marah. Deni berusaha menarik tangan Vita, tapi Vita dengan ketidakpercayaannya malah mundur menghindari Deni.
                “Vit, percaya sama gue, gue sama sekali nggak bohong. Selama satu bulan ini gue yang jadi Dava, gue yang selalu kabari lo. Dava sebenarnya udah nggak ada, Vit”
                “Nggak! Lo bohong, Den. Lo bohong?!”
                “Kalau emang gue bohong, sekarang gue tanya apa pernah Dava telfon lo, apa pernah lo denger suara Dava?”  tanya Deni memancing kepercayaan Vita. Vita hanya terdiam menunduk. Deni benar kurang lebih sebulan ia tak pernah mendengar suara Dava. Dava tak pernah menelponnya, Dava hanya kirim sms, tak lebih.
                “Nggak kan, Vit?! Itu karena gue yang pegang nomor Dava. Gue tahu seandainya gue telfon, lo akan langsung ngenalin suara gue, bukan Dava” jelas Deni. Tapi Vita tak langsung percaya begitu saja. Ia menganggap sms itu  benar dari Dava, bukan Deni.
                “Gue ingetin lagi, dua minggu yang lalu, saat lo ultah apakah Dava datang, nggak kan? Hanya gue sendiri yang datang membawa kado dari Dava, dengan alasan Dava sakit. Terus apa lo liat gue sebulan ini di Bandung, nggak kan Vit, karena gue di Semarang. Lalu, apa lo juga pernah denger gue bareng Dava becanda di saat gue telpon lo menjelang ultah lo, padahal saat itu gue di Semarang, nggak kan?” Deni kembali mengulang semua kejadian sebulan yang lalu. Vita mulai berkaca-kaca, hatinya mulai runtuh, bahkan untuk bernafas ia sulit.dan kemudian airmatanya mengalir deras.
                Ia terjatuh lemas di lantai, memandang dunia kosong.
                “Nggak, nggak mungkin Dava pergi ninggalin gue, nggak mungkin…” Vita berusaha mempertahankan ketidakpercayaannya. Tapi bukti yang Deni katakan membuat sebagian ketidakpercayaannya runtuh.
                “Vita, ini kenyataannya. Sebulan yang lalu kanker ganas mengambil nyawa Dava. Sudah lama Dava mengindap penyakit ini. Sebuah kanker ganas yang menyerang otak Dava.” Terang Deni tentang penyakit sepupunya. Semakin runtuhlah benteng hati Vita.
                “Sebelum Dava pergi, dia nggak mau lo tahu keadaannya, bahkan dia nyuruh gue berpura-pura jadi dirinya yang selalu memberi kabar ke lo setelah dia benar-benar menghadap Tuhan”
                “Dava…Dava nggak mungkin pergi, nggak mungkin!!!” teriak Vita histeris. Deni langsung menghampiri Vita dan merangkulnya, membiarkan Vita menangis dalam rengkuhannya. “Dava Den, Dava masih ada, gue yakin dia masih ada” airmata Vita tak henti. Yang Deni khawatirkan terjadi juga, Vita begitu terpukul dengan berita ini. Tapi Deni tak bisa selamanya menyembunyikan kebenran yang sesuangguhnya. Dava telah tiada.
* * *
Dua bulan yang lalu…
                Sore yang dingin di rumah Deni, Bandung. Di kamar yang tidak terlalu besar itu Dava terbaring di kamar Deni. Sesekali ia menggeleng-gelangkan kepalanya menghilangkan rasa sakit di kepalanya. Tapi ia tak dapat menyembunyikannya pada Deni yang saat itu asyik main game di laptopnya.
                “Lo kenapa, Va?” tanya Deni melihat Dava yang duduk bersender dengan muka yang pucat. Dava hanya menggegeleng. “Lo sakit” Deni langsung menghampiri Dava.
                “Gue nggak apa-apa kok, Den” jawabnya menahan sakit pada kepalanya yang kian terasa seperti memukul-mukulnya.
                “Yang bener lo, muka lo udah pucat gitu?”
                “Tenang aja, gue nggak apa-apa. Oh yah, entar besok pagi temenin gue kerumah Vita yah, gue mau pamit pulang ke Semarang” pintanya pada Deni. Deni langsung mengangguk semangat ’45. “Gue ke kamar mandi dulu yah?” lalu Dava bangkit dari tempat tidur Deni. Di rasakannya kepalanya semakin sakit, kakinya tak kuat untuk berjalan. Dengan sisa kesadaran ia berusaha memegang dinding kamar, begitu sampai pintu tiba-tiba Dava ambruk tak sadarkan diri.
                “Dava, Dava lo kenapa?!!” Deni langsung berhambur kearah Dava.
                Sore itu juga Dava di bawa kerumah sakit. Di dalam kamar nomor 4 Dava berada. Deni tak mengerti apa yang terjadi dengan sepupunya. Orang tua Dava juga datang kerumah sakit. Begitupun dengan orang tuanya. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Dava? Batin Deni. Ia melihat tubuh Dava terbaring lemah dengan alat-alat medis yang terpasang di tubuhnya. Sebegitu parahkah sakit Dava. Padahal kemarin ia masih bisa bercanda dengan Dava.
                “Deni…” tegur orang tuanya.
                “Iya pa, ma”
                “Keluar dulu yuk, Om dan Tante pengen liat Dava” kata mamanya. Deni mengangguk dan keluar kamar. Sekilas ia melihat wajah Om dan Tantenya murung, dan kelopak mata mereka sembab seperti habis menangis. Begitupun dengan orang tuanya tergambar juga raut wajah kesedihan. Rasa ingin tahunya membuat ia bertanya pada orang tuanya saat di depan kamar rawat Dava.
                “Sebenarnya apa yang terjadi dengan Dava sih, Ma, Pa?” tanya Deni. Seketika papa dan mama saling pandang. Deni mulai merasa ada yang tak ia tahu dari orang tuanya. “Ma, pa, kok diem, Dava  kenapa?” tanyanya sekali lagi.
                “Dava…Dava terkena kanker, Den” kata papanya. Deni tersentak kaget.
                “Kanker?” Deni mengulang nama penyakit menyeramkan itu. Lalu mengalirlah cerita dari mulut papa dan mamanya. Deni tak bisa percaya dengan apa yang di ceritakan papa mamanya. Semuanya bagai mimpi buruk. Ia sama sekali tak pernah menyangka Dava akan mengalami semua ini. Deni hanya tertunduk diam mendengar penjelasan orang tuanya.
                Malam terus bergulir…
                Dengan sedikit mengantuk Deni setia menjaga sepupunya, Dava. Tiba-tiba terdengar suara memanggilnya.
                “Den…” lirih Dava. Deni langsung berhambur menghampiri Dava.
                “Lo kok tidur sih, bukannya jagain gue” ledek Dava, membuat Deni tersenyum.
                “Lo butuh apa Va, biar gue ambilin” kata Deni.
                “Gue butuh Vita, Den” sambil tersenyum Dava mengatakannya.
                “Huuu..dasar, udah sakit masih aja pengen pacaran.  Udah pikirin aja dulu kesehatan lo” saran Deni terlihat perhatian.
                “Tumben lo baik  sama gue…”tanya Dava heran melihat tingkah Deni yang perhatian padanya.
                “Di suruh sama mama papa dan om tante juga suruh gue jagain lo” jawab Deni sekenanya. Padahal ia nungguin Dava karena keinginannya sendiri. Ada sesuatu hal yang ingin ia tanyakan pada Dava. Sesaat tak ada yang berbicara. Hanya terdengar suara percikan dari selang infus yang  mengalir pada tubuh Dava yang masih lemah.
                “Va…” ucap Deni, Dava langsung melihat kearahnya. “Gue udah tahu apa yang terjadi sama lo. Kenapa sih Va, lo nggak bilang sejak dulu ke gue” kata Deni. Dava terdiam, senyum candanya hilang seketika mengingat keadaannya sekarang ini.
                “Tapi sekarang lo dah tahu kan?”jawabnya.
                “Lo jangan sok kuat deh Va, meskipun gue bego, tapi gue ngerti keadaan lo sekarang ini. Tadi gue udah di kasih tahu papa mama tentang hidup lo, kalau lo…” Deni tak melanjutkan kata-katanya.
                “Gue akan mati, gitu kan, Den? Gue juga udah tahu kok,?” sela Dava dengan senyum kecutnya. Deni terdiam. “Sorry kalau lo denger ini dari om dan tante bukan dari gue sendiri. Awalnya papa dan mama juga nggak gue kasih tahu. Penyakit ini sudah lama bersarang di tubuh gue. Dokter mengatakan hidup gue nggak akan lama, tapi ternyata Tuhan masih sayang sama gue dalam dua tahun terakhir ini” terang Dava. Sesaat tak ada yang bicara, mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing.
                “Lalu Vita…” lirih Deni teringat dengan cewek cantik bernama Vita. Kalau Vita tahu ia mungkin akan lebih sedih dari dirinya.
                “Soal Vita, gue minta sama lo jangan kasih tahu dia. Apapun yang terjadi lo jangan kasih tahu dia, gue nggak mau Vita sampai sedih” pinta Dava.
                “Va, kalau gue tahu keadaan lo kayak  gini, gue nggak akan nyetujui lo merelakan Vita bersama Affan. Kalian saling mencintai, tapi kenapa lo malah nyuruh Vita sama tuh cowok” Deni mulai emosi teringat beberapa minggu yang lalu Dava menyuruh Vita untuk bersama Affan cowok kaya yang memanfaatkan kerja sama dengan papa Vita.
                “Gue nggak mau ngekang Vita dalam cinta gue, gue sangat mencintainya. Lagian keadaan gue kayak gini, gue nggak selamanya bisa bersama Vita” kata Dava pelan. Kini Deni mulai mengerti maksud Dava. Ia sendiri bertekad akan membantu sepupunya itu.
                “Lo jadi besok pulang?” tanya Deni kemudian. Dava mengangguk. “Tapi Va, kondisi lo masih lemah, udahlah beberapa hari ini lo disini aja. Gue yakin Om dan Tante juga akan mengerti”
                “Nggak bisa Den, gue udah absen sekolah satu minggu. Dan gue minta sama lo jangan khawatirin keadaan gue?” pinta Dava. Deni terdiam, bingung. “Dan untuk besok, lo harus temenin gue kerumah Vita”
                “Tapi…”
                “Den, gue mohon. Sebelum gue ke Semarang, gue pengen ketemu dia. Lo harus bantu gue yakinin keadaan gue sama papa mama, kalau gue udah baikan” Deni berfikir. Lalu mengangguk.. “Thanks yah, Den. Lo emang sepupu gue yang paling baik” lanjut Dava dengan senyum mengembang di bibirnya. Sedangkan Deni membalas senyum itu dengan ragu. Ia tak tahu apakah kesanggupannya tadi membantu Dava keluar rumah sakit itu terbaik untuk Dava. Entahlah, ia hanya ingin membuat hati Dava bahagia.
~
                Minggu paginya, Deni dan Dava berhasil meyakinkan kedua orang tua Dava tentang keadaannya. Dan dengan wajah yang masih terlihat pucat Dava sudah siap dengan sweiter birunya. Ketika akan keluar dari rumah tiba-tiba mama Dava berhambur memeluknya.
                “Dava…kamu yakin mau pulang sekarang? Kondisi kamu masih…” belum sempat mama melanjutkan kata-katanya, Dava langsung memotong.
                “Mama…percaya sama Dava, Dava akan baik-baik saja Ma. Selama masih ada mama, selama itu juga Dava akan bernafas.” Katanya sembari tersenyum. Wanita cantik itu tak kuasa menahan air matanya. Dengan lembut Dava menghapus air mata itu.
                “Mama nggak boleh nangis, mama malaikat pelindung Dava. Dan dava nggak akan biarkan mama sedih” kata Dava.
                “Dava harus janji sama mama, kamu nggak akan kenapa-napa” ucap mamanya. Dava mengangguk yakin lalu mencium punggung tangan mamanya. Dari atas Deni terdiam melihat tantenya menangis melihat Dava. Ia yakin, bukan hanya tantenya yang sedih, tapi seisi rumah ini yang sudah tahu kondisi Dava sejak awal.
                Lalu Deni turun dan langsung menghampiri Dava dan tantenya. “Udah siap bos?” katanya pada Dava. Dava mengangguk. Lalu Deni juga pamit pada tantenya. Begitu membuka pintu, udara sejuk langsung menyapa mereka. Dengan menaiki motor Dava dan Deni meluncur menuju tempat yang biasa Vita datangi. Disanalah Dava akan bertemu untuk terakhirnya.
~
                Dua minggu sudah Dava berada di Semarang…
                Malam semakin larut. Tapi entah kenapa, Deni sama sekali tidak bisa memejamkan kedua matanya untuk tidur. Fikiran melayang entah kemana? Sudah beberapa kali ia rubah posisi tidur, tapi tetap saja, ia tak dapat memejamkan kedua matanya. Tiba-tiba hpnya berdering menyanyikan lagu Saat Terakhirnya dari ST 12. Nama Mama tertera di layar hpnya. Sudah dua minggu mama dan papa berada di Semarang di rumah Dava. Sedangkan ia harus dirumah karena sekolah.
                “Halo, Ma?” sapanya. Terdengar suara mama yang berat menahan tangis. “Ma, mama kenapa?” Deni mulai khawatir mendengarnya.
                “Dava Den, Dava?” kata mama dengan tangis.
                “Dava kenapa ma?”
                “Dava kritis, kamu cepat kesini” kata Mama. Deni tersentak kaget. Lalu mama memberitahu dimana Dava dirawat. Dan sejurus kemudian Deni langsung bergegas keluar dan langsung melaju dengan mobilnya. Ia tak peduli dengan malam yang semakin larut. Ia harus ke Semarang sekarang juga. Dava, bayang-bayang sepupunya terus terlintas di benaknya.
                “Dava, lo harus baik-baik saja. Demi Tuhan, lo nggak boleh pergi Va” Fikirannya mulai kalut. Deni terus mengendarai mobilnya. Ia masih ingat pesan mama supaya mengemdi mobil jangan ngebut, bahaya.
                Hampir subuh Deni sampai di rumah sakit seperti yang mama bilang. Mama langsung menghampiri Deni, memeluknya.
                “Ma, Dava gimana?” tanya Deni langsung. Om tante serta papanya duduk di kursi dengan cemas dan mata yang sembab. Deni sudah dapat membaca apa yang terjadi dan di rasakan sama semua orang yang berada di sini. Deni melihat ke kamar yang tertutup. Yah, pasti Dava ada di dalamnya.
                “Ma…Dava?” Denipun tak kuasa lagi menahan air matanya.
                “Dava tak bisa di temui, Den. Kondisi Dava benar-benar kritis. Kita semua hanya bisa berdoa untuk Dava” jelas omnya. Om terlihat berusaha kuat menghadapi semuanya. Deni terduduk lemas. Ia tak tahu apa yang akan ia katakana kepada Vita tentang kondisi Dava sebenarnya.
                Semuanya terjaga di depan pintu kamar Dava. Semuanya tak ingin melewatkan kabar dari dokter tentang kondisi Dava. Beberapa saat kemudian dokter keluar dari kamar Dava. Wajahnya di tekuk menyerah. Segera Om dan Tante berhambur kearahnya.
                “Dok, gimana dengan anak saya” sergah Tante langsung. Semuanya langsung berkumpul. Dokter yang sejak  awal menangani Dava hanya menggeleng. Kembali hati mereka manangis.
                “Kondisi Dava benar-benar kritis. Sekarang tidak ada yang tahu kapan Tuhan akan memanggilnya” ucap dokter. Tante langsung menangis di dada Om. Orang tua Deni tertunduk sedih. Lalu dokter memperbolehkan, mereka masuk ke kamar.
                Dava terbaring lemah dengan mata yang terpejam. Wajahnya pucat, tak ada senyum di bibirnya. Om dan Tante menciumi tangan dan kening anak semata wayangnya. Semuanya memandang pedih kearah Dava. Pandangan yang mengharapkan Dava membuka matanya. Mentari mulai terbangun, embunpun mulai hilang. Sinar terangnya terpancar menyinari dunia. Hari mulai memasuki pagi.
*
                “Vit, gue minta bantuan lo?” kata Dava di saluran telponnya.
                “Apa?”
                “Gue nggak berangkat dan mungkin untuk waktu yang lama. Entar juga ada surat keterangan dari keluarga gue, dan di titipkkan ke  lo” terang Deni.
                “Lo dimana Den?”
                “Gue di Semarang…” lalu Deni  menjelaskan semuanya, tentu tidak dengan menjelaskan keadaan Dava yang sebenarnya. Kebohongan yang Deni lakukan, demi Vita dan Dava.hari itu juga Deni berada di rumah tantenya. Dan untuk waktu yang lama, mungkin. Dan untuk  menemani Dava tentunya.
                Musim kemarau tetaplah musim kemarau. Angin berhembus menerbangkan pasir-pasir kecil. Dan tak ayal lagi daun yang sudah ranum pasti akan jatuh berguguran. Tak ada yang dapat mencegah daun untuk tidak gugur. Begitupun dengan keadaan Dava, makin hari keadaannya semakin mengkhawatirkan, sebentar ia siuman secepat itu juga ia tak sadarkan diri. Om , tante dan kedua orang tua Deni tak pernah lelah menjaga Dava. Dan hari ini Dava semakin memburuk keadaannya.
                “Ma, Dava pengen ngomong sesuatu sama Deni, sekarang Ma” kata Dava pelan pada mamanya. Segera ia memanggil Deni dan meninggalkan mereka berbicara berdua. Deni duduk di samping Dava yang tak dapat menyembunyikan sakitnya.
                “Ada apa, Va?” tanya Deni. Dava menghela nafas beratnya.
                “Dengerin perkataan gue baik-baik Den, gue nggak mau sampai mengulangnya” katanya. Deni mengangguk  mengerti. “Waktu gue nggak lama lagi, Den?”
                “Lo ngomng apa sih, Va” potong Deni langsung.
                “Nggak ada yang bisa melawan takdir  Den, takdir gue seperti ini. Dan sebelum gue pergi, gue minta sesuatu sama lo” kata Dava memandang Deni lekat. “Tolong kabarin Vita setiap hari, kirim pesan singkat tentang gue setelah gue nggak ada. Gue mau lo jadi gue, Den. Gue nggak ingin Vita sedih karena tak ada kabar dari gue, gue mohon Den?” kata Dava memohon. Deni bingung dan kaget mendengar penuturan sepupunya.
                “Tapi, gue…”
                “Gue mohon, tolong gue kali ini saja” Dava terus memohon. Melihat keadaan Dava seperti ini Deni tak tega membiarkan harapannya tak terpenuhi. Deni mengannguk.
                “Gue akan lakuin itu, Va. Demi lo dan Vita” jawab Deni meyakinkan. Sesekali Dava menarik  nafasnya yang tersenggal-senggal.
                “Di meja kamar gue, ada handphone lo ambil dan hubungi Vita dengan nomor itu. Di inbox dan sentbox  ada pesan gue dan Vita. Lo pahami isi pesannya, lo harus jadi gue Den.” Ucap Dava menjelaskan. Deni mengangguk.
                “Dua minggu lagi, Vita ulang tahun, gue udah siapin kado buat dia. Kado itu juga ada di meja kamar gue, lo datang ke pestanya, sampaikan maaf gue dan  jelaskan gue nggak bisa datang. Dan satu lagi, kalau lo pulang dari rumah sakit ini, lo buka laci meja kamar gue. Di situ ada selembar kertas yang belum sempat gue berikan pada Vita. Tolong lo salin dan berikan padanya, setelah ulang tahunnya.” Deni mendengarnya dengan cermat, karena suara Dava semakin pelan dan pelan. Dava berhenti berkata.