Rabu, 15 Agustus 2012

Alangkah baiknya kita membantu

Assalamualaikum....
sahabat semua...

Mumpung masih bulan Ramdhan, beramal yuk! Untuk membantu para penulis kecil mewujudkan impian mereka.
Donasikan sedikit uang Anda ke rekening BRI kami :
No. Rekening : 424101009371535
a/n MITA YULIAH
Bantuan Anda sangat kami harapkan.
Terima kasih. :D

Dalam Mimpi Dhera "Bagian 1"


Sabtu, 04 Agustus 2012
21. 30
Dalam Mimpi Dhera

            Drap...drap...drap...aku sedikit berlari.
            Mulutku sudah manyun beberapa senti mendengar omelan Memey di telepon. Sampai-sampai aku pergi ke belakang kostan untuk mendengarkan ceramah Memey. Pamorku turun deh kalau anak-anak penghuni kost di jalan Setia Budi, Bandung, ini pada tahu. Seorang Dhera di ceramahin yang panjangnya kayak kereta lebarnya kayak jalan pantura oleh nyokap tersayangnya. Aku duduk berdiri  pohon yang ada di belakang kost.
            “Tapi kan Mey...”Aku berusaha menyela perkataan Memey yang pastinya langsung di sela lagi sama Memey. Pokoknya tidak ada jalan. Ibarat sedang mudik, jalan pintas mana pun sudah tidak bisa dilewati, macet total. *perumpaannya jelek sekali si author*
            “Memey minta kamu berhenti ngeband, Nok!” ultimatum dari Memey terlontar dari mulutnya.
            “Yah, yah, yah, kok gitu. Sebelumnya Memey ngizinin Inok ngeband kan?” aku mulai kawatir. Jantungku memopa lebih cepat lagi. Berhenti ngeband? Apa kata Say-What nanti. Oh tidak! *lebay sekali dirimu*
            “Nggak akan Memey izinin kalau kamu terus bolos kuliah demi ngeband. Hobby sih hobby Inok, tapi kewajiban kamu jangan sampai dilupakan.” ujar Memey lagi. Aku menggigit bibir bawahku. Ingat pepatah dulu. Setajam-tajamnya kulit durian, pasti akan tumpul juga *gak ada wooiii pepatah itu* sepandai-pandainya menyembunyikan bangkai, pasti akan tercium jua. Nah, pas banget dengan situasi sekarang. Ok, aku akui, aku baru masuk kuliah sekitar tiga bulan, tapi bolosku sudah banyak. Aku kira Memey tidak tahu, tapi ternyata. Insting seorang ibu itu tajam, setajam pedang. Kalau tidak karena insting, pastinya abangku si Yogi memataiku. Abang jahatnya dirimu padaku *Tuhan, lebay sekali ini author*
            “Mey, menjadi penyanyi dan punya band itu impian Inok. Inok ingin mewujudkannya?” rengekku berharap Memey mengerti. Tapi usahaku sia-sia. Memey terus mengatakan kalau aku tidak boleh lagi ngeband bareng Say’A, suruh fokus kuliah.
            “Papa kamu juga marah denger kamu sering bolos. Sudah Inok, dengerin Memey. Apa kamu mau papa kamu yang marahin kamu!” kata Memey. Aku tak menjawab. Meski pun sekarang tidak di depan Memey, aku sudah menebak bagaimana raut Memey sekarang. Seyeeem *serem maksudnya* Aku memukul-mukul batang pohon dengan kakiku. Kesal. Tentu saja.
            “Mey...”rengekku lagi.
            “Nggak Inok, kali ini kamu harus dengerin Memey.” kata Memey tegas. Aku menunduk. Mataku mulai memanas. Siapa juga yang bakar-bakaran sampai mataku pedih seperti ini. *kata-kata Memey yg bakar-bakaran Nok*
            “Ini impian Inok, Mey...”
            “Inok, kamu tahu Memey sendiri ragu kamu ngekost, kamu biasa manja sama Memey, sekarang kamu di Bandung sendiri. Tapi kamu malah bolos dan nggak dengerin Memey.” Memey ngamuk. Aku tak menjawab. Aku akui kesalahanku, mungkin aku memang pantas untuk dimarahi.
            “Inok belajar mandiri kok Mey, Inok juga udah bikin susu sendiri, udah makan sendiri.” ucapku pelan.
            “Tapi nggak ada yang bilangin kamu!”
            “Ada kok, ibu kost sama teman-teman Say’A.”
            “Berarti kamu yang bandel nggak dengerin setiap nasihat yang mereka berikan padamu.” aku tak menjawab. Salah lagi kan? Sudahlah, tak ada jalan untukku. Tapi aku tidak akan mendengarkan ucapan Memey untuk mengubur impianku. Jawabannya TIDAK! Dengar itu TIDAK!
            “Memey harap, ini peringatan terkahir buat kamu. Ingat jangan bolos kuliah!” tegas sekali ucapannya. Aku hanya mendesah. “Kamu hati-hati di sana Nok, ingat Memey tahu apa yang kamu lakukan.” lanjutnya. Punya mata batin nih si Memey. Hebat benar bisa tahu kegiatanku.
            “Iya Mey...” jawabku.
            “Ya sudah, Assalamualaikum.”
            “Walaikumsalam.” klik! Telepon terputus. Aku menggigit ujung handphoneku. Kesal. Sangat. “Gue buang juga nih, handphone!” sungutku mengangkat handphone tinggi-tinggi.
            “Eits! Sayang sekali dibuang, buat gue aja.” tiba-tiba sebuah tangan meraih handphoneku. Rambut pendeknya bergoyang tertiup angin.
            “Apaan sih lo, balikin nggak!” ujarku.
            “Nggak bisa, elo kan tadi mau buang. Mending buat gue.”
            “Akiisss!!! Balikin cepeet...!!” nah tuh pohon semuanya bergetar mendengar teriakanku. Burung-burung terbang ke angkasa tak mau tergampar oleh suara merduku. *author tutup kuping* “Gue nggak jadi buang!” aku meraih handphoneku dari tangan Akis. Akis hanya mencibir.
            “Plin plan.”
            “Bodo.” Aku menjulurkan lidah ke arahnya.
            “Lo kenapa tadi, hampir meledak gitu?” tanya Akis. Aku melangkah menuju ke kost’an dengan Akis di sampingku. Kalau mengingat kata Memey, mataku rasanya kembali memanas, dan juga kesalnya bisa sampai ke ubun-ubun.
            “Memey!”
            “Ada apa dengan Memey lo, sakit? Kalau sakit kenapa tadi elo kayak mau meledak gitu, apinya juga sudah menyala di sini.” Akis mengacak rambutku. Berasa kepalaku obor bisa nyala api.
            “Cerewet! Bukan itu. Elo ngarepin Memey gue sakit?” tatapku tajam.
            “Sensi deh si Inok. Becanda non...”
            “Ini masalah serius?” raut wajahku berubah. Lalu duduk di depan kost’an. Tak mempedulikan tatapan anak-anak lain. Denger-denger mereka sirik padaku, karena aku mempunyai tampang yang kece badai *korban sinetron* aku sih masa bodo. Yang penting aku bersyukur sama Allah, karena diberi tampang sekece ini *pedenya dirimu Nok*
            “Memey tadi telpon, nyeramahin gue. Dan ultimatum yang gue terima itu, gue disuruh berhenti ngeband, dan fokus kuliah aja.” jelasku. Kontan membuat mulut Akis menganga seperti mulut buaya lagi berjemur.
            “Yah terus gimana dengan Say’A?” Akis ikut kawatir.
            “Gue nggak mungkin berhenti Kis, menjadi penyanyi dan punya band itu impian gue. Yah, gue harus mewujudkannya sebisa guelah.” tandasku mengklik tombol go to di handphoneku. Dari pada pusing, on itu lebih baik. Tapi tangan Akis menutup layar handphoneku.
            “Ini serius Nok, jangan main handphone dulu.” kata Akis. Aku menurut lalu mendesah. “Elo sih kebanyakan bolos.” lanjutnya. Aku balik menatap Akis.
            “Kayak elo nggak aja. Kita berdua dan anak Say’A lain memang sering bolos kan?” balasku.
            “Tapi elo lebih banyak.” lanjut Akis. Aku tak menjawab. Masa iya aku lebih banyak *iya apa nggak Nok*
            “Tapi kan demi ketemu kalian?” belaku. Aku dan Akis memang beda kost, kalau sekarang dia ada di sini itu kebiasaannya. Sering main ke sini. Selain itu, aku dan anak Say’A lainnya beda kampus. Itulah yang menyebabkan kita bolos kuliah untuk ketemuan di suatu tempat, membahas lagu, musik, latihan, sampai mencari job. Maklum, kita memang ingin sekali menjadi band yang besar. Itu tidak mudah, aku tahu. Tapi kita hanya bisa berusaha dengan keras untuk mendapatkan hasil yang baik. Itu sesuai moto Say’A.
            Sebagai info, aku kuliah di Institut Teknologi Nasional (Itenas) jurusan Desain Komunikasi Visual. Akis di Universitas Indonesia (UPI) jurusan pendidikan seni musik. Herdi di Universitas Pasundan (Unpas) jurusan Akuntansi. Aji di Universitas (UPI) jurusan pendidikan seni musik sama seperti Akis. Dan Tablet di Universitas Komputer Indonesia (Unikom) jurusan Teknik Komputer (computer engineering). Semuanya memang masih wilayah Bandung. Cuma waktu yang dibutuhkan untuk latihan itu memang sedikit mengorbankan jam kuliah.
            “Terus gimana Nok?” Akis bimbang atau galau yah? Entahlah, apa kata Akis saja.
            “Kis, ini kan impian kita. Masa kita mundur begitu saja. Nggak ada salahnya kan kita terus berusaha, kali aja nanti ada yang mau ngontrak Say’A. Berpikir positif aja.” kataku menenangkan. Padahal aku sendiri tidak tenang.
            “Terus gimana dengan Memey lo?”
            “Gue pinter-pinter bagi waktu aja.”
            “Emangnya elo pinter bagi waktu?” sergah Akis ragu. Aku menggaruk-garuk kepalaku. Lalu tersenyum nyamping di depannya “Semprul! Bagi waktu tidur dan ngerjain tugas kuliah aja elo payah Nok, banyakan tidur elo mah.” Sindir Akis. Aku hanya manyun. Pinter banget bongkar kartu nih anak.
****
            Aku sibuk mengotak-atik camera niconku. Akis mengobrol dengan Herdi. Nah tuh si Aji manyun deh. Lupa! Akis dan Aji udah pisah, Akis bilang dari pada putus pertemanan mending putus pacaran. Nice. Aku lihat pasca putus mereka baik-baik saja, seakan tidak menampakkan rasa penyesalan di mata mereka berdua. Aku akui, Akis cukup kuat kalau masalah perasaannya. Lalu bagaimana denganku? Di jawab nggak yah...*ganjen* masalah Indra. Sedikit kecewa karena Indra masih di Semarang. Bilangnya entar bulan depan akan ke Bandung. Semoga.
            “Ya Tuhan, si Tablet ke mana sih? Tuh anak ke salon dulu kali yah, lama bener.” sungut Aji yang sudah beberapa kali menengok ke pintu depan. Tak ada sosok Tablet, kami ketemuan di cafĂ© setengah jam yang lalu, tapi Tablet belum juga datang. Jangan tanya bagaimana kita ke sini. Bolos, pasti. Tapi tidak semuanya bolos. Aji dan Akis yang satu kampus mereka memang kompak untuk bolos, Herdi yang ada jam kuliah, memilih kuliah dulu. Katanya cuma satu pertemuan. Kalau aku, insyaf deh. Untungnya hari ini aku tidak ada kuliah, jadi aku tidak bolos *horeeee gak jadi dimarahin Memey*
            “Emang kita mau ngapain sih?” ujar Akis. Aku mengangkat bahu.
            “Jadi gini...”
            “Sorry gue telat!” Tablet datang memotong perkataan Herdi yang baru dua kata itu. Tepat juga nih anak. Meeting akan dimulai *bahasanya ih*
            “Habis nyalon yah,” timpal Aji.
            “Bukan, mutilasi orang dulu.” jawab Tablet asal.
            “Mutilasi apa makan hasil mutilasi.” sambungku. Langsung Tablet menoyor kepalaku. Rese.
            “Ok ok, gini gue punya sesuatu.” kata Herdi lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah kertas, hmmm aku lihat itu brosur. Benar tidak? *mana gue tahu* “Ini brosur kompetisi band se Bandung. Siapa aja boleh ikut, hadiahnya lumayan loh. Nggak ada salahnya Say’A ikut.” nah tebakanku jitu. Kami berempat membaca brosur itu bersamaan. Memang menarik.

            “Ada uang pendaftarannya nih,” tunjuk Aji pada brosur itu. “Tiga ratus ribu.”
            “Kita patungan aja.” sergah Akis, yang lain mengangguk.
            “Gue sih nggak menang juga nggak apa-apa. Pengennya nanti ada seorang manager yang tertarik dan mau memasukkan musik kita ke lebel.” tambahku. Jujur mungkin kalau anak-anak Say’a bisa masuk lebel terus mengeluarkan single atau album, itu bisa merubah larangan Memey dan Papa. Aku bisa membuktikan kalau aku dan bandku nanti bakal sukses.
            “Yah, bener tuh kata Inok. Tadi minum obat apa Nok, kok encer gitu otaknya.” ujar Tablet.
            “Minum dan makan ceramahan Memey.” sambung Akis. Membuat aku melempar snack keripik ke arahnya. Tapi yang nangkap Aji, terus di makan olehnya. Dasar doyan makan.
            “Gue juga denger, nanti bakal ada produser gitu yang nonton.”
            “Nah menarik banget tuh. Ikut dah kita.” ucapku sambil memasukkan Nicon ke dalam tas.
            “Ok, jadi kita ikut yah. Biar gue yang ngisi formulirnya.” tambah Herdi.
            “Kapan kita ketemuan lagi?” tanya Akis.
            “Kalau bisa besok. Sekalian ngomongin lagu kita, kan kompetisinya di laksanakan minggu depan. Persiapan yang matang itu penting kan?” saran Herdi lagi. Yang lain berpikir. Aji dan Akis saling tatap, sama-sama berpikir apakah besok ada jam kuliah. Tablet mengangguk, dia tidak ada jam kuliah, Herdi juga mengangguk. Aku masih berpikir.
            “Kis besok ada kuliah nggak sih?” Aji menggaruk-garuk, lupa dia.
            “Ada praktikum dodol!” jawab Akis.
            “Hahha iya, wah gue sama Akis nggak bisa. Nggak ingin deh nilai praktikum gue jelek. Kalau ketemu juga bisanya sore.” kata Aji di bebarengi dengan anggukan kepala dari Akis.
            “Elo Nok?” kini Tablet menatapku. Aku masih berpikir. Yang lain punya kesempatan untuk bertemu. Memang besok aku ada kuliah, tapi ingin mempersiapkan semuanya sama mereka.
            “Gue...nggak bisa. Gue ada kuliah.” jawabku. “Jangan besok deh, gue nggak mau kena marah terus sama Memey gara-gara sering bolos. Nanti kalau nggak ada kuliah, kita langsung ketemuan deh, atau nggak gue bisa curi-curi waktu.” tambahku. Yang lain menatapku iba. Rese. Tega benar mereka memberiku tatapan seperti itu.
            “Ok Nok, kita ngerti keadaan lo. Setidaknya kita masih bisa ketemuan nanti.” Aji merangkul bahuku. Yang lain juga mengangguk. Haduuuuh...senang mempunyai sahabat-sahabat pengertian seperti mereka.



TBC

Serial Dhera - Ke Mana Gibsonku?


-Ke mana Gibsonku-


"BANG YOGI!" Teriakkanku menggema di rumah besar ini. Rumah milik Papa dan Memey. Dari dapur, Memey tergopoh-gopoh menghampiriku yang sudah melempar tas seenak hati.

"Inok! Kamu mau buat Memey tuli apa?!" bentak Memey seraya menjewer telingaku. Sedikit kakiku menjijit. Aku meringis sambil memegangi telinga kananku.

"Sakit Mey." kataku mengulum bibir bawahku.
"Yah kamu sih, teriak2 kayak di hutan aja. Ada apa panggil Yogi, Nok?"
"Tadi kan Inok lihat aquarium, Gibsonnya kok nggak ada Mey," raut wajahku berubah. Takut terjadi apa-apa sama lohan kesayanganku.
"Emang tadi kamu bawa ke mana?" Memey tanya balik. Nih Memey otaknya bener apa nggak sih?

"Kyaaaaaa, si Memey. Mana Inok tahu, masa Inok main sama Say'A bawa-bawa Gibson. Aquariumnya aja ngalahin tubuh Herdi Mey." tuturku. "Kalau Memey nggak tahu, ini pasti kerjaan bang Yogi kampret itu." aku ngedumel.

"Bang Yogi!" teriakku lagi melangkahkan kaki menuju kamarnya. Baru saja beberapa langkah beranjak dari hadapan Memey, aku berhenti mengingat tadi Memey membawa apa.

"Mey?" aku mengedipkan mata.
"Apa?"
"Itu?" tunjukku pada beberapa deretan buah di tangannya.
"Nggak, ini mau Memey bikin kolak."
"Yaelah satu doang, minta yah." aku menghampiri Memey dan dengan gerakan cepat aku mengambil tiga pisang bukan satu seperti yg tadi aku katakan, lalu segera berlari untuk melabrak Yogi yang sudah menyaniaya Gibsonku. *sadisnya afgan kan?*
"Inook!!" teriak Memey mengalahkan teriakkanku tadi. Aku tak peduli, terus saja aku berlari menuju kamar Yogi.


"Bang!" ku buka pintu kamar Yogi sambil terus memakan pisang, kulit pisangnya aku kantung dulu. Kosong. Tak ada Yogi di dalam kamar. Oh God, jangan bilang Yogi mau jual Gibson. Tidaaaakkk!!! Aku tidak bisa hidup tanpa Gibson *ta
npa Dheractions juga yah?*

"Memey..." aku berlari menuju dapur, mataku mulai berkaca-kaca. Hiks, Gibsonku...
Terlihat Memey sedang membuat kolak pisang. Aku memeluknya dari belakang, sambil sesegukkan.
"Lah, kamu kenapa Nok?" tanya Memey bingung. Segera ia kecilkan nyala apinya. Lalu aku di tatapnya.
"Kenapa?"
"Hiks, kayaknya bang Yogi ngejual Gibson deh. Memey, Inok nggak mau sampe Gibson dijual." isakku.

"Nggak akan. Kamu tenang aja." Memey berusaha menenangkanku, ia juga mendekap dan membelai rambutku lembut.
"Tapi semalam, bang Yogi bilang ke Inok, ia mau jual Gibson hari ini karena Inok ngerusak kotak musik milik bang Yogi." paparku dengan raut sedih.

"Kan bisa beli lagi."
"Nggak mau, Gibson itu udah nyatu sama Inok. Inok nggak mau Gibson yg lain, Inok mau itu Mey." Rengekku terdengar pilu.
"Cup cup cup..."

"INOOOOKKK!!" Teriakkan seorang cowok terdengar nyaring di telingaku. Itu Yogi.
"Bang YOGIIIII...!!!" Balasku segera berlari ke depan. Tentu Memey juga ngikut di belakang.
Yogi berjalan dengan gayanya yang iiuuuuyyuu, sok cool banget. Begitu tepat di depan Yogi, aku langsung menghujaninya dengan pukulan di bagian titik tertentu tubuh Yogi.
        “Adaw! Adaw! Adaw!” pekiknya menahan seranganku. Aku tak peduli terus saja melanjutkan aksiku itu.
        “Mana Gibson gue! Mana bang!”

        “Adaw! Elo apaan sih?!” Yogi berusaha menahan serangan itu.
        “Gibson gue mana! Gue mau elo balikin Gibson gue!”
        “Memey! Inok kesurupan nih!” teriak Yogi.
        “Iihh, mana Gibson gue!” terus saja aku menghujani pukulan pada Yogi. Dari belakang Memey menghampiriku.
        “Sudah yah Nok, sudah!” Memey menenangkanku.
        “Sakit Pret!” sela Yogi.
        “Elo yang kampret! Balikin Gibson gue!” tangisku mulai pecah dan bergelayut di rengkuhan Memey.
        “Gibson?!” Yogi mengulang perkataanku. Wajahnya terlihat sangat sangat sangat oon.
        “Tuh kan Mey, bang Yogi beneran ngejual Gibson. Huaaaa!!” Memey kembali menenangkanku. Kekesalan dan kekecewaanku pada Yogi semakin memuncak sampai pucuk kepala. Bagaimana tidak? Tuh anak malah garuk-garuk kepala. Seakan tidak tahu apa-apa.
        “Yogi! Mana Gibsonnya. Inok bisa sekarat kalau nggak ada Gibson.” kata Memey. Tak sampai lima detik, tiba-tiba Yogi tertawa keras. Ckckck benar-benar deh menari di atas penderitaanku.
        “Bang Yogiii!! Memey! Tuh bang Yogi jahat banget.” rengekku semakin menjadi beberengan dengan tawa sang cowok kampret.
        “Elo nyari Gibson?” Yogi berusaha menghentikan tawanya.
        “Elo kira gue nyari siapa, monyet?!”
        “Lah, elo kan udah punya banyak boneka monyet, apa mau yang asli.”
        “Lama-lama gue telen juga elo bang.” Memey yang berada di antara kami hanya geleng-geleng.
        “Telen aja kalau bisa. Oh yah, Gibson yah? Udah gue....masak!” Mendengar itu rontok semua tubuhku. Tega sekali dirimu bang. Ah! Tuhan...kenapa ini bisa terjadi. ratapku.
        “Yogi! Kamu ini tega sekali sama adikmu.”
        “Ah! Memey, biasa aja kali. Sini Nok, gue tunjukin gimana lucunya si Gibson udah di cincang.” kata-katanya sangat mengiris telingaku. Haduh, putus dah nih telinga mendengarnya. Dengan cepat Yogi menarik tanganku.
        “Ayo!”
        “Gak mau!” Aku bertahan memeluk Memey. “Gue benci elo, Elo tega sama gue!” tangisku seraya melepaskan tangannya.
        “Yogi! Udah ah kamu kok...”
        “Udah Mey, Yogi bakal tunjukin sesuatu sama Inok. Ayo!” ia kembali menarikku paksa,hingga aku terlepas dari pelukan Memey. Aku memandang Memey dengan iba. Berharap mencegah Yogi membawaku. *kayak sinetron*
        “Memey...” lirihku.
        Yogi membawaku ke depan rumah. Aku sama sekali tidak melihat ke arahnya. Benci.
        “Lihat Nok!” ujar Yogi. Aku tetap membelakanginya. “Bener-bener yah lo, harus dengan paksaan aja.” aku tak bergeming. Dengan cepat, Yogi menarik tubuhku.
        Mataku terbelalak melihat sesuatu di depan mataku. Aku hampir saja aku terlonjak kaget *kenapa! kenapa! kenapa! Gibsonnya udah di masak?*
        Bukan! Memang di depanku itu Gibsonku, Tpi bukan di masak atau pun di cincang.
        “Ini...Gibson gue!!” sergahku berhambur memeluk Gibson. Oh maksudku, memeluk aquarium yang ukurannya tidak sebesar di rumah.
        “Sarap lo, Nok. Kalau Indra tahu pacaranya memeluk lohan, gimana yah. Eh, bentar, Febri atau Indra, Nok.”  Yogi menepuk pundakku. Aku tak menghiraukannya.
        “Terserah elo aja.” jawabku singkat lalu kembali memperatikan Gibson dengan saksama. “Lo apain Gibson gue bang, kayaknya ada yang beda.” aku memperhatikannya.
        “Jelas bedalah, secara yah, selama elo di Bogor tuh gibson kelihatannya sakit, makanya gue bawa dia ke dokter hewan.” aku sedikiti tidak percaya dengan ucapannya. Dokter hewan?
        “Oh gitu, kirain elo beneran mau jual, bisa...”
        “Sekarat!” potong Yogi. “Gue nggak biarin adik gue sekarat, karena gue pengen lihat elo ketakutan lagi sama kucing.” aku mencubit lengan Yogi di akhir ucapannya.
        “Tapi kok Gibson elo taruh di aqurium kecil seperti ini, dia nanti nggak bisa gerak bebas, kampret.”
        “Dodol, mana mungkin gue bawa aquarium besar dari rumah. Lagian untung gue taruh di aquarium, dari pada di gelas.” elo yg lebih dodol, lohan di taruh di gelas, mana muat. Batinku.
        “Iya juga sih, hmmmm thanks yah, bang.” aku memeluk Yogi erat.
        “Iya iya sama-sama,” Yogi mencubit pipi chubbyku. “Udah sekarang bawa Gibson ke dalam.”
        “Bantu napa.” aku dan Yogi membawa Gibson masuk ke dalam. Fiiiuuh, sekarang dadaku terasa lega, lega karena Gibson tidak beneran dijual atau di masak.

The End
Tunggu kisah selanjutnya, dengan  judul yg beda :D

Kamis, 02 Agustus 2012

Nyanyian Nina Bersama Senja # Bagian 4 ENDING


            “Senja, apa kamu belum bisa menerima semua ini? Nina sudah tidak ada sayang...” sangat pelan tante Inah mengatakannya.
            “Tapi tante, Nina benaran ada di sini. Sekarang dia ada di kamar Senja.” Aku tetap keukuh kalau Nina memang ada di sini.
            “Senja, itu tidak mungkin. Sudah lima hari Nina pergi sayang. Dia tidak mungkin ada di sini. Bukankah dua hari yang lalu kamu juga mengadakan tahlilan di panti asuhan. Kamu cuma berkhayal saja.” Tante Inah membelai rambutku. Aku menggelangkan kepalaku.
            “Kalau tante nggak percaya, biar Senja tunjukkan.” Aku langsung menarik tangan tante Inah masuk ke dalam lalu menuju kamarku “Nina! Nin!” panggilku membuka kamar. Kosong. Aku melihat ke dapur, tetap kosong. Pasti di kamar mandi. “Nina! Ada tante Inah nih, kamu di mana!” teriakku. Tak ada jawaban dan tak ada sosok Nina di ruangan mana pun.
            “Senja, sudah Senja. Nina...”
            “Nggak tante, memang dua hari yang lalu Senja mengadakan tahlilan di panti. Tapi sudah dua hari ini Nina datang ke rumah. Bahkan Senja tidur bareng Nina.” terangku berusaha meyakinkan tante Inah “ Nina! Nin, kamu di mana?!”
            “Sayang, dengar tante!” tante Inah menarik wajahku untuk menatapnya “Nina sudah tidak ada, Nina sudah dipanggil Allah. Kamu cuma belum siap menerima semua ini.” suara tante Inah ditekankan. Mendengar ucapannya, mataku serasa panas. Bibirkku bergetar. “Senja, kamu sendiri melihat jasad Nina dikebumikan. Sadar sayang, istighfar.” lanjutnya. Aku menangis. Tante Inah memelukku erat.
            “Nina...Tapi Senja melihatnya datang ke rumah ini, tante. Senja nggak bohong.” tangisku semakin menjadi. Kurasakan tante Inah juga menangis.
            Lima hari yang lalu, kecelakaan merenggut nyawa Nina. Hari itu Nina pamit padaku, katanya ada yang mengaku menjadi adik dari ayahnya. Nina berniat mencari alamat yang ia dapatkan dari ibu Fatimah. Namun, belum juga menemukan alamat rumah itu, sebuah truk melaju kencang dan menabrak Nina. Naas, Nina tewas di tempat. Aku yang mendapat kabar itu sangat shock. Nina memang telah tiada. Tapi aku tidak bohong kalau Nina benar-benar menemuiku. Akan aku buktikan! Pasti. Lihat saja.
***
            Bruuumm....sebuah motor gede berhenti tepat di depan kontrakanku. Aku melongo. Alamamater yang ia pakai memakai dari SMA Bintang. Tidak! Tidak mungkin cowok dibalik helm hitam itu....
            “Ngapain melongo gitu. Cepet naik!” ujarnya seraya membuka kaca helm. Terlihat wajah gantengnya.
            “Angga!” seruku tak percaya.
            “Apa?!” nadanya jutek.
            “Ngapain kamu ada di sini. Ini kan bukan jalan menuju sekolah.” ucapku.
            “Cewek sepintar elo ternyata oon juga yah? Jelas-jelas gue ke sini mau jemput elo.” paparnya. Aku tambah melongo. Jemput? Angga menjemputku? Tanda tanya besar melayang-layang di kepalaku. Aku melihat ke kontrakan lagi.
            “Nyari apa sih, lo.” Angga penasaran.
            “Nina...kali aja Nina balik lagi ke sini, mumpung ada ka...”
            “Udah deh jangan ngaco, cepet naik.” Angga menarik tanganku sebelum aku menyelesaikan kata-kataku. Entah aku masih tetap bersikukuh kalau Nina benar-benar ada di sini. Apalagi ada Angga.
Aku tidak bisa menolak lagi. Sejurus kemudian motor Angga melaju melalui jalan sempit ini sebelum ke jalan raya. Angga aneh! Motor sebagus ini mau melewati gang sempit dan rusak juga becek. Tidak takut kotor apa.
            Sepanjang jalan aku tidak berbicara apa-apa. Laju motornya juga pelan, padahal sudah siang. Bisa terlambat nanti. Tapi sekali lagi, aku tetap tidak berbicara. Aku juga menjaga jarak boncengannya.
            “Loh, ini bukan arah sekolah Ga.” Protesku begitu sadar jalan yang Angga lalui bukan menuju sekolah. “Ga, kita mau ke mana?” tanyaku.
            “Bolos sekolah. Kenapa? Nggak pernah bolos yah?” jawabnya enteng.
            “Ga, kamu apa-apaan sih! Balik cepat ke sekolah!” aku menepuk pundaknya.
            “Nggak mau! Ada sesuatu yang mau gue omongin ke elo.”
            “Tapi nggak harus bolos kan? Kita bisa ngomong di sekolah. Ga, cepet balik ke jalan tadi.” protesku lagi. Angga tak menghiraukan perkataanku. “Kalau kamu mau bolos silahkan, tapi jangan bawa aku. Aku mau sekolah. Turunin aku di sini, Ga.” seruku.
            “Gue bilang nggak!” nada Angga meninggi, lalu menarik tangaku dan dilingkarkan di perutnya. Belum sempat aku protes lagi, Angga langsung menambah kecepatan motornya. Saking cepatnya aku sampai bersembunyi di belakang tubuh Angga.
*
            Aku sampai di sebuah tempat yang aku sendiri tidak tahu ini di mana. Jalanan lengang, pohon yang mehijau berdiri sepajang jalan. Aku terpana melihatnya. Baru kali ini aku melihat tempat yang serasa nyaman. Sinar matahari hanya sedikit terlihat dari rimbunan daun berwarna kuning kehijauan.
            “Kita ke mana sih? Kamu jangan macam-macam sama aku.” ucapku. Saat itu laju motor Angga sangat pelan.
            “Jangan berpikir negatif gitu, Senja.” Jawabnya lalu membelokkan motor ke tikungan berikutnya. Jalanan ini seperti menyambung terus, semakin indah sepanjang jalan.
            Motor pun berhenti di bawah pohon. Aku turun dari motor disusul dengan Angga. “Ini di mana?” aku masih penasaran.
            “Ini jauh dari keramaian. Gue mau ngomong sesuatu sama elo. Sini!” Tanpa menunggu jawabku ia langsung menarik tanganku duduk di bangku tak jauh dari motor.
            Beberapa manit tak ada yang berbicara. Angga terdiam menatap lurus di depannya. Aku sendiri masih bingung, jangan-jangan. Ah! Aku tidak boleh berpikir macam-macam.
            “Gara-gara kamu, aku jadi bolos sekolah!” sungutku. Angga mendelik.
            “Satu hari bolos nggak mungkin langsung dikeluarin dari sekolah kan? Lagian gue udah buat surat izin buat kita berdua. Jadi elo tenang aja, jangan bawel!” balas Angga.
            “Jadi sekarang kamu mau ngomong apa!” sergahku. Tak sampai sepuluh detik, Angga mengeluarkan sesuatu dari saku seragamnya. Sebuah ikat rambut berbentuk bola basket di tangan angga. Aku terdiam.
            “Ini...” ia menyerahkan ikat rambut itu padaku. Aku tak bereaksi apa-apa, bahkan tidak menanggapinya. Angga meletakkan aksesoris cewek itu di tanganku. “Itu untuk Nina, belum sempat gue berikan.” ucapnya. Aku tertegun mendengar ucapannya. Terlihat sangat jelas penyesalan yang mendalam di sana.
            “Bukan hanya jepit rambut itu yang belum sempat gue berikan pada Nina, tapi perasaan gue juga.” Serasa angin berhenti saat itu juga mendengar Angga melontarkan kata-kata itu. “Gue jatuh cinta pada Nina, gue mencintainya.” lanjut Angga sukses membuat aku mematung. Entah aku harus apa, atau berkata apa. Aku kira akhir-akhir ini sikap Angga yang selalu menemuiku itu karena ia mempunyai perasaan yang lebih padaku. Yah, perasaan suka. Tapi aku salah, salah besar.
            “Ka..kamu...suka sama Nina?” Akhirnya mulutku bisa berbicara juga.
            “Yah, bukan hanya suka. Gue cinta sama Nina, Senja. Sejak masuk SMA Bintang. Tapi gue bodoh banget nggak bisa mengutarakan rasa gue ini padanya. Dua tahun gue simpan perasaan ini, hanya gue. Yah, hanya gue yang tahu betapa gue sangat mencintainya.” akunya. Tak pernah menyangka, seorang Angga yang bisa mendapatkan cewek mana pun yang ia mau malah menyukai Nina yang gadis biasa. Nina memang cantik, tapi tidak semodis cewek-cewek SMA Bintang lainnya.
            “Setiap hari gue memperhatikan Nina, apa yang Nina lakukan gue tahu. Bahkan gue ikuti di mana Nina latihan basket dan volly. Tentu tanpa sepengetahuannya. Gue sangat mangagumi cewek biasa dan apa adanya Nina. Gue...ah! Kenapa gue nggak bilang dari dulu kalau gue sangat mencintainya.” Penjelasan Angga terakhir terdengar putus asa, ia menutup wajah dengan telapak tangannya. Tanganku perlahan meraih pundak Angga dengan agak gemetaran.
            “Ga...aku bener-bener tidak menyangka kamu menyukai Nina. Aku kira sikapmu beberapa hari ini karena kamu...”
            “Menyukai lo.” potong Angga dan langsung menatapku. Aku menunduk.
            “Sorry Senja, bukan maksud gue membuat elo berpikir kalau gue suka sama elo. Jujur gue shock dan hampir gila semenjak tahu Nina kecelakaan. Gue tersiksa dengan perasaan gue sendiri, gue belum mengatakan kalau gue cinta padanya. Gue deketin elo, berharap gue bisa jujur sama perasaan gue tentang Nina, karena elo sahabat dekat Nina.” terang Angga panjang lebar. Aku terenyuh mendengarnya. Seorang Angga mempunyai rasa cinta yang begitu besar kepada sahabatku.
            “Ikat rambut ini...?” lirihku.
            “Tiap kali melihat Nina bermain basket atau volly, gue suka sama rambutnya yang panjang dan hitam. Kadang rambutnya diikat asal, dan ikat rambutnya juga jadul banget, makanya gue pengen kasih jepit bentuk bola basket itu sama Nina. Pasti sangat cantik kalau Nina memakainya.” ucap Angga. Ada sedikit senyum di sudut bibirnya. Angga pasti membayangkan Nina memakai jepit rambut ini. Nin, andai aja kamu dengar semua yang Angga katakan. batinku.
            “Ga, sebenarnya Nina juga suka sama kamu. Semenjak masuk SMA Bintang. Ia juga seperti cewek lain, mengagumimu, sangat mengagumimu. Tapi Nina sadar, siapa dirinya dan siapa kamu. Ia lebih memilih diam. Yah, kurasa Nina sama sepertimu. Tidak bisa mengutarakan rasa cintanya.” tambahku. Angga tertegun. Mungkin ia juga tidak menyangka Nina mempunyai rasa yang sama. Tuhan, begitu peliknya jalan cinta Angga dan Nina.
            “Be...benarkah?!” sergah Angga. Aku mengangguk yakin.
            “Aku dari kecil hidup bersama Nina Ga, aku tahu gimana perasaan Nina.” lanjutku. “Kamu tenang Ga, kalau nanti Nina datang lagi ke rumahku, akan aku katakan padanya kalau kamu mencintainya. Nina pasti bahagia.” aku sudah membayangkan betapa bahagianya Nina, begitu tahu Angga juga menyukainya. Ah, Nina, semoga aku bisa bertemu denganmu lagi.
            “Maksud lo?”
            “Iya, sudah dua hari Nina menemuiku. Bahkan aku tidur bersama Nina. Tiap malam kami berbagi cerita, Nina tetap ceria dan lincah seperti dulu Ga. Rambut panjangnya juga dipotong sedikit. Nina kelihatan makin cantik. Sangat cantik.” terangku. Angga langsung memegang pundakku.
            “Elo ngomong apa sih, Senja. Nina? Datang menemuimu?”
            “Iya Angga, kalau kamu lihat, pasti kamu terkagum-kagum sama Nina.” timpalku.
            “Nggak! Walau pun gue sulit untuk menerima kenyataan kalau Nina memang udah nggak ada, tapi gue nggak sampai menganggap bahwa Nina...”
            “Ga!” potongku balik menatapnya. “Apa kamu juga nggak percaya sama aku, kalau aku benar-benar melihat Nina.” Tandasku. Terdengar jelas bahwa Angga tidak percaya kalau Nina memang menemuiku.
            “Jelas itu nggak mungkin Senja, Nina udah nggak ada. Kalau emang benar Nina menemui elo, dan tidur di samping lo, kenapa dia tidak berangkat sekolah?” sergah Angga.
            “Nina kesulitan untuk berangkat sekolah Ga, orang-orang di sana melarang Nina untuk sekolah. Dia bahkan mati-matian izin untuk bertemu denganku.” paparku lagi.
            “Sadarlah Senja, jangan sampai ketidakterimaan elo atas perginya Nina, membuat elo lupa akan kenyataan yang ada.”
            “Ga! Aku kira kamu mau percaya sama aku, karena kamu mencintai Nina. Nina benar-benar menemuiku Ga, kita ngobrol bareng.” aku berusaha meyakinkan Angga, tapi Angga malah menggelengkan kepalanya. Aku menatap cowok yang jadi idola SMA Bintang itu tajam.
 “Ok fine. Aku akan buktikan kalau aku memang bertemu dengan Nina.” mataku berkaca-kaca. Tante Inah maupun Angga tak mau percaya padaku.
****
            Kreeek...ku buka pintu rumah kontrakan. Masih dengan Angga di belakangku. Dalam hati aku berharap Nina ada di dalam, seperti dua hari yang lalu. Perlahan aku memasuki rumah.
            “Nina! Nin!’ panggilku. Tak ada jawaban. Angga tetap mengikuti dari belakang. “Nina! Tebak siapa yang datang. Angga Nin, Angga ingin ketemu kamu katanya.” ucapku terus memanggil Nina.
            “Senja!” sepertinya Angga sabar ingin bertemu dengan Nina, atau ia mulai kesal dengan sikapku yang tetap beranggapan Nina sering datang ke rumah ini.
            “Bentar Ga, aku yakin Nina pasti datang. Biasanya jam segini Nina ada di rumah, Ga.” jawabku “Nina! Ada Angga Nin!” lanjut memanggil Nina seraya melongok ke setiap ruangan. Yang selalu aku dapati hanyalah kekosongan.
            “Senja! Cukup!” Seru Angga menahan tanganku. Aku diam dengan posisi membelakanginya. “Nina nggak ada Senja, elo harus sadar! Sesakit apapun gue untuk nerima ini, tapi nggak akan merubah kenyataan.” lanjut Angga.
            “Senja! Please jangan beranggapan kalau Nina masih hidup, elo cuma berhalusinasi, elo cuma belum siap melepas Nina.” tambahnya. Seketika aku berbalik menatap Angga.
            “Nina memang masih hidup Ga, selamanya ia akan hidup. Aku dan Nina tidak akan terpisahkan. Nina tetap bersamaku!” aku menaikkan nada suaraku. Angga tersentak mendengar ucapanku. “Kamu boleh menganggap Nina telah pergi, tapi tidak denganku. Dan satu hal Ga, aku nggak bohong kalau Nina datang ke rumah ini. Ok, aku nggak butuh kamu mempercayai ucapanku. Cukup Nina! Cukup Nina yang mempercayaiku!” Angga tak bereaksi. Air mataku nyeloroh begitu saja tanpa perintah. Tiba-tiba tante Inah datang.
            “Senja!” serunya lalu menghampiriku. “Sudah Senja,”ia belai rambutku penuh sayang.
            “Angga tak percaya sama aku tante, padahal Angga menyukai Nina.” ujarku. Angga hanya menggelengkan kepalanya, seolah ia tetap tak percaya dengan apa yang aku katakan.
            “Senja, wajar kalau nak Angga tidak percaya. Tante, kamu dan mungkin Angga melihat langsung tubuh Nina dikebumikan. Kamu harus sadar sayang, ini memang berat tapi kamu harus belajar menerimanya.” terang tante Inah.
            “Semuanya sama saja!” seruku berlari keluar rumah.
            “Senja!” teriak Angga. Aku tak peduli lagi. Aku terus berlari.

****
            Sore menapaki langit. Aku duduk di pasir pantai. Sepi, hanya ada aku dan segala sesuatu di pantai ini. Deburan ombak menambah keindahan sendiri, di tambah dengan rona langit yang keemasan. Aku terdiam merangkul kedua lututku. Mataku manatap lurus ke laut.
            Tidak! Sekarang aku tidak sendiri. Kurasakan seseorang menyandarkan kepalanya di bahu kiriku. Menikmati deburan ombak bersama.
            “Akhirnya kamu datang juga, Nin.” ucapku melirik sekilas ke Nina di sisi kiriku.
            “Kamu merindukanku, Senja?” tanyanya. Aku mengangguk. Sudah aku bilang, Nina memang benar-benar menemuiku, dan mungkin hanya aku.
            “Nin, ada sesuatu yang mau aku katakan. Ini pasti membuatku bahagia.” kataku lagi.
            “Apa?” Nina masih tetap menyandarkan kepalanya di bahuku. Oh yah, sekarang ia memakai dress saat pertama kali datang ke rumahku, dua hari yang lalu.
            “Angga. Ternyata dia juga menyukaimu Nin. Oh tidak, ia bahkan sangat mencintaimu.” Nina tersenyum, pastinya. Rasanya terbalas juga. “Kau bahagia?” tanyaku. Nina mengangguk.
            “Tentu Senja, rasa cinta yang ku pikir hanya angan ternyata mendapat balasan. Tapi sayang, aku tak bisa membalas  rasa itu dalam sesuatu nyata.” jawabnya dengan santai.
            “Apa kau datang ke sini, hanya untuk memastikan tentang perasaan Angga. Seperti dalam film Love is Cinta?” kali ini Nina menggeleng. “Lalu?” tanyaku untuk kesekian kalinya.
            “Kamu sendiri bilang kan, aku dan kamu tidak akan terpisahkan. Kita berdua sadar telah berbeda dunia, tapi keyakinan kita tidak bisa berubah. Dalam wujud apapun aku dan kamu, akan tetap bersama. Aku ke sini karena alasan itu. Kalau tentang jawaban Angga, mungkin itu bonus untukku dari Tuhan.” paparnya masih dengan nada santai dan tenang.
Dalam hati, aku mengiyakan perkataan Nina tadi. Aku dan Nina akan tetap bersama. Senja semakin merambat, sebentar lagi sunset akan turun.
            “Senja!” panggil Nina.
            “Yah,”
            “Boleh aku minta sesuatu?”
            “Apa itu, Nin?”
“Nyanyikan lagu Nina Bobo. Sudah lama aku tak dinyanyikan lagu itu olehmu. Aku rindu. Setidaknya untuk menutup hari ini. Nyanyian Nina bersama senja.” Perlahan Nina menggerakkan tangannya ke langit menunjuk senja yang sangat indah. Baru kali ini aku melihat senja yang sangat menenangkan hati. Aku tersenyum. Lalu aku menyanyikan lagu Nina Bobo untuk Ninaku, sahabat terbaik yang aku miliki.

SELESAI
Jumat, 3 Agustus 2012-08-03
00.27

Nyanyian Nina Bersama Senja # Bagian 3


            “Masuk kelas sana!” Pinta Angga. Loh, cowok satu ini malah menyuruhku? Tanpa basa-basi lagi aku langsung berlari menuju kelas. Tentu saja jantungku masih berdebar sangat kencang sambil memanggil nama Nina dalam hati.
***
            Aku sampai rumah pukul 16.30, karena tadi teman tante Inah menyuruhku mengajari anaknya yang jarak rumahnya cukup jauh. Aku mengeluarkan kunci dari tasku. Namun, aku tertegun karena ternyata pintu itu tidak terkunci. Aku yakin sekali tadi pagi sudah aku kunci.
            Maling? Masa? Tidak ada benda berharga di dalam rumah ini. Kecuali Nina, karena ia mempunyai duplikat kuncinya. Biar nanti kalau diantara kita pulang duluan, bisa masuk rumah. Perlahan kupegang gagang pintu dan membukanya pelan. Semuanya tertata rapi, sama seperti saat aku berangkat sekolah. Aku memasuki kamar minimalisku. Baru saja pintu terbuka separuh, aku langsung menutup mulut dengan kedua tanganku. Sosok cewek duduk manis di depan jendela kamar yang terbuka lebar.
            “Ni...na!” seruku tak percaya, Nina pulang. Ia ada di sini. Kontan Nina menoleh ke arahku. Wajah cantiknya tersenyum manis padaku. Lihat, rambut panjangnya dipotong sedikit. Rambut yang biasa Nina kucir kini tergerai bebas. Ia juga memakai dress selutut berwarna putih.
            “Hai, Senja!” sapanya sembari melembaikan tangan. Nina menunjuk kursi kosong di sebelahnya. Perlahan aku mendekati Nina, dan duduk di sampingnya.
            “Ka...mu...” aku seakan tak percaya. Dihari ke empat ini Nina baru pulang, aku kira ia betah di rumah seseorang yang kata Nina, selama ini menunggunya. Sedikit aku tak percaya. Bukan hanya alasan apakah ia betah atau tidak, ada alasan lain yang sulit untuk aku katakan.
            “Senja, aku rindu sekali sama kamu.” Nina memeluk tubuhku erat. Aku tak bergeming. Sebentar benakku melayang mengingat beberapa hari ini.
            “Aku juga, Nin.” akhirnya kubalas pelukannya dengan erat pula. Jujur, aku tak ingin Nina pergi lagi. Ia adalah kerabat terdekatku, hanya dia. Yah, yang mengerti akan diriku sepenuhnya.  Jangan pisahkan kami lagi, Tuhan. Ada buliran bening keluar dari kelopak mataku.
            “Aku kira kamu betah di sana.” ucapku. Di sana? Entahlah itu di mana. Yang penting Nina ada di sini, aku senang.
            “Soalnya di sana itu tidak menyenangkan Senja, orangnya juga bermacam-macam. Ada yang tinggi menyeramkan, ada yang tinggi tapi menenangkan. Aku tidak punya teman di sana. Aku mau di sini, sama kamu.” Ia memegang tanganku. Aku tersenyum menatap bola matanya yang berbinar-binar.
            “Aku kesepian tanpa kamu, Nin.” Lirihku.
            “Aku juga.” Ia tersenyum “Oh yah, aku bisa menebak kenapa kamu pulang sampe sesore ini. Pasti ngajar les privat lagi kan?” Sudah aku bilang, Nina memang paling tahu tentang diriku. Aku tersenyum disusul dengan anggukan kepala. Lalu ia bangun dari duduknya dan beralih duduk di tempat tidur, mengelus-elus sprei yang berwarna biru tua.
            “Aku rindu kamar ini Senja, semua yang kita lakukan terukir di kamar ini, rumah ini. Tangis dan tawa kita bagi bersama.” Kenangnya. Yah, kamu benar Nina. Dan aku harap, kamu jangan pergi lagi. Kataku dalam hati.
            “Well, itu semua masa lalu.” lanjut Nina.
            “Masa lalu? Jadi semua yang kita lakukan akan kamu jadikan masa lalu atau kenangan? Kamu mau melupakan semuanya?” runtut pertanyaanku. Mendengar itu Nina langsung bangun dari duduknya dan menghampiriku.
            “Bukan gitu Senja. Semua yang kita lakukan tidak akan aku lupakan, sampai kapanpun. Akan tetapi, kita tidak mungkin berdiam diri kan? Semua orang punya impian, termasuk aku dan kamu. Kamu mempunyai impian yang begitu besar, Senja. Kamu harus meraihnya dengan tanganmu sendiri. Meski pun harus jatuh bangun.” terlihat semangatnya menggebu menatapku dalam.
            “Lalu bagaimana dengan impianmu?” tanyaku. Nina tak langsung menjawab, ia berdiri di jendela sambil memandang lembayung. Sudah semakin sore. Nina mendesah.
            “Aku rasa impianku cukup di sini Senja, menjadi atlet basket atau volly tidak mungkin aku teruskan. Aku ke sini saja mati-matian izin sama orang-orang di sana.” ucapnya lemah.
            “Tapi kamu harus memperjuangkan impian kamu, Nin. Besok kamu harus berangkat sekolah, tadi sore diadakan seleksi untuk masuk tim inti volly. Aku dengar seleksinya selama tiga hari. Itu untuk persiapan pertandingan volly antar SMA yang akan dilaksanakan bulan Agustus. Kamu ikut kan?” terangku panjang lebar, berharap Nina tidak menghentikan impiannya. Tak ada reaksi dari Nina. Mata indahnya menatap lembayung sore dengan teduh.
            “Kita lihat saja nanti.” ucapnya datar. “Oh yah, kemarin sore aku juga lihat kamu datang ke panti.” Aku tertegun mendengar ucapannya.
            “Kamu ada di sana?” aku tercekat, tak percaya. Nina mengangguk yakin.
            “Yah, aku ada di sana, tapi aku tak mau masuk. Kemarin sore panti sangatlah ramai. Aku tahu kamu dan ibu Fatimah menangis berpelukan, tapi maaf aku tidak bisa masuk. Aku takut, yah aku takut orang-orang di dalam menghujaniku dengan tatapan aneh mereka.” ia memainkan kuciran rambut yang aku buat sendiri dengan menyulam dan kubersembahkan itu untuk Nina. Itu dulu. Dan sampai sekarang Nina masih menyimpannya.
            “Ka...kamu...”
            “Aduh Senja, ditinggal tiga hari sama aku, kamu suka gagap gitu. Santai aja kali, non.” ucapnya enteng seperti tak menghiraukan kebingunganku. “Kamu tahu, aku menunggu di belakang panti sampai orang-orang pergi. Aku tak menyangka bubarnya lama sekali. Kamu juga Senja, jam sepuluh malam baru pulang. Bahaya buat kamu. Rumah ini sama panti kan cukup jauh.” komentarnya. Aku terdiam. Nina kemarin sore datang ke panti. Tapi kenapa aku tidak melihatnya. Ah, Nina. Sekarang cewek ini jadi sok misterius.
            Malam itu aku tidur di samping Nina. Rinduku sedikit terobati. Sepanjang malam Nina terus bercerita tentang suasana yang ia tempati selama beberapa hari ini. Tapi Nina tidak menyebutkan nama tempat itu. Mimik wajah saat ia bercerita juga bermacam-macam. Kadang senang, sedih, marah dan sebagainya. Aku sendiri menjadi mendengar yang baik untuk sahabatku ini.
***
            Aku sudah berada di kelas. Melamun. Tentu saja, aku masih memikirkan tentang Nina. Saat bangun tepat adzan Shubuh terdengar, Nina tidak ada di tempat tidurnya. Aku sudah mencari ke mana-mana, tapi tetap tidak ada. Yang aku temukan hanya sebuah surat di meja samping tempat tidur. Tertulis sebuah pesan singkat dari Nina.

Aku balik dulu ke tempat itu. Nanti pulang sekolah aku datang lagi ke sini, itu juga kalau aku dapat izin keluar menemuimu. Bye Senja. See you...

Nina.
            Hanya itu yang Nina tuliskan. Bahkan ia tidak pamit langsung padaku. Padahal aku belum menceritakan kalau Angga mencarinya, beberapa kali menyebut namanya. Ah, Nina, kamu harus tahu tentang Angga. Sepertinya dia merespon kamu. batinku lalu membenamkan wajahku di meja.
            “Senja!” Seseorang menepuk pundakku. Kontan aku mengangkat kepalaku.
            “Angga!” aku tak percaya Angga datang ke kelasku. Aku tahu kelas Angga jauh dari kelasku. Ada keperluan apa ia ke sini?
            “Elo kenapa, kusut banget?” tanyanya. Aku langsung menggeleng lalu melempar pandangan ke sekeliling. Seisi kelas memandangku dengan tatapan sinis, mungkin. Bisa gawat! Aku nggak mau dikira cewek gatal. runtukku.
            “Ngapain kamu ke sini!” sedikit membentak.
            “Galak bener elo.” Ia langsung duduk di sampingku, tempat duduk Nina. “Gue pengen duduk di sini.” lanjutnya enteng. Membuat tatapan anak-anak semakin tajam ke arahku.
            “Eh, ini bukan kelas kamu, Ga.” aku mengusir. “Dan jangan duduk di bangku, Nina! Pergi kamu!” aku mendorong tubuhnya.
            “Apaan sih lo, Senja. Siapa aja boleh duduk kan.” Angga tak mau beranjak.
            “Tapi nggak di bangku ini!” masih mengusir. “Ok, kalau kamu nggak mau pergi, biar aku yang pergi!” aku bangun dari dudukku, tak tahan dengan tatapan anak-anak. Kulihat Angga masih duduk di tempat Nina, memandangku pergi.
***
            Usai mengajar les privat di rumah tante Inah, aku tertahan di sini. Tidak bisa pulang ke kontrakanku. Tari dan Yoga malah mengajakku main.
            “Pokoknya kak Senja nggak boleh pergi, temenin kita main yah?” Ucap Tari manja.
            “Tapi kak Senja harus pulang, Tari. Kakak...”
            “Ayolah kak...” Yoga ikut manja.
            “Temenin mereka yah, Senja. Lagian kamu sendirian kan di rumah?” Tiba-tiba tante Inah datang dari belakang. Aku tersenyum. Kata siapa di rumah sendiri, Nina pasti sudah di rumah sekarang. Tapi aku tidak enak untuk menolaknya.
            “Iya tante.” jawabku. Kontan Tari dan Yoga bersorak gembira, mereka mengambil pistol air dan saling menembakkan ke wajah bergantian. Melihat itu aku jadi tertawa. Tante Inah sendiri sudah kembali masuk.
            “Ayo kita tembak, Kak Senja!” teriak Yoga lalu menembakkan pistol air ke arahku.
            “Eh, eh! Kalian!” aku gelagapan. Tawa mereka semakin riang. “Awas yah kalian!” aku mengejar Yoga dan Tari. Suasana jadi penuh dengan tawa dan kegembiraan. Aku memang sudah terbiasa menghadapi anak kecil, seperti waktu aku dan Nina masih di panti.
            Satu jam berlalu, Tari dan Yoga kelelahan bermain. Seteleh dua bocah itu mandi, aku masih harus menemaninya. “Kak Senja, coba deh kakak nyanyi Nina bobo, itu si Tari ngantuk tuh.” ujar Yoga menunjuk Tari yang saat itu tiduran di pangkuanku dengan merangkul bonekanya.
            “Kamu juga ngantuk kan? Tuh matamu tidak bisa dibohongi.” balas Tari.
            “Sudah, sudah, kalian berdua sini.” Aku duduk di sofa, Tari tetap di pangkuanku. Sedangkan Yoga mendekat dan menyandarkan kepalanya di badan sofa. “Kalian tidur yah,” lanjutku. Sambil membelai lembut rambut Tari aku mulai menyanyikan lagu nina bobo. Nina bobo? Ah, aku jadi ingat Nina. Dulu waktu kami berdua masih di panti, Nina sering memintaku menyanyikan lagu Nina bobo saat ia tidak bisa tidur. Katanya setiap dengar lagu itu Nina merasa namanya di ingat dan disebut semua orang. Walaupun terkesan lagu anak-anak, tapi Nina tetap senang.
            “...digigit nyamuk.” aku mengakhiri lirik lagunya. Ternyata Tari dan Yoga sudah tertidur pulas. Aku bernapas lega. Bisa pulang juga...batinku lalu melirik jam tangan. Pukul 17.00, Nina pasti dari tadi menungguku.  Setelah memanggil pembantu rumah tante Inah untuk pamit, aku langsung pulang.
            Benar saja, rumah kontrakan tidak terkunci. Nina!
            “Assalamualaikum...” seruku seraya membuka pintu.
            “Walaikumsalam...” jawab Nina. Aku kaget melihat Nina bersandar di tembok dekat pintu. “Nina! Kamu buat aku jantungan!” umpatku.
            “Kamu gimana sih, aku nunggu kamu dari tadi siang.” wajahnya ditekuk.
            “Maaf, aku lupa kalau hari ini aku harus ngajarin anaknya tante Inah. Jangan cemberut Nin, jelek tahu.” Aku menarik sudut bibirnya. Akhirnya Nina tersenyum juga.
            “Mandi sana, bau tahu.”
            “Iya...bawel!”

            Usai mandi, sambil menunggu adzan maghrib aku membaca Al-Quran. Tadi aku mengajak Nina, tapi katanya ia sedang datang bulan. Jadi ia cuma tiduran di ranjang sambil mendengarkan suaraku membaca Al-Quran.
            Akhirnya adzan maghrib terdengar. Dengan segera aku menunaikan salat Maghrib. Setelah salat aku kembali berbincang dengan Nina di tempat tidur. Nina juga menyisir rambutku lembut. “Aku suka sama rambutmu, Senja. Indah. Aku ingin sering-sering menyisir rambutmu ini.” ucap Nina.
            “Benarkah? Rambutmu juga bagus Nin, apalagi sekarang rambutmu di potong sedikit. Tambah cantik.” pujiku. Nina tersenyum.
            “Nina, beberapa hari ini Angga nyebut-nyebut nama kamu loh. Sikapnya juga aneh, sekarang sering datang menemuiku. Padahal nggak ada yang penting.” kataku teringat dengan sosok Angga.
            “Masa?”
            “Beneran. Aku lihat Angga menyembunyikan sesuatu sama kamu, aku tidak tahu itu apa. Apa jangan-jangan dia juga suka sama kamu, Nin.” Aku membalikkan badan menghadap Nina. Nina tersenyum. Hanya itu. Bukan senyum kebahagiaan.
            “Kok reaksinya biasa aja?” Aku heran.
            “Yaah...mau gimana lagi Senja. Banyak cewek yang suka sama Angga, aku nggak mungkin dilirik oleh Angga.” jawabnya terdengar menyerah. Akan tetapi, ada cinta di mata indah Nina. Aku melihatnya.
            “Loh, kok kamu...”
            “Salam saja yah buat Angga.” ucanya lagi. Aku tak menjawab. Tiba-tiba pintu depan diketuk seseorang.
            “Assalamualaikum...”
            “Walaikumsalam...” serempak aku dan Nina menjawabnya.
            “Sepertinya tante Inah, aku buka dulu yah.” ucapku. Nina mengangguk. Aku langsung turun dari tempat tidur.
            “Tante Inah...” ujarku begitu membuka pintu.
            “Senja, tante ganggu yah.”
            “Nggak ko tante, ada apa?” Tanyaku.
            “Ini, tante bawa makanan buat kamu. Takut kamu belum makan gara-gara tadi sore main sama Tari dan Yoga.” Tante Inah menyerahkan bungkusan di tangannya padaku.
            “Terima kasih tante. Untung ada Nina, jadi bisa makan bareng dia.” kataku senang. Tante Inah tersentak kaget.
            “Ni...na...” ia terbata.
            “Iya tante, Nina ada di sini.” Tante Inah memegang tanganku lembut.
            “Senja, apa kamu belum bisa menerima semua ini? Nina sudah tidak ada sayang...” sangat pelan tante Inah mengatakannya.

bersambung....