***
Terkadang aku iri pada gadis-gadis cantik nan
sempurna di sekolahku. Mereka bermodis, trendy
(?), gaul, up to date, punya
banyak teman. Sedangkan aku? 75 % berbeda dg mereka.
Lihat, gadis berdarah Indonesia-Jerman di samping lapangan tempat tongkrongannya, Laura bersama sejenis makhluk-makhluk bermodis lainnya. Laura tengah berkicau menceritakan kabar terbaru apa saja, terutama gosip-gosip hangat internasional, setelah itu membahas fashion apa saja yg lagi terkenal, bagus. Dan dari mereka semua, ada yang langsung bisa membeli ada yang cuma mendengarkan saja dalam hati bisa seperti Laura yg mampu membeli apa saja yang ia mau.
Aku memandang mereka dari jauh, di sudut lain. Sendirian tentunya. Ada hasrat ingin bergabung dengan mereka. Tapi itu tidak mungkin, karena aku hanya mendapat cacian saja dari mereka. Aku bangun dari dudukku, memandang Laura yang bersebrangan dengan tempatku.
"Elo mau ngapain? Mau gabung sama mereka." seseorang berujar dari belakang. Aku berbalik, Lisna dan Ai tengah melipatkan tangannya di dada, melihatku dengan cibiran maksimal.
"Jangan harap lo bakal diterima oleh mereka. Lihat dong bagaimana penampilan lo. Udik, cupu, kutu buku, astaga lo baru melangkah saja mereka ogah nerima elo." kali ini Ai yang berbicara. Aku tertunduk berusaha memfokuskan diri pada aspal yang aku injak. Penuturan itu sering aku dengar.
"Heh, diem lagi!" tiba-tiba Lisna mendorong bahu kananku. Seketika aku melihat wajah mereka berdua denga kegugupan dan kesal yg terpendam.
"Apa?! Mau melawan?" mata Lisna membulat, membuat aku menggeleng kuat-kuat. Mungkin karena keributan kecil ini membuat Laura di sudut sana menoleh dan sepertinya tertarik lalu menghampiri tempatku.
Tidak! Tuhan. Cukup aku merasakan ini. Mereka dalam jumlah banyak menghampiriku yang sendiri. Dan sudah aku tegaskan ini bukan yang pertama kalinya. Pasti mereka hendak mencaci makiku. Mereka, ah bukan, hampir seisi sekolah paling suka memperlakukan aku seperti ini. Aku selalu dipandang sebelah mata oleh mereka.
"Ada apaan Lis?" tanya Laura.
Lihat, gadis berdarah Indonesia-Jerman di samping lapangan tempat tongkrongannya, Laura bersama sejenis makhluk-makhluk bermodis lainnya. Laura tengah berkicau menceritakan kabar terbaru apa saja, terutama gosip-gosip hangat internasional, setelah itu membahas fashion apa saja yg lagi terkenal, bagus. Dan dari mereka semua, ada yang langsung bisa membeli ada yang cuma mendengarkan saja dalam hati bisa seperti Laura yg mampu membeli apa saja yang ia mau.
Aku memandang mereka dari jauh, di sudut lain. Sendirian tentunya. Ada hasrat ingin bergabung dengan mereka. Tapi itu tidak mungkin, karena aku hanya mendapat cacian saja dari mereka. Aku bangun dari dudukku, memandang Laura yang bersebrangan dengan tempatku.
"Elo mau ngapain? Mau gabung sama mereka." seseorang berujar dari belakang. Aku berbalik, Lisna dan Ai tengah melipatkan tangannya di dada, melihatku dengan cibiran maksimal.
"Jangan harap lo bakal diterima oleh mereka. Lihat dong bagaimana penampilan lo. Udik, cupu, kutu buku, astaga lo baru melangkah saja mereka ogah nerima elo." kali ini Ai yang berbicara. Aku tertunduk berusaha memfokuskan diri pada aspal yang aku injak. Penuturan itu sering aku dengar.
"Heh, diem lagi!" tiba-tiba Lisna mendorong bahu kananku. Seketika aku melihat wajah mereka berdua denga kegugupan dan kesal yg terpendam.
"Apa?! Mau melawan?" mata Lisna membulat, membuat aku menggeleng kuat-kuat. Mungkin karena keributan kecil ini membuat Laura di sudut sana menoleh dan sepertinya tertarik lalu menghampiri tempatku.
Tidak! Tuhan. Cukup aku merasakan ini. Mereka dalam jumlah banyak menghampiriku yang sendiri. Dan sudah aku tegaskan ini bukan yang pertama kalinya. Pasti mereka hendak mencaci makiku. Mereka, ah bukan, hampir seisi sekolah paling suka memperlakukan aku seperti ini. Aku selalu dipandang sebelah mata oleh mereka.
"Ada apaan Lis?" tanya Laura.
"Nih bocah kayaknya pengen gabung sama lo dan yang lain, Ra."
jawab Lisna menunjukku dengan gerakan dagunya. Aku semakin tertunduk tak berani
menatap mereka semua.
"Si kudet, kuper, cupu kamseupay ini mau gabung
sama gue. Ih, najis tralala trilili." ini perkataan kesekian yang aku
terima tiap harinya dari mereka yg berkuasa.
"Please Dher, kalau mau punya temen lihat dulu
sekeliling lo kayak gimana. Terus liat diri elo sama gak," sambung Ai.
"Langit bumilah!" yang lain menjawab
serempak. Aku kian tersudut, mataku mulai berkaca-kaca. Di sana-sini mulai
mendorongku, menjawalku, menarik kepangan rambutku, mengacak-acaknya. Dan
terakhir merampas kacamata mins ku.
"Please balikin kacamataku." pintaku dg
suara bergetar.
"Akui dulu kalau elo itu kudet, kuper, cupu,
kutu buku, dan kamseupay. Terakhir elo harus bilang, kalau elo gak pantas
berada di sini." tantang Laura. Dadaku naik turun. Mataku teras memanas
menahan genangan air mata.
"Bali...kin...kaca...mataku..." aku
berusaha meraih kacamata dari tangan Laura.
"Oh, lo mau ini?" KREEEK!! Terdengar
bunyi benda pecah. Tidak! Laura menginjak kacamataku sampai hancur. Yang lain
tertawa puas.
"Heh! Besok lo harus ganti tuh kacamata!"
suara lain terdengar. Kali ini suara cowok. Dan itu tidak asing bagiku.
"Adie?!" mereka semua tercengang.
"Kenapa harus gue yg ganti?" Laura
berucap.
"Bodoh, karena elo yang ngerusaknya! Katanya
elo bisa ngebeli semua yg elo mau, masa kacamata aja lo nggak bisa. Dan gue mau
kacamata yang persis seperti yang elo hancurin!"jari Adie lurus menunjuk
wajah Laura.
Dengan gerakan cepat Adie menarik tanganku pergi dari situ.
"Ganteng-ganteng kok sudi gandeng tangan cewek
udik seperti Dhera!" kesal juga Lisna melihat Adie yang dengan entengnya
menarik tanganku. Adie berhenti melangkah, dan berbalik menghampiri Lisna dengan
tetap menggandeng tanganku dengan wajah tertunduk.
"Gue lebih gak sudi memegang tangan lo apalagi
sampai gandeng lo." mendengar itu wajah Lisna 'mungkin' pucat pasi.
Maklum, Adie adalah cowok yg jadi rebutan para kaum hawa termasuk Lisna.
Setelah itu Adie membawaku pergi ke parkiran
sekolah. Menyerahkan helm putih padaku. Aku yang sudah sesegukkan dengan air
mata yang tak mau berhenti sama sekali tidak menggubris ucapan Adie yang
menyuruhku untuk segera naik motor sport birunya.
"Jangan nangis lagi Dhera, udah ayo cepat
naik."
"Aku gak mau. Hiks...hiks...perlakuan kamu ini
semakin membuatku jadi bulanan anak-anak. Hiks...aku capek dibilang itik buruk
rupa yang berharap jadi angsa dan menjelma putri cantik lalu hidup bahagia
bersama pangeran." tuturku.
"Banyak omong kamu. Nih pake." Adie
memakaikan helm di kepaLaku. Tak lama kami melaju meninggalkan parkiran
sekolah.
***
Tempat ini lagi. Bila di hitung, ini sudah kali
ketiga Adie mengajakku ke sini. Bukit kecil yg di bawahnya terdapat tumbuhan
ilalang.
Adie duduk dengan santainya di bawah pohon sesekali
memejamkan kedua matanya. Sedangkan aku duduk tak jauh darinya, namun ada jarak
di antara kita.
Mungkin aku adalah orang yg beruntung bisa dekat dengan
Adie. Meski pun aku tidak tahu kenapa Adie selalu ada menolongku saat aku di
ganggu anak-anak.
"Kenapa kamu selalu membantuku?" tanyaku.
Adie membuka mata sebentar, lalu menyilangkan kakinya santai.
"Karena kamu nggak mau melawan. Dan aku nggak
suka dengan perlakuan cewek-cewek bermuka badak seperti mereka." ucapnya
melempar pandangan ke langit.
"Tapi mereka benar. Aku emang kudet, cupu,
kamseupay...""Nggak seperti itu." Potong Adie cepat. Aku menoleh melihatnya. Entah tiba-tiba saja aku kesal pada cowok satu ini.
"Kamu tidak pernah berada di posisiku. Kamu tidak tahu bagaimana dipandang sebelah mata, merasa sendiri, tidak punya temen. Saat kamu ingin menumpahkan semua tangismu, tidak ada yang mau dengar. Kamu nggak tahu bukan bagaimana menjadi diriku." tanpa bisa kukontrol air mataku nyeloroh jatuh begitu saja. Perasaan terasingkan ini terlalu menyiksaku.
Kulihat Adie tak bereaksi apa-apa. Hanya memandangku dengan tatapan sayu. Ku tarik wajahku ke depan melihat ilalang bergoyang tertiup angin. Kemudian kepalaku menunduk, berusaha menghentikan air mata ini.
"Aku ingin seperti mereka. Punya teman, berasa dianggap. Didengar apa yang kita rasakan, apa yang kita mau. Aku ingin tertawa bersama mereka. Tapi...tapi...di mata mereka aku berbeda, dan itu memberikan garis besar untuk aku tidak masuk ke zona terlarang itu." isakku dengan perasaan perih.
Adie menggeser duduknya jadi di sampingku.
"Aku memang tidak merasakan bagaimana di posisimu Dher. Tapi yang aku tahu menjadi diri sendiri itu lebih indah. Bagaimana pun kita itu yang Tuhan suka. Bagiku kau beda, dan itu membuat dirimu lebih indah dari yang lain. Makanya mengapa aku selalu ada membantumu, karena kamu tak pantas di perlakukan seperti itu." tutur Adie.
"Tapi aku tetap aneh di mata mereka." aku masih kesal dengan diriku sendiri. Tiba-tiba Adie meraih tanganku menunjuk ke atas sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar