“Senja,
apa kamu belum bisa menerima semua ini? Nina sudah tidak ada sayang...” sangat pelan
tante Inah mengatakannya.
“Tapi
tante, Nina benaran ada di sini. Sekarang dia ada di kamar Senja.” Aku tetap
keukuh kalau Nina memang ada di sini.
“Senja,
itu tidak mungkin. Sudah lima hari Nina pergi sayang. Dia tidak mungkin ada di
sini. Bukankah dua hari yang lalu kamu juga mengadakan tahlilan di panti
asuhan. Kamu cuma berkhayal saja.” Tante Inah membelai rambutku. Aku
menggelangkan kepalaku.
“Kalau
tante nggak percaya, biar Senja tunjukkan.” Aku langsung menarik tangan tante
Inah masuk ke dalam lalu menuju kamarku “Nina! Nin!” panggilku membuka kamar.
Kosong. Aku melihat ke dapur, tetap kosong. Pasti di kamar mandi. “Nina! Ada
tante Inah nih, kamu di mana!” teriakku. Tak ada jawaban dan tak ada sosok Nina
di ruangan mana pun.
“Senja,
sudah Senja. Nina...”
“Nggak
tante, memang dua hari yang lalu Senja mengadakan tahlilan di panti. Tapi sudah
dua hari ini Nina datang ke rumah. Bahkan Senja tidur bareng Nina.” terangku
berusaha meyakinkan tante Inah “ Nina! Nin, kamu di mana?!”
“Sayang,
dengar tante!” tante Inah menarik wajahku untuk menatapnya “Nina sudah tidak
ada, Nina sudah dipanggil Allah. Kamu cuma belum siap menerima semua ini.”
suara tante Inah ditekankan. Mendengar ucapannya, mataku serasa panas. Bibirkku
bergetar. “Senja, kamu sendiri melihat jasad Nina dikebumikan. Sadar sayang,
istighfar.” lanjutnya. Aku menangis. Tante Inah memelukku erat.
“Nina...Tapi
Senja melihatnya datang ke rumah ini, tante. Senja nggak bohong.” tangisku semakin
menjadi. Kurasakan tante Inah juga menangis.
Lima
hari yang lalu, kecelakaan merenggut nyawa Nina. Hari itu Nina pamit padaku,
katanya ada yang mengaku menjadi adik dari ayahnya. Nina berniat mencari alamat
yang ia dapatkan dari ibu Fatimah. Namun, belum juga menemukan alamat rumah
itu, sebuah truk melaju kencang dan menabrak Nina. Naas, Nina tewas di tempat.
Aku yang mendapat kabar itu sangat shock. Nina memang telah tiada. Tapi aku
tidak bohong kalau Nina benar-benar menemuiku. Akan aku buktikan! Pasti. Lihat
saja.
***
Bruuumm....sebuah
motor gede berhenti tepat di depan kontrakanku. Aku melongo. Alamamater yang ia
pakai memakai dari SMA Bintang. Tidak! Tidak mungkin cowok dibalik helm hitam
itu....
“Ngapain
melongo gitu. Cepet naik!” ujarnya seraya membuka kaca helm. Terlihat wajah
gantengnya.
“Angga!”
seruku tak percaya.
“Apa?!”
nadanya jutek.
“Ngapain
kamu ada di sini. Ini kan bukan jalan menuju sekolah.” ucapku.
“Cewek
sepintar elo ternyata oon juga yah? Jelas-jelas gue ke sini mau jemput elo.”
paparnya. Aku tambah melongo. Jemput? Angga menjemputku? Tanda tanya besar
melayang-layang di kepalaku. Aku melihat ke kontrakan lagi.
“Nyari
apa sih, lo.” Angga penasaran.
“Nina...kali
aja Nina balik lagi ke sini, mumpung ada ka...”
“Udah
deh jangan ngaco, cepet naik.” Angga menarik tanganku sebelum aku menyelesaikan
kata-kataku. Entah aku masih tetap bersikukuh kalau Nina benar-benar ada di
sini. Apalagi ada Angga.
Aku tidak bisa menolak lagi. Sejurus kemudian motor
Angga melaju melalui jalan sempit ini sebelum ke jalan raya. Angga aneh! Motor
sebagus ini mau melewati gang sempit dan rusak juga becek. Tidak takut kotor
apa.
Sepanjang
jalan aku tidak berbicara apa-apa. Laju motornya juga pelan, padahal sudah
siang. Bisa terlambat nanti. Tapi sekali lagi, aku tetap tidak berbicara. Aku
juga menjaga jarak boncengannya.
“Loh,
ini bukan arah sekolah Ga.” Protesku begitu sadar jalan yang Angga lalui bukan
menuju sekolah. “Ga, kita mau ke mana?” tanyaku.
“Bolos
sekolah. Kenapa? Nggak pernah bolos yah?” jawabnya enteng.
“Ga,
kamu apa-apaan sih! Balik cepat ke sekolah!” aku menepuk pundaknya.
“Nggak
mau! Ada sesuatu yang mau gue omongin ke elo.”
“Tapi
nggak harus bolos kan? Kita bisa ngomong di sekolah. Ga, cepet balik ke jalan
tadi.” protesku lagi. Angga tak menghiraukan perkataanku. “Kalau kamu mau bolos
silahkan, tapi jangan bawa aku. Aku mau sekolah. Turunin aku di sini, Ga.”
seruku.
“Gue
bilang nggak!” nada Angga meninggi, lalu menarik tangaku dan dilingkarkan di
perutnya. Belum sempat aku protes lagi, Angga langsung menambah kecepatan
motornya. Saking cepatnya aku sampai bersembunyi di belakang tubuh Angga.
*
Aku
sampai di sebuah tempat yang aku sendiri tidak tahu ini di mana. Jalanan
lengang, pohon yang mehijau berdiri sepajang jalan. Aku terpana melihatnya.
Baru kali ini aku melihat tempat yang serasa nyaman. Sinar matahari hanya
sedikit terlihat dari rimbunan daun berwarna kuning kehijauan.
“Kita
ke mana sih? Kamu jangan macam-macam sama aku.” ucapku. Saat itu laju motor
Angga sangat pelan.
“Jangan
berpikir negatif gitu, Senja.” Jawabnya lalu membelokkan motor ke tikungan
berikutnya. Jalanan ini seperti menyambung terus, semakin indah sepanjang
jalan.
Motor
pun berhenti di bawah pohon. Aku turun dari motor disusul dengan Angga. “Ini di
mana?” aku masih penasaran.
“Ini
jauh dari keramaian. Gue mau ngomong sesuatu sama elo. Sini!” Tanpa menunggu
jawabku ia langsung menarik tanganku duduk di bangku tak jauh dari motor.
Beberapa
manit tak ada yang berbicara. Angga terdiam menatap lurus di depannya. Aku
sendiri masih bingung, jangan-jangan. Ah! Aku tidak boleh berpikir macam-macam.
“Gara-gara
kamu, aku jadi bolos sekolah!” sungutku. Angga mendelik.
“Satu
hari bolos nggak mungkin langsung dikeluarin dari sekolah kan? Lagian gue udah
buat surat izin buat kita berdua. Jadi elo tenang aja, jangan bawel!” balas
Angga.
“Jadi
sekarang kamu mau ngomong apa!” sergahku. Tak sampai sepuluh detik, Angga
mengeluarkan sesuatu dari saku seragamnya. Sebuah ikat rambut berbentuk bola
basket di tangan angga. Aku terdiam.
“Ini...”
ia menyerahkan ikat rambut itu padaku. Aku tak bereaksi apa-apa, bahkan tidak
menanggapinya. Angga meletakkan aksesoris cewek itu di tanganku. “Itu untuk
Nina, belum sempat gue berikan.” ucapnya. Aku tertegun mendengar ucapannya.
Terlihat sangat jelas penyesalan yang mendalam di sana.
“Bukan
hanya jepit rambut itu yang belum sempat gue berikan pada Nina, tapi perasaan
gue juga.” Serasa angin berhenti saat itu juga mendengar Angga melontarkan
kata-kata itu. “Gue jatuh cinta pada Nina, gue mencintainya.” lanjut Angga
sukses membuat aku mematung. Entah aku harus apa, atau berkata apa. Aku kira
akhir-akhir ini sikap Angga yang selalu menemuiku itu karena ia mempunyai
perasaan yang lebih padaku. Yah, perasaan suka. Tapi aku salah, salah besar.
“Ka..kamu...suka
sama Nina?” Akhirnya mulutku bisa berbicara juga.
“Yah,
bukan hanya suka. Gue cinta sama Nina, Senja. Sejak masuk SMA Bintang. Tapi gue
bodoh banget nggak bisa mengutarakan rasa gue ini padanya. Dua tahun gue simpan
perasaan ini, hanya gue. Yah, hanya gue yang tahu betapa gue sangat
mencintainya.” akunya. Tak pernah menyangka, seorang Angga yang bisa
mendapatkan cewek mana pun yang ia mau malah menyukai Nina yang gadis biasa.
Nina memang cantik, tapi tidak semodis cewek-cewek SMA Bintang lainnya.
“Setiap
hari gue memperhatikan Nina, apa yang Nina lakukan gue tahu. Bahkan gue ikuti
di mana Nina latihan basket dan volly. Tentu tanpa sepengetahuannya. Gue sangat
mangagumi cewek biasa dan apa adanya Nina. Gue...ah! Kenapa gue nggak bilang
dari dulu kalau gue sangat mencintainya.” Penjelasan Angga terakhir terdengar
putus asa, ia menutup wajah dengan telapak tangannya. Tanganku perlahan meraih
pundak Angga dengan agak gemetaran.
“Ga...aku
bener-bener tidak menyangka kamu menyukai Nina. Aku kira sikapmu beberapa hari
ini karena kamu...”
“Menyukai
lo.” potong Angga dan langsung menatapku. Aku menunduk.
“Sorry
Senja, bukan maksud gue membuat elo berpikir kalau gue suka sama elo. Jujur gue
shock dan hampir gila semenjak tahu
Nina kecelakaan. Gue tersiksa dengan perasaan gue sendiri, gue belum mengatakan
kalau gue cinta padanya. Gue deketin elo, berharap gue bisa jujur sama perasaan
gue tentang Nina, karena elo sahabat dekat Nina.” terang Angga panjang lebar.
Aku terenyuh mendengarnya. Seorang Angga mempunyai rasa cinta yang begitu besar
kepada sahabatku.
“Ikat
rambut ini...?” lirihku.
“Tiap
kali melihat Nina bermain basket atau volly, gue suka sama rambutnya yang panjang
dan hitam. Kadang rambutnya diikat asal, dan ikat rambutnya juga jadul banget,
makanya gue pengen kasih jepit bentuk bola basket itu sama Nina. Pasti sangat
cantik kalau Nina memakainya.” ucap Angga. Ada sedikit senyum di sudut
bibirnya. Angga pasti membayangkan Nina memakai jepit rambut ini. Nin, andai aja kamu dengar semua yang Angga
katakan. batinku.
“Ga,
sebenarnya Nina juga suka sama kamu. Semenjak masuk SMA Bintang. Ia juga
seperti cewek lain, mengagumimu, sangat mengagumimu. Tapi Nina sadar, siapa
dirinya dan siapa kamu. Ia lebih memilih diam. Yah, kurasa Nina sama sepertimu.
Tidak bisa mengutarakan rasa cintanya.” tambahku. Angga tertegun. Mungkin ia
juga tidak menyangka Nina mempunyai rasa yang sama. Tuhan, begitu peliknya
jalan cinta Angga dan Nina.
“Be...benarkah?!”
sergah Angga. Aku mengangguk yakin.
“Aku
dari kecil hidup bersama Nina Ga, aku tahu gimana perasaan Nina.” lanjutku. “Kamu
tenang Ga, kalau nanti Nina datang lagi ke rumahku, akan aku katakan padanya
kalau kamu mencintainya. Nina pasti bahagia.” aku sudah membayangkan betapa
bahagianya Nina, begitu tahu Angga juga menyukainya. Ah, Nina, semoga aku bisa
bertemu denganmu lagi.
“Maksud
lo?”
“Iya,
sudah dua hari Nina menemuiku. Bahkan aku tidur bersama Nina. Tiap malam kami
berbagi cerita, Nina tetap ceria dan lincah seperti dulu Ga. Rambut panjangnya
juga dipotong sedikit. Nina kelihatan makin cantik. Sangat cantik.” terangku.
Angga langsung memegang pundakku.
“Elo
ngomong apa sih, Senja. Nina? Datang menemuimu?”
“Iya
Angga, kalau kamu lihat, pasti kamu terkagum-kagum sama Nina.” timpalku.
“Nggak!
Walau pun gue sulit untuk menerima kenyataan kalau Nina memang udah nggak ada,
tapi gue nggak sampai menganggap bahwa Nina...”
“Ga!”
potongku balik menatapnya. “Apa kamu juga nggak percaya sama aku, kalau aku
benar-benar melihat Nina.” Tandasku. Terdengar jelas bahwa Angga tidak percaya
kalau Nina memang menemuiku.
“Jelas
itu nggak mungkin Senja, Nina udah nggak ada. Kalau emang benar Nina menemui
elo, dan tidur di samping lo, kenapa dia tidak berangkat sekolah?” sergah
Angga.
“Nina
kesulitan untuk berangkat sekolah Ga, orang-orang di sana melarang Nina untuk
sekolah. Dia bahkan mati-matian izin untuk bertemu denganku.” paparku lagi.
“Sadarlah
Senja, jangan sampai ketidakterimaan elo atas perginya Nina, membuat elo lupa
akan kenyataan yang ada.”
“Ga!
Aku kira kamu mau percaya sama aku, karena kamu mencintai Nina. Nina
benar-benar menemuiku Ga, kita ngobrol bareng.” aku berusaha meyakinkan Angga,
tapi Angga malah menggelengkan kepalanya. Aku menatap cowok yang jadi idola SMA
Bintang itu tajam.
“Ok fine. Aku
akan buktikan kalau aku memang bertemu dengan Nina.” mataku berkaca-kaca. Tante
Inah maupun Angga tak mau percaya padaku.
****
Kreeek...ku
buka pintu rumah kontrakan. Masih dengan Angga di belakangku. Dalam hati aku
berharap Nina ada di dalam, seperti dua hari yang lalu. Perlahan aku memasuki
rumah.
“Nina!
Nin!’ panggilku. Tak ada jawaban. Angga tetap mengikuti dari belakang. “Nina!
Tebak siapa yang datang. Angga Nin, Angga ingin ketemu kamu katanya.” ucapku
terus memanggil Nina.
“Senja!”
sepertinya Angga sabar ingin bertemu dengan Nina, atau ia mulai kesal dengan
sikapku yang tetap beranggapan Nina sering datang ke rumah ini.
“Bentar
Ga, aku yakin Nina pasti datang. Biasanya jam segini Nina ada di rumah, Ga.”
jawabku “Nina! Ada Angga Nin!” lanjut memanggil Nina seraya melongok ke setiap
ruangan. Yang selalu aku dapati hanyalah kekosongan.
“Senja!
Cukup!” Seru Angga menahan tanganku. Aku diam dengan posisi membelakanginya. “Nina
nggak ada Senja, elo harus sadar! Sesakit apapun gue untuk nerima ini, tapi
nggak akan merubah kenyataan.” lanjut Angga.
“Senja!
Please jangan beranggapan kalau Nina masih hidup, elo cuma berhalusinasi, elo cuma
belum siap melepas Nina.” tambahnya. Seketika aku berbalik menatap Angga.
“Nina
memang masih hidup Ga, selamanya ia akan hidup. Aku dan Nina tidak akan
terpisahkan. Nina tetap bersamaku!” aku menaikkan nada suaraku. Angga tersentak
mendengar ucapanku. “Kamu boleh menganggap Nina telah pergi, tapi tidak
denganku. Dan satu hal Ga, aku nggak bohong kalau Nina datang ke rumah ini. Ok,
aku nggak butuh kamu mempercayai ucapanku. Cukup Nina! Cukup Nina yang
mempercayaiku!” Angga tak bereaksi. Air mataku nyeloroh begitu saja tanpa
perintah. Tiba-tiba tante Inah datang.
“Senja!”
serunya lalu menghampiriku. “Sudah Senja,”ia belai rambutku penuh sayang.
“Angga
tak percaya sama aku tante, padahal Angga menyukai Nina.” ujarku. Angga hanya
menggelengkan kepalanya, seolah ia tetap tak percaya dengan apa yang aku
katakan.
“Senja,
wajar kalau nak Angga tidak percaya. Tante, kamu dan mungkin Angga melihat
langsung tubuh Nina dikebumikan. Kamu harus sadar sayang, ini memang berat tapi
kamu harus belajar menerimanya.” terang tante Inah.
“Semuanya
sama saja!” seruku berlari keluar rumah.
“Senja!”
teriak Angga. Aku tak peduli lagi. Aku terus berlari.
****
Sore
menapaki langit. Aku duduk di pasir pantai. Sepi, hanya ada aku dan segala
sesuatu di pantai ini. Deburan ombak menambah keindahan sendiri, di tambah
dengan rona langit yang keemasan. Aku terdiam merangkul kedua lututku. Mataku
manatap lurus ke laut.
Tidak!
Sekarang aku tidak sendiri. Kurasakan seseorang menyandarkan kepalanya di bahu
kiriku. Menikmati deburan ombak bersama.
“Akhirnya
kamu datang juga, Nin.” ucapku melirik sekilas ke Nina di sisi kiriku.
“Kamu
merindukanku, Senja?” tanyanya. Aku mengangguk. Sudah aku bilang, Nina memang
benar-benar menemuiku, dan mungkin hanya aku.
“Nin,
ada sesuatu yang mau aku katakan. Ini pasti membuatku bahagia.” kataku lagi.
“Apa?”
Nina masih tetap menyandarkan kepalanya di bahuku. Oh yah, sekarang ia memakai
dress saat pertama kali datang ke rumahku, dua hari yang lalu.
“Angga.
Ternyata dia juga menyukaimu Nin. Oh tidak, ia bahkan sangat mencintaimu.” Nina
tersenyum, pastinya. Rasanya terbalas juga. “Kau bahagia?” tanyaku. Nina
mengangguk.
“Tentu
Senja, rasa cinta yang ku pikir hanya angan ternyata mendapat balasan. Tapi
sayang, aku tak bisa membalas rasa itu
dalam sesuatu nyata.” jawabnya dengan santai.
“Apa
kau datang ke sini, hanya untuk memastikan tentang perasaan Angga. Seperti
dalam film Love is Cinta?” kali ini Nina menggeleng. “Lalu?” tanyaku untuk
kesekian kalinya.
“Kamu
sendiri bilang kan, aku dan kamu tidak akan terpisahkan. Kita berdua sadar
telah berbeda dunia, tapi keyakinan kita tidak bisa berubah. Dalam wujud apapun
aku dan kamu, akan tetap bersama. Aku ke sini karena alasan itu. Kalau tentang jawaban
Angga, mungkin itu bonus untukku dari Tuhan.” paparnya masih dengan nada santai
dan tenang.
Dalam hati, aku mengiyakan perkataan Nina tadi.
Aku dan Nina akan tetap bersama. Senja semakin merambat, sebentar lagi sunset
akan turun.
“Senja!”
panggil Nina.
“Yah,”
“Boleh
aku minta sesuatu?”
“Apa
itu, Nin?”
“Nyanyikan lagu Nina Bobo. Sudah lama aku tak
dinyanyikan lagu itu olehmu. Aku rindu. Setidaknya untuk menutup hari ini.
Nyanyian Nina bersama senja.” Perlahan Nina menggerakkan tangannya ke langit menunjuk
senja yang sangat indah. Baru kali ini aku melihat senja yang sangat
menenangkan hati. Aku tersenyum. Lalu aku menyanyikan lagu Nina Bobo untuk
Ninaku, sahabat terbaik yang aku miliki.
SELESAI
Jumat, 3
Agustus 2012-08-03
00.27
Tidak ada komentar:
Posting Komentar