Selasa, 17 Februari 2015

Surat untuk Ayah









Kepada : Ayah yang ku sayang
Di
Kehangatan keluarga
          Entah bagaimana perasaanku saat menulis surat ini. Sedih atau bahagia. Pun bagaimana aku menorehkan tinta hitam ini, apa yang harus aku katakan. Sebenanrnya ada banyak yang ingin kuceritakan padamu, Ayah. Mungkin yang pertama aku katakan padamu adalah : aku merindukanmu, sangat merindumu Ayah.
          Ayah, bagaimana kabarmu? Apakah kau masih baik-baik saja saat aku pergi menuntut ilmu, Ayah. Kau selalu hadir dalam mimpiku dengan senyum, membuat aku lebih merindukanmu. Tapi aku sedih Ayah, dan aku berpikir apakah aku sudah membuatmu tersenyum, membuatmu bahagia atas apa yang kulakukan? Apakah aku sudah menjadi anak yang baik untukmu, Ayah. Mengapa perasaan pedih ini kerap hadir. Apakah karena aku anak yang tidak menurut padamu, Ayah.
          Aku ingat, begitu banyak kelakukan nakalku yang sering membuat kau berteriak marah, kau menceramahiku, tapi aku malah bersikap bodoh, aku memang mendengarkanmu tapi tak banyak yang kuserap dari ribuan nasihatmu, Ayah. Apa kau tahu itu?  Jelas tidak.  Karena kau selalu menganggap aku anak kebanggaan Ayah. Iya itu aku. Aku yang kerap kali mengabaikanmu.
          Ayah, kau tahu mengapa aku sering mengabaikanmu itu karena saat memasuki kelas dua Sekolah Dasar aku mulai dekat dengan ibu, padahal dari kecil aku sangat dekat denganmu Ayah, ke mana pun kau pergi aku selalu ikut. Lamban laun aku tumbuh menjadi besar, kenakalanku pun bertambah. Kau sering sekali memarahiku. Yang terpikir  olehku saat itu, aku benci Ayah. Ayah tidak bosannya terus memarahiku, membentakku, hingga akhirnya aku tidak mau lagi dekat-dekat Ayah. Aku mau sama Ibu yang selalu memanjakanku.
          Ah, Ayah...betapa bodohnya aku saat itu. Sempat membencimu, padahal Ayah tidak salah. Dari Ibu pun aku tahu betapa Ayah sangat menyayangiku, kau yang selalu mengelus rambutku kala aku sudah tertidur, kau bahkan menjagaku sepanjang malam agar aku tidak digigit nyamuk setelah seharian aku acuhkanmu. Maafkan aku, Ayah.
          Ayah, sekarang aku telah tumbuh dewasa. Aku menjalani kehidupanku jauh dari keluarga, dari Ayah dan Ibu. Apa yang tengah aku alami selama hidupku ternyata sudah kau ceritakan dulu. Kau mengajarkan aku banyak hal Ayah, banyak sekali. Semua nasihatmu yang dulu hanya sesaat tertanam dibenakku sekarang mulai ku ingat lagi. Aku mulai merangkum agar aku tak salah menjalani hidup ini Ayah.
          Ada saat dulu salah satu peristiwa yang masih ku ingat. Di mana kau terenyuh melihat seorang lelaki yang menjajakan semangka di bakul yang ia panggul. Kau langsung turun dari mobil menghampiri lelaki yang sudah lebih dari setengah abad dengan aku yang berdiri kebingungan. Kau bertanya pada lelaki itu, entah apa yang kau bicarakan aku masih belum tertarik dengan hal itu. Kemudian kau memanggilku, dan kau berkata “Ayo, pilih semangkanya.” Ujarmu dengan senyum. Aku pun tahu Ayah,  sebelum berhenti di sini ada banyak sekali menjual semangka yang mungkin lebih bagus dari mana semangka punya lelaki tua itu. Tapi mengapa kau malah memilih semangka yang kecil-kecil dan sepertinya belum saatnya masak itu.
          Aku mengambil satu semangkat tanpa berbicara sedikit pun. Si penjual tersenyum. Tapi Ayah malah mengambil sepuluh semangka membuat senyum si penjual semakin lebar dan mengucapkan terima kasih. Aku bertanya padamu, “Ayah, untuk apa semangka sebanyak itu?” tanyaku. Kau hanya tersenyum, senyum yang ikhlas dan tanpa menjawab pertanyaanku kau langsung membawa semangka-semangka itu ke mobil lalu membayarnya. Yang terlihat di mataku adalah lelaki tua itu begitu banyak mengucapkan terima kasih padamu tentu padaku juga. Ah, Ayah aku masih belum mengerti untuk apa semangka belum ranum nan kecil-kecil itu kau beli.
          “Perhatikan bapak itu Lusi,” bisikmu. Refleks aku memerhatikan lelaki tua itu.  yang terlihat di mataku hanya wajah hitam dengan peluh peluh di kedua pelipis dan dahi. Hanya sepasang mata yang sarat akan kelelahan mungkin karena memikul bakul-bakul serta panasnya musim kemarau. Dari mulutnya yang hanya dibarisi gigi-gigi yang sudah tidak utuh banyak mengucap syukur dan terima kasih atas rizki yangg diberi Tuhan karena semangkanya terjual banyak.
          Aku tersentak Ayah. Aku seperti terhempas dari tempatku, tapi kemudian kau menyadarkanku. Dadaku terasa sesak sekali, aku tak mampu berkata apa-apa. Betapa hebatnya hebat dirimu mengajarkan aku hanya dengan satu suruhan, mengajarkan aku untuk melihat bukan hanya sekilas, bukan hanya dengan mata, tapi dengan hati. Betapa aku menyadari satu hal Ayah, aku jarang bersyukur dengan apa yang kujalani dan ku dapat sekarang. Aku lebih banyak mengeluh, memaksa kehendakku terutama padamu, Ayah. Dari lelaki itulah aku belajar, dan kau telah membuka mata hatiku.
          Saat kita kembali ke mobil, kau pun menjelaskan apa yang tadi kau bicarakan dengan lelaki tua itu. Aku jadi tahu, semuanya, sudah terbaca. Betapa aku harus banyak bersyukur. Pekerjaan Ayah mungkin tidak sebera dari pekerjaan lelaki penjual semangka tadi.  Tapi aku tahu sekarang, seringan apa pun pekerjaanmu kau tetap merasa lelah, tapi kau begitu rapi menutupinya. Kau bekerja keras demi menghidupi keluargamu, memenuhi semua kebutuhan kami.
          Ayah, apa kau tahu sejujurnya saat kejadian itu dan seturusnya aku selalu bertekad dalam hati. Aku tidak akan membiarkan Ayah merasakan seperti pedagang itu atau siapa pun itu. Aku tahu kehidupan itu seperti roda yang terus berputar. Secara kasat mata begitu banyak hal yang kau ajarkan pada anakmu ini.
          Ayah, terima kasih atas perjuanganmu...
          Terima kasih karena selama ini kau begitu sempurna menjagaku, menyayangi permata di hidupmu...
          Ayah... maafkan anakmu jikalau belum bisa membahagiakanmu. Tapi aku bangga memiliki Ayah sepertimu, Ayah yang terbaik bagiku, bagi keluargamu.
          Terima kasih Ayah, sudah mengajarkan aku banyak hal dikehidupan ini. Aku menyayangi Ayah, mencintai Ayah..
          I  Love Dady...

Dari : Anakmu


Lusiana

Minggu, 08 Februari 2015

Kisah yang Tidak Kau Tahu

saat ngebaca ini sekadar saran dengerin lagu Supercell - Utakata Habani sama Kimi No Shiranai Monogatari biar lebih ngena deh :D No copas guys :D




          “Ayo, kita lihat bintang malam ini!” seruan itu terdengar membuat fokusku pada buku yang tengah kubaca buyar. Belum sempat menjawab, Hanjar sudah menarik tanganku. Sorot mata yang selalu terlihat teduh itu membuat aku tak sanggup lebih lama menatapnya dalam ketersimaan.
          “Tapi...”
          “Udah ayok!” ajaknya. Refleks meletakkan buku di meja. Cowok yang kurang lebih lima tahun menjadi temanku itu langsung menjalankan motornya.
          Malam ini aku dan Hanjar kembali membelah keramaian suasana kota saat malam hari. Ini bukan kali pertama Hanjar bertandang ke rumah, entah sekadara main, ngobrol atau keluar seperti sekarang.
          Tapi ini terasa berbeda, bukan hanya karena kedatangan Hanjar yang mendadak —tanpa mengirim pesan dulu— juga keinginannya keluar melihat bintang.
          Aku terenyak begitu motor memasuki beberapa tikungan pendek, rumah-rumah mulai mengecil, dan keramaian pun berkurang seiring motor terus melaju. Gelap-terang gelap-terang, lampu-lampu di sepanjang jalan mulai tak teratur. Pada tikungan berikutnya Hanjar menurunkan kecepatan. Aku mulai mengenali jalan ini beserta tujuan Hanjar.
          “Njar kita ke laut malem-malem gini?” tanyaku langsung begitu motor memasuki pintu masuk. Hanjar menoleh sebentar dan tersenyum. Setelah memarkirkan motor Hanjar langsung menarik tanganku menuju tepi laut. Ini adalah salah satu tempat wisata laut di kota kami. Memang lokasinya tidak terlalu besar, namun ke khasan pesona lautnya begitu terasa. Ada beberapa restoran yang sudah tutup dan ada juga yang buka 24jam karena memang tempat ini selalu ada pengunjung, entah untuk memancing atau makan.
          Aku beberapa kali ke sini bersama keluarga dan teman-temanku, tapi bersama cowok ini tentulah yang pertama.
          “Kamu nggak tahu ini udah jam berapa?” aku membetulkan letak kacamata minsku seraya mengikat rambut panjangku. Ternyata angin laut saat malam terasa menyejukkan juga.
          “Delapan!” Hanjar menunjukkan lima jari kanannya dan tiga jari kirinya sambil memasang senyum dan itu sangat menggemaskan. Senyum yang kerap kali membuat degup jantungku berantakan beberapa hari ini.
          “Iya tahu, trus kita ngapain malam-malam ke sini?”
          “Kan tadi di rumah kamu aku bilang, kita lihat bintang.”
          “Liat bintang nggak harus di sini kali Njar, di depan rumah juga bisa, atau di taman deket rumah itu kan cukup buat kita lihat bintang sepuasnya, trus juga nggak jauh-jauh a...”
          Hap! Telapak tangan Hanjar cepat menutup mulutku yang belum menyelesaikan kalimat tadi. Ditariknya bahuku dengan tangan lainnya yang bebas, menyuruhku untuk menatapnya. Aku terkunci dalam pekatnya sorot mata teduh itu. lalu dengan gerakan pelan tangan yang tadi digunakan untuk membungkam mulutku terlepas dan menunjuk ke atas. Aku mengikuti arah tangan itu terangkat.
          Hanjar menunjuk langit yang sumpah, sumpah, sumpah indah banget.
          Ini benar-benar hujan bintang. Langit seperti kanvas hitam yang dilukis titik-titik dari kecil sampai besar dengan kerlip yang berbeda, seperti tak ada ruang kosong untuk kanvas itu tetap terlihat hitam. Nyaris penuh dengan bintang.
          Mulutku menganga saking takjubnya. Mungkin mataku juga telah berbinar-berbinar.  Hanya tawa kecil menandakan betapa aku terkesima dengan maha cipta sang Khalik. “I..ini...”
          “Ini belum seberapa Jingga, diperkirakan dua hari lagi akan ada hujan meteor, atau bisa disebut hujan bintang.” Mulutku menganga lagi tanpa sadar meremas lengan atas Hanjar entah sejak kapan aku meletakkan tanganku di sana. “Kamu senang?” Aku mengangguk penuh semangat. Hanjar tertawa aku pun mengikutinya.
          “Ah, aku bawa kamera. Sebentar aku ambil dulu.” Hanjar bergegas menghampiri tempat parkir. Sedangkan aku melangkah mendekati tepi laut yang pasang. Aku tersenyum-senyum sendiri. Entah mengapa rasa ngilu di dadaku membuat aku tak bisa menghilangkan senyum dari bibirku. Saat mendongakkan kepala ke atas, aku benar-benar tidak bisa menyembunyikan kebahagiaanku.
          Cekrek! Sebuah flash menyambar mataku. Dengan mata sedikiti menyipit aku memanyunkan bibirku. Hanjar selalu suka memotret seenaknya saja. “Lagi, lebih ke sana!” teriaknya. Jadilah aku model dadakan. Hanjar memotretku, begitu pun sebaliknya. “Sekarang kita berdua?”
          “Caranya?” Hanjar mengedarkan pandangannya. Sesaat ia melambaikan tangan pada seseorang yang ternyata seorang pelayan dari salah satu restoran. Setelah berbicara sebentar kemudian Hanjar menunjukkan kelima jemarinya. Menandakan ia minta pelayan itu memotret sebanyak lima kali.
          Hanjar langsung menggandeng tanganku. Dan kami terabadikan dalam potret. Sampai potret kelima Hanjar mengucapkan terima kasih. “Kita lihat-lihat yuk!” ia menarik tanganku duduk di pasir. Aku melongokkan kepala melihat ke kamera. “Ah, kamu selalu terlihat manis di kamera Jingga. Begitu natural.” Suara Hanjar terdengar lirih, seolah berbicara pada diri sendiri. Tapi dalam jarak sedekat ini aku bisa mendengarnya dan itu membuat wajahku merah.
          “Oh, apaan ini, harusnya kamu lihat ke depan, kenapa menunduk.” Protes Hanjar pada saat slide foto yang barusan diambil oleh pelayan. Wajahnya semakin merah. Bagaimana bisa aku bersikap biasa saja, disaat cowok ini menggandeng tanganku dalam beberapa pose. Aku malu. Iya terang saja begitu, terlebih jantungku jadi tak terkendali detaknya. Aku benci ini.
          “Oh! Habisnya aku malu dipoto sama orang lain.” Kilahku.
          “Tapi kita sering dipoto Rizki, Galih, Tasya,” Hanjar menyebut sederet adiknya dan adikku. Kalah telak. Memang disaat kebersamaanku dan Hanjar sering terekam dalam potret yang diambil adikku atau adiknya atas suruhan Hanjar.
          “Ah, itu beda.”
          Hening. Benar-benar hening. Hanjar tengah sibuk memerhatikan hasil jepretannya. Sedangkan dengan konyolnya aku memerhatikannya dari samping. Detail wajah oriental itu, rambut spike dengan model trend terembus angin laut. Kedua mata dengan bola mata hitam pekat ternaungi alis tebal, hidung mancungnya, bibir tipis yang kadang terlihat merah muda, dan senyumnya yang membuat aku tanpa sadar mengagumi. Ah, berapa kerennya temanku ini.
          “Kamu tahu Jingga, aku ingin mengambil gambar sunset di semua tempat yang indah, apalagi di gunung.” Ucapnya. “Lain kali kamu harus ikut denganku. Kamu akan terkagum-kagum lihat pemandangan super-super menakjubkan...” Hanjar terus bercerita tentang hobby nya yang naik gunung dan kegemarannya terhadap fotografer, kadang suaranya penuh semangat, berubah lagi penuh ketakjuban, antusias, semuanya bisa aku baca pada raut wajah Hanjar.
          Aku memang mendengarnya, selalu. Tapi aku tidak bisa berkata apa-apa. Diri cowok ini entah sejak kapan membuat aku terkagum-kagum. “Aku tidak mungkin menyukaimu kan, Njar.” Batinku sambil terus mendengarkan ceritanya. Dalam hati aku tersenyum kecut. Benar-benar konyol kalau aku sampai menyukainya. Degup jantung yang berdetak lebih cepat mungkin karena perlakuan Hanjar yang selalu di luar dugaanku. Lagi pula kenapa aku bisa menyukainya, ia saja bersikap begitu biasa padaku.
          Tapi lama-kelamaan jeritan dan sangkalan tentang perasaanku pada cowok di sampingku ini menorehkan perih yang tanpa kusadari ada. Mataku tiba-tiba saja memanas, genangan yang tidak kuhendaki ada pun mendesak ingin keluar.
          Jika benar aku menyukainya, tentu saja itu perasaan yang sepihak, dan tidak mungkin akan tersampaikan. Aku tahu persis bagaimana situasinya. Menyadari itu dadaku terasa sesak. Perasaan ini begitu menyebalkan. Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta. Saat berpura-pura tidak tertarik justru sakit yang terasa. “Ini nggak ada gunanya Jingga. Jangan bersikap konyol. Jangan menangis.” Jeritku dalam hati.
          Tapi aku benar-benar tak kuasa menahan genangan di pelupuk mataku. Berpura membenarkan kacamataku sambil mengusap sudut mataku yang mulai berair. Tapi terlambat. Mata Hanjar menangkap buliran bening dari mataku. Ia terkesiap.
          “Jingga, kamu baik-baik saja. Apa aku menceritakan sesuatu yang...”
          “Ahaha..” aku tertawa dalam kosa kata. “Tidak. Aku hanya iri saja sama kamu bisa pergi sesukamu, ke semua tempat yang kamu mau.” Bohongku.
          “Jingga jangan bohong.” Aku mengangguk cepat. Hanjar menatapku lekat-lekat. “Kamu tunggu di sini.” Beberapa menit kemudian Hanjar datang dengan dua gelas susu cokelat panas. Disodorkannya satu padaku. “Minum pelan-pelan akan membuat tubuhmu hangat.” Ucapnya. Aku tersenyum.
          Hening sesaat.
          Kami berdua pindah tempat ke sebuah kursi dan meja di salah satu warung yang sudah tutup. Jam terus berputar, sebelumnya Hanjar meminta persetujuanku untuk di sini lebih lama. Bila kemalaman, ia bisa menyewa tempat tidur untukku. Aku menyetujuinya. Lagi pula entah mengapa aku juga ingin di sini bersamanya.
          “Njar...”panggilku menarik kedua lututku sampai menempel.
          “Hmm.”
          “Kenapa kamu ngajak aku ke sini?” Hanjar tak langsung menjawab. Ia menatap langit yang penuh taburan bintang. Masih tak ada suara, seolah ia mencari jawaban atas pertanyaanku di atas sana. Aku tak mengusiknya. Karena aku tahu Hanjar juga sangat menyukai bintang sama sepertiku.
          “Bukankah ini yang selalu kamu inginkan, Jingga.” Aku terenyak. Sontak aku memutar otakku secepat kilat mengingat-ngingat. Ah, benar sekali aku pernah mengatakan padanya betapa indahnya melihat bintang-bintang dari tempat luas, seperti laut. Tapi itu hanya keinginanku yang semu, aku sendiri tak benat-benar menginginkannya bila tak bisa. Tapi cowok ini mewujudkannya, membawaku ke sini.
          Aku terkekeh tak percaya. Tak bisa berkata apa-apa lagi.
          “Hari semakin malam. Nih, pakai jaketku.” Tiba-tiba Hanjar melepaskan jaketnya dan memakainnya padaku. Lagi-lagi aku tak bisa menolak. Semua tindakannya seolah-olah menghinoptisku. “Kenapa kamu keluar dengan pakaian santai tanpa jaket sih,”
          “Bukannya kamu yang ngajak aku tanpa menyuruhku berganti pakaian?” sungutku. Hanjar nyengir membuat ngilu itu terasa kembali.
          Hening lagi. Kami berdua sama-sama menikmati susu cokelat panas. Aku semakin meringkukkan lututku. Ternyata benar, ini terasa dingin. Tapi cowok di sampingku ini terlihat biasa saja. Mata kami berdua menatap keindahan langit. Mungkin Hanjar tengah mencari rasi kesukaannya.
          “Indah yah,”
          “Selalu.” Jawabnya langsung. Aku tersenyum. Senyum yang entah apa maknanya, bahagia atau terluka. Berada di sampingnya aku mencoba menjabarkan semua perasaanku. Memikirkan hari-hari yang selama ini kulalui bersama Hanjar dalam pertemanan baik. Apa jadinya bila aku mengungkapnya? Mungkin tidak akan sama lagi. Bisa jadi ia akan menjauh. Ah itu tidak boleh terjadi. Aku sadar, dekat dengannya saja, seperti ini udah cukup bagiku. Tapi sampai kapan aku bisa menahan luapan perasaan ini.
          “Euumm...”
          “Kenapa?” Hanjar menatapku. Refleks aku menggigit bibir bawahku. “Ada yang mau kamu omongin?” tebaknya langsung.
          “Tidak.”
          “Tapi itu terlihat di matamu.”
          “Benarkah?” aku mengerjap dan Hanjar pun tertawa geli.
          “Kamu selalu percaya dengan apa yang aku katakan, Jingga?” tiba-tiba tangannya melayang mengusap puncak kepalaku. Tatapannya meredup, dan untuk kesekian kalinya aku seperti terkunci pada manik mata itu. “Sorry...” setelah mengatakan itu jemari Hanjar melepas kacamata mins yang aku pakai.
          “Ka...kamu...” aku membeku saat aku samar-samar melihat wajah cowok di depanku ini. Poniku yang panjang terembus angin sampai nyaris menyentuh mataku. Dengan halus Hanjar menyibaknya. “Please Njar, jangan perlakukan aku seperti ini. Semua sikapmu membuatku tak bisa untuk tidak menyukaimu. Jangan lakuka Njar” jeritku pedih.
          “Coba lihat ke langit,” pintanya. Aku menurut. Tapi yang kulihat bintangnya tak sebanyak seperti saat aku memakai kacamata.
          “Aku tidak bisa melihat bintang sebanyak yang semula Njar.” Kepalaku tertunduk. Tapi Hanjar malah tertawa.
          “Tak apa Jingga, matamu sebenarnya terlalu indah untuk memakai kacamata.”pujinya membuat rona di pipiku muncul. “Aku nggak boong yah, memang itu kenyataannya.”
          “Iya, makasih deh, pujiannya.” Tiba-tiba entah detik keberapa dengan gerakan cepat Hanjar menarik kepalaku dan menjatuhkannya di bahunya sendiri. Aku tidak bisa menolak juga tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Hanjar.
          “Terima kasih sudah mau jadi teman terbaikku Jingga, tetap seperti itu yah,” ucapnya setelah hening sesaat. Aku mengangguk dalam posisi kepalaku di bahunya. Jauh dalam hati aku menangis. Mungkin memang harus seperti ini. Aku tidak bisa menyampaikan perasaanku dan tidak akan aku menyampaikannya. Biarlah ini menjadi kisah yang tidak Hanjar tahu. Kisah yang hanya aku yang tahu, hanya milikku.
          “Berada di dekatmu seperti ini saja sudah cukup bagiku.”


End

08 Februari 2015

00.15

Selasa, 03 Februari 2015

...Sampai Tak Menyadari Kedatangannya

...Sampai tak menyadari kedatangannya.
Ia begitu lembut, halus, mengelus setiap pori dalam tubuhku, mengisinya dengan udara segar. Entah sejak kapan itu terjadi. Hari ini, kemarin, yang lalu, atau bahkan sejak pertama aku mengenalnya. Entahlah. Ini bukan semata hanya kelabu, warnanya bisa terlihat, juga jelas apalagi ilusi. Ini jelas nyata. Aku mengenalnya, sudah kurun waktu kurang lebih enam tahun. Tapi mengapa aku tak menyadari kedatangan rasa hangat namun mengilukan itu.

Kini aku tak tahu lagi harus bagaimana. Jujur, aku tersiksa. Terlebih aku menyadari satu hal yang 'mungkin' itu salah. Atau bisa menjadi sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Nyatanya ini jelas terasa, membuat aku lebih sering menekan dadaku lebih kuat agar tidak meledak kala aku mengingatnya, mengenangnya, atau merindunya. Itu jelas salah. Kesalahan yang entah dibuat siapa.

Ah, aku akhirnya menyadari satu hal. Mungkin ini karena kesalahanku juga kesalahnnya. Iya, seperti itu. Rasa ini tidak mungkin muncul begitu saja kalau tidak ada yang memicu. Dan kurasa dia sendiri yang telah memicu degup jantungnya terasa meningkat, aliran darahku begitu terasa deras, bahkan bisa membuat sepasang kakiku seketika lumpuh. Haruskah ku jelaskan point yang memicu itu? Tidak. Karena hanya aku yang merasakannya, mungkin dia tidak berniat untuk memicu rasaku itu.

Kesalahan yang entah keberapa, yaitu terlalu terlena dengan ucapan yang keluar dari bibir manisnya. Tentang semua mimpi-mimpi yang dia gambarkan (mungkin dia telah mengalami mimpi itu, atau sebaliknya) yang pasti belum pernah aku merasakan mimpi-mimpi yang kau terangkan. Ah, bukan sekadara menerangkan dia juga menawarkannya padaku. Mimpi-mimpi indah yang belum pernah kurasakan. Bagaimana aku tidak terlena karena itu. Terlebih jika dialah yang mengajakku memasuki mimpi-mimpi indah.

Sekali-dua kali mungkin tak apa bagiku. Aku bisa menanganinya. Namun, mimpi-mimpi yang terus kau tawarkan semakin menyeretku lebih dalam, seolah mendekati mimpi itu tapi belum tersentuh, karena aku berpikir hanya tangannya yang bisa memasuki pintu mimpi-mimpi.

Masih biasa. Tak begitu kurasakan rasa itu datang. Masih dalam bentuk sentuhan halus dalam yang membuatku nyaman, tenang dan tak terusik. Aku seperti tidak ingin kenyamanan ini hilang. Karena aku benar-benar ingin merasakan betapa indahnya mimpi-mimpi itu. Masih dalam kategori 'ingin' dan bisa juga ini hanya obsesi.

Tak ayal.Aku seperti terjengkang entah ke alam mana. Yang jelas itu seperti membangunkan aku dari tidur panjangku, membuka tirai di mana aku asyik dengan kenyamana dan ketenanganku. Tirai itu terbuka begitu tiba-tiba, sampai aku bisa melihat diriku pada cermin yang terpajang di depanku, entah sejak kapan.

Yang kulihat di cermin itu....Ah! Itu sepertinya bukan aku. Mana mungkin aku seperti itu. Ya Tuhan, apa yang kuberbuat. Wajah yang selalu kutaburi dengan babypower sekarang tersapu oleh make-up yang terlihat lebih -indah- garis mata atas dan bawah tergaris dengan eyeliner juga terlukis rapi, bibir tipisku terpoles lipsglosh pink ranum, rambut yang kerap kali terlihat tergerai bebas kini tergulung ke atas, menjuntaikan anak-anak rambut pada dua sisi pelipis.

Sekilas itu seperti bukan aku. Kenapa aku melakukan itu? Ah, aku ingat semalam dia mengirimku pesan kalau ia akan pulang dan ingin bersilatuhrami ke rumahku. Apakah karena itu aku mengubah penampilanku sebeda ini. Aku tak tahu pasti. Yang terlintas di benakku hanya ingin bertemu dengannya, terlihat indah saat di depannya. Hanya itu yang aku pikirkan.

Lalu? Apakah aku mengubah kembali penampilanku saat itu seperti biasanya? Oh itu tidak aku lakukan, yang segera kulakukan begitu menyadari setiap detail penampilanku, aku mengacaknya dengan kacau. Tapi aktifitasku seketika berhenti saat satu pesan masuk ke ponselnya.

Pesan darinya.

Mengatakan maaf karena tidak bisa datang hari ini karena ada keperluan lain.

Ngilu, perih dan detak jantung yang semakin kencang membuat aku limbung ke lantai. Terduduk di sana, menyeret kedua lututku. Dan yang keluar dari mulutku berupa dengungan yang lirih : "Apakah aku menyukainya?"


tbc ke curhatan selanjutnya :)