Kamis, 10 Januari 2013

Menggapai Bintang Impian #Cerpen#



Kamis, 10 Januari 2013
Menggapai Bintang Impian

          Dua jam berlalu, aku masih tetap saja berkutat dengan buku bersampul daun berserakan yang selalu kubawa kemana pun. Beberapa kali terdengar teriakan Mama yang menyuruhku makan. Tapi aku tak mau beranjak. Masih menulis semua ide yang ada dalam otakku hingga menjadi sebuah cerita.
            “...dan Awan akan menjadi kenangan untuk Quila. Tidak harus dengan status pacaran untuk mendapatkan seseorang. Tapi, dengan status sahabat sama saja dengan...”
            “Ivhi!” pintu kamarku terbuka total. Di sana Mama dengan menatapku tajam. Segera kumunculkan senyum di bibir tipisku. “kamu selalu lupa waktu kalau nulis. Makan dulu, Vhi!” bentak Mama. Aku langsung menutup buku catatan itu dan turun dari ranjang.
            “Iya ma, ini mau makan.” Sambil garuk-garuk pipiku dan tersenyum.
            “Kalau nggak Mama ingatkan, kamu bakalan nggak makan. Nulis sih, nulis Vhi, tapi harus tetep jaga kondisimu. Kamu ini susah dibilangin, kalau magg nya kambuh kan, mama juga yang repot.” Dan seperti inilah mama, bawelnya minta ampun.
            “Iya, maafin Ivhi.” Ucapku pelan.
*
          Aku duduk di meja makan, dengan mama yang sedang membereskan dapur dan muncuci piring. Yah, karena aku sendiri yang belum makan. Bunyi benturan sendok dan piring terdengar. Saat suapan pertamaku, mama sudah berceloteh lagi. Celotehan yang sama, sering aku dengar tiap harinya.
            “Kamu mau jadi apa sih, Vhi, dari nulis? Mending bantu mama jahit, pesanannya lagi banyak. Nulis kan nggak dapat apa-apa.” Ujar mama. Aku tak menjawab, terus mengunyah makanan dan memperosesnya dalam perutku ini. “wong, kamu dari dulu nulis, tapi nggak ada hasil apa-apa toh.” Tandas mama lagi.
            “Semuanya kan butuh proses ma, Ivhi mau nekuni hobby nulis ini. Ivhi pengen jadi penulis. Suatu saat pasti cita-cita Ivhi akan tercapai, dan bisa bantu mama.” Belaku. Dari dulu mama memang tidak menyetujui aku menulis. Alasannya banyak, bilang nulis itu kerjaan yang tidak pasti, apalagi sampai dijadikan profesi. Nulis itu sedikit mendapatkan sisi finansial jika tidak dikembangkan di kota-kota besar. Itu sebagian kecil pendapat mama, antara setuju dan tidak setuju aku mendengarnya. Mama juga mengatakan bahwa nulis itu menyita waktuku, aku lupa makan, lupa bantu mama, dan kadang lupa mandi kalau sudah nulis. Mama ini bawelnya minta ampun, dan semua ini aku terima, karena memang salahku yang selalu tidak tahu waktu.
            “Sebenarnya mama nggak suka kamu nulis Vhi, buang-buang waktu. Toh sampai detik ini kamu belum ada perkembangan kan, cerpen-cerpen yang kamu kirim ke majalah juga belum dapat respon.” Mendengar itu aku menghentikan suapan kesekian. Bosan rasanya mendengar larangan mama yang satu ini. Tidak suka nulis.
            “Mama kok gitu, jadi penulis itu impian Ivhi ma, kalau masalah cerpen-cerpen itu kan Ivhi masih dalam tahap. Nggak mudah masuk ke suatu majalah. Tapi Ivhi akan terus berusaha, masih banyak waktu.” Ucapku. Jangan tanyakan kalau aku tidak berusaha meyakinkan mama tentang hobby dan cita-citaku. Aku selalu berusaha. Selalu. Tapi mama masih bersikeukuh dengan pendapatnya tentang seorang penulis.
            Selera makanku hilang sudah. Aku berdiri, kemudian meninggalkan ruang makan. “Ivhi, makannya di habisin!” teriak mama. Aku tak peduli, langsung saja kuhempaskan tubuhku di ranjang, memeluk boneka pisangku erat-erat.
            Selalu seperti ini. Kenapa mama sangat menentang hobbyku, apa yang salah. Banyak teman-teman yang mendukung hobbyku ini, mendukung cita-citaku sebagai seorang penulis novel dan cerpen. Tapi aku tidak mendapat dukungan sekali pun sama mama, papa dan abangku. Dari Sekolah Menengah Pertama aku sudah mencoba mengirim karyaku yang berupa cerpen ke koran dan majalah, tapi selalu tidak mendapat respon. Tidak jatuh, malah aku terus mencoba, mungkin ada yang salah dengan tulisanku. Kuperbaiki lagi, mencoba tema lain, mencoba sudut pandang lain. Dan lain sebagainya. hingga kini aku tengah duduk di bangku Sekolah Menengah Atas kelas XII. Mungkin ini yang mama maksud, beliau tidak ingin aku tidak konsen belajar. Tapi selama ini nilai-nilai sekolahku baik-baik saja. Aku teringat ucapan guru pembimbingku “Kalau kamu suka menulis, boleh saja. Galih terus kemampuan kamu. Tapi jangan pernah kamu jadikan hobby kamu ini sebagai penghalang. Penghalang apa saja, belajarmu, membantu orang tua dan sebagainya. Tapi, jadikan nulis itu pengiring hidupmu dan tempatkan pada posisi dan waktu yang benar.”
            Ucapan itu selalu aku ingat, sebisa mungkin hobby nulisku terus jalan tanpa meninggalkan kewajibanku sebagai seorang pelajar. Tanpa meninggalkan statusku sebagai anak yang membantu mama. Sejujurnya aku ingin sekali mendapat dukungan penuh dari keluarga, tapi nyatanya, tidak. Aku tidak mendapatkannya. Kecuali satu, jika aku berhasil membuat mama melihat hasil kerja kerasku.
            “Indah!” pekikiku teringat sahabat terdekatku. Meski usianya beda satu tahun dan dia adik kelasku di sekolah yang sama. Hanya dia yang mau mendengarkan keluh kesahku. Tentang apa saja. Aku meraih tas selempang serta memasukkan buku catatan. Secepat kilat aku keluar kamar menemui mama yang sedang duduk di ruang tengah dengan menekuni gambar pola baju yang dibuatnya sendiri.
            “Ma, Ivhi mau ke rumah Indah dulu.” Seruku.
            “Hmm...jangan lama-lama, sepulang nanti bantu mama nyelesaikan jahitan.”
            “Yah,” aku mencium punggung tangan mama dan berlalu.
*
            Dengan mengayuh sepeda santai, kunikmati setiap terpaan mentari dikulitku. Butuh waktu sekitar lima belas menit untuk sampai di rumah Indah. Dan saat kuparkirkan sepeda di depan rumah yang dikelilingi berbagai macam bunga, tiba-tiba pintu terbuka. Indah berdiri dengan melipatkan tangannya di depan dada.
            “Sudah gue duga, itu bau elo.” Ucapnya langsung. Aku nyengir lalu menghampirinya.
            “Maksud lo?”
            “Hidung gue nyium aroma lo, sekitar beberapa meter dari rumah gue. Bener kan, lo dateng.” Ucapnya enteng seraya menunjuk-nunjuk hidungnya sendiri.
            “Hidung lo tetep oke Ndah, kapan-kapan kalau sepatu gue ilang, boleh juga tuh, minta bantuan hidung lo.” Aku mengikuti langkah Indah memasuki rumahnya.
            “Sorry sist, hidung gue terlalu canggih buat nyari sepatu bau lo.” Kami tertawa bersama. Sedetik kemudian aku menahan tangannya yang mau membuka pintu kamarnya yang aku tahu bernuansa oranye. Semua berbau oranye Indah suka. “Apa?!” ia memincingkan sebelah matanya.
            “Kali ini gue nggak mau numpang tidur di kasur matahari lo, gue juga nggak mau pakai aksesoris oranye lo, apalagi pinjem buku diary Winy The Poo lo.” Aku menyebutkan kebiasaanku bila di kamar Indah.
            “Terus...”
            “Gue mau ke kebun lo, tempat favorit kita. Pengen nikmati cuaca hari ini.” tambahku. Indah semakin tak mengerti. Ok, biasanya aku paling rame kalau sudah main ke sini, apalagi sama cewek satu ini. Indah urung membuka kamarnya. Tanpa ba bi bu lagi, ia berlari ke belakang, dan kembali dengan menenteng satu buah tikar, satu bungkus plastik berisi makanan dan minuman.  Aku melongo melihatnya, apalagi dengan mengembang kan senyum bibirnya membuat pipi Indah chubby.
            “Gue tahu betul lo gimana Vhi, pasti di sana lo mau nulis, ngeluarin unek-unek lo ke dalam tulisan. Dan gue dianggurin. Sekarang gue nggak akan bosen, gue udah nyiapin makanan, minuman dan MP4.” Ucapnya bangga. Bagus. Indah memang tahu segalanya tentangku.
            Lokasi kebun Indah juga tidak terlalu jauh. Kami cukup berjalanan kaki saja ke arah Barat dari rumah Indah. Bila yang lain lebih memilih jalan-jalan ke mall, atau ke pusat pembelajaan, aku dan Indah tidak. Ini tempat favorit kita dari kita sama-sama duduk di bangku SD. Pembeda umur kita tidak terlalu dipikirkan, panggilannya juga gue-lo, seakan kita ini sebaya.
            Aku langsung menggelar tikar di bawah pohon mangga. Di depan kita hamparan sawah yang sudah menguning, sebentar lagi siap panen. Di kebun Indah juga ada saung cukup besar, dengan sumur yang airnya sangat jernih. Ayahnya Indah memang suka berkebun, dari kebun inilah macam sayuran di tanam, lihat saja tubuh Indah tinggi langsing gitu. Kebanyakan makan sayuran.
            “Vhi, gue ke rumah tante Mira dulu yah, mau pinjam gelas.” Kata Indah, aku hanya mengangguk. Satu lagi, ini kebun juga dekat dengan dua buah rumah, salah satunya rumah tante Mira, tantenya Indah. aku sudah menyiapkan semua makanan dan minuman untuk Indah. Sekilas, kita seperti sedang piknik di alam terbuka.
            Hampir tujuh menit Indah tak kunjung datang. Pasti itu anak diajak ngobrol dulu sama tante Mira. Aku menunggunya sambil mencoret-coret buku yang kubawa. Tanpa menulis apa-apa. Yang ada hanya lingkaran tak jelas.
            “Sorry lama, tante Mira lagi bikin kue, eh malah dikasih ini.” Indah datang dan menunjukkan satu piring berisi kue-kue yang sangat menggiurkan dan dua buah gelas yang ditaruh di plastik, Indah malah sudah makan dua. Ia duduk di sampingku. “loh, bukunya kok malah penuh coretan, nggak nulis?” Aku menggeleng, memberhentikan aktivitas tanganku lalu meraih sepotong kue dan memasukkan ke mulut.
            “Gue buntu.” Jawabku singkat sambil memandangi langit biru terang dengan arsiran awan tipis. Masih sama seperti dulu, aku tetap menyukai awan.
            “Buntu?!” seru Indah lalu tertawa kecil. “nih yah, setahu gue lo akan guling-guling kalau otak lo buntu, lo bakal acak-acak kamar gue kalau elo nggak dapat ide buat nulis. But, ini beda. Lo itu nggak buntu,” tuturnya. Aku mendelik memperhatikan wajah oval Indah yang putih mulus.
            “Lo ngomong apa sih, emangnya kalau gue otak gue buntu gue harus guling-guling, gue harus acak-acak kamar lo.” Kurebahkan tubuhku di atas tikar sambil mendekap bukuku di dada. Pandangaku masih ke awan-awan itu yang malai berarak semaunya.
            “Ok, ok, kayaknya elo sedang punya masalah. Nggak biasanya lo kayak gini, nggak rame. Otak lo udah menjelma menjadi sebuah kuburan angker.” Celoteh Indah tak henti.
            “Omongan lo makin ngaco Ndah, kesurupan apa sih, lo.” Alisku terangkat melihat Indah yang sedari tadi makan saja.
            “Aduh Ivhi, lo pikir gue kenal lo baru kemarin sore gitu. Nggak, Nyet! Dari kecil kita bareng, gue tahu lo, dan lo tahu gue.” Glek! Indah meneguk minumannya. “wajah lo itu mendung tahu nggak, nggak sesuai dengan cuaca hari ini.” lanjut Indah. aku menghela napas panjang. Indah memang tahu segalanya. Aku tidak bisa bohong, mungkin dengan menceritakan masalah tadi bebanku akan berkurang. “ok, lo tahu kan gue itu pendengar setia. Sekarang kuping gue siap, ayo cerita sama gue, Vhi.” Aku mengembuskan napas kasar. Sekali lagi, mencari titik di mana aku harus memulai cerita ini.
            “Mama nyuruh gue berhenti nulis Ndah, meski nggak secara langsung.” Satu ucapan keluar dari mulutku pelan. Indah berhenti memakan kripik singkongna. Ia melirikku sebentar, sebelum kembali memakan kripik itu.
            “Masih nggak setuju juga kalau lo ingin menjadi penulis?” ini pertanyaan mungkin, yang sebenarnya  tidak perlu Indah tanyakan. Karena ia sudah tahu sendiri jawabannya. Tidak. Pasti. “terus lo mau berhenti nulis seperti yang mama lo inginkan?”
            “Nggak tahu. Sekarang mama mulai ngungkit-ngungkit usahaku yang tak kunjung membuahkan hasil. Lo tahu kan gue sangat, sangat, sangat ingin menjadi penulis. Tapi mama selalu mengatakan kalau seorang penulis itu....” aku menarik napas berat. “...finansialnya kecil.” Lanjutku. Indah tak menjawab, ia tahu masih banyak yang menganggu pikiranku. Ia pasti menunggu kelanjutan episode curhatan ini.
            “Ndah, apa mungkin yah, gue nggak berbakat nulis. Tak ada satu pun karya gue yang dilirik penerbit majalah atau koran.” Kali ini nada suaraku terdengar putus asa. Ah, apakah aku salah berbicara seperti itu?
            “Salah lo, ngomong gitu,” dan dijawab Indah. “lo lupa kalau puisi lo pernah masuk majalah dan koran? Itu artinya lo layak, Vhi.”
            “Tapi mama belum juga yakin, Ndah. Apalagi kalau lihat masalah cerpen gue yang nggak ada kabarnya.” Sungutku kesal. “mungkin benar kalau gue ini aslinya emang nggak bakat, Ndah. Gue nggak bisa gapai bintang impian gue jadi seorang penulis.” Kali ini Indah merubah posisi duduknya menghadapku yang rebahan di atas tikar. Mata bulatnya menatapku lekat, tiba-tiba Indah menjejali mulutku dengan bungkus kripik singkong.
            “Ngomong lo ngawur. Lo tuh berbakat Vhi. Gue masih inget saat lo kehilangan kepercayaan diri lo buat nulis, bahkan lo nekat mau berhenti nulis. Gara-gara lo denger omongan pembimbing lo tentang bakat lo yang emang nggak terlahir dari diri lo, tapi karena usaha lo bakat itu jadi ada. Lo udah buktiin kalau elo itu bisa, pembimbing lo benar, lo nya aja yang ciut nyali.” Ucap Indah. Kembali kulempar ingatan tentang itu. Yah, dulu sempat aku mau berhenti nulis. Karena pembimbingku mengatakan : “Sebenarnya kamu itu tidak terlalu bakat nulis dari diri kamu, kata-katamu standar Vhi. Tapi karena usahamu yang keras, kamu berhasil menumbuhkan bakat itu, meski belum sepenuhnya. Dan jika kamu berhenti berusaha dan belajar, maka semuanya akan sia-sia. Yang perlu kamu tunjukkan pada kita semuanya, hanyalah tunjukkan kalau kamu bisa dengan usaha dan keyakinanmu, untuk ‘menjadi’.”
            Mataku berkilat, tanpa sadar pelupuk mataku sudah tergenang air mata. Aku menarik napas panjang, dan menghembuskannya perlahan. “Tapi bintang impian gue jauh Ndah, gue nggak bisa menggapainya. Mama benar, mungkin bintang impian yang gue harapka itu terlalu indah, terlalu sulit untuk gue jangkau.” Lagi-lagi terdengar putus asa. Indah, pembimbingku, semuanya, memang benar aku bisa nulis karena usaha dan keyakinanku, meski tulisan yang aku hasilkan jauh dari orang-orang yang sudah handal. Tapi aku selalu punya keyakinan, bahwasanya semua itu butuh proses, mungkin proses yang aku jalani masih banyak. Tapi, rasanya begitu sulit melalui setiap prosesnya.
            Hening, tak ada yang berbicara lagi. Entah Indah sibuk apa, yang kutahu ia sedang melipat-lipat sedotan plastik bekas minumannya tadi. Aku tak mau mengusiknya. Tiba-tiba sesuatu menempel tepat di hidungku. Sebuah bintang dari sedotan plastik. Aku melirik Indah yang sedang tersenyum manis ke arahku. Kemudian ia ikut merebahkan tubuhnya di sampingku.
            Ku pandangi satu bintang sedotan yang kutahu Indah yang membuatnya. Setiap sisinya kuteliti, buatan tangan cewek ini memang rapi. Tapi apa artinya?
            “Itu bintang buat lo, bintang sederhana.” Ucap Indah pelan. Dari samping kuperhatikan wajahnya. “Vhi, lo itu bisa menggapai bintang impian lo. Lo tahu, bintang selalu punya keistimewaan dibalik kesederhanaannya. Mungkin banyak orang yang nganggap bahwa bintang impian lo itu jauh dari jangkauan lo sendiri. Sampai-sampai lo hanya bisa mandanginya dari kejauhan, sama halnya elo lihat penulis-penulis terkenal yang wara-wiri di televisi. Sama halnya lo lihat karya orang lain dimuat di majalah, koran dan sebagainya, dan dengan khusuknya elo membaca bintang impian mereka. Tapi mereka dan elo itu nggak beda, Vhi. Mereka dan elo juga sama-sama berusaha untuk ‘menjadi’, hanya waktu yang menjadi pembeda. Mungkin waktu mereka untuk ‘menjadi’ itu cepat dari usaha mereka dan waktu elo lama. Tapi, tetap tidak menutup kemungkinan lo itu bisa selama lo mau berusaha.” Terang Indah panjang lebar. Aku mendengarkan dengan saksama, memaknai setiap ucapan sahabatku ini.
            “Lo nggak tahu betapa sulitnya, Ndah.” Lirihku.
            “Nggak ada yang sulit selama lo mau usaha.” Kata Indah lagi. “lo lihat bintang sedotan di tangan lo. Itu bermula dari sedotan lurus kan, tapi sekarang berubah bentuk menjadi sebuah bintang setelah melalu proses yang gue lakukan tadi. Sama seperti tulisan cerita lo, Vhi. Deretan tulisan lo yang ada di sini.” Indah meraih buku catatan dari dadaku. Ia membukanya satu persatu hingga pada satu judul ‘Pangeran dalam Minibus’. “...ini tulisan juga butuh proses Vhi. Gue yakin sama lo, gue percaya sama lo, kalau elo tuh bisa dengan usaha keras lo. Dengan keyakinan lo.” Mataku berkaca-kaca mendengar penjelasannya.
            “Ndah...”
            “Vhi, gue sahabat lo, gue tahu apa bintang impian lo. Percayalah sama hati lo Vhi, tanamkan satu keyakinan kalau elo bisa seperti mereka. Gue nggak mau denger lo putus asa, nggak mau nulis, otak buntu, dan sebagainya. Gue cuma mau lihat lo berusaha, lihat lo nulis dengan semangat yang elo punya. Gue di sini Vhi, sama seperti waktu kita kecil dulu. Selalu ada kalau lo ngebutuhin gue.” Ucapnya meletakkan buku itu di telapak tanganku seraya mendekapnya kembali. Satu tetes air mata jatuh. Indah menghapusnya.
            “Gue janji Ndah, gue janji akan terus berusaha. Gue akan buktikan ke mama, kalau gue bisa.” Ucapku yakin.

Tamat
Kamis, 10 januari 2013

Rabu, 02 Januari 2013

Bintangku, Dhera #Cerpen#




02 Januari 2013

Bintangku, Dhera


"Makan Malam!" pekik Dhera mendengar ucapan yang baru saja terlontar dari mulut Febri dengan lancar, tanpa hambatan apa pun. "Jadi, kak Febri ngajak gue ke mall, nyalon, beliin dress yang langsung gue pake ini, untuk ngajak gue makan malam!" mata Dhera membulat sambil menunjukkan dress mini berwarna pink berpaduan dengan warna putih. Warna kesukaannya.

Febri mengangguk yakin. Senyum manis tak pernah lepas darinya.
"Reaksi lo lebay ah!" Febri menggandeng tangan Dhera dan membukakan pintu mobil untuk cewek cantik yang belum menghilangkan wajah kekagetannya. Bruumm, Febri menjalankan mobil dan melaju menuju rumahnya.

"Seharusnya kan elo bilang dulu ke gue kak, setidaknya gue...gue..."
"Apa?! elo udah nyalon, udah cantik ini. Kayak barbie." Puji Febri memperhatikan Dhera dengan semua meronanya.

"Gue lebih suka dibilang kayak batman, spiderman, super hero gitu deh, daripada Bar-bie. Dan alangkah senangnya bila dibilang kayak Spongebob, atau Pat-rick (bener gak tulisannya -_-") !" bibir Dhera manyun-manyun membuat Febri tertawa. Kalau sudah seperti itu tidak ada alasan baginya untuk tidak mencubit pipi chubby Dhera.

"Kita pacaran udah tiga bulan, gue pengen mama dan papa tahu. Elo tenang aja Dher, mereka pasti seneng lihat elo. Cantik gini..."
"Kalau kebalikannya gimana."
"Suka." tandas Febri yakin. Kemudian hening. Febri konsen menyetir sedangkan Dhera menyiapkan mental untuk bertemu dengan orang tua Febri.

Akhirnya mereka sampai pada sebuah bangunan bergaya klasik namun tidak meninggalkan kesan mewahnya. Febri memarkir mobil di depan, lalu membuka pintu untuk Dhera. Wajah Dhera agak pucat.

"Lo, nggak apa-apa?"
"Gue cuma takut Papa sama Mama kak Febri nggak suka gue. Takut kalau gue bikin keributan." ujar Dhera menunduk.
"Lo parno ah! Anggap aja mereka Papa dan Memey elo, Dhera sayang... yuk ah, gue jamin semuanya baik-baik aja." Febri menggandeng lengan Dhera memasuki rumahnya.

Wanita cantik menyambut kedatangan Febri dan Dhera. Wanita itu mengenakan long dress berwarna biru malam. Rambutnya di ikat ke atas dengan sedikit bergelombang. Anggun. Dhera semakin kikuk. Sebaliknya untuk Dhera. Yang membuatnya tampil beda malam ini, hanya mini dress yang memang Dhera jarang memakainya, kalau tidak salah, saat SMP kelas 1 terakhir ia memakai Dress. Terus high heels sederhana berwarna putih menghiasi kaki putihnya. Tentu saja ini high heels sempat berseteru dulu dengan Febri. Karena waktu memilih, Febri menyarankan High heels yang tinggi, mana bisa Dhera pakai. tidak biasa. Dan terakhir wajanya yang dipoles make-up saat nyalon tadi. Kalau rambut, Dhera di gerai biasa.

Namun, sangat, sangat, sangat tidak percaya, dan sekaligus membuat pipi Dhera merona ungu, eh merah, eh pink deh. Saat Mama Febri mengatakan. "Wah, pacar kamu cantik Feb, kayak Barbie." ucapannya sama dengan Febri. Tentu saja Febri tersenyum bahagia. Ketara sekali dari wajahnya. Tidak memedulikan wajah Dhera yang malunya minta ampun.

"Ma...makasih bu, eh tante..." kegugupan Dhera itu membuat mama Febri tertawa kecil disusul dengan Febri.
Dhera diajak ke ruang makan. Di sana sudah ada Papa Febri dan juga cowok berkemeja biru. Wajahnya mirip dengan lelaki itu. Dia adiknya Febri pasti.
"Kak Febri mirip sama Mamanya, kalau adiknya mirip Papanya. Nggak mungkin juga mirip orang di jalan. Nggak seperti kucing. wajahnya kucing kan sama semua." batin Dhera yang ujungnya jadi ngelantur.

"Dhera, ayo duduk." kata Febri mengelus pundak Dhera. Gawat! Dhera malah melongo karena sibuk membandingkan wajah Febri dengan adiknya, yang jauhnya seperti sumur dan atap rumah.

"Liatin wajah Galih dan Febri yah?" ucap papa Febri. Kalah telak. Begitu terlihatkah Dhera memperhatikan dua manusia itu.
"I..iya om, maaf." keluguan Dhera disambut dengan tawa Galih, adiknya Febri.
"Galih, jaga sikapmu!" seru Mamanya. "Ayo Princess..."
"Dhera tante.."potong Dhera langsung. What! Princess?????
"Iya Dhera ayo nikmati makanannya."
"Makanan mama paling enak sedunia loh, kak Dheyaaa..." sahut Galih dengan bahasa Alay yang duduk di samping mamanya. Dhera tersenyum. kecanggungan yang dirasakan Dhera kini mencair sudah. Melihat sikap Galih, Papa dan Mama Febri terasa akrab. Benar yang dikatakan Febri, orangnya memang_asyik.

"Wah, yang bener, kebetulan aku belum makan." seru Dhera bersemangat.
"Bukankah tadi sebelum cari baju lo makan yah, di warung mang Paiijo." timpal Febri yang langsung. Dhera nyengir.
"Eh iya, udah, tapi cuma makan mie doang kak. Laper lagi dong," dan terdengar tawa dari semua yang ada dimeja makan. Galih malah yang paling keras, Mamanya tertawa kecil. sedangkan Papa Febri hanya geleng-geleng.

"Plin-plannya gak ilang-ilang nih," Dengan gemas Febri mengajak rambut Dhera.

Malam itu suasana tidak sekaku yang Dhera bayangkan. Begitu sebaliknya, suasana terasa hangat, kental sekali kekeluargaannya. Membuat Dhera tak malu lagi. Dan malam ini mereka sukses dibuat ketawa dengan cerita-cerita dari anaknya si Febri tentang satu obyek. Siapa lagi kalau bukan Dhera. Tapi Dhera tidak merasa direndahkan atau apa, justru melalui inilah Febri mendekatkan dirinya dengan keluarganya.

Usai makan malam, Febri mengajak Dhera ke taman yang ada di belakang rumahnya. Berbaring di atas rumput, sambil menikmati pemandangan langit yang malam itu dihiasi banyak bintang.
"Dhera," panggil Febri dengan tatapan lurus ke langit.
"Ya..."

"Elo tahu nggak warna bintang itu gimana?" tanya Febri. mata Dhera menyipit seraya ekor matanya melirik cowok wajah kalem namun jail sejenis Febri ini. Bingung. Jelas-jelas dia sedang melihat bintang. Masa tidak tahu warnanya.

"Gue tanya sama elo Dhera, jawab dong..." ucap Febri lagi mendapati Dhera hanya diam.
"Eh, ng...ng...putih kak, kuning juga ada, eh nggak deh, merah kali yah, tapi gue juga pernah lihat bintang warnanya kerlap-kerlip hijau loh."
"Lo kayak nyebutin warna pelangi banyak amat." sahutnya mencubit pipi Dhera sampai ia meringis.

"Emang bener kok, tuh lihat di atas sana. Yang itu kelihatan putih kan, terus yang itu, kuning, nah itu tuh ijo dan itu..." Dhera menunjuk satu-satu bintang di atas sana.
"Bisa jadi itu planet Dhera sayang..." dipanggil 'sayang' langsung pipinya merona. Aaaaah, selalu saja satu cowok ini membuat jantungnya jumpalitan. Belum hilang ser-ser'an di hatinya, tiba-tiba tangannya digenggam Febri lembut. Gila! ampun dah, sentuhannya itu loh...aaaahhh, aku sukaaaa...jerit Dhera dalam hati.

saat tangan kanannya memegang tangan Dhera, tangan kirinya terangkat ke atas. "Lihat! Banyak banget kan bintang-bintangnya. Lo sadar nggak, bukan hanya di atas langit dan saat malam hari saja elo bisa lihat bintang dengan warna-warna yang elo sebutin tadi. Tapi, siang juga elo bisa lihat." alis Dhera terangkat sebelah. Tidak mengerti dengan ucapan Febri itu.

"Apa, nggak ngerti. Kurang paham. Udah jelas tuh di wajah lo." sambar Febri segera. Dhera hanya manyun. tiba-tiba Febri langsung menggeser tubuhnya mendekati Dhera. "Maksud gue gini loh Dher. di dunia ini, di sekitar kita juga banyak bintang, dengan warna yang beragam, dan karakter yang berbeda. Yang dimaksud bintang di sini adalah, orang-orang yang terkenal, sukses, ilmuwan, si genius, artis, atlet, penulis, dan lain sebagainya. Mereka itu bintang Dher, tentu saja dengan warna dan sinar yang berbeda. Ada yang redup ada yang terang. Dan gue..." Febri menatap Dhera yang ada di sampingnya. "Punya bintang sendiri, yang sangat terang, sangat indah. Bintang dalam hidup gue, dan gue harap bintang itu nggak akan redup. Bintang hati gue itu adalah elo Dhera." Cup sebuah kecupan manis mendarat di kening Dhera.

"Tuhan, sekarang bolehkah aku terbang menuju bintang di atas sana bersama Febri?" batin Dhera dengan semburat merah di pipinya.

END

02 Januari 2013