Selasa, 17 Februari 2015

Surat untuk Ayah









Kepada : Ayah yang ku sayang
Di
Kehangatan keluarga
          Entah bagaimana perasaanku saat menulis surat ini. Sedih atau bahagia. Pun bagaimana aku menorehkan tinta hitam ini, apa yang harus aku katakan. Sebenanrnya ada banyak yang ingin kuceritakan padamu, Ayah. Mungkin yang pertama aku katakan padamu adalah : aku merindukanmu, sangat merindumu Ayah.
          Ayah, bagaimana kabarmu? Apakah kau masih baik-baik saja saat aku pergi menuntut ilmu, Ayah. Kau selalu hadir dalam mimpiku dengan senyum, membuat aku lebih merindukanmu. Tapi aku sedih Ayah, dan aku berpikir apakah aku sudah membuatmu tersenyum, membuatmu bahagia atas apa yang kulakukan? Apakah aku sudah menjadi anak yang baik untukmu, Ayah. Mengapa perasaan pedih ini kerap hadir. Apakah karena aku anak yang tidak menurut padamu, Ayah.
          Aku ingat, begitu banyak kelakukan nakalku yang sering membuat kau berteriak marah, kau menceramahiku, tapi aku malah bersikap bodoh, aku memang mendengarkanmu tapi tak banyak yang kuserap dari ribuan nasihatmu, Ayah. Apa kau tahu itu?  Jelas tidak.  Karena kau selalu menganggap aku anak kebanggaan Ayah. Iya itu aku. Aku yang kerap kali mengabaikanmu.
          Ayah, kau tahu mengapa aku sering mengabaikanmu itu karena saat memasuki kelas dua Sekolah Dasar aku mulai dekat dengan ibu, padahal dari kecil aku sangat dekat denganmu Ayah, ke mana pun kau pergi aku selalu ikut. Lamban laun aku tumbuh menjadi besar, kenakalanku pun bertambah. Kau sering sekali memarahiku. Yang terpikir  olehku saat itu, aku benci Ayah. Ayah tidak bosannya terus memarahiku, membentakku, hingga akhirnya aku tidak mau lagi dekat-dekat Ayah. Aku mau sama Ibu yang selalu memanjakanku.
          Ah, Ayah...betapa bodohnya aku saat itu. Sempat membencimu, padahal Ayah tidak salah. Dari Ibu pun aku tahu betapa Ayah sangat menyayangiku, kau yang selalu mengelus rambutku kala aku sudah tertidur, kau bahkan menjagaku sepanjang malam agar aku tidak digigit nyamuk setelah seharian aku acuhkanmu. Maafkan aku, Ayah.
          Ayah, sekarang aku telah tumbuh dewasa. Aku menjalani kehidupanku jauh dari keluarga, dari Ayah dan Ibu. Apa yang tengah aku alami selama hidupku ternyata sudah kau ceritakan dulu. Kau mengajarkan aku banyak hal Ayah, banyak sekali. Semua nasihatmu yang dulu hanya sesaat tertanam dibenakku sekarang mulai ku ingat lagi. Aku mulai merangkum agar aku tak salah menjalani hidup ini Ayah.
          Ada saat dulu salah satu peristiwa yang masih ku ingat. Di mana kau terenyuh melihat seorang lelaki yang menjajakan semangka di bakul yang ia panggul. Kau langsung turun dari mobil menghampiri lelaki yang sudah lebih dari setengah abad dengan aku yang berdiri kebingungan. Kau bertanya pada lelaki itu, entah apa yang kau bicarakan aku masih belum tertarik dengan hal itu. Kemudian kau memanggilku, dan kau berkata “Ayo, pilih semangkanya.” Ujarmu dengan senyum. Aku pun tahu Ayah,  sebelum berhenti di sini ada banyak sekali menjual semangka yang mungkin lebih bagus dari mana semangka punya lelaki tua itu. Tapi mengapa kau malah memilih semangka yang kecil-kecil dan sepertinya belum saatnya masak itu.
          Aku mengambil satu semangkat tanpa berbicara sedikit pun. Si penjual tersenyum. Tapi Ayah malah mengambil sepuluh semangka membuat senyum si penjual semakin lebar dan mengucapkan terima kasih. Aku bertanya padamu, “Ayah, untuk apa semangka sebanyak itu?” tanyaku. Kau hanya tersenyum, senyum yang ikhlas dan tanpa menjawab pertanyaanku kau langsung membawa semangka-semangka itu ke mobil lalu membayarnya. Yang terlihat di mataku adalah lelaki tua itu begitu banyak mengucapkan terima kasih padamu tentu padaku juga. Ah, Ayah aku masih belum mengerti untuk apa semangka belum ranum nan kecil-kecil itu kau beli.
          “Perhatikan bapak itu Lusi,” bisikmu. Refleks aku memerhatikan lelaki tua itu.  yang terlihat di mataku hanya wajah hitam dengan peluh peluh di kedua pelipis dan dahi. Hanya sepasang mata yang sarat akan kelelahan mungkin karena memikul bakul-bakul serta panasnya musim kemarau. Dari mulutnya yang hanya dibarisi gigi-gigi yang sudah tidak utuh banyak mengucap syukur dan terima kasih atas rizki yangg diberi Tuhan karena semangkanya terjual banyak.
          Aku tersentak Ayah. Aku seperti terhempas dari tempatku, tapi kemudian kau menyadarkanku. Dadaku terasa sesak sekali, aku tak mampu berkata apa-apa. Betapa hebatnya hebat dirimu mengajarkan aku hanya dengan satu suruhan, mengajarkan aku untuk melihat bukan hanya sekilas, bukan hanya dengan mata, tapi dengan hati. Betapa aku menyadari satu hal Ayah, aku jarang bersyukur dengan apa yang kujalani dan ku dapat sekarang. Aku lebih banyak mengeluh, memaksa kehendakku terutama padamu, Ayah. Dari lelaki itulah aku belajar, dan kau telah membuka mata hatiku.
          Saat kita kembali ke mobil, kau pun menjelaskan apa yang tadi kau bicarakan dengan lelaki tua itu. Aku jadi tahu, semuanya, sudah terbaca. Betapa aku harus banyak bersyukur. Pekerjaan Ayah mungkin tidak sebera dari pekerjaan lelaki penjual semangka tadi.  Tapi aku tahu sekarang, seringan apa pun pekerjaanmu kau tetap merasa lelah, tapi kau begitu rapi menutupinya. Kau bekerja keras demi menghidupi keluargamu, memenuhi semua kebutuhan kami.
          Ayah, apa kau tahu sejujurnya saat kejadian itu dan seturusnya aku selalu bertekad dalam hati. Aku tidak akan membiarkan Ayah merasakan seperti pedagang itu atau siapa pun itu. Aku tahu kehidupan itu seperti roda yang terus berputar. Secara kasat mata begitu banyak hal yang kau ajarkan pada anakmu ini.
          Ayah, terima kasih atas perjuanganmu...
          Terima kasih karena selama ini kau begitu sempurna menjagaku, menyayangi permata di hidupmu...
          Ayah... maafkan anakmu jikalau belum bisa membahagiakanmu. Tapi aku bangga memiliki Ayah sepertimu, Ayah yang terbaik bagiku, bagi keluargamu.
          Terima kasih Ayah, sudah mengajarkan aku banyak hal dikehidupan ini. Aku menyayangi Ayah, mencintai Ayah..
          I  Love Dady...

Dari : Anakmu


Lusiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar