Selasa, 17 Februari 2015

Surat untuk Ayah









Kepada : Ayah yang ku sayang
Di
Kehangatan keluarga
          Entah bagaimana perasaanku saat menulis surat ini. Sedih atau bahagia. Pun bagaimana aku menorehkan tinta hitam ini, apa yang harus aku katakan. Sebenanrnya ada banyak yang ingin kuceritakan padamu, Ayah. Mungkin yang pertama aku katakan padamu adalah : aku merindukanmu, sangat merindumu Ayah.
          Ayah, bagaimana kabarmu? Apakah kau masih baik-baik saja saat aku pergi menuntut ilmu, Ayah. Kau selalu hadir dalam mimpiku dengan senyum, membuat aku lebih merindukanmu. Tapi aku sedih Ayah, dan aku berpikir apakah aku sudah membuatmu tersenyum, membuatmu bahagia atas apa yang kulakukan? Apakah aku sudah menjadi anak yang baik untukmu, Ayah. Mengapa perasaan pedih ini kerap hadir. Apakah karena aku anak yang tidak menurut padamu, Ayah.
          Aku ingat, begitu banyak kelakukan nakalku yang sering membuat kau berteriak marah, kau menceramahiku, tapi aku malah bersikap bodoh, aku memang mendengarkanmu tapi tak banyak yang kuserap dari ribuan nasihatmu, Ayah. Apa kau tahu itu?  Jelas tidak.  Karena kau selalu menganggap aku anak kebanggaan Ayah. Iya itu aku. Aku yang kerap kali mengabaikanmu.
          Ayah, kau tahu mengapa aku sering mengabaikanmu itu karena saat memasuki kelas dua Sekolah Dasar aku mulai dekat dengan ibu, padahal dari kecil aku sangat dekat denganmu Ayah, ke mana pun kau pergi aku selalu ikut. Lamban laun aku tumbuh menjadi besar, kenakalanku pun bertambah. Kau sering sekali memarahiku. Yang terpikir  olehku saat itu, aku benci Ayah. Ayah tidak bosannya terus memarahiku, membentakku, hingga akhirnya aku tidak mau lagi dekat-dekat Ayah. Aku mau sama Ibu yang selalu memanjakanku.
          Ah, Ayah...betapa bodohnya aku saat itu. Sempat membencimu, padahal Ayah tidak salah. Dari Ibu pun aku tahu betapa Ayah sangat menyayangiku, kau yang selalu mengelus rambutku kala aku sudah tertidur, kau bahkan menjagaku sepanjang malam agar aku tidak digigit nyamuk setelah seharian aku acuhkanmu. Maafkan aku, Ayah.
          Ayah, sekarang aku telah tumbuh dewasa. Aku menjalani kehidupanku jauh dari keluarga, dari Ayah dan Ibu. Apa yang tengah aku alami selama hidupku ternyata sudah kau ceritakan dulu. Kau mengajarkan aku banyak hal Ayah, banyak sekali. Semua nasihatmu yang dulu hanya sesaat tertanam dibenakku sekarang mulai ku ingat lagi. Aku mulai merangkum agar aku tak salah menjalani hidup ini Ayah.
          Ada saat dulu salah satu peristiwa yang masih ku ingat. Di mana kau terenyuh melihat seorang lelaki yang menjajakan semangka di bakul yang ia panggul. Kau langsung turun dari mobil menghampiri lelaki yang sudah lebih dari setengah abad dengan aku yang berdiri kebingungan. Kau bertanya pada lelaki itu, entah apa yang kau bicarakan aku masih belum tertarik dengan hal itu. Kemudian kau memanggilku, dan kau berkata “Ayo, pilih semangkanya.” Ujarmu dengan senyum. Aku pun tahu Ayah,  sebelum berhenti di sini ada banyak sekali menjual semangka yang mungkin lebih bagus dari mana semangka punya lelaki tua itu. Tapi mengapa kau malah memilih semangka yang kecil-kecil dan sepertinya belum saatnya masak itu.
          Aku mengambil satu semangkat tanpa berbicara sedikit pun. Si penjual tersenyum. Tapi Ayah malah mengambil sepuluh semangka membuat senyum si penjual semakin lebar dan mengucapkan terima kasih. Aku bertanya padamu, “Ayah, untuk apa semangka sebanyak itu?” tanyaku. Kau hanya tersenyum, senyum yang ikhlas dan tanpa menjawab pertanyaanku kau langsung membawa semangka-semangka itu ke mobil lalu membayarnya. Yang terlihat di mataku adalah lelaki tua itu begitu banyak mengucapkan terima kasih padamu tentu padaku juga. Ah, Ayah aku masih belum mengerti untuk apa semangka belum ranum nan kecil-kecil itu kau beli.
          “Perhatikan bapak itu Lusi,” bisikmu. Refleks aku memerhatikan lelaki tua itu.  yang terlihat di mataku hanya wajah hitam dengan peluh peluh di kedua pelipis dan dahi. Hanya sepasang mata yang sarat akan kelelahan mungkin karena memikul bakul-bakul serta panasnya musim kemarau. Dari mulutnya yang hanya dibarisi gigi-gigi yang sudah tidak utuh banyak mengucap syukur dan terima kasih atas rizki yangg diberi Tuhan karena semangkanya terjual banyak.
          Aku tersentak Ayah. Aku seperti terhempas dari tempatku, tapi kemudian kau menyadarkanku. Dadaku terasa sesak sekali, aku tak mampu berkata apa-apa. Betapa hebatnya hebat dirimu mengajarkan aku hanya dengan satu suruhan, mengajarkan aku untuk melihat bukan hanya sekilas, bukan hanya dengan mata, tapi dengan hati. Betapa aku menyadari satu hal Ayah, aku jarang bersyukur dengan apa yang kujalani dan ku dapat sekarang. Aku lebih banyak mengeluh, memaksa kehendakku terutama padamu, Ayah. Dari lelaki itulah aku belajar, dan kau telah membuka mata hatiku.
          Saat kita kembali ke mobil, kau pun menjelaskan apa yang tadi kau bicarakan dengan lelaki tua itu. Aku jadi tahu, semuanya, sudah terbaca. Betapa aku harus banyak bersyukur. Pekerjaan Ayah mungkin tidak sebera dari pekerjaan lelaki penjual semangka tadi.  Tapi aku tahu sekarang, seringan apa pun pekerjaanmu kau tetap merasa lelah, tapi kau begitu rapi menutupinya. Kau bekerja keras demi menghidupi keluargamu, memenuhi semua kebutuhan kami.
          Ayah, apa kau tahu sejujurnya saat kejadian itu dan seturusnya aku selalu bertekad dalam hati. Aku tidak akan membiarkan Ayah merasakan seperti pedagang itu atau siapa pun itu. Aku tahu kehidupan itu seperti roda yang terus berputar. Secara kasat mata begitu banyak hal yang kau ajarkan pada anakmu ini.
          Ayah, terima kasih atas perjuanganmu...
          Terima kasih karena selama ini kau begitu sempurna menjagaku, menyayangi permata di hidupmu...
          Ayah... maafkan anakmu jikalau belum bisa membahagiakanmu. Tapi aku bangga memiliki Ayah sepertimu, Ayah yang terbaik bagiku, bagi keluargamu.
          Terima kasih Ayah, sudah mengajarkan aku banyak hal dikehidupan ini. Aku menyayangi Ayah, mencintai Ayah..
          I  Love Dady...

Dari : Anakmu


Lusiana

Minggu, 08 Februari 2015

Kisah yang Tidak Kau Tahu

saat ngebaca ini sekadar saran dengerin lagu Supercell - Utakata Habani sama Kimi No Shiranai Monogatari biar lebih ngena deh :D No copas guys :D




          “Ayo, kita lihat bintang malam ini!” seruan itu terdengar membuat fokusku pada buku yang tengah kubaca buyar. Belum sempat menjawab, Hanjar sudah menarik tanganku. Sorot mata yang selalu terlihat teduh itu membuat aku tak sanggup lebih lama menatapnya dalam ketersimaan.
          “Tapi...”
          “Udah ayok!” ajaknya. Refleks meletakkan buku di meja. Cowok yang kurang lebih lima tahun menjadi temanku itu langsung menjalankan motornya.
          Malam ini aku dan Hanjar kembali membelah keramaian suasana kota saat malam hari. Ini bukan kali pertama Hanjar bertandang ke rumah, entah sekadara main, ngobrol atau keluar seperti sekarang.
          Tapi ini terasa berbeda, bukan hanya karena kedatangan Hanjar yang mendadak —tanpa mengirim pesan dulu— juga keinginannya keluar melihat bintang.
          Aku terenyak begitu motor memasuki beberapa tikungan pendek, rumah-rumah mulai mengecil, dan keramaian pun berkurang seiring motor terus melaju. Gelap-terang gelap-terang, lampu-lampu di sepanjang jalan mulai tak teratur. Pada tikungan berikutnya Hanjar menurunkan kecepatan. Aku mulai mengenali jalan ini beserta tujuan Hanjar.
          “Njar kita ke laut malem-malem gini?” tanyaku langsung begitu motor memasuki pintu masuk. Hanjar menoleh sebentar dan tersenyum. Setelah memarkirkan motor Hanjar langsung menarik tanganku menuju tepi laut. Ini adalah salah satu tempat wisata laut di kota kami. Memang lokasinya tidak terlalu besar, namun ke khasan pesona lautnya begitu terasa. Ada beberapa restoran yang sudah tutup dan ada juga yang buka 24jam karena memang tempat ini selalu ada pengunjung, entah untuk memancing atau makan.
          Aku beberapa kali ke sini bersama keluarga dan teman-temanku, tapi bersama cowok ini tentulah yang pertama.
          “Kamu nggak tahu ini udah jam berapa?” aku membetulkan letak kacamata minsku seraya mengikat rambut panjangku. Ternyata angin laut saat malam terasa menyejukkan juga.
          “Delapan!” Hanjar menunjukkan lima jari kanannya dan tiga jari kirinya sambil memasang senyum dan itu sangat menggemaskan. Senyum yang kerap kali membuat degup jantungku berantakan beberapa hari ini.
          “Iya tahu, trus kita ngapain malam-malam ke sini?”
          “Kan tadi di rumah kamu aku bilang, kita lihat bintang.”
          “Liat bintang nggak harus di sini kali Njar, di depan rumah juga bisa, atau di taman deket rumah itu kan cukup buat kita lihat bintang sepuasnya, trus juga nggak jauh-jauh a...”
          Hap! Telapak tangan Hanjar cepat menutup mulutku yang belum menyelesaikan kalimat tadi. Ditariknya bahuku dengan tangan lainnya yang bebas, menyuruhku untuk menatapnya. Aku terkunci dalam pekatnya sorot mata teduh itu. lalu dengan gerakan pelan tangan yang tadi digunakan untuk membungkam mulutku terlepas dan menunjuk ke atas. Aku mengikuti arah tangan itu terangkat.
          Hanjar menunjuk langit yang sumpah, sumpah, sumpah indah banget.
          Ini benar-benar hujan bintang. Langit seperti kanvas hitam yang dilukis titik-titik dari kecil sampai besar dengan kerlip yang berbeda, seperti tak ada ruang kosong untuk kanvas itu tetap terlihat hitam. Nyaris penuh dengan bintang.
          Mulutku menganga saking takjubnya. Mungkin mataku juga telah berbinar-berbinar.  Hanya tawa kecil menandakan betapa aku terkesima dengan maha cipta sang Khalik. “I..ini...”
          “Ini belum seberapa Jingga, diperkirakan dua hari lagi akan ada hujan meteor, atau bisa disebut hujan bintang.” Mulutku menganga lagi tanpa sadar meremas lengan atas Hanjar entah sejak kapan aku meletakkan tanganku di sana. “Kamu senang?” Aku mengangguk penuh semangat. Hanjar tertawa aku pun mengikutinya.
          “Ah, aku bawa kamera. Sebentar aku ambil dulu.” Hanjar bergegas menghampiri tempat parkir. Sedangkan aku melangkah mendekati tepi laut yang pasang. Aku tersenyum-senyum sendiri. Entah mengapa rasa ngilu di dadaku membuat aku tak bisa menghilangkan senyum dari bibirku. Saat mendongakkan kepala ke atas, aku benar-benar tidak bisa menyembunyikan kebahagiaanku.
          Cekrek! Sebuah flash menyambar mataku. Dengan mata sedikiti menyipit aku memanyunkan bibirku. Hanjar selalu suka memotret seenaknya saja. “Lagi, lebih ke sana!” teriaknya. Jadilah aku model dadakan. Hanjar memotretku, begitu pun sebaliknya. “Sekarang kita berdua?”
          “Caranya?” Hanjar mengedarkan pandangannya. Sesaat ia melambaikan tangan pada seseorang yang ternyata seorang pelayan dari salah satu restoran. Setelah berbicara sebentar kemudian Hanjar menunjukkan kelima jemarinya. Menandakan ia minta pelayan itu memotret sebanyak lima kali.
          Hanjar langsung menggandeng tanganku. Dan kami terabadikan dalam potret. Sampai potret kelima Hanjar mengucapkan terima kasih. “Kita lihat-lihat yuk!” ia menarik tanganku duduk di pasir. Aku melongokkan kepala melihat ke kamera. “Ah, kamu selalu terlihat manis di kamera Jingga. Begitu natural.” Suara Hanjar terdengar lirih, seolah berbicara pada diri sendiri. Tapi dalam jarak sedekat ini aku bisa mendengarnya dan itu membuat wajahku merah.
          “Oh, apaan ini, harusnya kamu lihat ke depan, kenapa menunduk.” Protes Hanjar pada saat slide foto yang barusan diambil oleh pelayan. Wajahnya semakin merah. Bagaimana bisa aku bersikap biasa saja, disaat cowok ini menggandeng tanganku dalam beberapa pose. Aku malu. Iya terang saja begitu, terlebih jantungku jadi tak terkendali detaknya. Aku benci ini.
          “Oh! Habisnya aku malu dipoto sama orang lain.” Kilahku.
          “Tapi kita sering dipoto Rizki, Galih, Tasya,” Hanjar menyebut sederet adiknya dan adikku. Kalah telak. Memang disaat kebersamaanku dan Hanjar sering terekam dalam potret yang diambil adikku atau adiknya atas suruhan Hanjar.
          “Ah, itu beda.”
          Hening. Benar-benar hening. Hanjar tengah sibuk memerhatikan hasil jepretannya. Sedangkan dengan konyolnya aku memerhatikannya dari samping. Detail wajah oriental itu, rambut spike dengan model trend terembus angin laut. Kedua mata dengan bola mata hitam pekat ternaungi alis tebal, hidung mancungnya, bibir tipis yang kadang terlihat merah muda, dan senyumnya yang membuat aku tanpa sadar mengagumi. Ah, berapa kerennya temanku ini.
          “Kamu tahu Jingga, aku ingin mengambil gambar sunset di semua tempat yang indah, apalagi di gunung.” Ucapnya. “Lain kali kamu harus ikut denganku. Kamu akan terkagum-kagum lihat pemandangan super-super menakjubkan...” Hanjar terus bercerita tentang hobby nya yang naik gunung dan kegemarannya terhadap fotografer, kadang suaranya penuh semangat, berubah lagi penuh ketakjuban, antusias, semuanya bisa aku baca pada raut wajah Hanjar.
          Aku memang mendengarnya, selalu. Tapi aku tidak bisa berkata apa-apa. Diri cowok ini entah sejak kapan membuat aku terkagum-kagum. “Aku tidak mungkin menyukaimu kan, Njar.” Batinku sambil terus mendengarkan ceritanya. Dalam hati aku tersenyum kecut. Benar-benar konyol kalau aku sampai menyukainya. Degup jantung yang berdetak lebih cepat mungkin karena perlakuan Hanjar yang selalu di luar dugaanku. Lagi pula kenapa aku bisa menyukainya, ia saja bersikap begitu biasa padaku.
          Tapi lama-kelamaan jeritan dan sangkalan tentang perasaanku pada cowok di sampingku ini menorehkan perih yang tanpa kusadari ada. Mataku tiba-tiba saja memanas, genangan yang tidak kuhendaki ada pun mendesak ingin keluar.
          Jika benar aku menyukainya, tentu saja itu perasaan yang sepihak, dan tidak mungkin akan tersampaikan. Aku tahu persis bagaimana situasinya. Menyadari itu dadaku terasa sesak. Perasaan ini begitu menyebalkan. Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta. Saat berpura-pura tidak tertarik justru sakit yang terasa. “Ini nggak ada gunanya Jingga. Jangan bersikap konyol. Jangan menangis.” Jeritku dalam hati.
          Tapi aku benar-benar tak kuasa menahan genangan di pelupuk mataku. Berpura membenarkan kacamataku sambil mengusap sudut mataku yang mulai berair. Tapi terlambat. Mata Hanjar menangkap buliran bening dari mataku. Ia terkesiap.
          “Jingga, kamu baik-baik saja. Apa aku menceritakan sesuatu yang...”
          “Ahaha..” aku tertawa dalam kosa kata. “Tidak. Aku hanya iri saja sama kamu bisa pergi sesukamu, ke semua tempat yang kamu mau.” Bohongku.
          “Jingga jangan bohong.” Aku mengangguk cepat. Hanjar menatapku lekat-lekat. “Kamu tunggu di sini.” Beberapa menit kemudian Hanjar datang dengan dua gelas susu cokelat panas. Disodorkannya satu padaku. “Minum pelan-pelan akan membuat tubuhmu hangat.” Ucapnya. Aku tersenyum.
          Hening sesaat.
          Kami berdua pindah tempat ke sebuah kursi dan meja di salah satu warung yang sudah tutup. Jam terus berputar, sebelumnya Hanjar meminta persetujuanku untuk di sini lebih lama. Bila kemalaman, ia bisa menyewa tempat tidur untukku. Aku menyetujuinya. Lagi pula entah mengapa aku juga ingin di sini bersamanya.
          “Njar...”panggilku menarik kedua lututku sampai menempel.
          “Hmm.”
          “Kenapa kamu ngajak aku ke sini?” Hanjar tak langsung menjawab. Ia menatap langit yang penuh taburan bintang. Masih tak ada suara, seolah ia mencari jawaban atas pertanyaanku di atas sana. Aku tak mengusiknya. Karena aku tahu Hanjar juga sangat menyukai bintang sama sepertiku.
          “Bukankah ini yang selalu kamu inginkan, Jingga.” Aku terenyak. Sontak aku memutar otakku secepat kilat mengingat-ngingat. Ah, benar sekali aku pernah mengatakan padanya betapa indahnya melihat bintang-bintang dari tempat luas, seperti laut. Tapi itu hanya keinginanku yang semu, aku sendiri tak benat-benar menginginkannya bila tak bisa. Tapi cowok ini mewujudkannya, membawaku ke sini.
          Aku terkekeh tak percaya. Tak bisa berkata apa-apa lagi.
          “Hari semakin malam. Nih, pakai jaketku.” Tiba-tiba Hanjar melepaskan jaketnya dan memakainnya padaku. Lagi-lagi aku tak bisa menolak. Semua tindakannya seolah-olah menghinoptisku. “Kenapa kamu keluar dengan pakaian santai tanpa jaket sih,”
          “Bukannya kamu yang ngajak aku tanpa menyuruhku berganti pakaian?” sungutku. Hanjar nyengir membuat ngilu itu terasa kembali.
          Hening lagi. Kami berdua sama-sama menikmati susu cokelat panas. Aku semakin meringkukkan lututku. Ternyata benar, ini terasa dingin. Tapi cowok di sampingku ini terlihat biasa saja. Mata kami berdua menatap keindahan langit. Mungkin Hanjar tengah mencari rasi kesukaannya.
          “Indah yah,”
          “Selalu.” Jawabnya langsung. Aku tersenyum. Senyum yang entah apa maknanya, bahagia atau terluka. Berada di sampingnya aku mencoba menjabarkan semua perasaanku. Memikirkan hari-hari yang selama ini kulalui bersama Hanjar dalam pertemanan baik. Apa jadinya bila aku mengungkapnya? Mungkin tidak akan sama lagi. Bisa jadi ia akan menjauh. Ah itu tidak boleh terjadi. Aku sadar, dekat dengannya saja, seperti ini udah cukup bagiku. Tapi sampai kapan aku bisa menahan luapan perasaan ini.
          “Euumm...”
          “Kenapa?” Hanjar menatapku. Refleks aku menggigit bibir bawahku. “Ada yang mau kamu omongin?” tebaknya langsung.
          “Tidak.”
          “Tapi itu terlihat di matamu.”
          “Benarkah?” aku mengerjap dan Hanjar pun tertawa geli.
          “Kamu selalu percaya dengan apa yang aku katakan, Jingga?” tiba-tiba tangannya melayang mengusap puncak kepalaku. Tatapannya meredup, dan untuk kesekian kalinya aku seperti terkunci pada manik mata itu. “Sorry...” setelah mengatakan itu jemari Hanjar melepas kacamata mins yang aku pakai.
          “Ka...kamu...” aku membeku saat aku samar-samar melihat wajah cowok di depanku ini. Poniku yang panjang terembus angin sampai nyaris menyentuh mataku. Dengan halus Hanjar menyibaknya. “Please Njar, jangan perlakukan aku seperti ini. Semua sikapmu membuatku tak bisa untuk tidak menyukaimu. Jangan lakuka Njar” jeritku pedih.
          “Coba lihat ke langit,” pintanya. Aku menurut. Tapi yang kulihat bintangnya tak sebanyak seperti saat aku memakai kacamata.
          “Aku tidak bisa melihat bintang sebanyak yang semula Njar.” Kepalaku tertunduk. Tapi Hanjar malah tertawa.
          “Tak apa Jingga, matamu sebenarnya terlalu indah untuk memakai kacamata.”pujinya membuat rona di pipiku muncul. “Aku nggak boong yah, memang itu kenyataannya.”
          “Iya, makasih deh, pujiannya.” Tiba-tiba entah detik keberapa dengan gerakan cepat Hanjar menarik kepalaku dan menjatuhkannya di bahunya sendiri. Aku tidak bisa menolak juga tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Hanjar.
          “Terima kasih sudah mau jadi teman terbaikku Jingga, tetap seperti itu yah,” ucapnya setelah hening sesaat. Aku mengangguk dalam posisi kepalaku di bahunya. Jauh dalam hati aku menangis. Mungkin memang harus seperti ini. Aku tidak bisa menyampaikan perasaanku dan tidak akan aku menyampaikannya. Biarlah ini menjadi kisah yang tidak Hanjar tahu. Kisah yang hanya aku yang tahu, hanya milikku.
          “Berada di dekatmu seperti ini saja sudah cukup bagiku.”


End

08 Februari 2015

00.15

Selasa, 03 Februari 2015

...Sampai Tak Menyadari Kedatangannya

...Sampai tak menyadari kedatangannya.
Ia begitu lembut, halus, mengelus setiap pori dalam tubuhku, mengisinya dengan udara segar. Entah sejak kapan itu terjadi. Hari ini, kemarin, yang lalu, atau bahkan sejak pertama aku mengenalnya. Entahlah. Ini bukan semata hanya kelabu, warnanya bisa terlihat, juga jelas apalagi ilusi. Ini jelas nyata. Aku mengenalnya, sudah kurun waktu kurang lebih enam tahun. Tapi mengapa aku tak menyadari kedatangan rasa hangat namun mengilukan itu.

Kini aku tak tahu lagi harus bagaimana. Jujur, aku tersiksa. Terlebih aku menyadari satu hal yang 'mungkin' itu salah. Atau bisa menjadi sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Nyatanya ini jelas terasa, membuat aku lebih sering menekan dadaku lebih kuat agar tidak meledak kala aku mengingatnya, mengenangnya, atau merindunya. Itu jelas salah. Kesalahan yang entah dibuat siapa.

Ah, aku akhirnya menyadari satu hal. Mungkin ini karena kesalahanku juga kesalahnnya. Iya, seperti itu. Rasa ini tidak mungkin muncul begitu saja kalau tidak ada yang memicu. Dan kurasa dia sendiri yang telah memicu degup jantungnya terasa meningkat, aliran darahku begitu terasa deras, bahkan bisa membuat sepasang kakiku seketika lumpuh. Haruskah ku jelaskan point yang memicu itu? Tidak. Karena hanya aku yang merasakannya, mungkin dia tidak berniat untuk memicu rasaku itu.

Kesalahan yang entah keberapa, yaitu terlalu terlena dengan ucapan yang keluar dari bibir manisnya. Tentang semua mimpi-mimpi yang dia gambarkan (mungkin dia telah mengalami mimpi itu, atau sebaliknya) yang pasti belum pernah aku merasakan mimpi-mimpi yang kau terangkan. Ah, bukan sekadara menerangkan dia juga menawarkannya padaku. Mimpi-mimpi indah yang belum pernah kurasakan. Bagaimana aku tidak terlena karena itu. Terlebih jika dialah yang mengajakku memasuki mimpi-mimpi indah.

Sekali-dua kali mungkin tak apa bagiku. Aku bisa menanganinya. Namun, mimpi-mimpi yang terus kau tawarkan semakin menyeretku lebih dalam, seolah mendekati mimpi itu tapi belum tersentuh, karena aku berpikir hanya tangannya yang bisa memasuki pintu mimpi-mimpi.

Masih biasa. Tak begitu kurasakan rasa itu datang. Masih dalam bentuk sentuhan halus dalam yang membuatku nyaman, tenang dan tak terusik. Aku seperti tidak ingin kenyamanan ini hilang. Karena aku benar-benar ingin merasakan betapa indahnya mimpi-mimpi itu. Masih dalam kategori 'ingin' dan bisa juga ini hanya obsesi.

Tak ayal.Aku seperti terjengkang entah ke alam mana. Yang jelas itu seperti membangunkan aku dari tidur panjangku, membuka tirai di mana aku asyik dengan kenyamana dan ketenanganku. Tirai itu terbuka begitu tiba-tiba, sampai aku bisa melihat diriku pada cermin yang terpajang di depanku, entah sejak kapan.

Yang kulihat di cermin itu....Ah! Itu sepertinya bukan aku. Mana mungkin aku seperti itu. Ya Tuhan, apa yang kuberbuat. Wajah yang selalu kutaburi dengan babypower sekarang tersapu oleh make-up yang terlihat lebih -indah- garis mata atas dan bawah tergaris dengan eyeliner juga terlukis rapi, bibir tipisku terpoles lipsglosh pink ranum, rambut yang kerap kali terlihat tergerai bebas kini tergulung ke atas, menjuntaikan anak-anak rambut pada dua sisi pelipis.

Sekilas itu seperti bukan aku. Kenapa aku melakukan itu? Ah, aku ingat semalam dia mengirimku pesan kalau ia akan pulang dan ingin bersilatuhrami ke rumahku. Apakah karena itu aku mengubah penampilanku sebeda ini. Aku tak tahu pasti. Yang terlintas di benakku hanya ingin bertemu dengannya, terlihat indah saat di depannya. Hanya itu yang aku pikirkan.

Lalu? Apakah aku mengubah kembali penampilanku saat itu seperti biasanya? Oh itu tidak aku lakukan, yang segera kulakukan begitu menyadari setiap detail penampilanku, aku mengacaknya dengan kacau. Tapi aktifitasku seketika berhenti saat satu pesan masuk ke ponselnya.

Pesan darinya.

Mengatakan maaf karena tidak bisa datang hari ini karena ada keperluan lain.

Ngilu, perih dan detak jantung yang semakin kencang membuat aku limbung ke lantai. Terduduk di sana, menyeret kedua lututku. Dan yang keluar dari mulutku berupa dengungan yang lirih : "Apakah aku menyukainya?"


tbc ke curhatan selanjutnya :)

Sabtu, 01 November 2014

Cintaku Tak Semanis Pisang Chapter 2

cuma nuangin sesuatu cerita yang terus terngiang di benak gue dengan menulisnya di sini. Yg pernah baca cerpen "Cintaku Tak Semanis Pisang" mungkin ini adalah bagian dari kisah tersebut. Ini masih tentang tokoh bernama Dhera dan Indra. Nggak bisa dihilangin deh dua sosok itu. kata orang-orang sih, mereka pasangan yang serasi --" entahlah.

yuk mariii :)


Beberapa hari ini Dhera semakin merasa hidupnya naik-turun. Kadang bahagia kadang susah. Susahnya lebih tepat terletak pada hati dan perasaannya. Masa pacaran di Putih Abu-abunya harus terjebak pada situasi buruk. Jelas saja amat sangat buruk pacarannya saja sama cowok playboy sok kecakepan di sekolahnya.

"Tuh cowok emang beneran nggak punya hati kali yah, dia kira gue ini boneka yang gunanya cuma buat mainan doang.apa." Dhera melempar tas cokelatnya ke ranjang dengan kasar. Sepatu juga diperlakukan sama, kali ini dilempar asal. "Awas aja kalau dia bikin gue sakit, gue nggak segan-segan untuk bilang..."

"Jangan pernah bilang putus ke gue, atau lo bakal tahu akibatnya Dhe." ucapan Indra beberapa hari lalu memotong ucapan Dhera dengan sendirinya. Dhera mengeram, kesalnya semakin memuncak.

"Dasar tukang ngancam, pengecut, brengsek, dia kira dia siapa, gue sama sekali nggak takut!" pekiknya meremas-remas foto yang tercetak dalam satu halaman A4 tersisi beberapa foto. Ini foto diambil tadi saat mereka foto box. Dhera nggak butuh ini, semuanya juga atas kehendak Indra nggak dengan Dhera. Masih terbayang diingatannya saat tadi siang Indra dengan sengaja mengajak ngobrol seorang cewek yang Indra sebut sebagai teman SMP nya dulu. Tapi Dhera menduga cewek itu adalah matan Indra, pasti. Mana ada cewek secentil itu mengajak Indra ngobrol sampai mengabaikan dirinya yang menyandang status pacar Indra. ehm! meski dengan terpaksa menerimanya sih, tapi tetap saja Dhera nggak terima diperlakukan seperti ini. Di sekolah saja Indra sok manis, sok memuja, sok peduli dan ke sok-an lainnya. Tapi begitu di luar sekolah, buasnya minta ampun. Sadis, nggak punya perasaan. Bahkan bisa dihitung perlakuan Indra lembut kepadanya selama tiga bulan masa pacaran 'terpaksa' itu.


"Gue nggak butuh ini! Dan jangan kira gue takut sama lo, Ndra!" Dhera membuang foto-foto itu ke tempat sampah yang tersedia. Tiba-tiba saja hatinya berkelit, kenapa ia harus marah melihat keakraban Indra bersama cewek lain, kenapa ia tidak ingin diabaikan oleh Indra, kenapa rasanya begitu tidak terima saat Indra memeluk cewek lain di depannya apalagi melempar senyum penuh pesona.

Apakah ini yang dinamakan cemburu?

Tapi...."Iiih gue mikir apaan sih, nggak penting banget." kemudian melesat keluar kamar.

***

Kejadian Indra memeluk cewek lain dan mengobrol dengan akrabnya berusaha Dhera enyahkan dari otaknya. Mungkin ini hanya perasaan cemburu sesaat karena kalau diingat-ingat, nyaris Indra tidak pernah dekat dengan cewek lain semenjak Indra menjadikan Dhera sebagai kekasihnya. Menghalau semua cewek-cewek yang mencoba mendekati dirinya, semuanya sudah dipagari dengan rapi dan kokoh. Dan jujur Dhera baru menyadari itu. Jadi intinya mungkin terasa 'agak tidak enak hati' saat mendapati Indra dekat dengan cewek selain Dhera.

"Gue perhatikan akhir-akhir ini lo murung Dhe, ada yang elo pikiran?" Karin datang membawa dua gelas es teh manis dan dua porsi siomay di nampan. Langsung saja Dhera menyedot es teh manis sampai sambil menambahkan sedikit sambal ke dalam siomaynya.

"Emang keliatannya gitu yah, Rin."

"Lo kira gue kenal sama lo baru kemarin sore heh, itu muka jelas banget tahu kusutnya. Kenapa sih?" Karin menyuapkan satu sendok siomay ke dalam mulutnya sambil mempehatikan sahabatnya itu yang hanya meng-mix siomay dengan apa saja yang ada di meja kantin. Tapi belum ada juga kata-kata yang keluar dari mulut Dhera. Baru kali ini Karin melihat Dhera sesulit ini mengatakan sesuatu. Biasanya dengan cepat dan intonasi beragam Karin jadi betah mendengarkan setiap ocehannya.

"Wait, wait, wait, jangan-jangan berhubungan dengan Indra?" tebak Karin menggoyang-goyangkan senduk ke udara. Dhera menghela nafas dengan lemas tanpa ada niat melihat reaksi Karin yang langsung menurunkan senduk ke piring lalu menyedok es teh manisnya cepat. Nyaris saja tersedak.

"Hah, serius?! Ada hubungannya sama Indra kok reaski lo keg gitu Dhe, biasanya kan lo selalu ngamuk-ngamuk kalau cerita masalah Indra, bahkan sumpah serapah pun keluar dari mulut seksi lo itu. Kok sekarang lo kayaknya pusing banget, dan yang paling parahnya nih, yah, sekilas lo kayak kelihatan galau gitu?"

"Haaaah, masa sih?" Dhera merogoh kantung kemeja putihnya dan mengeluarkan cermin kecil lalu langsung melihat wajahnya di patulan cermin yang langsung diamini oleh Karin. Jelas ini bukan pemandangan yang biasa, Kalau Dhera bereaksi seperi itu berarti pikirannya juga tidak menentu, jadi Dhera seolah tidak sadar dengan kebiasaanya bila membicarakan Indra.

"Ah, nggak."

"Serius? emang ada apaan sih, Dhe?" Karin kembali memasukkan suap demi suap siomay sampai bersarang di perutnya. Dhera juga sama, perutnya harus diganjal, pelan ia memasukkan satu senduk siomay ke mulut tapi langsung disambarnya es teh manis menyedotnya sampai habis.

"Hah, gila pedes!" pekik Dhera. Karin sampai geleng-geleng kepala, nggak sadar kali yah memasukkan sambal meski awalnya sedikit tapi selalu ditambahi sedikit demi sedikit oleh si empunya siomay.

"Udah cepet cerita." desak Karin tidak mempedulikan rasa pedas pada mulut Dhera.
"Jadi ini...." belum juga selesai dengan ucapannya Dhera langsung berdiri, matanya tertuju pada satu obyek yang baru saja memasuki kantin dan berjalan ke tempatnya. "Gue cabut duluan Rin."

"Eh, lo..."

"Dhera!" teriak suara khas dan siapa pun yang mendengar pasti sudah menebak siapa pemilik suara itu termasuk Karin. Saat hendak menghentikan Dhera, tapi sahabatnya itu keburu lari melalui pintu lain. Kini lagi-lagi Karin harus menghadapi Indra sendiri. Cowok itu bahkan sudah duduk di depannya.

"Ha-halo kak Indra," sapa Karin dibuatnya semanis mungkin dan senormal mungkin biar nggak ketahuan takut sama malesnya kalau menghadapi cowok satu ini. Tentu dengan dibumbuhi panggilan 'kak' karena pernah sekali keceplosan manggil Indra doang, ia langsung dibombardir sama pemilik namanya, Kapok deh,

"Lo tahu nggak kenapa beberapa hari ini Dhera nggak ngangkat telpon gue, nggak bales SMS gue, gue ajak keluar nolak mentah-mentah, diancam juga nggak mempan, didtangi ke rumahnya selalu ngilang duluan?" beruntut ucapan Indra mungkin dalam satu tarikan nafas seperti saat mengucapkan akad nikah. Dan ini juga baru pertama kali Karin lihat reaksi Indra seperti ini. Karin sampai melongo dengan mulut sedikit mangap, dan mata bekedip beberapa kali. Raut wajahnya tidak lagi santai seperti biasanya, jelas ada penasaran di wajah itu dan juga keresahan.

Karin hanya menggeleng. Dan ini jujur. Karin bahkan baru tahu kalau Dhera bisa dibilang tengah melakukan 'pemberontakan' untuk kedua kalinya. Yang pertama gagal dan luluh karena sikap Indra yang tiba-tiba saja manis. Tapi kali ini bertahan seperti yang Indra katakan 'beberapa hari' berarti lebih dari dua hari. Yes! Ada perkmbangan melawan Indra rupanya.

"Lo jangan bohong!" hardik Indra menatapa tajam ke manik mata Karin. Hardikan itu cukup membuat beberapa langsung menatap mereka berdua. Indra tidak peduli tapi Karin ciut. Keresahan yang terlihat kali ini dicampuri dengan kemarahan.

"Nggak kak, gue, eh saya nggak bohong. Saya beneran nggak tahu kenapa dengan Dhera, saya aja baru tahu dari kak Indra barusan." elak Karin menempelkan punggungnya ke badan kursi, dilekatkannya tubuhnya di sana melihat Indra semakin menghunuskan mata cokelatnya.

"Ohm rupanya Dhera tengah melakukan aksi pemberontakan lagi.Oke gue turutin maunya lo, Dhe." tandas Indra entah untuk siapa, karena tak ada Dhera di sini. Karin menelan ludah. ini jelas bahaya banget buat Dhera, ia harus cepat-cepat memberitahukannya. Kemudian Indra mendorong kursi yang di duduki Dhera tadi lalu berlalu cepat meninggalkan kantin berbarengan dengan Karin yang langsung cabut lewat pintu lain.

"Gawat ini, bukan Indra kalau mengunakan cara yang seperti kemarin karena Dhera langsung bisa ngebaca. Pasti dengan cara lain yang mungkin bisa membahayakan Dhera." Karin berjalan cepat, cepat sambil tangannya sibuk mengirim pesan ke nomor Dhera.




bersambung dulu...

typo banyak, langsung ngetik tanpa edit --"

Minggu, 21 September 2014

Mendung Kan Berganti

cerita ini terinspirasi dari lagunya Mikha Tambayong. Semoga yg baca suka :)


***

Terkadang aku iri pada gadis-gadis cantik nan sempurna di sekolahku. Mereka bermodis, trendy (?), gaul, up to date, punya banyak teman. Sedangkan aku? 75 % berbeda dg mereka.

Lihat, gadis berdarah Indonesia-Jerman di samping lapangan tempat tongkrongannya, Laura bersama sejenis makhluk-makhluk bermodis lainnya. Laura tengah berkicau menceritakan kabar terbaru apa saja, terutama gosip-gosip hangat internasional, setelah itu membahas fashion apa saja yg lagi terkenal, bagus. Dan dari mereka semua, ada yang langsung bisa membeli ada yang cuma mendengarkan saja dalam hati bisa seperti Laura yg mampu membeli apa saja yang ia mau.

Aku memandang mereka dari jauh, di sudut lain. Sendirian tentunya. Ada hasrat ingin bergabung dengan mereka. Tapi itu tidak mungkin, karena aku hanya mendapat cacian saja dari mereka. Aku bangun dari dudukku, memandang Laura yang bersebrangan dengan tempatku.

"Elo mau ngapain? Mau gabung sama mereka." seseorang berujar dari belakang. Aku berbalik, Lisna dan Ai tengah melipatkan tangannya di dada, melihatku dengan cibiran maksimal.

"Jangan harap lo bakal diterima oleh mereka. Lihat dong bagaimana penampilan lo. Udik, cupu, kutu buku, astaga lo baru melangkah saja mereka ogah nerima elo." kali ini Ai yang berbicara. Aku tertunduk berusaha memfokuskan diri pada aspal yang aku injak. Penuturan itu sering aku dengar.

"Heh, diem lagi!" tiba-tiba Lisna mendorong bahu kananku. Seketika aku melihat wajah mereka berdua denga kegugupan dan kesal yg terpendam.

"Apa?! Mau melawan?" mata Lisna membulat, membuat aku menggeleng kuat-kuat. Mungkin karena keributan kecil ini membuat Laura di sudut sana menoleh dan sepertinya tertarik lalu menghampiri tempatku.

Tidak! Tuhan. Cukup aku merasakan ini. Mereka dalam jumlah banyak menghampiriku yang sendiri. Dan sudah aku tegaskan ini bukan yang pertama kalinya. Pasti mereka hendak mencaci makiku. Mereka, ah bukan, hampir seisi sekolah paling suka memperlakukan aku seperti ini. Aku selalu dipandang sebelah mata oleh mereka.

"Ada apaan Lis?" tanya Laura.
"Nih bocah kayaknya pengen gabung sama lo dan yang lain, Ra." jawab Lisna menunjukku dengan gerakan dagunya. Aku semakin tertunduk tak berani menatap mereka semua.

"Si kudet, kuper, cupu kamseupay ini mau gabung sama gue. Ih, najis tralala trilili." ini perkataan kesekian yang aku terima tiap harinya dari mereka yg berkuasa.

"Please Dher, kalau mau punya temen lihat dulu sekeliling lo kayak gimana. Terus liat diri elo sama gak," sambung Ai.

"Langit bumilah!" yang lain menjawab serempak. Aku kian tersudut, mataku mulai berkaca-kaca. Di sana-sini mulai mendorongku, menjawalku, menarik kepangan rambutku, mengacak-acaknya. Dan terakhir merampas kacamata mins ku.

"Please balikin kacamataku." pintaku dg suara bergetar.

"Akui dulu kalau elo itu kudet, kuper, cupu, kutu buku, dan kamseupay. Terakhir elo harus bilang, kalau elo gak pantas berada di sini." tantang Laura. Dadaku naik turun. Mataku teras memanas menahan genangan air mata.

"Bali...kin...kaca...mataku..." aku berusaha meraih kacamata dari tangan Laura.

"Oh, lo mau ini?" KREEEK!! Terdengar bunyi benda pecah. Tidak! Laura menginjak kacamataku sampai hancur. Yang lain tertawa puas.

"Heh! Besok lo harus ganti tuh kacamata!" suara lain terdengar. Kali ini suara cowok. Dan itu tidak asing bagiku.

"Adie?!" mereka semua tercengang.

"Kenapa harus gue yg ganti?" Laura berucap.

"Bodoh, karena elo yang ngerusaknya! Katanya elo bisa ngebeli semua yg elo mau, masa kacamata aja lo nggak bisa. Dan gue mau kacamata yang persis seperti yang elo hancurin!"jari Adie lurus menunjuk wajah Laura.
Dengan gerakan cepat Adie menarik tanganku pergi dari situ.

"Ganteng-ganteng kok sudi gandeng tangan cewek udik seperti Dhera!" kesal juga Lisna melihat Adie yang dengan entengnya menarik tanganku. Adie berhenti melangkah, dan berbalik menghampiri Lisna dengan tetap menggandeng tanganku dengan wajah tertunduk.

"Gue lebih gak sudi memegang tangan lo apalagi sampai gandeng lo." mendengar itu wajah Lisna 'mungkin' pucat pasi. Maklum, Adie adalah cowok yg jadi rebutan para kaum hawa termasuk Lisna.

Setelah itu Adie membawaku pergi ke parkiran sekolah. Menyerahkan helm putih padaku. Aku yang sudah sesegukkan dengan air mata yang tak mau berhenti sama sekali tidak menggubris ucapan Adie yang menyuruhku untuk segera naik motor sport birunya.

"Jangan nangis lagi Dhera, udah ayo cepat naik."

"Aku gak mau. Hiks...hiks...perlakuan kamu ini semakin membuatku jadi bulanan anak-anak. Hiks...aku capek dibilang itik buruk rupa yang berharap jadi angsa dan menjelma putri cantik lalu hidup bahagia bersama pangeran." tuturku.

"Banyak omong kamu. Nih pake." Adie memakaikan helm di kepaLaku. Tak lama kami melaju meninggalkan parkiran sekolah.

***

Tempat ini lagi. Bila di hitung, ini sudah kali ketiga Adie mengajakku ke sini. Bukit kecil yg di bawahnya terdapat tumbuhan ilalang.

Adie duduk dengan santainya di bawah pohon sesekali memejamkan kedua matanya. Sedangkan aku duduk tak jauh darinya, namun ada jarak di antara kita.

Mungkin aku adalah orang yg beruntung bisa dekat dengan Adie. Meski pun aku tidak tahu kenapa Adie selalu ada menolongku saat aku di ganggu anak-anak.

"Kenapa kamu selalu membantuku?" tanyaku. Adie membuka mata sebentar, lalu menyilangkan kakinya santai.

"Karena kamu nggak mau melawan. Dan aku nggak suka dengan perlakuan cewek-cewek bermuka badak seperti mereka." ucapnya melempar pandangan ke langit.
"Tapi mereka benar. Aku emang kudet, cupu, kamseupay..."

"Nggak seperti itu." Potong Adie cepat. Aku menoleh melihatnya. Entah tiba-tiba saja aku kesal pada cowok satu ini.

"Kamu tidak pernah berada di posisiku. Kamu tidak tahu bagaimana dipandang sebelah mata, merasa sendiri, tidak punya temen. Saat kamu ingin menumpahkan semua tangismu, tidak ada yang mau dengar. Kamu nggak tahu bukan bagaimana menjadi diriku." tanpa bisa kukontrol air mataku nyeloroh jatuh begitu saja. Perasaan terasingkan ini terlalu menyiksaku.

Kulihat Adie tak bereaksi apa-apa. Hanya memandangku dengan tatapan sayu. Ku tarik wajahku ke depan melihat ilalang bergoyang tertiup angin. Kemudian kepalaku menunduk, berusaha menghentikan air mata ini.

"Aku ingin seperti mereka. Punya teman, berasa dianggap. Didengar apa yang kita rasakan, apa yang kita mau. Aku ingin tertawa bersama mereka. Tapi...tapi...di mata mereka aku berbeda, dan itu memberikan garis besar untuk aku tidak masuk ke zona terlarang itu." isakku dengan perasaan perih.

Adie menggeser duduknya jadi di sampingku.

"Aku memang tidak merasakan bagaimana di posisimu Dher. Tapi yang aku tahu menjadi diri sendiri itu lebih indah. Bagaimana pun kita itu yang Tuhan suka. Bagiku kau beda, dan itu membuat dirimu lebih indah dari yang lain. Makanya mengapa aku selalu ada membantumu, karena kamu tak pantas di perlakukan seperti itu." tutur Adie.

"Tapi aku tetap aneh di mata mereka." aku masih kesal dengan diriku sendiri. Tiba-tiba Adie meraih tanganku menunjuk ke atas sana.


"Kau lihat langit itu. Mendung, kelabu. Dan kau lihat ilalang di bawah sana. Mereka seperti sedang menunggu sesuatu bersama angin. Iya, mereka menunggu awan cerah. Menunggu mendung hilang." Adie kembali menurukan tanganku. Aku masih tak mengerti dengan ucapannya.

"Dhera...kau hanya butuh keberanian untuk masuk ke zona mereka. Buktikan kalau kamu bukan seperti yang mereka pikirkan, buktikan kalau kamu memang pantas berada di sana, bahkan lebih indah dari mereka." entah sejak kapan Adie mendaratkan tangannya di atas tanganku.

"Aku nggak tahu bagaimana caranya?" entah sebuah pertanyaan macam apa yang aku lontarkan. Jelas tidak ada cara yang bisa kulakukan. Namun wajah Adie santai menatapku.

Tiba-tiba tangan Adie merogoh sesuatu di kantung celana abu-abunya.

"Dengan ini." Adie menaruh lipatan kertas di tanganku. Aku semakin tak mengerti. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku berusaha membaca lipatan kertas itu. Tapi terlihat buram di mataku karena tak pakai kacamata.

"Itu kompetisi menyanyi dengan bermain musik. Kamu harus ikut Dher, buktikan pada mereka kamu bisa memenangkan kompetisi ini." terang Adie. Setengah mati aku kaget mendengar ucapannya. Ternyata yang kini berada di telapak tanganku adalah pamflet kompetisi menyanyi dan bermain musik serta formulirnya.

Aku menggelengkan kepalaku. "Jangan konyol, aku tak bisa mengikuti ini, aku tak berbakat."

"Jangan dikira aku nggak tahu. Ah, lebih tepatnya kamu yang gak tahu. Kita satu kompleks perumahan, beda gang saja. Empat kali dalam seminggu kamu les musik. Tak jarang aku melihatmu naik sepeda dengan gitar kesayanganmu. Atau di antar abangmu yang kerap kali kamu cemberut bila abang mencubitmu." aku terhenyak untuk kesekian kalinya. Adie tahu aku les musik empat kali dalam seminggu. Adie tahu aku menyukai musik, dan dia dia dia satu kompleks dengan ku. Kenapa aku tidak tahu, tidak menyadarinya. Sejak kapan?

"Kamu..."

"Jangan pasang ekspresi seperti itu. Kamu nggak lagi lihat jurig." aku tersipu mendengarnya. Bagaimana aku tidak kaget, seorang Adie selama ini---memperhatikanku.

Kurasakan tanganku di belai lembut.

"Ikutilah kompetisi itu." ucapnya.

"Aku nggak yakin..." aku menelusuri tiap jengkal wajah Adie, mencari titik di mana cowok ini selalu meyakini, mempercayai, dan menyemangatiku. Yah, di bola mata bening. Semua itu terlihat di sana.

"Percayalah, mendung kan berganti." ucap adie lagi. Aku tak menjawab, dalam hati aku mau menuruti ucapan Adie. Orang yang mempercayaiku.

Aku harus menyibak mendung yang sekian lama bersinggah di hidupku. Saatnya aku biarkan awan indah bebas tak terhalang mendung.

***

Satu bulan kemudian...

Tubuh tak berdaya itu masih terbaring di ranjang. Matanya terpejam, dengan selimut menutupi tubuhnya sampai perut. Alat-alat medis terpasang di sana-sini pada tubuh itu.

"Dhera.." seseorang menyentuh pundakku. Ku terhenyak dari lamunanku lalu menoleh. Perempuan cantik tersenyum manis padaku meski kantung matanya membesar sama sepertiku. Kurang tidur.

"Tante..."

"Sudah subuh sayang, kamu salat dulu, biar tante jaga Adie." ucap wanita itu.
"Tapi tante..."

"Sudah tak apa Dhera, biar tante yang jaga Adie. Semalaman kamu nggak tidur." ucap tante Luna mamanya Adie. Padahal beliau juga sama tak tidur. Terus terjaga di sofa yang tersedia di kamar rawat ini.

Aku mengangguk kecil. Melempar pandangan ke cowok tak bergerak itu, pilu.
"Kapan kamu membuka mata, Die." batinku.

Aku keluar kamar, menuju musolah rumah sakit. Mengambil air wudhlu kemudian salat.

Doa apa pun aku panjatkan untuk Adie. Kesembuhan cowok yang sudah mengubah segala tentang keburukanku menjadi lebih indah. Cowok yang memberiku keberanian menyibak mendung dalam hidupku.

Usai salat aku berniat kembali ke kamar di mana Adie berada. Tiba-tiba langkahku terhenti, mendapati sebuah almari mukenah yang tingginya melebihiku. Satu sisi almari terdapat cermin, seluruh tubuhku dari ujung kaki sampai ujung kepala terpantul di sana.

Sejenak ku pandangi lekat-lekat pantulan wajah di cermin. Itu aku. Iya aku yang sekarang. Jeans cokelat muda perpaduan dengan T-shirt putih serta balutan cardigan hitam yang aku kenakan. Rambut sepunggungku tergerai bebas. Kontak lensa mins juga menghiasi mataku. Membuat aku dapat melihat dengan jelas tanpa kacamata. Bertolak belakang dengan aku yang dulu.

Ini semua karena cowok itu. Sekarang aku di anggap oleh mereka, di dengar oleh mereka. Bahkan tak ada lagi yang berani mencaciku, apalagi setelah aku memenangkan kompetisi yang Adie sarankan. Juara satu. Kompetisi yang cukup bergengsi. Sekali lagi ini semua karena Adie.

Teringat saat aku memenangkan kompetisi itu, Adie adalah orang yang selalu ada di sampingku, setia menyemangatiku dengan ucapan-ucapan ajaibnya. Saat piala kemenangan ku berikan pada Adie, saat itu dia memelukku dan mengungkapkan sebuah pengakuan yg hampir tak bisa ku percaya. Sampai detik ini pun aku ingat bagaimana ia menatapku dg manik mata yg indah.
"Aku mencintaimu, Dhera. Bukan karena kamu tlah berubah. Tapi karena hatimu, hatiku memilihmu." seraya menggenggam erat tanganku di depan gedung.
... Di depan gedung tempat kompetisi di adakan. Aku membeku mendengarnya. Demo di jantungku semakin kencang, tidak bisa aku kendalikan.

"Dher, apakah kau juga mencintaiku?" tanyanya seperti angin surga namun membuatku kian tak berkutik. Mataku bergerak berusaha mengalihkan kegugupanku. Tidak ada. Cuma cowok ini yg aku menarik perhatianku.

"Aku...aku..."

Nada dering Your Call nya Second Serenade dari handphone Adie terdengar. Adie mengucapkan maaf, dan agak menjauh dariku untuk mengangkat telpon. Aku mengangguk lega terbebas dari kegugupanku meski untuk sesaat.

"Iya ma, Adie masih di tempat Dhera, nanti Adie jemput mama kok." suara Adie terdengar lembut. Aku hanya melihat punggungnya dari tempatku dg perasaan tak menentu. Satu rasa terlintas di hatiku, kenapa Adie terasa jauh dariku.

"Nggak apa-apa ma, masih ada waktu kok. Nanti secepatnya Adie jemput, tunggu yah, ma." tiba-tiba Adie melirikku, aku hanya mampu tersenyum. Lalu ia balik setelah menutup telpon. Adie pamit padaku untuk menjemput mamanya. Lagi-lagi perasaan itu mengusikku.

Sebelum dia pergi dg motor sport birunya, dia mengucapkan sesuatu. "Nanti malam aku jemput kamu setengah tujuh. Berpakailah yg rapi, aku mau ajak kamu ke rumah untuk makan malam bersama mama, papa dan adikku." tiba-tiba sebuah kecupan mendarat di pucuk kepalaku.

"Tunggu aku Dhera, aku mencintaimu." bruum... Motor Adie melaju kencang meninggalkanku.

Naas. Dalam perjalanan menjemput mamanya, Adie mengalami kecelakaan dg sebuah truk yg melaju kencang. Tuhan, andai aku tahu itu aku tak akan mengizinkannya pergi, akan aku menahannya bersamaku. Hingga kini, Adie koma tak sadarkan diri. Sudah satu bulan lamanya.

Tiap hari aku ke rumah sakit, menemani Adie. Kadang sampai begadang bersama tante Luna. Hanya untuk menunggu Adie membuka matanya. Tuhan, aku berjanji aku akan mengatakan aku mencintainya saat dia membuka mata. Pertanyaan terakhir Adie pada pertemuan di depan gedung dulu yg belum aku jawab.
Kembali ku lihat pantulan tubuhku di cermin almari. Aku yg berubah menjadi angsa cantik karena Adie. Kenyataannya aku tak mendapati Adie tersadar dari komanya. Rasa pilu menyelimutiku lagi. Buliran air mata nyeloroh begitu saja di tebing pipiku.

Aku merindunya Tuhan.

"Adie.."

"Nak, kamu kenapa?" seseorang menyentuh bahuku. Aku tersentak dan langsung menyeka air mataku.

Seorang wanita berumur 40an masih memakai mukenah memasang wajah heran melihatku menangis. Aku menggeleng pelan dan menarik sudut-sudut bibirku. Tersenyum.

"Aku nggak apa-apa, Bu." ucapku lembut. "Saya permisi dulu." pamitku dg senyum. Buru-buru aku keluar musolah rumah sakit.

~~

Ku langkahkan kakiku berat menyusuri koridor rumah sakit. Sang surya tak juga nampak, rupanya mendung bergelayut di pagi ini.

Tepat di depan sebuah kamar di mana Adie berada aku berhenti mendengar perbincangan beberapa orang di dalam. Aku sedikit membuka pintu, di sana Tante Luna bersama suaminya Om Ferdy, serta dokter yg menangani Adie tengah berbincang serius. Satu lagi, cewek berambut panjang memdakai pita pink di rambutnya merangkul tubuh Tante Luna, menangis di sana. Itu Alia adik satu-satunya yg Adie punya.

"Maafkan saya dan pihak rumah sakit. Bukannya kami tidak bisa menangani anak Bapak dan Ibu. Namun secara medis anak kalian..." dokter menggantung ucapannya. Aku tegang di ambang pintu dg tangan memegang gagang pintu tersebut. Aku tak berani masuk mendekati mereka.

"...sudah tidak ada." lanjut sang dokter. Deg!
Tangis ketiga orang itu pun meledak, begitu juga denganku. Pijakanku seolah runtuh mendengar ucapan dokter.

"Apa tak ada cara lain untuk menyelamatkan anak kami, dok?" tanya Om Ferdy. Alian memeluk tubuh mamanya erat, dari mulutnya terus menyebut-nyebut nama kakaknya.

Dokter tak menjawab. Ada gurat kesedihan juga di wajahnya. Sebelumnya tante Luna bercerita padaku tentang kondisi Adie. Kecelakaan yg di alaminya memang cukup parah. Untuk sadar dari komanya saja...

Untuk sadar dari komanya saja itu hanya berapa persen. Dokter juga mengatakan Adie bertahan karena dipicu dg alat detak jantung.

"Dok..." lirih tante Luna, pertahanannya seakan hancur sudah.

"Kasihan sama anak ibu dan bapak harus merasakan ini." ucap dokter itu lagi dg intonasi rendah.

Terlihat om Ferdy berpikir keras. Aku sendiri sedari tadi menahan jantungku yg berdentum kencang melihat apa yg akan mereka lakukan pada Adie selanjutnya.

"Terus bagaimana dok?" tanya Om Ferdy memegang tangan istrinya seolah memberi kekuatan pada istri serta anaknya bila dokter memberi jawaban buruk.

Tib-tiba dua orang suster masuk. Membuat aku sedikit bergeser. Tapi masih di ambang pintu.

Aku takut, merasa sangat takut.

"Kami meminta izin untuk melepas semua alat medis yg membantu Adie. Kami minta maaf sudah mengatakan ini pada kalian. Kami semua sudah berusaha keras membantu kesembuhan anak bapak dan ibu. Tapi tidak ada perkembangan sampai sekarang, malah keadaannya semakin memburuk." terang dokter. Perkataan dokter itu sukses membuat kedua orang tua dan adik Adie menangis pilu. Begitu juga dg ku. Seperti ada yg meloloskan tulang-tulang dari tubuhku. Aku lemas seketika. Aku tahu maksud dokter, mungkin orang tua Adie juga mengerti.

"Kakak...kakak..." tangis Alia berhambur memeluk Adie yg terpejam. Om Ferdy langsung memeluk istrinya. Dokter dan dua suster itu juga turut bersedih.

Kakiku seperti tak menyentuh bumi. Sampai-sampai ku berpegang pada sisi pintu. Entah om Ferdy berbicara apa. Aku tak bisa lagi fokus.
Aku tak bisa lagi untuk fokus. Namun mataku melihat dua suster itu mendekati ranjang Adie. Mereka mulai melepas alat medis yg terpasang di tubuh Adie.

"A...die..."tanganku terjulur hendak meneriaki mereka. Tidak, jangan lakukan ini padaku. Mereka, mereka, mereka harus di hentikan. Tapi kakiku tak bisa digerakkan. Tangis histeris tante Luna dan Alia menggema, membuatku semakin runtuh.

Tubuh Adie bergetar sebentar. Sedetik kemudian tubuh itu melemah bersamaan dg nyelorohnya tubuhku di lantai depan pintu. Air mataku semakin deras, tangisku terasa sesak di tenggorokan.

Aku merangkul lututku erat, menenggelamkan seluruh kesedihanku.

"Aaaarrrgggh!" erangku memukul-mukul lantai.

Tuhan, kenapa kau ambil Adie dg cara seperti ini. Aku belum mengatakan perasaanku yg sebenarnya. Kenapa Engkau tak memberi waktu sedikit lebih lama padaku untuk membahagiakannya dg caraku.

Adie...Adie...Adie... Kembalikan dia padaku, Tuhan.

>,<

Tiga hari kemudian..

Angin membelai lembut wajahku dg mata terpejam. Angin ini, surya yg terhalang mendung, langit di sana sana, ilalang yg setia menunggu mendung hilang, semuanya masih sama. Seperti terakhir aku bertemu Adie di sini.

"Percayalah mendung kan berganti." seperti ada sebuah bisikan di telingaku. Kontan aku membuka mata, ada sebuah wajah tersenyum dg tangan menunjuk ke atas. Itu Adie.

Aku mengikuti tangan Adie. Di langit sana, entah bagaimana caranya. Angin pelan-pelan menyibak mendung berganti dg warna langit cerah serta gumpulan awan sirus dg serat-serat halus dan tipis seperti kapas.

Indah!

Saat aku menoleh lagi, wajah dan senyuman Adie menghilang. Kini aku yg tersenyum.

Adie, ku akan menjadi Dhera yg tegar, kuat, dan tangguh. Terimakasih kau telah membuka jalan untukku menjadi lebih baik.

Untukmu, Die. Ku kenang dirimu di sini. Aku percaya mendung kan berganti, kesedihan kan berganti. Namun kau tetap di hatiku, bersemayam di sana.

End

Kamis, 10 Januari 2013

Menggapai Bintang Impian #Cerpen#



Kamis, 10 Januari 2013
Menggapai Bintang Impian

          Dua jam berlalu, aku masih tetap saja berkutat dengan buku bersampul daun berserakan yang selalu kubawa kemana pun. Beberapa kali terdengar teriakan Mama yang menyuruhku makan. Tapi aku tak mau beranjak. Masih menulis semua ide yang ada dalam otakku hingga menjadi sebuah cerita.
            “...dan Awan akan menjadi kenangan untuk Quila. Tidak harus dengan status pacaran untuk mendapatkan seseorang. Tapi, dengan status sahabat sama saja dengan...”
            “Ivhi!” pintu kamarku terbuka total. Di sana Mama dengan menatapku tajam. Segera kumunculkan senyum di bibir tipisku. “kamu selalu lupa waktu kalau nulis. Makan dulu, Vhi!” bentak Mama. Aku langsung menutup buku catatan itu dan turun dari ranjang.
            “Iya ma, ini mau makan.” Sambil garuk-garuk pipiku dan tersenyum.
            “Kalau nggak Mama ingatkan, kamu bakalan nggak makan. Nulis sih, nulis Vhi, tapi harus tetep jaga kondisimu. Kamu ini susah dibilangin, kalau magg nya kambuh kan, mama juga yang repot.” Dan seperti inilah mama, bawelnya minta ampun.
            “Iya, maafin Ivhi.” Ucapku pelan.
*
          Aku duduk di meja makan, dengan mama yang sedang membereskan dapur dan muncuci piring. Yah, karena aku sendiri yang belum makan. Bunyi benturan sendok dan piring terdengar. Saat suapan pertamaku, mama sudah berceloteh lagi. Celotehan yang sama, sering aku dengar tiap harinya.
            “Kamu mau jadi apa sih, Vhi, dari nulis? Mending bantu mama jahit, pesanannya lagi banyak. Nulis kan nggak dapat apa-apa.” Ujar mama. Aku tak menjawab, terus mengunyah makanan dan memperosesnya dalam perutku ini. “wong, kamu dari dulu nulis, tapi nggak ada hasil apa-apa toh.” Tandas mama lagi.
            “Semuanya kan butuh proses ma, Ivhi mau nekuni hobby nulis ini. Ivhi pengen jadi penulis. Suatu saat pasti cita-cita Ivhi akan tercapai, dan bisa bantu mama.” Belaku. Dari dulu mama memang tidak menyetujui aku menulis. Alasannya banyak, bilang nulis itu kerjaan yang tidak pasti, apalagi sampai dijadikan profesi. Nulis itu sedikit mendapatkan sisi finansial jika tidak dikembangkan di kota-kota besar. Itu sebagian kecil pendapat mama, antara setuju dan tidak setuju aku mendengarnya. Mama juga mengatakan bahwa nulis itu menyita waktuku, aku lupa makan, lupa bantu mama, dan kadang lupa mandi kalau sudah nulis. Mama ini bawelnya minta ampun, dan semua ini aku terima, karena memang salahku yang selalu tidak tahu waktu.
            “Sebenarnya mama nggak suka kamu nulis Vhi, buang-buang waktu. Toh sampai detik ini kamu belum ada perkembangan kan, cerpen-cerpen yang kamu kirim ke majalah juga belum dapat respon.” Mendengar itu aku menghentikan suapan kesekian. Bosan rasanya mendengar larangan mama yang satu ini. Tidak suka nulis.
            “Mama kok gitu, jadi penulis itu impian Ivhi ma, kalau masalah cerpen-cerpen itu kan Ivhi masih dalam tahap. Nggak mudah masuk ke suatu majalah. Tapi Ivhi akan terus berusaha, masih banyak waktu.” Ucapku. Jangan tanyakan kalau aku tidak berusaha meyakinkan mama tentang hobby dan cita-citaku. Aku selalu berusaha. Selalu. Tapi mama masih bersikeukuh dengan pendapatnya tentang seorang penulis.
            Selera makanku hilang sudah. Aku berdiri, kemudian meninggalkan ruang makan. “Ivhi, makannya di habisin!” teriak mama. Aku tak peduli, langsung saja kuhempaskan tubuhku di ranjang, memeluk boneka pisangku erat-erat.
            Selalu seperti ini. Kenapa mama sangat menentang hobbyku, apa yang salah. Banyak teman-teman yang mendukung hobbyku ini, mendukung cita-citaku sebagai seorang penulis novel dan cerpen. Tapi aku tidak mendapat dukungan sekali pun sama mama, papa dan abangku. Dari Sekolah Menengah Pertama aku sudah mencoba mengirim karyaku yang berupa cerpen ke koran dan majalah, tapi selalu tidak mendapat respon. Tidak jatuh, malah aku terus mencoba, mungkin ada yang salah dengan tulisanku. Kuperbaiki lagi, mencoba tema lain, mencoba sudut pandang lain. Dan lain sebagainya. hingga kini aku tengah duduk di bangku Sekolah Menengah Atas kelas XII. Mungkin ini yang mama maksud, beliau tidak ingin aku tidak konsen belajar. Tapi selama ini nilai-nilai sekolahku baik-baik saja. Aku teringat ucapan guru pembimbingku “Kalau kamu suka menulis, boleh saja. Galih terus kemampuan kamu. Tapi jangan pernah kamu jadikan hobby kamu ini sebagai penghalang. Penghalang apa saja, belajarmu, membantu orang tua dan sebagainya. Tapi, jadikan nulis itu pengiring hidupmu dan tempatkan pada posisi dan waktu yang benar.”
            Ucapan itu selalu aku ingat, sebisa mungkin hobby nulisku terus jalan tanpa meninggalkan kewajibanku sebagai seorang pelajar. Tanpa meninggalkan statusku sebagai anak yang membantu mama. Sejujurnya aku ingin sekali mendapat dukungan penuh dari keluarga, tapi nyatanya, tidak. Aku tidak mendapatkannya. Kecuali satu, jika aku berhasil membuat mama melihat hasil kerja kerasku.
            “Indah!” pekikiku teringat sahabat terdekatku. Meski usianya beda satu tahun dan dia adik kelasku di sekolah yang sama. Hanya dia yang mau mendengarkan keluh kesahku. Tentang apa saja. Aku meraih tas selempang serta memasukkan buku catatan. Secepat kilat aku keluar kamar menemui mama yang sedang duduk di ruang tengah dengan menekuni gambar pola baju yang dibuatnya sendiri.
            “Ma, Ivhi mau ke rumah Indah dulu.” Seruku.
            “Hmm...jangan lama-lama, sepulang nanti bantu mama nyelesaikan jahitan.”
            “Yah,” aku mencium punggung tangan mama dan berlalu.
*
            Dengan mengayuh sepeda santai, kunikmati setiap terpaan mentari dikulitku. Butuh waktu sekitar lima belas menit untuk sampai di rumah Indah. Dan saat kuparkirkan sepeda di depan rumah yang dikelilingi berbagai macam bunga, tiba-tiba pintu terbuka. Indah berdiri dengan melipatkan tangannya di depan dada.
            “Sudah gue duga, itu bau elo.” Ucapnya langsung. Aku nyengir lalu menghampirinya.
            “Maksud lo?”
            “Hidung gue nyium aroma lo, sekitar beberapa meter dari rumah gue. Bener kan, lo dateng.” Ucapnya enteng seraya menunjuk-nunjuk hidungnya sendiri.
            “Hidung lo tetep oke Ndah, kapan-kapan kalau sepatu gue ilang, boleh juga tuh, minta bantuan hidung lo.” Aku mengikuti langkah Indah memasuki rumahnya.
            “Sorry sist, hidung gue terlalu canggih buat nyari sepatu bau lo.” Kami tertawa bersama. Sedetik kemudian aku menahan tangannya yang mau membuka pintu kamarnya yang aku tahu bernuansa oranye. Semua berbau oranye Indah suka. “Apa?!” ia memincingkan sebelah matanya.
            “Kali ini gue nggak mau numpang tidur di kasur matahari lo, gue juga nggak mau pakai aksesoris oranye lo, apalagi pinjem buku diary Winy The Poo lo.” Aku menyebutkan kebiasaanku bila di kamar Indah.
            “Terus...”
            “Gue mau ke kebun lo, tempat favorit kita. Pengen nikmati cuaca hari ini.” tambahku. Indah semakin tak mengerti. Ok, biasanya aku paling rame kalau sudah main ke sini, apalagi sama cewek satu ini. Indah urung membuka kamarnya. Tanpa ba bi bu lagi, ia berlari ke belakang, dan kembali dengan menenteng satu buah tikar, satu bungkus plastik berisi makanan dan minuman.  Aku melongo melihatnya, apalagi dengan mengembang kan senyum bibirnya membuat pipi Indah chubby.
            “Gue tahu betul lo gimana Vhi, pasti di sana lo mau nulis, ngeluarin unek-unek lo ke dalam tulisan. Dan gue dianggurin. Sekarang gue nggak akan bosen, gue udah nyiapin makanan, minuman dan MP4.” Ucapnya bangga. Bagus. Indah memang tahu segalanya tentangku.
            Lokasi kebun Indah juga tidak terlalu jauh. Kami cukup berjalanan kaki saja ke arah Barat dari rumah Indah. Bila yang lain lebih memilih jalan-jalan ke mall, atau ke pusat pembelajaan, aku dan Indah tidak. Ini tempat favorit kita dari kita sama-sama duduk di bangku SD. Pembeda umur kita tidak terlalu dipikirkan, panggilannya juga gue-lo, seakan kita ini sebaya.
            Aku langsung menggelar tikar di bawah pohon mangga. Di depan kita hamparan sawah yang sudah menguning, sebentar lagi siap panen. Di kebun Indah juga ada saung cukup besar, dengan sumur yang airnya sangat jernih. Ayahnya Indah memang suka berkebun, dari kebun inilah macam sayuran di tanam, lihat saja tubuh Indah tinggi langsing gitu. Kebanyakan makan sayuran.
            “Vhi, gue ke rumah tante Mira dulu yah, mau pinjam gelas.” Kata Indah, aku hanya mengangguk. Satu lagi, ini kebun juga dekat dengan dua buah rumah, salah satunya rumah tante Mira, tantenya Indah. aku sudah menyiapkan semua makanan dan minuman untuk Indah. Sekilas, kita seperti sedang piknik di alam terbuka.
            Hampir tujuh menit Indah tak kunjung datang. Pasti itu anak diajak ngobrol dulu sama tante Mira. Aku menunggunya sambil mencoret-coret buku yang kubawa. Tanpa menulis apa-apa. Yang ada hanya lingkaran tak jelas.
            “Sorry lama, tante Mira lagi bikin kue, eh malah dikasih ini.” Indah datang dan menunjukkan satu piring berisi kue-kue yang sangat menggiurkan dan dua buah gelas yang ditaruh di plastik, Indah malah sudah makan dua. Ia duduk di sampingku. “loh, bukunya kok malah penuh coretan, nggak nulis?” Aku menggeleng, memberhentikan aktivitas tanganku lalu meraih sepotong kue dan memasukkan ke mulut.
            “Gue buntu.” Jawabku singkat sambil memandangi langit biru terang dengan arsiran awan tipis. Masih sama seperti dulu, aku tetap menyukai awan.
            “Buntu?!” seru Indah lalu tertawa kecil. “nih yah, setahu gue lo akan guling-guling kalau otak lo buntu, lo bakal acak-acak kamar gue kalau elo nggak dapat ide buat nulis. But, ini beda. Lo itu nggak buntu,” tuturnya. Aku mendelik memperhatikan wajah oval Indah yang putih mulus.
            “Lo ngomong apa sih, emangnya kalau gue otak gue buntu gue harus guling-guling, gue harus acak-acak kamar lo.” Kurebahkan tubuhku di atas tikar sambil mendekap bukuku di dada. Pandangaku masih ke awan-awan itu yang malai berarak semaunya.
            “Ok, ok, kayaknya elo sedang punya masalah. Nggak biasanya lo kayak gini, nggak rame. Otak lo udah menjelma menjadi sebuah kuburan angker.” Celoteh Indah tak henti.
            “Omongan lo makin ngaco Ndah, kesurupan apa sih, lo.” Alisku terangkat melihat Indah yang sedari tadi makan saja.
            “Aduh Ivhi, lo pikir gue kenal lo baru kemarin sore gitu. Nggak, Nyet! Dari kecil kita bareng, gue tahu lo, dan lo tahu gue.” Glek! Indah meneguk minumannya. “wajah lo itu mendung tahu nggak, nggak sesuai dengan cuaca hari ini.” lanjut Indah. aku menghela napas panjang. Indah memang tahu segalanya. Aku tidak bisa bohong, mungkin dengan menceritakan masalah tadi bebanku akan berkurang. “ok, lo tahu kan gue itu pendengar setia. Sekarang kuping gue siap, ayo cerita sama gue, Vhi.” Aku mengembuskan napas kasar. Sekali lagi, mencari titik di mana aku harus memulai cerita ini.
            “Mama nyuruh gue berhenti nulis Ndah, meski nggak secara langsung.” Satu ucapan keluar dari mulutku pelan. Indah berhenti memakan kripik singkongna. Ia melirikku sebentar, sebelum kembali memakan kripik itu.
            “Masih nggak setuju juga kalau lo ingin menjadi penulis?” ini pertanyaan mungkin, yang sebenarnya  tidak perlu Indah tanyakan. Karena ia sudah tahu sendiri jawabannya. Tidak. Pasti. “terus lo mau berhenti nulis seperti yang mama lo inginkan?”
            “Nggak tahu. Sekarang mama mulai ngungkit-ngungkit usahaku yang tak kunjung membuahkan hasil. Lo tahu kan gue sangat, sangat, sangat ingin menjadi penulis. Tapi mama selalu mengatakan kalau seorang penulis itu....” aku menarik napas berat. “...finansialnya kecil.” Lanjutku. Indah tak menjawab, ia tahu masih banyak yang menganggu pikiranku. Ia pasti menunggu kelanjutan episode curhatan ini.
            “Ndah, apa mungkin yah, gue nggak berbakat nulis. Tak ada satu pun karya gue yang dilirik penerbit majalah atau koran.” Kali ini nada suaraku terdengar putus asa. Ah, apakah aku salah berbicara seperti itu?
            “Salah lo, ngomong gitu,” dan dijawab Indah. “lo lupa kalau puisi lo pernah masuk majalah dan koran? Itu artinya lo layak, Vhi.”
            “Tapi mama belum juga yakin, Ndah. Apalagi kalau lihat masalah cerpen gue yang nggak ada kabarnya.” Sungutku kesal. “mungkin benar kalau gue ini aslinya emang nggak bakat, Ndah. Gue nggak bisa gapai bintang impian gue jadi seorang penulis.” Kali ini Indah merubah posisi duduknya menghadapku yang rebahan di atas tikar. Mata bulatnya menatapku lekat, tiba-tiba Indah menjejali mulutku dengan bungkus kripik singkong.
            “Ngomong lo ngawur. Lo tuh berbakat Vhi. Gue masih inget saat lo kehilangan kepercayaan diri lo buat nulis, bahkan lo nekat mau berhenti nulis. Gara-gara lo denger omongan pembimbing lo tentang bakat lo yang emang nggak terlahir dari diri lo, tapi karena usaha lo bakat itu jadi ada. Lo udah buktiin kalau elo itu bisa, pembimbing lo benar, lo nya aja yang ciut nyali.” Ucap Indah. Kembali kulempar ingatan tentang itu. Yah, dulu sempat aku mau berhenti nulis. Karena pembimbingku mengatakan : “Sebenarnya kamu itu tidak terlalu bakat nulis dari diri kamu, kata-katamu standar Vhi. Tapi karena usahamu yang keras, kamu berhasil menumbuhkan bakat itu, meski belum sepenuhnya. Dan jika kamu berhenti berusaha dan belajar, maka semuanya akan sia-sia. Yang perlu kamu tunjukkan pada kita semuanya, hanyalah tunjukkan kalau kamu bisa dengan usaha dan keyakinanmu, untuk ‘menjadi’.”
            Mataku berkilat, tanpa sadar pelupuk mataku sudah tergenang air mata. Aku menarik napas panjang, dan menghembuskannya perlahan. “Tapi bintang impian gue jauh Ndah, gue nggak bisa menggapainya. Mama benar, mungkin bintang impian yang gue harapka itu terlalu indah, terlalu sulit untuk gue jangkau.” Lagi-lagi terdengar putus asa. Indah, pembimbingku, semuanya, memang benar aku bisa nulis karena usaha dan keyakinanku, meski tulisan yang aku hasilkan jauh dari orang-orang yang sudah handal. Tapi aku selalu punya keyakinan, bahwasanya semua itu butuh proses, mungkin proses yang aku jalani masih banyak. Tapi, rasanya begitu sulit melalui setiap prosesnya.
            Hening, tak ada yang berbicara lagi. Entah Indah sibuk apa, yang kutahu ia sedang melipat-lipat sedotan plastik bekas minumannya tadi. Aku tak mau mengusiknya. Tiba-tiba sesuatu menempel tepat di hidungku. Sebuah bintang dari sedotan plastik. Aku melirik Indah yang sedang tersenyum manis ke arahku. Kemudian ia ikut merebahkan tubuhnya di sampingku.
            Ku pandangi satu bintang sedotan yang kutahu Indah yang membuatnya. Setiap sisinya kuteliti, buatan tangan cewek ini memang rapi. Tapi apa artinya?
            “Itu bintang buat lo, bintang sederhana.” Ucap Indah pelan. Dari samping kuperhatikan wajahnya. “Vhi, lo itu bisa menggapai bintang impian lo. Lo tahu, bintang selalu punya keistimewaan dibalik kesederhanaannya. Mungkin banyak orang yang nganggap bahwa bintang impian lo itu jauh dari jangkauan lo sendiri. Sampai-sampai lo hanya bisa mandanginya dari kejauhan, sama halnya elo lihat penulis-penulis terkenal yang wara-wiri di televisi. Sama halnya lo lihat karya orang lain dimuat di majalah, koran dan sebagainya, dan dengan khusuknya elo membaca bintang impian mereka. Tapi mereka dan elo itu nggak beda, Vhi. Mereka dan elo juga sama-sama berusaha untuk ‘menjadi’, hanya waktu yang menjadi pembeda. Mungkin waktu mereka untuk ‘menjadi’ itu cepat dari usaha mereka dan waktu elo lama. Tapi, tetap tidak menutup kemungkinan lo itu bisa selama lo mau berusaha.” Terang Indah panjang lebar. Aku mendengarkan dengan saksama, memaknai setiap ucapan sahabatku ini.
            “Lo nggak tahu betapa sulitnya, Ndah.” Lirihku.
            “Nggak ada yang sulit selama lo mau usaha.” Kata Indah lagi. “lo lihat bintang sedotan di tangan lo. Itu bermula dari sedotan lurus kan, tapi sekarang berubah bentuk menjadi sebuah bintang setelah melalu proses yang gue lakukan tadi. Sama seperti tulisan cerita lo, Vhi. Deretan tulisan lo yang ada di sini.” Indah meraih buku catatan dari dadaku. Ia membukanya satu persatu hingga pada satu judul ‘Pangeran dalam Minibus’. “...ini tulisan juga butuh proses Vhi. Gue yakin sama lo, gue percaya sama lo, kalau elo tuh bisa dengan usaha keras lo. Dengan keyakinan lo.” Mataku berkaca-kaca mendengar penjelasannya.
            “Ndah...”
            “Vhi, gue sahabat lo, gue tahu apa bintang impian lo. Percayalah sama hati lo Vhi, tanamkan satu keyakinan kalau elo bisa seperti mereka. Gue nggak mau denger lo putus asa, nggak mau nulis, otak buntu, dan sebagainya. Gue cuma mau lihat lo berusaha, lihat lo nulis dengan semangat yang elo punya. Gue di sini Vhi, sama seperti waktu kita kecil dulu. Selalu ada kalau lo ngebutuhin gue.” Ucapnya meletakkan buku itu di telapak tanganku seraya mendekapnya kembali. Satu tetes air mata jatuh. Indah menghapusnya.
            “Gue janji Ndah, gue janji akan terus berusaha. Gue akan buktikan ke mama, kalau gue bisa.” Ucapku yakin.

Tamat
Kamis, 10 januari 2013