Kamis, 02 Agustus 2012

Nyanyian Nina Bersama Senja # Bagian 3


            “Masuk kelas sana!” Pinta Angga. Loh, cowok satu ini malah menyuruhku? Tanpa basa-basi lagi aku langsung berlari menuju kelas. Tentu saja jantungku masih berdebar sangat kencang sambil memanggil nama Nina dalam hati.
***
            Aku sampai rumah pukul 16.30, karena tadi teman tante Inah menyuruhku mengajari anaknya yang jarak rumahnya cukup jauh. Aku mengeluarkan kunci dari tasku. Namun, aku tertegun karena ternyata pintu itu tidak terkunci. Aku yakin sekali tadi pagi sudah aku kunci.
            Maling? Masa? Tidak ada benda berharga di dalam rumah ini. Kecuali Nina, karena ia mempunyai duplikat kuncinya. Biar nanti kalau diantara kita pulang duluan, bisa masuk rumah. Perlahan kupegang gagang pintu dan membukanya pelan. Semuanya tertata rapi, sama seperti saat aku berangkat sekolah. Aku memasuki kamar minimalisku. Baru saja pintu terbuka separuh, aku langsung menutup mulut dengan kedua tanganku. Sosok cewek duduk manis di depan jendela kamar yang terbuka lebar.
            “Ni...na!” seruku tak percaya, Nina pulang. Ia ada di sini. Kontan Nina menoleh ke arahku. Wajah cantiknya tersenyum manis padaku. Lihat, rambut panjangnya dipotong sedikit. Rambut yang biasa Nina kucir kini tergerai bebas. Ia juga memakai dress selutut berwarna putih.
            “Hai, Senja!” sapanya sembari melembaikan tangan. Nina menunjuk kursi kosong di sebelahnya. Perlahan aku mendekati Nina, dan duduk di sampingnya.
            “Ka...mu...” aku seakan tak percaya. Dihari ke empat ini Nina baru pulang, aku kira ia betah di rumah seseorang yang kata Nina, selama ini menunggunya. Sedikit aku tak percaya. Bukan hanya alasan apakah ia betah atau tidak, ada alasan lain yang sulit untuk aku katakan.
            “Senja, aku rindu sekali sama kamu.” Nina memeluk tubuhku erat. Aku tak bergeming. Sebentar benakku melayang mengingat beberapa hari ini.
            “Aku juga, Nin.” akhirnya kubalas pelukannya dengan erat pula. Jujur, aku tak ingin Nina pergi lagi. Ia adalah kerabat terdekatku, hanya dia. Yah, yang mengerti akan diriku sepenuhnya.  Jangan pisahkan kami lagi, Tuhan. Ada buliran bening keluar dari kelopak mataku.
            “Aku kira kamu betah di sana.” ucapku. Di sana? Entahlah itu di mana. Yang penting Nina ada di sini, aku senang.
            “Soalnya di sana itu tidak menyenangkan Senja, orangnya juga bermacam-macam. Ada yang tinggi menyeramkan, ada yang tinggi tapi menenangkan. Aku tidak punya teman di sana. Aku mau di sini, sama kamu.” Ia memegang tanganku. Aku tersenyum menatap bola matanya yang berbinar-binar.
            “Aku kesepian tanpa kamu, Nin.” Lirihku.
            “Aku juga.” Ia tersenyum “Oh yah, aku bisa menebak kenapa kamu pulang sampe sesore ini. Pasti ngajar les privat lagi kan?” Sudah aku bilang, Nina memang paling tahu tentang diriku. Aku tersenyum disusul dengan anggukan kepala. Lalu ia bangun dari duduknya dan beralih duduk di tempat tidur, mengelus-elus sprei yang berwarna biru tua.
            “Aku rindu kamar ini Senja, semua yang kita lakukan terukir di kamar ini, rumah ini. Tangis dan tawa kita bagi bersama.” Kenangnya. Yah, kamu benar Nina. Dan aku harap, kamu jangan pergi lagi. Kataku dalam hati.
            “Well, itu semua masa lalu.” lanjut Nina.
            “Masa lalu? Jadi semua yang kita lakukan akan kamu jadikan masa lalu atau kenangan? Kamu mau melupakan semuanya?” runtut pertanyaanku. Mendengar itu Nina langsung bangun dari duduknya dan menghampiriku.
            “Bukan gitu Senja. Semua yang kita lakukan tidak akan aku lupakan, sampai kapanpun. Akan tetapi, kita tidak mungkin berdiam diri kan? Semua orang punya impian, termasuk aku dan kamu. Kamu mempunyai impian yang begitu besar, Senja. Kamu harus meraihnya dengan tanganmu sendiri. Meski pun harus jatuh bangun.” terlihat semangatnya menggebu menatapku dalam.
            “Lalu bagaimana dengan impianmu?” tanyaku. Nina tak langsung menjawab, ia berdiri di jendela sambil memandang lembayung. Sudah semakin sore. Nina mendesah.
            “Aku rasa impianku cukup di sini Senja, menjadi atlet basket atau volly tidak mungkin aku teruskan. Aku ke sini saja mati-matian izin sama orang-orang di sana.” ucapnya lemah.
            “Tapi kamu harus memperjuangkan impian kamu, Nin. Besok kamu harus berangkat sekolah, tadi sore diadakan seleksi untuk masuk tim inti volly. Aku dengar seleksinya selama tiga hari. Itu untuk persiapan pertandingan volly antar SMA yang akan dilaksanakan bulan Agustus. Kamu ikut kan?” terangku panjang lebar, berharap Nina tidak menghentikan impiannya. Tak ada reaksi dari Nina. Mata indahnya menatap lembayung sore dengan teduh.
            “Kita lihat saja nanti.” ucapnya datar. “Oh yah, kemarin sore aku juga lihat kamu datang ke panti.” Aku tertegun mendengar ucapannya.
            “Kamu ada di sana?” aku tercekat, tak percaya. Nina mengangguk yakin.
            “Yah, aku ada di sana, tapi aku tak mau masuk. Kemarin sore panti sangatlah ramai. Aku tahu kamu dan ibu Fatimah menangis berpelukan, tapi maaf aku tidak bisa masuk. Aku takut, yah aku takut orang-orang di dalam menghujaniku dengan tatapan aneh mereka.” ia memainkan kuciran rambut yang aku buat sendiri dengan menyulam dan kubersembahkan itu untuk Nina. Itu dulu. Dan sampai sekarang Nina masih menyimpannya.
            “Ka...kamu...”
            “Aduh Senja, ditinggal tiga hari sama aku, kamu suka gagap gitu. Santai aja kali, non.” ucapnya enteng seperti tak menghiraukan kebingunganku. “Kamu tahu, aku menunggu di belakang panti sampai orang-orang pergi. Aku tak menyangka bubarnya lama sekali. Kamu juga Senja, jam sepuluh malam baru pulang. Bahaya buat kamu. Rumah ini sama panti kan cukup jauh.” komentarnya. Aku terdiam. Nina kemarin sore datang ke panti. Tapi kenapa aku tidak melihatnya. Ah, Nina. Sekarang cewek ini jadi sok misterius.
            Malam itu aku tidur di samping Nina. Rinduku sedikit terobati. Sepanjang malam Nina terus bercerita tentang suasana yang ia tempati selama beberapa hari ini. Tapi Nina tidak menyebutkan nama tempat itu. Mimik wajah saat ia bercerita juga bermacam-macam. Kadang senang, sedih, marah dan sebagainya. Aku sendiri menjadi mendengar yang baik untuk sahabatku ini.
***
            Aku sudah berada di kelas. Melamun. Tentu saja, aku masih memikirkan tentang Nina. Saat bangun tepat adzan Shubuh terdengar, Nina tidak ada di tempat tidurnya. Aku sudah mencari ke mana-mana, tapi tetap tidak ada. Yang aku temukan hanya sebuah surat di meja samping tempat tidur. Tertulis sebuah pesan singkat dari Nina.

Aku balik dulu ke tempat itu. Nanti pulang sekolah aku datang lagi ke sini, itu juga kalau aku dapat izin keluar menemuimu. Bye Senja. See you...

Nina.
            Hanya itu yang Nina tuliskan. Bahkan ia tidak pamit langsung padaku. Padahal aku belum menceritakan kalau Angga mencarinya, beberapa kali menyebut namanya. Ah, Nina, kamu harus tahu tentang Angga. Sepertinya dia merespon kamu. batinku lalu membenamkan wajahku di meja.
            “Senja!” Seseorang menepuk pundakku. Kontan aku mengangkat kepalaku.
            “Angga!” aku tak percaya Angga datang ke kelasku. Aku tahu kelas Angga jauh dari kelasku. Ada keperluan apa ia ke sini?
            “Elo kenapa, kusut banget?” tanyanya. Aku langsung menggeleng lalu melempar pandangan ke sekeliling. Seisi kelas memandangku dengan tatapan sinis, mungkin. Bisa gawat! Aku nggak mau dikira cewek gatal. runtukku.
            “Ngapain kamu ke sini!” sedikit membentak.
            “Galak bener elo.” Ia langsung duduk di sampingku, tempat duduk Nina. “Gue pengen duduk di sini.” lanjutnya enteng. Membuat tatapan anak-anak semakin tajam ke arahku.
            “Eh, ini bukan kelas kamu, Ga.” aku mengusir. “Dan jangan duduk di bangku, Nina! Pergi kamu!” aku mendorong tubuhnya.
            “Apaan sih lo, Senja. Siapa aja boleh duduk kan.” Angga tak mau beranjak.
            “Tapi nggak di bangku ini!” masih mengusir. “Ok, kalau kamu nggak mau pergi, biar aku yang pergi!” aku bangun dari dudukku, tak tahan dengan tatapan anak-anak. Kulihat Angga masih duduk di tempat Nina, memandangku pergi.
***
            Usai mengajar les privat di rumah tante Inah, aku tertahan di sini. Tidak bisa pulang ke kontrakanku. Tari dan Yoga malah mengajakku main.
            “Pokoknya kak Senja nggak boleh pergi, temenin kita main yah?” Ucap Tari manja.
            “Tapi kak Senja harus pulang, Tari. Kakak...”
            “Ayolah kak...” Yoga ikut manja.
            “Temenin mereka yah, Senja. Lagian kamu sendirian kan di rumah?” Tiba-tiba tante Inah datang dari belakang. Aku tersenyum. Kata siapa di rumah sendiri, Nina pasti sudah di rumah sekarang. Tapi aku tidak enak untuk menolaknya.
            “Iya tante.” jawabku. Kontan Tari dan Yoga bersorak gembira, mereka mengambil pistol air dan saling menembakkan ke wajah bergantian. Melihat itu aku jadi tertawa. Tante Inah sendiri sudah kembali masuk.
            “Ayo kita tembak, Kak Senja!” teriak Yoga lalu menembakkan pistol air ke arahku.
            “Eh, eh! Kalian!” aku gelagapan. Tawa mereka semakin riang. “Awas yah kalian!” aku mengejar Yoga dan Tari. Suasana jadi penuh dengan tawa dan kegembiraan. Aku memang sudah terbiasa menghadapi anak kecil, seperti waktu aku dan Nina masih di panti.
            Satu jam berlalu, Tari dan Yoga kelelahan bermain. Seteleh dua bocah itu mandi, aku masih harus menemaninya. “Kak Senja, coba deh kakak nyanyi Nina bobo, itu si Tari ngantuk tuh.” ujar Yoga menunjuk Tari yang saat itu tiduran di pangkuanku dengan merangkul bonekanya.
            “Kamu juga ngantuk kan? Tuh matamu tidak bisa dibohongi.” balas Tari.
            “Sudah, sudah, kalian berdua sini.” Aku duduk di sofa, Tari tetap di pangkuanku. Sedangkan Yoga mendekat dan menyandarkan kepalanya di badan sofa. “Kalian tidur yah,” lanjutku. Sambil membelai lembut rambut Tari aku mulai menyanyikan lagu nina bobo. Nina bobo? Ah, aku jadi ingat Nina. Dulu waktu kami berdua masih di panti, Nina sering memintaku menyanyikan lagu Nina bobo saat ia tidak bisa tidur. Katanya setiap dengar lagu itu Nina merasa namanya di ingat dan disebut semua orang. Walaupun terkesan lagu anak-anak, tapi Nina tetap senang.
            “...digigit nyamuk.” aku mengakhiri lirik lagunya. Ternyata Tari dan Yoga sudah tertidur pulas. Aku bernapas lega. Bisa pulang juga...batinku lalu melirik jam tangan. Pukul 17.00, Nina pasti dari tadi menungguku.  Setelah memanggil pembantu rumah tante Inah untuk pamit, aku langsung pulang.
            Benar saja, rumah kontrakan tidak terkunci. Nina!
            “Assalamualaikum...” seruku seraya membuka pintu.
            “Walaikumsalam...” jawab Nina. Aku kaget melihat Nina bersandar di tembok dekat pintu. “Nina! Kamu buat aku jantungan!” umpatku.
            “Kamu gimana sih, aku nunggu kamu dari tadi siang.” wajahnya ditekuk.
            “Maaf, aku lupa kalau hari ini aku harus ngajarin anaknya tante Inah. Jangan cemberut Nin, jelek tahu.” Aku menarik sudut bibirnya. Akhirnya Nina tersenyum juga.
            “Mandi sana, bau tahu.”
            “Iya...bawel!”

            Usai mandi, sambil menunggu adzan maghrib aku membaca Al-Quran. Tadi aku mengajak Nina, tapi katanya ia sedang datang bulan. Jadi ia cuma tiduran di ranjang sambil mendengarkan suaraku membaca Al-Quran.
            Akhirnya adzan maghrib terdengar. Dengan segera aku menunaikan salat Maghrib. Setelah salat aku kembali berbincang dengan Nina di tempat tidur. Nina juga menyisir rambutku lembut. “Aku suka sama rambutmu, Senja. Indah. Aku ingin sering-sering menyisir rambutmu ini.” ucap Nina.
            “Benarkah? Rambutmu juga bagus Nin, apalagi sekarang rambutmu di potong sedikit. Tambah cantik.” pujiku. Nina tersenyum.
            “Nina, beberapa hari ini Angga nyebut-nyebut nama kamu loh. Sikapnya juga aneh, sekarang sering datang menemuiku. Padahal nggak ada yang penting.” kataku teringat dengan sosok Angga.
            “Masa?”
            “Beneran. Aku lihat Angga menyembunyikan sesuatu sama kamu, aku tidak tahu itu apa. Apa jangan-jangan dia juga suka sama kamu, Nin.” Aku membalikkan badan menghadap Nina. Nina tersenyum. Hanya itu. Bukan senyum kebahagiaan.
            “Kok reaksinya biasa aja?” Aku heran.
            “Yaah...mau gimana lagi Senja. Banyak cewek yang suka sama Angga, aku nggak mungkin dilirik oleh Angga.” jawabnya terdengar menyerah. Akan tetapi, ada cinta di mata indah Nina. Aku melihatnya.
            “Loh, kok kamu...”
            “Salam saja yah buat Angga.” ucanya lagi. Aku tak menjawab. Tiba-tiba pintu depan diketuk seseorang.
            “Assalamualaikum...”
            “Walaikumsalam...” serempak aku dan Nina menjawabnya.
            “Sepertinya tante Inah, aku buka dulu yah.” ucapku. Nina mengangguk. Aku langsung turun dari tempat tidur.
            “Tante Inah...” ujarku begitu membuka pintu.
            “Senja, tante ganggu yah.”
            “Nggak ko tante, ada apa?” Tanyaku.
            “Ini, tante bawa makanan buat kamu. Takut kamu belum makan gara-gara tadi sore main sama Tari dan Yoga.” Tante Inah menyerahkan bungkusan di tangannya padaku.
            “Terima kasih tante. Untung ada Nina, jadi bisa makan bareng dia.” kataku senang. Tante Inah tersentak kaget.
            “Ni...na...” ia terbata.
            “Iya tante, Nina ada di sini.” Tante Inah memegang tanganku lembut.
            “Senja, apa kamu belum bisa menerima semua ini? Nina sudah tidak ada sayang...” sangat pelan tante Inah mengatakannya.

bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar