Minggu, 17 Juni 2012

Cerbung >> Dalam Dunia Dhera *Part 10*


woooii...sesuai permintaan...kak Indra bakalan masuk cerita DDD...tapi bukan di part ini..tunggu aja nanti...
so...yang ini baca aja dulu...maaf kalau jelek...dannn selalu salam MISS YOU buat kak Dhera...cepet baca terus koment dong..:D *harapan*
aku banyakin niih...biar nggak penasaran *baik kan aku...*
tinggalkan jejak kawan


Bagian 7
Tak Jauh Beda

            Pukul 20.00 kami sudah berada di sebuah salah satu café di kota ini. Kami berenam bukan untuk makan atau nongkrong dan semacamnya. Tetapi kita ke sini untuk manggung gitu, hitung-hitung menghibur dengan suaraku ini *vibranya yg selama ini gue tunggu*
            Dan tentunya Adie kita bawa, tidak mungkin ditinggal di villa sendirian. Aku tidak rela kalau Adie di godain sama penghuni villa *emang ada*. Sekarang saja aku dan ke empat personil Say’A sudah berada di atas panggung dengan bagian masing-masing. Untuk catatan saja, dalam setiap penampilan aku tetap dengan styleku yaitu tomboy tapi girly begitu juga dengan Akis. Sedangkan ketiga cowok yaitu, Aji, Tablet dan Herdi tetap pada style mereka.
            Sejenak ku edarkan pandangan ke seisi café, di pojok sana Adie duduk manis dengan minuman di depannya. Pandangannya, aku yakin tertuju padaku. Kemeja kotak-kotak warna biru perpaduan putih sangat pas di tubuh Adie. Aku tersenyum *pastinya akan nyamping* ke arahnya.
            Aku dalam posisi vokalis memberi salam kepada pengunjung café. Dalam hitungan menit aku dan yang lain langsung memainkan alat music. Musik Say’A memang bergenre accoustic alternative, dan malam ini menyanyikan lagu You dan akan di susul dengan lagu lain.
*
            Dua jam mengisi acara di dalam café dengan menyanyikan beberapa lagu membuat aku pusing sendiri. Usai manggung aku langsung mencari Adie, karena cowok itu tidak ada di tempatnya. Kata pak boss sih, ke tolilet.
            Aku bersandar di tembok sambil menunggu Adie keluar dari toilet. Sekian menit Adie belum juga keluar dari toilet. “Die, elo kemana sih?” batinku sesekali melihat jam di pergelangan tanganku. Akhirnya ku putuskan untuk mencari Adie di luar café. Mungkin saja itu anak mencari udara. Tiba-tiba handphoneku berbunyi, panggilan dari Akis.
            “Iya Kis.”
            “Elo di mana?”
            “Ada apa sih?”
            “Kita harus pulang, cepet elo ke sini.”
            “Iya bentaran, gue lagi Adie dulu.
            “Ok, kita tunggu yah.” Klik! Telpon terputus. Aku langsung mencari Adie ke depan, kembali ku edarkan pandangan ke sekeliling berharap melihat sosok Adie.  Tak luput handphoneku juga terus menghubungi nomor Adie, tapi yang ada ocehan operator yang asli demi apapun juga sangat sangat menyebalkan. Tuh operator di gaji berapa disuruh ngoceh sepanjang hari *jangan eror deh Nok*
            “Adie...elo kemana sih, jangan bikin khawatir dong.” Aku mengacak-acak kecil rambutku saking pusing dan khawatirnya. Namun tingkahku itu langsung terhenti begitu kedua mataku menangkap dua sosok sedang berduaan dengan mesra dalam cahaya lampu yang sedikit meredup. Dari baju yang dipakai cowok aku sangat mengenalinya, itu Adie, untuk memastikannya perlahan kakiku melangkah mendekatinya.
            Kalau saja ada malaikat yang saat ini menutup mataku, aku rela. Bahkan berharap ku kembalikkan waktu ini. Oh God, itu benar Adie sedang merengkuh seorang cewek yang tidak aku kenal dia siapa, dengan dress mininya, dan dengan lembut Adie membelai rambut cewek itu, menghapus air matanya bahkan jarak antara wajah Adie dan cewek itu sangat begitu dekat. Sebelum mataku melihat sesuatu yang bisa membuatku semakin hancur seketika, aku langsung membalikkan badan.
            Tak dapat aku pungkiri wajah dan mataku terasa sangat panas, entah dari kedua mataku ada sesuatu yang memaksa ingin keluar. Demi apapun, kini kakiku terasa lumpuh. Dan akhirnya tes! Air mataku benar-benar jatuh. Sakit, tentu saja. Rasanya seperti jatuh dari luar angkasa.
            Ketika aku ingin berlari, Akis dan yang lain datang. Tetapi pandanganku samar karena genangan air mataku. Aku tidak peduli lagi mereka melihatku menangis, aku langsung lari meninggalkan mereka.
            “Inok!” Teriak Herdi hendak menyusul. Dengan segera Akis menahannya.
            “Biar gue yang nyusul Inok.” Akis berlari menyusulku.
            Dan sepertinya Adie sadar bahwa anak-anak Say’A menyaksikan apa yang ia lakukan bersama cewek itu. Atau tersadar begitu Aji memanggilnya. Entahlah.



@Mobil


            “Inok...” lirih Akis menghampiriku yang nyeloroh jatuh dengan posisi menyandar pada mobil. Akis meraih tanganku untuk berdiri dan beralih di pelukannya. Aku menangis. Isakan demi isakan tumpah di bahu Akis.
            “Inok, semuanya pasti nggak seperti yang elo pikirkan.” Akis mengelus-elus punggungku.
            “Gu..gue nggak nyangka Kis, Adie tega melakukan itu sama gue. Kis, gue lebih memilih tidak melihatnya. Sakit Kis.” Aku sesegukkan. Akis terus menenagkanku *Inok, gue jadi ikut nangis :’(*
            “Nok, udah Nok, jangan bikin gue ikut nangis.” Lirih Akis dengan suara parau. Akis langsung menyuruhku masuk mobil, duduk di bagian belakang bersama Akis.
            Tak lama kemudian, setelah ngobrol sebentar dengan pak boss Adie, Herdi, Aji dan Tablet menghampiri mobil. Aku tahu Adie malangkah mendekati mobil yang aku tumpungi, yaitu mobilku sendiri.
            “Inok, buka Nok, aku mau jelasin semuanya.” Seru Adie di depan kaca mobil yang tertutup. Aku yang sedari tadi diam dalam rengkuhan Akis tidak mempedulikan seruan Adie. “Nok, aku mohon, dengerin aku dulu.” Lanjutnya.
            “Nok, itu Adie.” Kata Akis, aku hanya menggeleng. “Die! Mending elo pergi deh, Inok nggak mau di ganggu sama elo!” teriak Akis. Tapi Adie tetap berdiri di depan kaca sambil memanggil namaku. Dengan sedikit paksaan Aji, Herdi menarik Adie ke mobil satunya, milik Akis. Sedangkan Tablet masuk mobilku dan mengemudi mobil yang aku dan Akis tumpangi.
            Sepanjang perjalanan aku hanya diam. Jujur saja bayangan Adie bersama cewek itu masih mengusik benakku. Kejadian itu benar-benar telah membuat memory otakku kusut, hang, dan eror. Kalian tahu, bagaimana rasanya. Semuanya...ah! hancur.
            “Gue tahu siapa cewek itu.” Kata Akis, sedikit kaget aku mendengarnya. Akis seperti mengingat-ingat sesuatu. “Cewek itu namanya Gea, dia mantan kekasih Adie. Sebelumnya gue, Adie dan Gea memang deket. Hubungan mereka tidak lama karena Gea menduakan Adie, selanjutnya gue tidak tahu.” Terang Akis masih mengelus-elus punggungku.
            “Gue tahu bagaimana perasaan Adie saat itu, bahkan semenjak kaejadian itu Adie tidak mau lagi ke Bogor. Ia tidak ingin bertemu dengan Gea. Tapi malam ini, gue sendiri tidak tahu.” Lanjut Akis.
            “Adie nggak sampai melakukan hal apa-apa kok Nok, tadi kita lihat nggak sampai kiss.” Sela Tablet.
            “Tablet! Kalau bicara jangan asal, nggak ngerti situasi lagi kayak gini apa!” sembur Akis. Aku tidak menjawab. Penjelasan Akis tadi bahkan sama sekali tidak bisa aku cerna dengan baik. Yang pasti satu hal, perlakuan Adie malam ini benar-benar membuat aku hancur.
            Akis maupun Tablet tidak ada yang lagi berbicara. Mereka membiarkan aku bersandar di bahu Akis. Kalau elo marah sama gue, cemburu sama gue, bukan dengan cara ini elo membalasnya Die.Kataku dalam hati.

            Beberapa jam di perjalanan, akhirnya kami sampai di villa. Aku langsung mauk kamar di susul dengan Akis. Kayaknya masuk kamar, merangkul Ona, Oni dan Oni dan makan pisang terus tidur itu lebih baik daripada terus bergelut dengan bayangan Adie bersama cewek sayco itu.

Bagian 8
Aku Butuh Kamu

            Pagi-pagi sekali dengan celana tanggung serta baju oranye aku membuka pintu. Kejadian semalam membuat aku merasa semakin pusing. Dengan menenteng sebuah gitar accoustic aku berjalan menuju bukit yang dekat dengan villa Akis. Setidaknya pemandangan alam membuat otakku menjadi refresh.
            Aku duduk di bawah pohon rindang. Dari sini dapat melihat pemangan yang menurutku sangat WAW! Beruntung aku menemukan tempat ini. Perlahan-lahan ku petik senar gitar.

  “Every time I think of you. I get a shot right through. Into a bolt of blue. It's no problem of mine. But it's a problem I find. Living the life that I can't leave behind. There's no sense in telling me. The wisdom of a fool won't set you free. But that's the way that it goes. And it's what nobody knows. And every day my confusion grow.” Aku menyanyikan lagu Frente - Bizzare Love Triangle.

  “Every time I see you falling. I get down on my knees and pray, I'm waiting for the final moment. You say the words that I can't say.” Tes! Shit! Kenapa nih buliran bening harus keluar sih, begitu bayangan Adie kembali mengusik pikiranku. Dengan sigap aku menghapus air mata itu dari pipiku. Kemudian aku langsung bagun dari dudukku. Sejenak menatap pemandangan alam yang di dominasi warna hijau dengan naungan warna biru yang terhampar di depan mataku. Ku tarik nafas dalam-dalam.

  “AAARRRGGGHHH!!! ELO BIKIN GUE GALAU DIE!! KENAPA ELO LAKUIN ITU KE GUE!!” teriakku sekeras mungkin. Toh di sini tidak ada orang, jadi tidak ada telinga yang tersakiti *gila! Caps lock nya sampai keluar Nok* aku kembali duduk dan bersandar di batang pohon, sejenak kepejamkan kedua matanya. Sesaat kemudian, aku pulas bersama hembusan angin yang teduh.

#%%^^&%

            Kurang lebih setengah jam aku terbangun, ku lirik jam di pergelangan tangan. Aku lupa sudah pergi cukup lama, pasti yang lain mencariku. Aku langsung beranjak pergi. Tentu saja masih dengan wajah yang uh! Cukup kusut.
            Begitu sampai di villa Akis langsung memelukku “Inooookkk!!! Elo bikin kita khawatir tahu nggak. Elo pergi nggak bilang-bilang!” cerocos Akis. Begitu dengan yang lain, mereka langsung menghampiriku. Tapi tidak ada Adie di antara mereka. Kemana dia??
            “Inok, elo kemana sih?” sungut Herdi.
            “Kita takut  elo bakal terjun dari jurang, terus mayat elo nggak ditemukan saking dalamnya tuh jurang.” Timpal Tablet.
            TAAK! *anggap saja bunyi jitakan kepala* Aji menjitak kepala Tablet “Ngomong elo nggak lihat jalan.”
            “Yeee elo di mana-mana ngomong yah pake ini.” Jawab Tablet sambil menunjuk-nunjuk mulut Aji dengan jari-jemari.
            “Idiih, elo demen juga sama mulut gue Blet!” sergah Aji menahan tangan Tablet.
            “Sorry Ji, gue masih normal.”
            “Normal apa di atas normal.” Goda Aji. Aku dan yang lain hanya cekikikan melihat tingkah tuh dua cowok eror.
            “Terus gue harus goyang kayak trio macan gitu?” ujar Tablet. Teng teng teng! Ronda dua di mulai. *ribut mulu ih*
            “Nih anak-anak harus di masukkin ke TK kali yah.” Sambung Herdi dengan tatapan sayunya *gubrak! Author sukaaaa*
            “Hahah, nggak perlu Jenggot. Enaknya mereka berdua kita bawa ke KUA.” Ujar Akis di susul dengan tawaku dan Akis.
            “Udah ah! Rempong kalian, gue mau pisang. Mana pisang gue!” aku beringasan mencari pisang di meja makan. “Kis...!! mana!!” seruku karena tidak ditemukan pisang di meja makan. Daripada pusing mikirin Adie, mending makan pisang *setujuuu*

bersambung...
kritik saran di tunggu...:D
Inok banyak yg nyari tuh...:D

Cerbung >> Dalam Dunia Dhera *Part 9*


haiii....*garuk-garuk kepala* maaf aja deh kali ini acak-adut. oleh karena itu kritik sarannya aku tunggu yah. buat masukan juga. eh, karena banyak yg gk di tag, jadi jadi jadi...lihat dinding aku aja yah...maaf banget niih, tapi beneran deh sumpah demi meluk kak Dhera, tag nya penuh.
ok capcus...happy ready guys...:D :D :D

            “Dhera!” ucap mereka berdua bersamaan.
            “Ivan! Febri!” seruku tak kalah kaget. Tanpa ba bi bi be bo lagi aku langsung memeluk mereka berdua. Sedangkan Akis, Adie dan Aji masih berdiri di belakangku dengan raut wajah melongo.
            Setelah puas memeluk mereka, aku menatap dua cowok yang sekian lama terkubur dalam kenangan masa lalu *ciiee bahasanya*. Ivan dan Febri. Aku tidak tahu harus memulainya dari mana untuk menjelaskan siapa mereka berdua. Singkatnya sih, mereka berdua adalah temanku ketika aku masih tinggal di villa. Dan aku bersikeras menguras tenaga untuk mendapat penerawangan mengapa mereka bisa sampai di sini. *menguras otak kali* tapi...ah, otakku tak sampai pada titik itu.
            Ivan Saputra atau yang biasa di sebut Similikiti adalah cowok manis dengan kulit putih, perawakan sedang. Ampun deh, ini orang memang manis, baby face, cute, yah sejenis itulah si Ivan. *pembahasan nama similikiti nanti di part berikutnya* Dia yang sekarang memakai sweter cokelat.
            Dan satunya Febri, cowok yang mempunyai nama lengkap Febri Yoga Sapta, dia juga temanku. Cowok kalem ini membuat aku gemas setiap kali melihat tingkahnya. *suka yaaah* jawabannya No! Mereka berdua sudah seperti keluargaku sendiri. Febri mempunyai tubuh yang menurutku ideal, mata cokelat  serta kulit bersih. Dulu ketika aku masih tinggal di villa sekitar kelas 4 SD. *author pelupa* mereka berdua selalu menemaniku bermain, pokoknya best friend deh. Meski umurku lebih muda dari mereka. Yah, mereka adalah kakak kelasku.
            “Kalian kok ada di sini sih?” tanyaku heran.
            “Kita pindah ke daerah sini Dhe. Kalau elo?” Jawab Ivan memamerkan senyumnya. Dari belakang Adie, Aji dan Akis menghampiriku.
            “Gue liburan ke sini.”
            “Inok, mereka siapa?” kini Adie bertanya. Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Saking senengnya melihat Febri dan Ivan aku sampai lupa dengan kehadiran Adie. Udah gitu tadi aku memeluk mereka. Ish! Berharap Adie tidak terbakar.
            “Hmm...dia Febri dan Ivan, Die. Mereka berdua adalah temanku.”
            “Kenalin napa, Nok.” Sambar Akis beringasan melihat Ivan dan Febri. Terkadang cewek tomboy kayak Akis bisa juga centil yah, kalau udah lihat yang baby face, dan manis-manis gini.
            “Oh yah, kak Febri, kak Ivan, perkenalkan ini sahabat-sahabat gue.” Kataku yang kini menambahkan kata ‘Kak’ di panggilanku. “Ini Akis, yang ini Aji, dan ini Adie, pacar gue.” Lanjutku sambil memperkenalkan mereka satu persatu. Mereka lalu berjabat tangan.
            “Sekarang elo sudah besar yah Dhe, tambah tomboy pula.” Ujar Ivan. Ia memerhatikanku dari ujung kepala sampai ujung kaki.
            “Iya yah, tambah gemes sama elo, Dhe.” Timpal Febri sambil mengacak-acak rambutku. Itu kebiasaan mereka berdua, ternyata mereka sama sekali tidak lupa. *nostalgia nih ceritanya*
            “Ih, gue bukan anak kecil lagi.” Rengekku sambil melepaskan tangan Febri.
            “Ehm!” loh loh, suara apa itu. Kyaaa! Adie berdehem! Oh God, Adie cemburu yah. Aku melirik ke arah Adie, tuh cowok menatapku tajam. Ih, Adie serem ah! Batinku lalu mengambil tempat berdiri di samping Adie dan Akis.
            “Adie cemburu tuh, elo sih tadi peluk-peluk mereka berdua. Udah gitu kak Ivan sama Kak Febri tingkahnya manis banget sama elo, tambah gede tuh api cemburu di hati Adie.” Bisik Akis di telingaku *contoh gk baik, banyak orang malah bisik-bisik* aku hanya memanyunkan bibirku mendengar bisikkan Akis.
            “Oh yah Dhe, nanti boleh dong kita berdua ikut liburan sama kalian.” Usul Febri.
            “Wah boleh banget Kak.” Sahut Akis sumringah. Asli demi apapun kayaknya si Akis suka sama mereka berdua. Lihat aja matanya berbinar-binar gitu tiap kali melihat wajah Ivan dan Febri. Kayak ada triliunan bintang di matanya.
            “Beneran?” Ivan memastikan.
            “Beneraaan...!” seruku bersamaan dengan Akis. Begitu sadar aku juga menanggapi dengan nada senang aku menggigit bibir bawahku, dan perlahan melihat ke Adie yang tepat sekali di samping kiriku. Ampun! Akis benar, ada api besar di sana. Kalau ada yang nganggur tolong panggil mobil pemadam kebakaran, takut apinya semakin membesar *pemadam api cemburu, Inok.*
            Tiba-tiba handphone Aji berbunyi nyaring *telpon dari mobil kebakaran tuh*
            “Hallo Blet!” kata Aji sambil melirik ke arah kami bertiga. Seperti pembicaraan serius nih. *idih, ternyata pemadam kebakarannya si Tablet* “Iya, ok kita segera balik.” Kata Aji lalu mematikan telpon.
            “Ada apa Ji?” tanyaku            .
            “Pak boss udah nyampe, kita harus cepet kembali ke villa.” Ujarnya.
            “Ok. Kak Ivan Kak Febri, kita pulang dulu yah.” Pamitku pada mereka berdua.
            “Yah, Dhera.” Jawab mereka serempak. *Ih kompak yah.
            “Kak besok main ke villa kita yah!” kata Akis. Febri dan Ivan hanya mengangguk. Setelah melambaikan tangan pada mereka berdua, kami bertiga pun melanjutkan perjalanan menuju villa.
            Sepanjang jalan, perubahan sudah terlihat dari sikap Adie. Tuh cowok hanya diam saja, padahal dia di sampingku. Akis dan Aji masih sama seperti tadi, bercanda dan sesekali memotret pemandangan dengan kameraku. Bahkan mereka berdua sudah berjalan jauh di depanku dan Adie.
            “Die, kamu kenapa, sih?” tanyaku hati-hati. Tak ada jawaban dari Adie, ia hanya diam. “Kamu...marah sama aku.”
            “Kamu masih tanya apakah aku marah sama kamu” Adie sudah menaikkan satu oktaf dari nada bicaranya. Aku menelan ludah. *takut yah Nok*
            “Tapi kamu marah kenapa?” GUBRAK! Seharusnya aku tidak bertanya seperti itu. Ah! Bodohnya aku, itu sih malah membuat apinya semakin besar saja. Sesaat kita sama-sama menghentikan langkah kaki.
            “Inok, kamu gitu banget sih, sama aku.” Adie kembali melangkah. Asem! Kenapa jadi seperti ini. *Adie benar-benar kesal tuh.*
            “Adie! Tunggu!” aku berhasil menarik tangannya. “Sorry!”
            “Inok,” ujarnya lalu membalikkan badannya melihatku. “Kenapa kamu bersikap begitu manis di depan mereka berdua, kamu nggak tahu perasaanku gimana saat kamu memeluk mereka begitu erat tepat di depanku.”
            “Tapi mereka berdua adalah temanku, Die. Wajar kan aku memeluk mereka yang sudah lama tidak bertemu, sama halnya dengan anak-anak Say’A.” Elakku. Adie kembali membelakangiku. *jadi bingung situasinya galau nih*
            Sejenak tidak ada yang berbicara, kami diam dengan pikiran masing-masing. Ku lihat beberapa kali Adie menarik nafas dalam. Aku hanya menunduk, tak tahu harus apa. Tiba-tiba TAP! Adie meraihku ke dalam rengkuhannya. Mendekap tubuhku erat, bahkan aku sampai mencium wangi parfum dari tubuh Adie.
            “Maafkan aku Nok, seharusnya aku tidak secemburu ini sama kamu, maaf.” Katanya masih memelukku. Yaaah....dia membuatku meleleh *sama aku juga meleleh melihatnya.
            Kemudian Adie melepaskan pelukannya, menatap mataku sampai pada titik terakhir. Oh God, matanya it’s beautiful. “Nok, aku cuma nggak ingin kamu lebih memilih mereka daripada aku. Aku nggak mau Nok,” Seer...sesuatu menggelitiki hatiku. Kalian dengar tidak apa yang Adie katakan barusan, aku benar-benar terhipnotis oleh matanya sampai-sampai ucapannya tadi seperti bisikkan malaikat *tenang udah gue record, biar elo denger tadi Adie ngmong apa*
            “Inok...denger kan?” ucap Adie lagi. Nggak Die, nggak denger tadi banyak angin, suara elo kabur. Gerutuku.
            “Eg...eg...iya Die, aku denger.” Aku berpura-pura membereskan rambutku agar tidak kelihatan gugup. “Die, balik yuk?” ucapku lagi. Adie hanya mengangguk lalu menggadeng tanganku dan kembali melangkah. Kyaaaa....bahagianya aku.
***

Bagian
Tak Jauh Beda

            Pukul 20.00 kami sudah berada di sebuah salah satu café di kota ini. Kami berenam bukan untuk makan atau nongkrong dan semacamnya. Tetapi kita ke sini untuk manggung gitu, hitung-hitung menghibur dengan suaraku ini *vibranya yg selama ini gue tunggu*
            Dan tentunya Adie kita bawa, tidak mungkin ditinggal di villa sendirian. Aku tidak rela kalau Adie di godain sama penghuni villa *emang ada*


bersambung...

Cerbung >> Dalam Dunia Dhera *Part 8*


haiii...hmm...bingung mau ngomong apa. yg pasti terima kasih untuk semuanya yg sudah baca cerbung aku..hmmm ini lanjutannya. maaaf banget kalau part ini nggak seru kayak part lainnya.. untuk Kak Dhera, makasih banyak sudah jadi inspirasi aku, dan dheractions juga...karena aku bagian dari kalian semua...
ceeekiiidooot...:D :D :D
Sekarang aku banyakin yah..:D

            “Adieee...seriusan!!”
            “Iya Inok, aku nggak pergi kok.” Jawab Adie mengacak rambutku. “Kamu belum ngantuk.” Aku langsung menggeleng.
            “Gimana kalau kita main musik.” Saranku. Terlihat Adie terdiam sejenak, lalu mengangangguk. “Ok, kamu pakai bass Akis, aku gitar yah.” Aku tersenyum senang. Setidaknya ini bisa menghilangkan parno akibat lihat film tadi.
            Malam ini aku dan Adie terus bermain musik dengan nyanyian-nyanyian yang kita berdua bisa. Ini yang aku rindukan, bersama Adie membuatku semakin tenang. Suara Adie dan suaraku di padukan memang pas, klop dan...serasi *cieee, cieee...hayalan author nih*
Bagian 6
Cemburu
            “Inoook!!! Bangun!!!” teriak Memey sambil mengguncang-guncangkan tubuhku. Tunggu dulu, suara Memey kok beda sih. Mungkin Memey lagi flu kali. Aku tidak peduli, masih ngantuk. Ku rangkul Ona Oni, dan Ono.
 “Inoook, banguun! Katanya mau jalan-jalan!” kembali Memey meneriakkiku.
“Nggak mau, nggak ada susu di tangan Memey!” ujarku tanpa membuka mata.
            “Memey? Gue AKIS NOK, AKIS!”  Mendengar itu kontan aku terbangun dan langsung dalam posisi duduk. Aku lihat Akis sudah manyun-manyun melihatku.
            “Akis! Memey mana, terus susu gue mana?” runtutuku. Akis langsung mencubit kedua pipiku geram.
            “Elo masih tidur yah, di sini nggak ada Memey, kita lagi liburan Inok.” Peringat Akis. Mendengar itu aku melongo menatap Akis yang kalut karena sulit membangunkan aku,  lalu aku kembali berbaring. Dengan segera Akis menarik tanganku.
            “Ih, ngapain elo malah baringan lagi.”
            “Kita liburan kan, jadi gue mau tidur.” Kataku enteng.
            “Nggak bisa, elo harus bangun! Pak boss sebentar lagi mau nyampai ke sini.” Kata Akis lagi. Mendengar pak boss, aku langsung bangun untuk kedua kalinya. Dengan segera aku turun dari tempat tidur dan meraih handuk.
            “Kis! Bikinin susu buat gue dong!” teriakku dari dalam mandi.
            “Manja lo Nok, iya iya gue bikinin!” balas Akis lalu keluar dari kamar.
***
            Sepuluh menit kemudian aku selesai mandi. Dan segera membuka lemari baju dan mengambail celana pendek, dengan dress mini. Loh, kok dress? Aku ke ingat perkataan Adie semalam *cieee kebayang yah, so sweet* meski dress yang aku pakai tidak sefeminime cewek-cewek mall, tapi aku yakin tetap terlihat girly. Aku menyisir rambutku yang kental dengan ketomboy’an. Dikucir? NO! NO! NO! Meski pun Adie ingin melihatku feminime tapi aku tidak bisa menghilangkan style tomboy but girly ini.
            “Inoook!! Cepet turun!” teriak seseorang dengan suara cempreng. Ish! Ini Tablet nih.
            “Iyaaa, bawel!” teriakku tak mau kalah. Aku segera keluar kamar, menuruni anak tangga. Kulihat yang lain sudah berkumpul di ruang tengah, dengan makanan yang sudah tersedia. Aku tidak tahu, siapa yang masak. Begitu aku sampai pada anak tangga terakhir, Adie melihatku bengong, mulutnya menganga.
            “I...Inok...” lirihnya. So, sepertinya Adie terpesona melihatku *author juga terpesona Nok* lihat saja, Adie sampai melongo, begitu juga dengan yang lain. Dengan senyum aku menghampiri mereka.
            “Nok...” lirih Herdi.
            “Kenapa tatapan kalian kayak gitu banget sih?” ujarku tak mengerti. Aku langsung mengambil posisi di samping Adie. Adie melihatku dari dari ujung kaki sampai ujung kepala, tidak ada yang terlewat.
Sekian detik mereka masih terdiam, dan itu membuatku tertawa. Mendengar aku yang tertawa sambil duduk di sofa, mereka terhenyak kemudian berpura-pura sibuk mengambil makanan di meja.
            “Oh yah, pak boss lagi di jalan. Sebentar lagi juga nyampe.” Ujar Tablet.
            “Kata pak boss apa Blet?” tanya Akis sambil melahap roti selainya.
            “Katanya pak boss sudah mendapat job buat kita, yah di kafe gitu deh,”
            “Siip itu. Kapan pun kita siap.” Sergahku lalu mengalihkan pandangan ke Adie. “Adie, cari pisang yuk, aku pengen pisang. Nggak tega gue, cacing-cacing di perut konser sambil teriak-teriak pisang?” ajakku di sertai rengekan manja.
            “Ayuk aja Nok,” jawab Adie sumringah dengan anggukan kepala total *semangat 2012* aku harap kutu yang bersarang di rambut Adie tidak terbang ke Neptunus. *otak Inok eror, karena gk makan pisang*
            “Gue ikut yah, sekalian gue mau jalan-jalan.”sambung Akis.
            “Gue juga!” Aji mengangkat tangan.
            “Kalau gitu kita semua ikut aja, sekalian jalan-jalan.” Saran Akis.
            “Gue sama Herdi di sini aja yah, takutnya pak boss datang nih villa sepi lagi.” Jelas Tablet. Yang lain hanya mengangguk menyetujui.
            Sejurus kemudian Aku dan 3A (Adie, Aji, dan Akis) pergi mencari pisang sekalian jalan-jalan. Jangan dulu membayangkan jalan-jalan dengan mobil terus ke mall seperti di Cianjur. Kita berempat jalan kaki sambil menikmati pemandangan pegunungan.
            “Nok, kita cari pisang di kebun warga aja yuk?” ajak Aji melontarkan ide −basi−nya.
            “Yaelah, elo mau nyuri yah, ogah gue. Kata Memey nyuri itu dosa. Gua nggak mau masuk nereka” Sergahku langsung.
            “Idiih, nuduh gue segitunya Nok, maksudnya kita beli langsung di kebunnya.”
            “Mending kita ke warga aja,” sambung Adie meraih tanganku. Ih, Adie kok jadi genit yah, membuat rona merah di pipiku saja nih cowok. Memey tolong, anakmu fallin in love nih *teriaknya pake toa di atas menara Eifel kali aja Memey denger*
            Sepanjang jalan kita berempat terus tertawa menceritakan apa saja. Sesekali dengan sok romantis, Adie merayuku yang pasti langsung di soraki sama Akis dan Aji.  Kami mendatangi warung-warung warga, sampai ke kebun-kebunnya. Akhirnya kita dapat pisang. Aku tersenyum senang beberapa pisang berada di tanganku, aku mendekapnya, mencium harum pisang ini, tapi tanpa di puter di jilat dan celupin, cukup buka kulit pisang, langsung masuk ke mulutku.
            “Inok, makannya entar aja napa, elo nggak sabaran banget.” Ujar Akis menyenggol lenganku. Si ibu penjual warung hanya tersenyum saja melihatku. Ah, biarlah orang berkata apa. Yang penting makan pisang. Aji dan Adie hanya tertawa.
            “Akis, Adie, dan Aji pulang yuk.” Kataku masih melahap pisangnya. Setelah membayar pisang dan belanjaan yang Akis beli kita langsung capcus balik.
            Di perjalanan menuju villa aku yang masih senang membawa pisang sampai lupa dengan kamera pemberian Yoga. Aku menyerahkan plastik berisi pisang ke Aji lalu membuka tas cokelatku.
            “Gue lupa! Gue bawa kamera gitu pemberian dari bang Yoga, kita foto-foto dulu yah.” Ujarku. Tentu saja mendapat respon baik dari ketiganya. Tak membutuhkan waktu banyak untuk berpikir, kita langsung narsis-narsisan di sepanjang jalan. Segala macam pose dari yang cakep, bergaya modeling sampai yang gokil. Semuanya terpotret oleh kameraku.
            Tidak aku lewatkan untuk berfoto dengan Adie. Oh God, dag dig dug lagi nih jantung. “Udah, udah sekarang gilaran gue yang motret.” Aku meraih kamera dari tangan Aji lalu mencari posisi pas untuk memotret Aji, Akis dan Aji. Aku mundur-mundur sambil terus mencari yang pas.
            Dan....DUUK!! punggungku menabrak sesuatu, kontan aku sedikit terpental tapi tidak sampai jatuh. Masih memegang kamera aku berbalik hendak melihat siapa yang tadi aku tabrak.
            Sejenak aku terdiam melihat dua orang cowok di depanku. Yang satu memakai sweater cokelat, dan yang satu T-shirt ungu *janda* wajahnya mereka berdua tidak begitu asing bagiku. Aku berusaha mengingat wajah orang yang berada di depanku, sepertinya dua orang itu juga sama sedang berpikir.
            “Dhera!” ucap mereka berdua bersamaan.
            “Ivan! Febri!” seruku tak kalah kaget. Tanpa ba bi bi be bo lagi aku langsung memeluk mereka berdua. Sedangkan Akis, Adie dan Aji masih berdiri di belakangku dengan raut wajah melongo.

bersambung...

Cerbung >> Dalam Dunia Dhera *Part 7*


halloo..maaf lama post nya...ada problem sama abangku...oh yah, soal ngetagnya susah...jadi yg lum baca baca di dinding aku aja yah...:D :D :D :D
sok baca lanjutannya...semoga masih tetap menarik yah...
yg sudah baca koment....:)
trims....

            Aku dan Akis duduk di kasur dengan gitar di pangkuanku. “Nok, elo nyanyi deh.” Aku mengangguk.
            “Hey there Adoration, at the first I see you when you playing skateboard. You tricks play amazed me hoooo. And at the moment you fall down i'm so SHOCKED shocked. But you just smiling to your friends.” Ku petik gitar accoustic menyanyikan bait pertama lagu Say’A – Adoration. Akis memeperhatikanku seksama.
“Hey there adoration. When you see me and my eyes. I see you too. Your eyes shine brighter than anyone Hey there adoration. Now I know you. Now we're chummy, I'm so glad. Sometime you said to me that I'll be a part of your life. Is it love at first sight ? Is it love at first sight?” kreek!!! Pintu kamar terbuka, kontan aku menghentikan permainan gitarku. Di sana Adie tersenyum ke arahku dan Akis.
            “Adie, ada apa?” tanya Akis. Adie tak menjawab, aku yakin ia menatap lurus ke arahku. Mendapat tatapan seperti itu dari Adie, aku jadi kikuk sendiri. “Adieee!!!” teriak Akis yang sudah berdiri di sampingnya. Adie pasti tidak menyadari keberadaan Akis saat itu.
            “Akis! Apaan sih elo.” Sungutnya.
            “Ya elo, ngapain natap Inok dengan mata serammu itu.”
            “Gue, baru lihat Inok pakai baju tidur. Cantik.” Jawab Adie tanpa melihat ke Akis melainkan ke arahku. Aku tersenyum mendengar ucapannya, yang menimbulkan rona di pipiku. Memang sekarang aku dan Akis memakai baju tidur pink dengan motif bunga. Rambutku tergerai bebas bahkan terkesan berantakan, tapi Adie masih bilang cantik. Cinta memang buta. *elo emang cantik, gak mungkin ganteng Nok*
            Aku meletakkan gitar lalu turun dari tempat tidur. “Ada apa Die?” tanyaku.
            “Kamu cantik.”
            “Adie, aku bukan tanya itu.” Jawabku lagi. Adie semakin kikuk.
            “Itu si Aji ngajak kita nonton film, yang baru saja ia beli. Kita semua turun yuk.” Kata Adie. Aku dan Akis saling pandang.
            “Film apa?” tanya Akis. Adie hanya menggeleng, tanda ia tidak tahu.
            “Hmmm...ok.” Akis pun keluar duluan. Ketika hendak keluar kamar Adie menaan tanganku, memberikan tatapan sampai ke manik mataku. Aku tak mengerti mengapa tuh anak natap aku sampai segitunya. Bahkan sampai pada ujung kakiku. Aku yang memakai baju tidur lengan pendek dengan celana tidur selutut.
            “Adie! Mata kamu serem.” Dustaku. Padahal aku tak kuat melihat matanya, aku bisa meleleh.
            “Kamu pakai baju apapun tetap cantik, Nok.” Katanya dengan senyum tersungging di bibirnya.
            “Udah yuk, kita turun.” Kataku lebih memilih puji-pujian Adie, bisa terbang ke langit tujuh nantinya. Adie menggandeng tanganku turun ke bawah menyusul yang lainnya. Di anak tangga, Adie membisikkan sesuatu di telingaku.
            “Aku pengen liat kamu pake dress, pasti tambah cantik.” Bisiknya. Seeerr...aduuuh bisikkannya itu lembut sekali, seperti malaikat *masa setan* aku hanya tersenyum manis ke arahnya.
            “Die, Inok, sini duduk.” Ujar Tablet. Mereka duduk berdampingan, dengan urutan Tablet, Akis, Herdi sedangkan Aji sendiri sudah berjongkok di depan TV bersiap-siap memutar DVD. Aku dan Adie memilih duduk di samping Herdi.
            “Blet, matiin lampunya.” Pinta Aji.
            “Loh, kok di matiin.” Sergahku tak mengerti.
            “Yaelah Inok, biar terkesan di bioskop gitu.” Sambung Akis. Aku hanya mengernyitkan dahi, masih bingung.
            “Emang kalian mau nonton apa sih?” tanyaku lagi.
            “Entar juga elo tahu, Inok!” sambung Herdi. Akhirnya Aji menekan tombol close setelah memasukkan DVD.
            “Inok, Adie, kalian berdua duduk di samping Akis sana!” usir Aji. Aku yang masih bingung hanya nurut saja, begitu juga dengan Adie, ia sama sekali tidak jauh dariku. Posisiku dan Adie seperti di ampit oleh ke empat personil Say’A. Terasa sedikit sesak, aku yang tidak biasa terus mendesak Akis agar bergeser.
            “Ih, sesak, Kis elo geser napa!” desakku.
            “Ini gara-gara Aji, tubuh subur elo tuh yang bikin kita sesak. Di bawah aja lo!” timpal Adie.
            “Ogah! Asal sama elo!” Aji menarik tangan Adie.
            “Gue kan nemenin Inok.” Adie menggenggam tanganku.
            “Gue aja yang di bawah sama Akis.” Ujar Herdi menarik tangan Akis. Akis tidak bisa menolak. Kini sofa sudah tidak sesak lagi. Aku berada di tengah di antara Adie dan Tablet. Sedangkan Akis berada di tengah di antara Aji dan Herdi. Kemudian Aji langsung memencet tombol play pada remote yang sudah berada dalam genggamannya. Aku hanya berpikir kalau film yang Aji beli adalah film perang-perangan kalau tidak yah, pasti romantik gitu.
            Layar sudah menampilkan sebuah lebel produksi. Aku mulai mencium gelagat mencurigakan, dan kini terdengar tatanan suara yang menyeramkan. Aku melirik ke arah teman-teman, ada senyum asem terlukis di sudut bibir mereka. Sumpah! Demi apa pun juga, aku baru menyadari apa yang mereka tonton, Suster Ngesot! Lihat tuh tulisan segede angkot dengan gambar muka nggak jelas terpampang di layar. Kontan aku langsung menutup muka dengan kedua telapak tanganku. Sial! Teman-teman sudah mengerjaiku, dan mereka sukses. SUKSES! Huh! Padahal mereka tahu kalau aku paling tidak suka dan paling takut kalau yang berbau horor.
            “Gu...gue...balik ke kamar.” Aku berdiri dari dudukku masih menutup mata dan berusaha tuli supaya suara cekikan yang membuat telinga pecah tidak terdengar.
            “Eh! Eh! Nggak bisa, elo harus tetap di sini.” Ujar Tablet.
            “Kalian jahil banget sih, udah tahu Inok takut sama kayak ginian.” Bela Adie.
            “Die, bukannya kita jahil atau apa, kita semua mau Inok belajar tidak takut lagi. Ayolah Nok, tetap di sini yah. Lagian elo nggak sendirian, ada kita dan Adie di samping lo.” Aku terdiam mendengar penjelasan dari Tablet. Perlahan Adie maraih tanganku dan berusaha menenangkan aku.
            “Please yah Nok, ini cuma film kok.” Akis menoleh ke arahku begitu juga dengan Aji dan Herdi. Sejenak mereka tidak menghiraukan film yang sedang di putar. Aku belum menjawab, tapi perlahan aku duduk kembali. Mereka semua senyum ke arahku.
            “Bailah...akan gue coba.” Jawabku. Mereka mengangangguk. Kini mereka kembali konsentrasi melihat tayangan yang aku saja tidak mengerti jalan ceritanya. Sumpah sudah terbayang di benakku bagaimana rupa si suster ngesot. Di pikir-pikir kok manusia yang punya kaki bisa takut sama suster ngesot, kalau lari saja pasti suster ngesot bakalan kalah, iya kan? *iya juga sih Nok*
            “Kamu tenang yah, ada aku.” Bisik Adie sambil menggenggam tanganku. Aku melirik ke arahnya, dan mengangguk. Beberapa menit telah berlalu, entah aku masih bingung itu menceritakan apa, mungkin menceritakan suster yang dibantai terus di siksa, selanjutnya bla bla bla aku malas menceritakannya, lihat saja setting tempatnya kok gelap seperti itu. Setahuku, rumah sakit itu tidak gelap, bukan kayak rumah tak berpenghuni seperti itu.
            Tanpa aku sadari setiap terdengar suara cekikikan dan dentuman bunyi yang tidak jelas, aku semakin mempererat genggaman Adie dengan menutup wajahku dengan telapak tangan, kalau tidak aku sembunyi di paling bahu Adie.
            “Nok...”
            “Aku takut Die...” apaan nih yang basah di pipi. What! Ini air mataku! Melihat aku yang semakin bersembunyi di balik bahunya Adie langung merangkul pundakku.
            “Guys, gue antar Inok ke kamar aja yah, dia udah ketakutan nih.” Adie mengelus pundakku lembut. Mereka hanya mengangguk serempak tanpa melihat ke arah kami. Akis sendiri sudah ngumpet di balik punggung Herdi. Penakut juga nih anak, belaga sok lihat segala.
            Adie menuntunku bangun dari duduk. “Hati-hati di kamar ada apaan tuh.” Seru Aji.
            “Ajiiiii!!!” geramku kesal. Aji malah cekikian menirukan gaya suster ngesot. Aku lempar pake badak mampus tuh anak. *kekecilan itu Nok, sekalian lempar pake pesawat, pas tuh!*
            Adie membuka pintu kamarku dan langsung menyuruhku tidur, aku hanya mengangguk. Kemudian Adie menyelimutiku. Ku lirik jam di meja dekat ranjang, pukul 22.00. “Inok, kamu tidur yah.” Katanya mengelus rambutku lembut.
            “Die, jangan pergi.” Cegahku meraih tangannya. “Kamu di sini aja, takut ada suster ngesot.” Lanjutku. Adie malah tertawa kecil.
            “Adieee...seriusan!!”
            “Iya Inok, aku nggak pergi kok.” Jawab Adie mengacak rambutku. “Kamu belum ngantuk.” Aku langsung menggeleng.


bersambung...maaf mengecewakan...

Cerbung >> Dalam Dunia Dhera *Part 6*


haiii...nih lanjutannya...meski gk seseru kaya part sebelumnya...maaf yah...
oh yah yg gk kebagian tag...mampir ke wall aku nanti aku kirim link cerbungnya...
hmm..sekali lagi, ini hanya karangan saja, jgn mengira nyata:D :D :D...selamat membaca guys...

            Akhirnya mereka berenam sampai di sebuah villa yang terletak di puncak dengan pemandangan gunung yang indah, susana sejuk dan tanpa polusi. Ini sih namanya damai, aman, dan sejahera. “Antik juga nih villa.” Gumam Aji menggelengkan kepalanya melihat bangunan yang berdiri di depan mereka. Bangunan itu semakin asri dengan pohon-pohon di sekelilingnya. Aku melihat ke sekeliling, rupanya villa Akis jauh dari pemukiman. Berbeda denganku dulu yang berdampingan dengan beberapa villa.
            “Huh! Ini baru namanya liburan!!” teriak Tablet merentangkan kedua tangannya merasakan hembusan udara yang sejuk.
            “Ndesso banget sih, lo.” Timpal Herdi menoyor kepala Tablet. Kami semua pun tertawa.
            “Oh yah Kis, elo udah hubungi si pak boss belum?” tanyaku. Yang aku sebut pak boss adalah manager Say’A pak Ical.
            “Tenang, gue udah hubungin kok, katanya besok pak boss sampai sini, sekalian nyari job gitu buat kita. Kali aja, di sini juga kita bisa manggung.” Timpal Herdi. Aku tersenyum.
            “Ayo semuanya masuk.” Kata Akis sambil mengeluarkan kunci villa dari tasnya. Serempak kami mengikuti langkah Akis dengan membawa barang masing-masing. Akis dengan cepat membuka pintu depan, begitu masuk langsung terlihat tata ruang yang rapi, bersih dan asri. Berbeda dengan Aji dan Tablet, mereka langsung mencicipi sofa empuk di ruang tamu.
            “Gue lupa, di sini nggak ada pembantu. So, semuanya harus dilakukan sendiri. Nyuci baju, masak, bersih-bersih dan lain sebagainya.” Tutur Akis. Kontan yang lain kaget plus melongo mendengar ucapannya. Aji dan Tablet yang tadi jungkir balik di sofa langsung menghentikan tingkahnya itu, tentu saja aku juga kaget setengah modar.
            “Nggak ada pembantu?” ulangku tak percaya. Akis mengangguk. “Mampus gue!” rutukku dan duduk di sofa dengan lemas.
            “Yaah, kita ke sini mau liburan Kis, masa semuanya harus dikerjakan sendiri.” Sela Tablet yang langsung di sambut dengan anggukan kepala Aji dan Herdi. Si Akis malah senyum-senyum saja, sepertinya tuh anak senang banget melihat reaksi kita semua.
            “Kis, jangan bilang kalau di sini nggak ada pisang!” sambungku menatap Akis tajam. *tetep yah Nok, pisang aja di kepala elo* Akis mengangkat kedua bahunya. Oh God, Akis seperti mengerjai kita semua.
            “Tenang Inok, nanti kita cari pisang di sekitar pemukiman.” Kata Adie duduk berlutut sambil mengelus rambutku. Melihat perlakuan manis seperti ini aku tersenyum.
            “Bener yah?” ucapku juga menatap Adie. Adie tersenyum lalu mengangguk.
            “Yaelah kita semua berasa sedang nonton teater Romeo dan Juliet nih, live pula. Ehm!” kata Aji merangkul bahu Tablet.
            “Daripada elo apel makan apel.” Aku tak mau kalah. Tablet dan Aji saling pandang, sesaat kemudian Aji melepaskan rangkulannya.
            “Loh bukannya jeruk makan jeruk yah, Nok.” Herdi bingung.
            “Hahah terserah gue dong, buah-buah gue ini.” Aku tertawa di susul dengan Adie dan Akis *emang sekarang elo pegang buah??*
            “Sudah...sudah...” lerai Akis mengehentikan tawanya. “Oh yah, di sini ada tiga kamar, pas banget kan kita berenam, jadi masing-masing kamar dua orang.” Terang Akis. “Yang itu, dan itu, yang satunya lagi di atas.” Lanjut Akis sambil menunjuk kamar yang dimaksud. Aku dan yang lain hanya mengangguk paham.
            “Kis, gue bareng Inok yah?” kata Adie yang duduk di sampingku. Mendengar itu aku hanya cengar-cengir tapi malah mendapat tatapan tajam dari Akis yang menggelengkan kepalanya langsung. “Ih, bolehlah Kis, iya kan guys.” Adie melempar pandangannya ke Herdi, Aji dan Tablet. Ketiga cowok itu hanya mengangguk dengan senyum jahil tersungging di bibir mereka.
            “Adie, kamu apaan sih?” aku mencubit lengan Adie pelan.
            “Loh memangnya nggak boleh yah?”
            “Kamu mau dimakan Akis tuh,” tunjukku melihat Akis yang melipat tangannya di depan dada dan menatap Adie tajam.
            “Iya, iya Kis, udah ah! Tatapan elo udah kayak mau makan singa tahu nggak.” Adie kembali mengelus lembut puncak kepalaku dan berlalu ke kamar yang tadi di tunjukkan Akis, sebelum Akis benar-benar memakannya *berarti elo singa dong Die*
            “Gue bareng Adie yah,” kata Herdi lalu menyusul Adie ke kamarnya. Aku sendiri langsung ditarik Akis ke kamar atas. Tinggallah Aji dan Tablet, sejenak mereka saling tatap *awas! Bahaya tuh, nanti tumbu benih-benih cintrong*
            “Mau tak mau, elo sama gue blet!” kata Aji lalu merangkul bahu Tablet menuju kamarnya.

$@$@$%^&%*$%

            Tak terasa hari sudah sore. Sepanjang hari kita semua bersenang-senang di sekitar villa, dari memancing, bersepeda, bahkan ke empat cowok itu nyebur ke sungai yang tak jauh dari villa. Aku dan Akis hanya duduk-duduk di dekat sungai, melihat aksi gokil cowok-cowok itu. Tentu saja pandanganku tak lepas menatap Adie *kesemsem deh si Inok.* jangan mengira sungainya keruh, ini jernih sekali aliran dari gunung.
            Usai berenang di sungai, kami berenam kembali ke villa dengan membawa beberapa ikan hasil memancing tadi. Setelah mandi kita semua salat maghrib berjamaah dengan Herdi sebagain imam. Usai salat Akis mengajakku memasak untuk makan malam.
            “Kis, gue nggak bisa masak.” Bisikku di telinga Akis.
            “Udah tahu Nok, elo tuh bisanya makan, eh!makan juga disuapin yah?” ledek Akis.
            “Ih, gue balik kamar aja deh.” Aku hendak berbalik, tapi Akis segera menahannya.
            “Elo harus bantu gue!” Akis menarik tanganku, lalu menyerahkan pisau dan menyuruhku untuk memotong-motong daging. Loh, kok malah Akis yang maksa, biasanya akulah yang suka maksa. Aku manyun sambil meraih pisau itu. Tak lama kemudian, ke empat cowok datang. Aku tersenyum lebar.
            “Wah, masak nih!” ujar Aji.
            “Ji, elo deh yang potong daging.” Aku langsung menyerahkan pisau di tangan Aji.
 “Kis, kita masak bareng-bareng aja,” saranku. Akis langsung mengangguk. Jadilah kita masak bareng. Akis membagi-bagi tugas apa yang harus mereka lakukan, gesit juga tuh Akis. Mulailah kita masak untuk makan malam.
            “Inok sayang, handphonenya di simpen dulu yah?” Adie memegang tanganku dan menatapku dalam. Oh God, ada pangeran di depanku. Aku mengangguk kecil. Sorry, aku memang hoby memainkan handphone di mana pun. Untung Akis tidak melihatnya, bisa-bisa tuh anak ngebawel lagi.

&^&%$&$#$%#%

            Aku dan Akis duduk di kasur dengan gitar di pangkuanku. “Nok, elo nyanyi deh.” Aku mengangguk.

tebaaak...Dhera/Inok nyanyi apa????