“Ayo,
kita lihat bintang malam ini!” seruan itu terdengar membuat fokusku pada buku
yang tengah kubaca buyar. Belum sempat menjawab, Hanjar sudah menarik tanganku.
Sorot mata yang selalu terlihat teduh itu membuat aku tak sanggup lebih lama
menatapnya dalam ketersimaan.
“Tapi...”
“Udah
ayok!” ajaknya. Refleks meletakkan buku di meja. Cowok yang kurang lebih lima
tahun menjadi temanku itu langsung menjalankan motornya.
Malam
ini aku dan Hanjar kembali membelah keramaian suasana kota saat malam hari. Ini
bukan kali pertama Hanjar bertandang ke rumah, entah sekadara main, ngobrol
atau keluar seperti sekarang.
Tapi
ini terasa berbeda, bukan hanya karena kedatangan Hanjar yang mendadak —tanpa
mengirim pesan dulu— juga keinginannya keluar melihat bintang.
Aku
terenyak begitu motor memasuki beberapa tikungan pendek, rumah-rumah mulai
mengecil, dan keramaian pun berkurang seiring motor terus melaju. Gelap-terang
gelap-terang, lampu-lampu di sepanjang jalan mulai tak teratur. Pada tikungan
berikutnya Hanjar menurunkan kecepatan. Aku mulai mengenali jalan ini beserta
tujuan Hanjar.
“Njar
kita ke laut malem-malem gini?” tanyaku langsung begitu motor memasuki pintu
masuk. Hanjar menoleh sebentar dan tersenyum. Setelah memarkirkan motor Hanjar
langsung menarik tanganku menuju tepi laut. Ini adalah salah satu tempat wisata
laut di kota kami. Memang lokasinya tidak terlalu besar, namun ke khasan pesona
lautnya begitu terasa. Ada beberapa restoran yang sudah tutup dan ada juga yang
buka 24jam karena memang tempat ini selalu ada pengunjung, entah untuk
memancing atau makan.
Aku
beberapa kali ke sini bersama keluarga dan teman-temanku, tapi bersama cowok ini
tentulah yang pertama.
“Kamu
nggak tahu ini udah jam berapa?” aku membetulkan letak kacamata minsku seraya
mengikat rambut panjangku. Ternyata angin laut saat malam terasa menyejukkan
juga.
“Delapan!”
Hanjar menunjukkan lima jari kanannya dan tiga jari kirinya sambil memasang
senyum dan itu sangat menggemaskan. Senyum yang kerap kali membuat degup
jantungku berantakan beberapa hari ini.
“Iya
tahu, trus kita ngapain malam-malam ke sini?”
“Kan
tadi di rumah kamu aku bilang, kita lihat bintang.”
“Liat
bintang nggak harus di sini kali Njar, di depan rumah juga bisa, atau di taman
deket rumah itu kan cukup buat kita lihat bintang sepuasnya, trus juga nggak
jauh-jauh a...”
Hap!
Telapak tangan Hanjar cepat menutup mulutku yang belum menyelesaikan kalimat
tadi. Ditariknya bahuku dengan tangan lainnya yang bebas, menyuruhku untuk
menatapnya. Aku terkunci dalam pekatnya sorot mata teduh itu. lalu dengan
gerakan pelan tangan yang tadi digunakan untuk membungkam mulutku terlepas dan
menunjuk ke atas. Aku mengikuti arah tangan itu terangkat.
Hanjar
menunjuk langit yang sumpah, sumpah, sumpah indah banget.
Ini
benar-benar hujan bintang. Langit seperti kanvas hitam yang dilukis titik-titik
dari kecil sampai besar dengan kerlip yang berbeda, seperti tak ada ruang
kosong untuk kanvas itu tetap terlihat hitam. Nyaris penuh dengan bintang.
Mulutku
menganga saking takjubnya. Mungkin mataku juga telah berbinar-berbinar. Hanya tawa kecil menandakan betapa aku
terkesima dengan maha cipta sang Khalik. “I..ini...”
“Ini
belum seberapa Jingga, diperkirakan dua hari lagi akan ada hujan meteor, atau
bisa disebut hujan bintang.” Mulutku menganga lagi tanpa sadar meremas lengan
atas Hanjar entah sejak kapan aku meletakkan tanganku di sana. “Kamu senang?”
Aku mengangguk penuh semangat. Hanjar tertawa aku pun mengikutinya.
“Ah,
aku bawa kamera. Sebentar aku ambil dulu.” Hanjar bergegas menghampiri tempat
parkir. Sedangkan aku melangkah mendekati tepi laut yang pasang. Aku
tersenyum-senyum sendiri. Entah mengapa rasa ngilu di dadaku membuat aku tak
bisa menghilangkan senyum dari bibirku. Saat mendongakkan kepala ke atas, aku
benar-benar tidak bisa menyembunyikan kebahagiaanku.
Cekrek!
Sebuah flash menyambar mataku. Dengan mata sedikiti menyipit aku memanyunkan
bibirku. Hanjar selalu suka memotret seenaknya saja. “Lagi, lebih ke sana!”
teriaknya. Jadilah aku model dadakan. Hanjar memotretku, begitu pun sebaliknya.
“Sekarang kita berdua?”
“Caranya?”
Hanjar mengedarkan pandangannya. Sesaat ia melambaikan tangan pada seseorang
yang ternyata seorang pelayan dari salah satu restoran. Setelah berbicara
sebentar kemudian Hanjar menunjukkan kelima jemarinya. Menandakan ia minta
pelayan itu memotret sebanyak lima kali.
Hanjar
langsung menggandeng tanganku. Dan kami terabadikan dalam potret. Sampai potret
kelima Hanjar mengucapkan terima kasih. “Kita lihat-lihat yuk!” ia menarik
tanganku duduk di pasir. Aku melongokkan kepala melihat ke kamera. “Ah, kamu
selalu terlihat manis di kamera Jingga. Begitu natural.” Suara Hanjar terdengar
lirih, seolah berbicara pada diri sendiri. Tapi dalam jarak sedekat ini aku
bisa mendengarnya dan itu membuat wajahku merah.
“Oh,
apaan ini, harusnya kamu lihat ke depan, kenapa menunduk.” Protes Hanjar pada
saat slide foto yang barusan diambil oleh pelayan. Wajahnya semakin merah.
Bagaimana bisa aku bersikap biasa saja, disaat cowok ini menggandeng tanganku
dalam beberapa pose. Aku malu. Iya terang saja begitu, terlebih jantungku jadi
tak terkendali detaknya. Aku benci ini.
“Oh!
Habisnya aku malu dipoto sama orang lain.” Kilahku.
“Tapi
kita sering dipoto Rizki, Galih, Tasya,” Hanjar menyebut sederet adiknya dan
adikku. Kalah telak. Memang disaat kebersamaanku dan Hanjar sering terekam
dalam potret yang diambil adikku atau adiknya atas suruhan Hanjar.
“Ah,
itu beda.”
Hening.
Benar-benar hening. Hanjar tengah sibuk memerhatikan hasil jepretannya.
Sedangkan dengan konyolnya aku memerhatikannya dari samping. Detail wajah
oriental itu, rambut spike dengan model trend terembus angin laut. Kedua mata
dengan bola mata hitam pekat ternaungi alis tebal, hidung mancungnya, bibir
tipis yang kadang terlihat merah muda, dan senyumnya yang membuat aku tanpa
sadar mengagumi. Ah, berapa kerennya temanku ini.
“Kamu
tahu Jingga, aku ingin mengambil gambar sunset di semua tempat yang indah,
apalagi di gunung.” Ucapnya. “Lain kali kamu harus ikut denganku. Kamu akan
terkagum-kagum lihat pemandangan super-super menakjubkan...” Hanjar terus
bercerita tentang hobby nya yang naik gunung dan kegemarannya terhadap
fotografer, kadang suaranya penuh semangat, berubah lagi penuh ketakjuban,
antusias, semuanya bisa aku baca pada raut wajah Hanjar.
Aku
memang mendengarnya, selalu. Tapi aku tidak bisa berkata apa-apa. Diri cowok
ini entah sejak kapan membuat aku terkagum-kagum. “Aku tidak mungkin menyukaimu kan, Njar.” Batinku sambil terus
mendengarkan ceritanya. Dalam hati aku tersenyum kecut. Benar-benar konyol kalau
aku sampai menyukainya. Degup jantung yang berdetak lebih cepat mungkin karena
perlakuan Hanjar yang selalu di luar dugaanku. Lagi pula kenapa aku bisa
menyukainya, ia saja bersikap begitu biasa padaku.
Tapi
lama-kelamaan jeritan dan sangkalan tentang perasaanku pada cowok di sampingku
ini menorehkan perih yang tanpa kusadari ada. Mataku tiba-tiba saja memanas,
genangan yang tidak kuhendaki ada pun mendesak ingin keluar.
Jika
benar aku menyukainya, tentu saja itu perasaan yang sepihak, dan tidak mungkin
akan tersampaikan. Aku tahu persis bagaimana situasinya. Menyadari itu dadaku
terasa sesak. Perasaan ini begitu menyebalkan. Apakah ini yang dinamakan jatuh
cinta. Saat berpura-pura tidak tertarik justru sakit yang terasa. “Ini nggak ada gunanya Jingga. Jangan
bersikap konyol. Jangan menangis.” Jeritku dalam hati.
Tapi
aku benar-benar tak kuasa menahan genangan di pelupuk mataku. Berpura membenarkan
kacamataku sambil mengusap sudut mataku yang mulai berair. Tapi terlambat. Mata
Hanjar menangkap buliran bening dari mataku. Ia terkesiap.
“Jingga,
kamu baik-baik saja. Apa aku menceritakan sesuatu yang...”
“Ahaha..”
aku tertawa dalam kosa kata. “Tidak. Aku hanya iri saja sama kamu bisa pergi
sesukamu, ke semua tempat yang kamu mau.” Bohongku.
“Jingga
jangan bohong.” Aku mengangguk cepat. Hanjar menatapku lekat-lekat. “Kamu
tunggu di sini.” Beberapa menit kemudian Hanjar datang dengan dua gelas susu
cokelat panas. Disodorkannya satu padaku. “Minum pelan-pelan akan membuat
tubuhmu hangat.” Ucapnya. Aku tersenyum.
Hening
sesaat.
Kami
berdua pindah tempat ke sebuah kursi dan meja di salah satu warung yang sudah
tutup. Jam terus berputar, sebelumnya Hanjar meminta persetujuanku untuk di
sini lebih lama. Bila kemalaman, ia bisa menyewa tempat tidur untukku. Aku
menyetujuinya. Lagi pula entah mengapa aku juga ingin di sini bersamanya.
“Njar...”panggilku
menarik kedua lututku sampai menempel.
“Hmm.”
“Kenapa
kamu ngajak aku ke sini?” Hanjar tak langsung menjawab. Ia menatap langit yang
penuh taburan bintang. Masih tak ada suara, seolah ia mencari jawaban atas
pertanyaanku di atas sana. Aku tak mengusiknya. Karena aku tahu Hanjar juga
sangat menyukai bintang sama sepertiku.
“Bukankah
ini yang selalu kamu inginkan, Jingga.” Aku terenyak. Sontak aku memutar otakku
secepat kilat mengingat-ngingat. Ah, benar sekali aku pernah mengatakan padanya
betapa indahnya melihat bintang-bintang dari tempat luas, seperti laut. Tapi
itu hanya keinginanku yang semu, aku sendiri tak benat-benar menginginkannya
bila tak bisa. Tapi cowok ini mewujudkannya, membawaku ke sini.
Aku
terkekeh tak percaya. Tak bisa berkata apa-apa lagi.
“Hari
semakin malam. Nih, pakai jaketku.” Tiba-tiba Hanjar melepaskan jaketnya dan
memakainnya padaku. Lagi-lagi aku tak bisa menolak. Semua tindakannya
seolah-olah menghinoptisku. “Kenapa kamu keluar dengan pakaian santai tanpa
jaket sih,”
“Bukannya
kamu yang ngajak aku tanpa menyuruhku berganti pakaian?” sungutku. Hanjar
nyengir membuat ngilu itu terasa kembali.
Hening
lagi. Kami berdua sama-sama menikmati susu cokelat panas. Aku semakin
meringkukkan lututku. Ternyata benar, ini terasa dingin. Tapi cowok di
sampingku ini terlihat biasa saja. Mata kami berdua menatap keindahan langit.
Mungkin Hanjar tengah mencari rasi kesukaannya.
“Indah
yah,”
“Selalu.”
Jawabnya langsung. Aku tersenyum. Senyum yang entah apa maknanya, bahagia atau
terluka. Berada di sampingnya aku mencoba menjabarkan semua perasaanku.
Memikirkan hari-hari yang selama ini kulalui bersama Hanjar dalam pertemanan
baik. Apa jadinya bila aku mengungkapnya? Mungkin tidak akan sama lagi. Bisa
jadi ia akan menjauh. Ah itu tidak boleh terjadi. Aku sadar, dekat dengannya
saja, seperti ini udah cukup bagiku. Tapi sampai kapan aku bisa menahan luapan
perasaan ini.
“Euumm...”
“Kenapa?”
Hanjar menatapku. Refleks aku menggigit bibir bawahku. “Ada yang mau kamu
omongin?” tebaknya langsung.
“Tidak.”
“Tapi
itu terlihat di matamu.”
“Benarkah?”
aku mengerjap dan Hanjar pun tertawa geli.
“Kamu
selalu percaya dengan apa yang aku katakan, Jingga?” tiba-tiba tangannya
melayang mengusap puncak kepalaku. Tatapannya meredup, dan untuk kesekian
kalinya aku seperti terkunci pada manik mata itu. “Sorry...” setelah mengatakan
itu jemari Hanjar melepas kacamata mins yang aku pakai.
“Ka...kamu...”
aku membeku saat aku samar-samar melihat wajah cowok di depanku ini. Poniku
yang panjang terembus angin sampai nyaris menyentuh mataku. Dengan halus Hanjar
menyibaknya. “Please Njar, jangan
perlakukan aku seperti ini. Semua sikapmu membuatku tak bisa untuk tidak
menyukaimu. Jangan lakuka Njar” jeritku pedih.
“Coba
lihat ke langit,” pintanya. Aku menurut. Tapi yang kulihat bintangnya tak
sebanyak seperti saat aku memakai kacamata.
“Aku
tidak bisa melihat bintang sebanyak yang semula Njar.” Kepalaku tertunduk. Tapi
Hanjar malah tertawa.
“Tak
apa Jingga, matamu sebenarnya terlalu indah untuk memakai kacamata.”pujinya
membuat rona di pipiku muncul. “Aku nggak boong yah, memang itu kenyataannya.”
“Iya,
makasih deh, pujiannya.” Tiba-tiba entah detik keberapa dengan gerakan cepat
Hanjar menarik kepalaku dan menjatuhkannya di bahunya sendiri. Aku tidak bisa
menolak juga tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Hanjar.
“Terima
kasih sudah mau jadi teman terbaikku Jingga, tetap seperti itu yah,” ucapnya
setelah hening sesaat. Aku mengangguk dalam posisi kepalaku di bahunya. Jauh
dalam hati aku menangis. Mungkin memang harus seperti ini. Aku tidak bisa
menyampaikan perasaanku dan tidak akan aku menyampaikannya. Biarlah ini menjadi
kisah yang tidak Hanjar tahu. Kisah yang hanya aku yang tahu, hanya milikku.
“Berada di dekatmu seperti ini saja sudah cukup bagiku.”
End
08 Februari 2015
00.15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar