Minggu, 08 Februari 2015

Kisah yang Tidak Kau Tahu

saat ngebaca ini sekadar saran dengerin lagu Supercell - Utakata Habani sama Kimi No Shiranai Monogatari biar lebih ngena deh :D No copas guys :D




          “Ayo, kita lihat bintang malam ini!” seruan itu terdengar membuat fokusku pada buku yang tengah kubaca buyar. Belum sempat menjawab, Hanjar sudah menarik tanganku. Sorot mata yang selalu terlihat teduh itu membuat aku tak sanggup lebih lama menatapnya dalam ketersimaan.
          “Tapi...”
          “Udah ayok!” ajaknya. Refleks meletakkan buku di meja. Cowok yang kurang lebih lima tahun menjadi temanku itu langsung menjalankan motornya.
          Malam ini aku dan Hanjar kembali membelah keramaian suasana kota saat malam hari. Ini bukan kali pertama Hanjar bertandang ke rumah, entah sekadara main, ngobrol atau keluar seperti sekarang.
          Tapi ini terasa berbeda, bukan hanya karena kedatangan Hanjar yang mendadak —tanpa mengirim pesan dulu— juga keinginannya keluar melihat bintang.
          Aku terenyak begitu motor memasuki beberapa tikungan pendek, rumah-rumah mulai mengecil, dan keramaian pun berkurang seiring motor terus melaju. Gelap-terang gelap-terang, lampu-lampu di sepanjang jalan mulai tak teratur. Pada tikungan berikutnya Hanjar menurunkan kecepatan. Aku mulai mengenali jalan ini beserta tujuan Hanjar.
          “Njar kita ke laut malem-malem gini?” tanyaku langsung begitu motor memasuki pintu masuk. Hanjar menoleh sebentar dan tersenyum. Setelah memarkirkan motor Hanjar langsung menarik tanganku menuju tepi laut. Ini adalah salah satu tempat wisata laut di kota kami. Memang lokasinya tidak terlalu besar, namun ke khasan pesona lautnya begitu terasa. Ada beberapa restoran yang sudah tutup dan ada juga yang buka 24jam karena memang tempat ini selalu ada pengunjung, entah untuk memancing atau makan.
          Aku beberapa kali ke sini bersama keluarga dan teman-temanku, tapi bersama cowok ini tentulah yang pertama.
          “Kamu nggak tahu ini udah jam berapa?” aku membetulkan letak kacamata minsku seraya mengikat rambut panjangku. Ternyata angin laut saat malam terasa menyejukkan juga.
          “Delapan!” Hanjar menunjukkan lima jari kanannya dan tiga jari kirinya sambil memasang senyum dan itu sangat menggemaskan. Senyum yang kerap kali membuat degup jantungku berantakan beberapa hari ini.
          “Iya tahu, trus kita ngapain malam-malam ke sini?”
          “Kan tadi di rumah kamu aku bilang, kita lihat bintang.”
          “Liat bintang nggak harus di sini kali Njar, di depan rumah juga bisa, atau di taman deket rumah itu kan cukup buat kita lihat bintang sepuasnya, trus juga nggak jauh-jauh a...”
          Hap! Telapak tangan Hanjar cepat menutup mulutku yang belum menyelesaikan kalimat tadi. Ditariknya bahuku dengan tangan lainnya yang bebas, menyuruhku untuk menatapnya. Aku terkunci dalam pekatnya sorot mata teduh itu. lalu dengan gerakan pelan tangan yang tadi digunakan untuk membungkam mulutku terlepas dan menunjuk ke atas. Aku mengikuti arah tangan itu terangkat.
          Hanjar menunjuk langit yang sumpah, sumpah, sumpah indah banget.
          Ini benar-benar hujan bintang. Langit seperti kanvas hitam yang dilukis titik-titik dari kecil sampai besar dengan kerlip yang berbeda, seperti tak ada ruang kosong untuk kanvas itu tetap terlihat hitam. Nyaris penuh dengan bintang.
          Mulutku menganga saking takjubnya. Mungkin mataku juga telah berbinar-berbinar.  Hanya tawa kecil menandakan betapa aku terkesima dengan maha cipta sang Khalik. “I..ini...”
          “Ini belum seberapa Jingga, diperkirakan dua hari lagi akan ada hujan meteor, atau bisa disebut hujan bintang.” Mulutku menganga lagi tanpa sadar meremas lengan atas Hanjar entah sejak kapan aku meletakkan tanganku di sana. “Kamu senang?” Aku mengangguk penuh semangat. Hanjar tertawa aku pun mengikutinya.
          “Ah, aku bawa kamera. Sebentar aku ambil dulu.” Hanjar bergegas menghampiri tempat parkir. Sedangkan aku melangkah mendekati tepi laut yang pasang. Aku tersenyum-senyum sendiri. Entah mengapa rasa ngilu di dadaku membuat aku tak bisa menghilangkan senyum dari bibirku. Saat mendongakkan kepala ke atas, aku benar-benar tidak bisa menyembunyikan kebahagiaanku.
          Cekrek! Sebuah flash menyambar mataku. Dengan mata sedikiti menyipit aku memanyunkan bibirku. Hanjar selalu suka memotret seenaknya saja. “Lagi, lebih ke sana!” teriaknya. Jadilah aku model dadakan. Hanjar memotretku, begitu pun sebaliknya. “Sekarang kita berdua?”
          “Caranya?” Hanjar mengedarkan pandangannya. Sesaat ia melambaikan tangan pada seseorang yang ternyata seorang pelayan dari salah satu restoran. Setelah berbicara sebentar kemudian Hanjar menunjukkan kelima jemarinya. Menandakan ia minta pelayan itu memotret sebanyak lima kali.
          Hanjar langsung menggandeng tanganku. Dan kami terabadikan dalam potret. Sampai potret kelima Hanjar mengucapkan terima kasih. “Kita lihat-lihat yuk!” ia menarik tanganku duduk di pasir. Aku melongokkan kepala melihat ke kamera. “Ah, kamu selalu terlihat manis di kamera Jingga. Begitu natural.” Suara Hanjar terdengar lirih, seolah berbicara pada diri sendiri. Tapi dalam jarak sedekat ini aku bisa mendengarnya dan itu membuat wajahku merah.
          “Oh, apaan ini, harusnya kamu lihat ke depan, kenapa menunduk.” Protes Hanjar pada saat slide foto yang barusan diambil oleh pelayan. Wajahnya semakin merah. Bagaimana bisa aku bersikap biasa saja, disaat cowok ini menggandeng tanganku dalam beberapa pose. Aku malu. Iya terang saja begitu, terlebih jantungku jadi tak terkendali detaknya. Aku benci ini.
          “Oh! Habisnya aku malu dipoto sama orang lain.” Kilahku.
          “Tapi kita sering dipoto Rizki, Galih, Tasya,” Hanjar menyebut sederet adiknya dan adikku. Kalah telak. Memang disaat kebersamaanku dan Hanjar sering terekam dalam potret yang diambil adikku atau adiknya atas suruhan Hanjar.
          “Ah, itu beda.”
          Hening. Benar-benar hening. Hanjar tengah sibuk memerhatikan hasil jepretannya. Sedangkan dengan konyolnya aku memerhatikannya dari samping. Detail wajah oriental itu, rambut spike dengan model trend terembus angin laut. Kedua mata dengan bola mata hitam pekat ternaungi alis tebal, hidung mancungnya, bibir tipis yang kadang terlihat merah muda, dan senyumnya yang membuat aku tanpa sadar mengagumi. Ah, berapa kerennya temanku ini.
          “Kamu tahu Jingga, aku ingin mengambil gambar sunset di semua tempat yang indah, apalagi di gunung.” Ucapnya. “Lain kali kamu harus ikut denganku. Kamu akan terkagum-kagum lihat pemandangan super-super menakjubkan...” Hanjar terus bercerita tentang hobby nya yang naik gunung dan kegemarannya terhadap fotografer, kadang suaranya penuh semangat, berubah lagi penuh ketakjuban, antusias, semuanya bisa aku baca pada raut wajah Hanjar.
          Aku memang mendengarnya, selalu. Tapi aku tidak bisa berkata apa-apa. Diri cowok ini entah sejak kapan membuat aku terkagum-kagum. “Aku tidak mungkin menyukaimu kan, Njar.” Batinku sambil terus mendengarkan ceritanya. Dalam hati aku tersenyum kecut. Benar-benar konyol kalau aku sampai menyukainya. Degup jantung yang berdetak lebih cepat mungkin karena perlakuan Hanjar yang selalu di luar dugaanku. Lagi pula kenapa aku bisa menyukainya, ia saja bersikap begitu biasa padaku.
          Tapi lama-kelamaan jeritan dan sangkalan tentang perasaanku pada cowok di sampingku ini menorehkan perih yang tanpa kusadari ada. Mataku tiba-tiba saja memanas, genangan yang tidak kuhendaki ada pun mendesak ingin keluar.
          Jika benar aku menyukainya, tentu saja itu perasaan yang sepihak, dan tidak mungkin akan tersampaikan. Aku tahu persis bagaimana situasinya. Menyadari itu dadaku terasa sesak. Perasaan ini begitu menyebalkan. Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta. Saat berpura-pura tidak tertarik justru sakit yang terasa. “Ini nggak ada gunanya Jingga. Jangan bersikap konyol. Jangan menangis.” Jeritku dalam hati.
          Tapi aku benar-benar tak kuasa menahan genangan di pelupuk mataku. Berpura membenarkan kacamataku sambil mengusap sudut mataku yang mulai berair. Tapi terlambat. Mata Hanjar menangkap buliran bening dari mataku. Ia terkesiap.
          “Jingga, kamu baik-baik saja. Apa aku menceritakan sesuatu yang...”
          “Ahaha..” aku tertawa dalam kosa kata. “Tidak. Aku hanya iri saja sama kamu bisa pergi sesukamu, ke semua tempat yang kamu mau.” Bohongku.
          “Jingga jangan bohong.” Aku mengangguk cepat. Hanjar menatapku lekat-lekat. “Kamu tunggu di sini.” Beberapa menit kemudian Hanjar datang dengan dua gelas susu cokelat panas. Disodorkannya satu padaku. “Minum pelan-pelan akan membuat tubuhmu hangat.” Ucapnya. Aku tersenyum.
          Hening sesaat.
          Kami berdua pindah tempat ke sebuah kursi dan meja di salah satu warung yang sudah tutup. Jam terus berputar, sebelumnya Hanjar meminta persetujuanku untuk di sini lebih lama. Bila kemalaman, ia bisa menyewa tempat tidur untukku. Aku menyetujuinya. Lagi pula entah mengapa aku juga ingin di sini bersamanya.
          “Njar...”panggilku menarik kedua lututku sampai menempel.
          “Hmm.”
          “Kenapa kamu ngajak aku ke sini?” Hanjar tak langsung menjawab. Ia menatap langit yang penuh taburan bintang. Masih tak ada suara, seolah ia mencari jawaban atas pertanyaanku di atas sana. Aku tak mengusiknya. Karena aku tahu Hanjar juga sangat menyukai bintang sama sepertiku.
          “Bukankah ini yang selalu kamu inginkan, Jingga.” Aku terenyak. Sontak aku memutar otakku secepat kilat mengingat-ngingat. Ah, benar sekali aku pernah mengatakan padanya betapa indahnya melihat bintang-bintang dari tempat luas, seperti laut. Tapi itu hanya keinginanku yang semu, aku sendiri tak benat-benar menginginkannya bila tak bisa. Tapi cowok ini mewujudkannya, membawaku ke sini.
          Aku terkekeh tak percaya. Tak bisa berkata apa-apa lagi.
          “Hari semakin malam. Nih, pakai jaketku.” Tiba-tiba Hanjar melepaskan jaketnya dan memakainnya padaku. Lagi-lagi aku tak bisa menolak. Semua tindakannya seolah-olah menghinoptisku. “Kenapa kamu keluar dengan pakaian santai tanpa jaket sih,”
          “Bukannya kamu yang ngajak aku tanpa menyuruhku berganti pakaian?” sungutku. Hanjar nyengir membuat ngilu itu terasa kembali.
          Hening lagi. Kami berdua sama-sama menikmati susu cokelat panas. Aku semakin meringkukkan lututku. Ternyata benar, ini terasa dingin. Tapi cowok di sampingku ini terlihat biasa saja. Mata kami berdua menatap keindahan langit. Mungkin Hanjar tengah mencari rasi kesukaannya.
          “Indah yah,”
          “Selalu.” Jawabnya langsung. Aku tersenyum. Senyum yang entah apa maknanya, bahagia atau terluka. Berada di sampingnya aku mencoba menjabarkan semua perasaanku. Memikirkan hari-hari yang selama ini kulalui bersama Hanjar dalam pertemanan baik. Apa jadinya bila aku mengungkapnya? Mungkin tidak akan sama lagi. Bisa jadi ia akan menjauh. Ah itu tidak boleh terjadi. Aku sadar, dekat dengannya saja, seperti ini udah cukup bagiku. Tapi sampai kapan aku bisa menahan luapan perasaan ini.
          “Euumm...”
          “Kenapa?” Hanjar menatapku. Refleks aku menggigit bibir bawahku. “Ada yang mau kamu omongin?” tebaknya langsung.
          “Tidak.”
          “Tapi itu terlihat di matamu.”
          “Benarkah?” aku mengerjap dan Hanjar pun tertawa geli.
          “Kamu selalu percaya dengan apa yang aku katakan, Jingga?” tiba-tiba tangannya melayang mengusap puncak kepalaku. Tatapannya meredup, dan untuk kesekian kalinya aku seperti terkunci pada manik mata itu. “Sorry...” setelah mengatakan itu jemari Hanjar melepas kacamata mins yang aku pakai.
          “Ka...kamu...” aku membeku saat aku samar-samar melihat wajah cowok di depanku ini. Poniku yang panjang terembus angin sampai nyaris menyentuh mataku. Dengan halus Hanjar menyibaknya. “Please Njar, jangan perlakukan aku seperti ini. Semua sikapmu membuatku tak bisa untuk tidak menyukaimu. Jangan lakuka Njar” jeritku pedih.
          “Coba lihat ke langit,” pintanya. Aku menurut. Tapi yang kulihat bintangnya tak sebanyak seperti saat aku memakai kacamata.
          “Aku tidak bisa melihat bintang sebanyak yang semula Njar.” Kepalaku tertunduk. Tapi Hanjar malah tertawa.
          “Tak apa Jingga, matamu sebenarnya terlalu indah untuk memakai kacamata.”pujinya membuat rona di pipiku muncul. “Aku nggak boong yah, memang itu kenyataannya.”
          “Iya, makasih deh, pujiannya.” Tiba-tiba entah detik keberapa dengan gerakan cepat Hanjar menarik kepalaku dan menjatuhkannya di bahunya sendiri. Aku tidak bisa menolak juga tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Hanjar.
          “Terima kasih sudah mau jadi teman terbaikku Jingga, tetap seperti itu yah,” ucapnya setelah hening sesaat. Aku mengangguk dalam posisi kepalaku di bahunya. Jauh dalam hati aku menangis. Mungkin memang harus seperti ini. Aku tidak bisa menyampaikan perasaanku dan tidak akan aku menyampaikannya. Biarlah ini menjadi kisah yang tidak Hanjar tahu. Kisah yang hanya aku yang tahu, hanya milikku.
          “Berada di dekatmu seperti ini saja sudah cukup bagiku.”


End

08 Februari 2015

00.15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar