Minggu, 17 Juni 2012

Cerbung >> Dalam Dunia Dhera *Part 9*


haiii....*garuk-garuk kepala* maaf aja deh kali ini acak-adut. oleh karena itu kritik sarannya aku tunggu yah. buat masukan juga. eh, karena banyak yg gk di tag, jadi jadi jadi...lihat dinding aku aja yah...maaf banget niih, tapi beneran deh sumpah demi meluk kak Dhera, tag nya penuh.
ok capcus...happy ready guys...:D :D :D

            “Dhera!” ucap mereka berdua bersamaan.
            “Ivan! Febri!” seruku tak kalah kaget. Tanpa ba bi bi be bo lagi aku langsung memeluk mereka berdua. Sedangkan Akis, Adie dan Aji masih berdiri di belakangku dengan raut wajah melongo.
            Setelah puas memeluk mereka, aku menatap dua cowok yang sekian lama terkubur dalam kenangan masa lalu *ciiee bahasanya*. Ivan dan Febri. Aku tidak tahu harus memulainya dari mana untuk menjelaskan siapa mereka berdua. Singkatnya sih, mereka berdua adalah temanku ketika aku masih tinggal di villa. Dan aku bersikeras menguras tenaga untuk mendapat penerawangan mengapa mereka bisa sampai di sini. *menguras otak kali* tapi...ah, otakku tak sampai pada titik itu.
            Ivan Saputra atau yang biasa di sebut Similikiti adalah cowok manis dengan kulit putih, perawakan sedang. Ampun deh, ini orang memang manis, baby face, cute, yah sejenis itulah si Ivan. *pembahasan nama similikiti nanti di part berikutnya* Dia yang sekarang memakai sweter cokelat.
            Dan satunya Febri, cowok yang mempunyai nama lengkap Febri Yoga Sapta, dia juga temanku. Cowok kalem ini membuat aku gemas setiap kali melihat tingkahnya. *suka yaaah* jawabannya No! Mereka berdua sudah seperti keluargaku sendiri. Febri mempunyai tubuh yang menurutku ideal, mata cokelat  serta kulit bersih. Dulu ketika aku masih tinggal di villa sekitar kelas 4 SD. *author pelupa* mereka berdua selalu menemaniku bermain, pokoknya best friend deh. Meski umurku lebih muda dari mereka. Yah, mereka adalah kakak kelasku.
            “Kalian kok ada di sini sih?” tanyaku heran.
            “Kita pindah ke daerah sini Dhe. Kalau elo?” Jawab Ivan memamerkan senyumnya. Dari belakang Adie, Aji dan Akis menghampiriku.
            “Gue liburan ke sini.”
            “Inok, mereka siapa?” kini Adie bertanya. Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Saking senengnya melihat Febri dan Ivan aku sampai lupa dengan kehadiran Adie. Udah gitu tadi aku memeluk mereka. Ish! Berharap Adie tidak terbakar.
            “Hmm...dia Febri dan Ivan, Die. Mereka berdua adalah temanku.”
            “Kenalin napa, Nok.” Sambar Akis beringasan melihat Ivan dan Febri. Terkadang cewek tomboy kayak Akis bisa juga centil yah, kalau udah lihat yang baby face, dan manis-manis gini.
            “Oh yah, kak Febri, kak Ivan, perkenalkan ini sahabat-sahabat gue.” Kataku yang kini menambahkan kata ‘Kak’ di panggilanku. “Ini Akis, yang ini Aji, dan ini Adie, pacar gue.” Lanjutku sambil memperkenalkan mereka satu persatu. Mereka lalu berjabat tangan.
            “Sekarang elo sudah besar yah Dhe, tambah tomboy pula.” Ujar Ivan. Ia memerhatikanku dari ujung kepala sampai ujung kaki.
            “Iya yah, tambah gemes sama elo, Dhe.” Timpal Febri sambil mengacak-acak rambutku. Itu kebiasaan mereka berdua, ternyata mereka sama sekali tidak lupa. *nostalgia nih ceritanya*
            “Ih, gue bukan anak kecil lagi.” Rengekku sambil melepaskan tangan Febri.
            “Ehm!” loh loh, suara apa itu. Kyaaa! Adie berdehem! Oh God, Adie cemburu yah. Aku melirik ke arah Adie, tuh cowok menatapku tajam. Ih, Adie serem ah! Batinku lalu mengambil tempat berdiri di samping Adie dan Akis.
            “Adie cemburu tuh, elo sih tadi peluk-peluk mereka berdua. Udah gitu kak Ivan sama Kak Febri tingkahnya manis banget sama elo, tambah gede tuh api cemburu di hati Adie.” Bisik Akis di telingaku *contoh gk baik, banyak orang malah bisik-bisik* aku hanya memanyunkan bibirku mendengar bisikkan Akis.
            “Oh yah Dhe, nanti boleh dong kita berdua ikut liburan sama kalian.” Usul Febri.
            “Wah boleh banget Kak.” Sahut Akis sumringah. Asli demi apapun kayaknya si Akis suka sama mereka berdua. Lihat aja matanya berbinar-binar gitu tiap kali melihat wajah Ivan dan Febri. Kayak ada triliunan bintang di matanya.
            “Beneran?” Ivan memastikan.
            “Beneraaan...!” seruku bersamaan dengan Akis. Begitu sadar aku juga menanggapi dengan nada senang aku menggigit bibir bawahku, dan perlahan melihat ke Adie yang tepat sekali di samping kiriku. Ampun! Akis benar, ada api besar di sana. Kalau ada yang nganggur tolong panggil mobil pemadam kebakaran, takut apinya semakin membesar *pemadam api cemburu, Inok.*
            Tiba-tiba handphone Aji berbunyi nyaring *telpon dari mobil kebakaran tuh*
            “Hallo Blet!” kata Aji sambil melirik ke arah kami bertiga. Seperti pembicaraan serius nih. *idih, ternyata pemadam kebakarannya si Tablet* “Iya, ok kita segera balik.” Kata Aji lalu mematikan telpon.
            “Ada apa Ji?” tanyaku            .
            “Pak boss udah nyampe, kita harus cepet kembali ke villa.” Ujarnya.
            “Ok. Kak Ivan Kak Febri, kita pulang dulu yah.” Pamitku pada mereka berdua.
            “Yah, Dhera.” Jawab mereka serempak. *Ih kompak yah.
            “Kak besok main ke villa kita yah!” kata Akis. Febri dan Ivan hanya mengangguk. Setelah melambaikan tangan pada mereka berdua, kami bertiga pun melanjutkan perjalanan menuju villa.
            Sepanjang jalan, perubahan sudah terlihat dari sikap Adie. Tuh cowok hanya diam saja, padahal dia di sampingku. Akis dan Aji masih sama seperti tadi, bercanda dan sesekali memotret pemandangan dengan kameraku. Bahkan mereka berdua sudah berjalan jauh di depanku dan Adie.
            “Die, kamu kenapa, sih?” tanyaku hati-hati. Tak ada jawaban dari Adie, ia hanya diam. “Kamu...marah sama aku.”
            “Kamu masih tanya apakah aku marah sama kamu” Adie sudah menaikkan satu oktaf dari nada bicaranya. Aku menelan ludah. *takut yah Nok*
            “Tapi kamu marah kenapa?” GUBRAK! Seharusnya aku tidak bertanya seperti itu. Ah! Bodohnya aku, itu sih malah membuat apinya semakin besar saja. Sesaat kita sama-sama menghentikan langkah kaki.
            “Inok, kamu gitu banget sih, sama aku.” Adie kembali melangkah. Asem! Kenapa jadi seperti ini. *Adie benar-benar kesal tuh.*
            “Adie! Tunggu!” aku berhasil menarik tangannya. “Sorry!”
            “Inok,” ujarnya lalu membalikkan badannya melihatku. “Kenapa kamu bersikap begitu manis di depan mereka berdua, kamu nggak tahu perasaanku gimana saat kamu memeluk mereka begitu erat tepat di depanku.”
            “Tapi mereka berdua adalah temanku, Die. Wajar kan aku memeluk mereka yang sudah lama tidak bertemu, sama halnya dengan anak-anak Say’A.” Elakku. Adie kembali membelakangiku. *jadi bingung situasinya galau nih*
            Sejenak tidak ada yang berbicara, kami diam dengan pikiran masing-masing. Ku lihat beberapa kali Adie menarik nafas dalam. Aku hanya menunduk, tak tahu harus apa. Tiba-tiba TAP! Adie meraihku ke dalam rengkuhannya. Mendekap tubuhku erat, bahkan aku sampai mencium wangi parfum dari tubuh Adie.
            “Maafkan aku Nok, seharusnya aku tidak secemburu ini sama kamu, maaf.” Katanya masih memelukku. Yaaah....dia membuatku meleleh *sama aku juga meleleh melihatnya.
            Kemudian Adie melepaskan pelukannya, menatap mataku sampai pada titik terakhir. Oh God, matanya it’s beautiful. “Nok, aku cuma nggak ingin kamu lebih memilih mereka daripada aku. Aku nggak mau Nok,” Seer...sesuatu menggelitiki hatiku. Kalian dengar tidak apa yang Adie katakan barusan, aku benar-benar terhipnotis oleh matanya sampai-sampai ucapannya tadi seperti bisikkan malaikat *tenang udah gue record, biar elo denger tadi Adie ngmong apa*
            “Inok...denger kan?” ucap Adie lagi. Nggak Die, nggak denger tadi banyak angin, suara elo kabur. Gerutuku.
            “Eg...eg...iya Die, aku denger.” Aku berpura-pura membereskan rambutku agar tidak kelihatan gugup. “Die, balik yuk?” ucapku lagi. Adie hanya mengangguk lalu menggadeng tanganku dan kembali melangkah. Kyaaaa....bahagianya aku.
***

Bagian
Tak Jauh Beda

            Pukul 20.00 kami sudah berada di sebuah salah satu cafĂ© di kota ini. Kami berenam bukan untuk makan atau nongkrong dan semacamnya. Tetapi kita ke sini untuk manggung gitu, hitung-hitung menghibur dengan suaraku ini *vibranya yg selama ini gue tunggu*
            Dan tentunya Adie kita bawa, tidak mungkin ditinggal di villa sendirian. Aku tidak rela kalau Adie di godain sama penghuni villa *emang ada*


bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar