Selasa, 26 Juli 2011

I am Not Prince


            Kamis, 16 Juni 2011
I am not Prince

Senja sore begitu indah, cahayanya bersembunyi di balik pepohonan di pinggir hutan. Raka menikmatinya sambil duduk bersandar di bawah pohon. Membiarkan kaki dan pingganngnya renggang. Kayu bakar di sampingnya sudah terkumpul lumayan banyak. Mata beningnya menatap langit yang berwarna keemasan itu.
            “Andaikan saja aku bisa seperti burung itu. Bisa terbang sebebas mungkin.” Desahnya pelan, melihat burung-burung terbang pulang ke sarangnya. Setelah dirasakan capeknya hilang ia pun kembali membawa kayu-kayu bakar itu di pundaknya yang kekar. Ia berjalan menyusuri jalan yang sukar, kakinya yang telanjang bulat tanpa alas kaki tidak takut terkena duri atau benda lain yang bisa melukainya. Karena ia sudah terbiasa tak beralaskan kaki, bahkan ia tak mempunyai sandal.
            Sampailah ia di sebuah gubuk tua di tengah hutan. Hanya satu-satunya gubuk yang berada di situ. Ibu Mila yang sedang menyapu sampah-sampah yang berserakan di depan rumahnya langsung menyambut putranya itu.
            “Raka, sekarang kamu mandi sana. Oh yah, mandinya di sungai itu yah. Soalnya sungai yang biasa kamu mandi terkena pencemaran dari kota.” Kata ibunya sambil menunjukkan arah sungai. Raka hanya mengangguk paham. Hampir seisi hutan ini ia tahu. Bukan air hangat yang ibunya sediakan, tetapi sebuah sungai untuk mandi. Bukan teh hangat yang ibunya sediakan untuknya yang pulang mencari kayu bakar, tetapi hanya daun-daun yang di racik dari hutan.
            Hari semakin sore. Setelah selesai mandi Raka makan yang telah ibunya sediakan di meja kecil yang sudah usang. Temboknya terbuat dari kayu-kayu keropos, sehingga tidak kuat untuk bersender. Sedangkan atapnya terbuat dari daun kelapa yang dikeringkan. Kehidupan yang sangat sederhana dibandingkan dengan rumah-rumah yang ada di pinggiran hutan sana. Sudah tersentuh kemewahan.
            Raka adalah anak satu-satunya Ibu Mila. Sedangkan ayahnya meninggal sejak ia masih dikandungan. Ibu Mila memilih tinggal di tengah hutan, dari pada di kota atau di desa sekalipun. Mungkin karena keterbatasannya.
            Ada satu hal yang ia tanamkan pada Raka. Yaitu jangan pernah berbohong. Sejak kecil ibunya selalu menasehati Raka untuk tidak berbohong. Dan kalau berbohong hidungnya berubah menjadi panjang, seperti yang dialami pinokio.
            “Ibu, memangnya kita ini turunan keluarga pinokio yah Bu, sehingga kalau aku berbohong hidungnya berubah jadi panjang.” Tanya Raka ketika ia masih kecil. Ibunya hanya tersenyum mendengar pertanyaan anaknya.
            “Berarti tubuh Raka juga terbuat dari kayu dong, Bu.” Belum puas rasa ingin tahunya.
            “Bukan begitu Raka, Raka adalah anak ibu. Tapi Raka tahu kan, pinokio hidungnya panjang karena ia sering berbohong. Apa kamu mau seperti pinokio?” Tanya ibunya. Seketika Raka langsung memegangi hidungnya disertai gelengan kepala. Ibu Mila langsung memeluk Raka. Hingga saat ini Raka tak pernah berbohong pada ibunya. Sekali berbohong ibunya langsung mengetahui gerak-gerik anaknya itu.
            Ribuan bintang mewarnai gelapnya langit malam. Di depan rumah, Raka membuat api unggun untuk menghangatkan tubuhnya. Kayu bakar yang ia cari setiap hari sangat membantunya dalam menghidupi ibu dan dirinya. Beberapa minggu sekali ibunya pergi ke desa atau kota untuk menukar beras dengan bahan-bahan yang ia cari bersama Raka di hutan.
            “Hei, kunang-kunang!” seru Raka melihat kunang-kunang berkumpul di salah satu pohon. “Apa kamu membawa kabar tentang kejadian-kejadian di kota hari ini?” tanyanya seakan menanyakan pada temannnya sendiri. Dulu ia mempunyai banyak teman ketika ia masih berada di desa kecil, namun teman-temannya mulai menghilang ketika ia memilih hidup di tengah hutan bersama ibu tercintanya. Dan kini ia hanya berteman dengan semua yang ada di hutan ini.
            Bersama api unggun yang terus menyala, Raka berbaring di dipan yang sudah usang. Matanya menikmati bintang-bintang di atas langit. Di matanya bintang-bintang itu seperti pasir yang bisa bersinar. Sangat banyak. Dan tak lama kemudian ia pun terlelap.
*
            “Raka, hari ini ibu mau ke desa. Kamu cari kayu bakar yah?” kata ibunya dengan kebaya yang kumal. Kebaya yang menurut ibunya paling bagus untuk di pakai ke desa. Raka memandang ibunya dari atas sampai bawah. Terpikir dibenaknya untuk membelikan ibu baju. Tapi dengan apa?
            “Iya bu,” jawab Raka. Yah, setiap hari Raka hanya mencari kayu bakar serta sayur-sayuran yang ia kelola bersama ibunya. Bagaimana ia bisa membelikan ibunya kebaya yang bagus.
            Ibu Mila berangkat dengan beberapa bawaan yang cukup banyak. Hingga baru saja ia melangkah, sayur-sayuran itu jatuh berserakan. Dengan cepat Raka berlari dan membantu ibunya membawa sayuran itu.
            “Biar Raka saja yang bawa yah bu. Raka antar sampai pinggir hutan, pulangnya Raka mencari kayu bakar.” Tutur Raka. Ibu Mila hanya menggangguk mengelus-elus kepala putranya itu.
            Setelah mengantar ibunya sampai pinggir hutan, yang langsung menuju ke arah desa sebelah. Raka kembali mencari kayu bakar. Ia tidak pernah mengeluh dengan kerjaannya ini. Toh ia menikmati semua yang di berikan oleh Tuhan. Yang terpenting bagi Raka, ia bersama ibundanya.
            Kicauan burung selalu menemaninya menelusuri hutan ini. Sesekali ia beristirahat di pinngir sungai untuk menghilangkan rasa lelahnya. Saat ia mengambil air di sungai, tiba-tiba terdengar sebuah teriakan. Mulanya Raka tak menghiraukan suara itu, tapi lama-kelamaan suara itu semakin keras.
            “Tolong! Tolong!” suara itu terus terdengar. Raka mengamati asal suara itu. “Tolong! Tolong!”
            “Suara siapa itu? Apa yang ia lakukan di hutan ini?” gumamnya heran. Tanpa pikir panjang lagi Raka langsung bergegas membawa kayu bakar itu dan mencari asal teriakan. Pendengarannya yang tajam itu menuntun langkahnya. Setelah dirasa suara itu semakin dekat, langkahnya terhenti seketika. Melihat dimana ia berada sekarang ini.
            “Raka, jangan pernah kamu memasuki wilayah itu. Keramat, Nak. Ibu nggak mau terjadi apa-apa sama kamu. Ingat pesan ibu yah, Raka.” Kata-kata ibunya terngiang di benaknya. Ia sekarang berada di wilayah terlarang dari hutan ini. Wilayah yang tak pernah di datangi oleh siapap pun. Langkahnya ingin berbalik, tapi suara itu…orang itu membutuhkan pertolangannya.
            Perlahan ia melangkah memasuki wilayah itu. Suara minta tolong itu kini berubah menjadi sebuah tangisan yang pilu. Hati Raka mulai berdebar-debar. “Tolong saya…” rintih suara itu.
            “Siapa itu?!” seru Raka.
            “Tolong saya…” Raka terus mencari asal suara itu. Tapi ia sama sekali tak melihat seorang pun.
            “Raka, ingat kalau kamu sudah melihat sebuah pohon yang besar dan menyeramkan, segeralah kamu pergi. Itu adalah pintu yang memasuki wilayah peyihir yang jahat di hutan ini.” Kata-kata ibunya kembali terngiang. Raka menelan ludahnya sendiri. Takut. Pohon itu beberapa langkah lagi di depannya.
            “Kamu dimana!” teriak Raka.
            “Aku di sini…” Raka mencari suara itu. Sedangkan ia sama sekali tak melihat siapa pun. “Aku di bawah pohon…”
            Deg! Bawah pohon. Pohon itukah? Gumamnya mulai ketakutan. Tapi tak ada orang.
            “Aku di bawah pohon sebelah kanan kamu…” suara itu kembali terdengar. Raka pun berbalik, tidak ada siapa-siapa. Tak ada manusia. “Aku di sini…” serunya lagi. Pandangan Raka langsung ke arah hewan kecil yang berwarna putih mulus itu. Matanya seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
            “Tolong aku…”
            “Kelinci bisa ngomong.” Raka terheran-heran. Dan belum hilang keheranannya, tiba-tiba sebuah jeritan yang menakutkan terdengar lagi. Raka bingung, suara itu sangat memekakkan telinga.
            “Itu suara penyihir!” kata Raka. kelinci itu meloncat-loncat di bawah kakinya. Raka yang saat itu masih kebingungan tak bisa berbuat apa-apa. Jeritan itu masih terdengar keras. Dengan segera Raka meraih kelinci itu dan memasukkannya pada karung yang ia bawa dari rumah.
            “Hei, mau dibawa kemana aku ini! Lepaskan!” teriak kelinci itu. Tapi Raka tak menghiraukannya. Ia mengambil kayu bakar itu dan langsung berlari meninggalkan tempat itu. Setelah ia jauh dari tempat terlarang itu, Raka berhenti, napasnya tersenggal-senggal. Perkataan ibu dan orang-orang benar. Tempat itu adalah tempat tinggalnya penyihir jahat. Di bagian tertentu bajunya robek terkena ranting pohon yang menghalanginya saat ia berlari.
            “Hei! Kau, lepaskan aku!” Raka teringat denga isi karung yang di bawanya, dengan pelan ia mengeluarkan kelinci itu. Kekagetannya dengan hewan kecil ini belum hilang. Meski ibu pernah bercerita kalau sudah banyak orang yang terkena sihir oleh penyihir itu. Tapi baru kali ini Raka melihatnya secara langsung.
            “Kau memasukkan aku ke dalam karungmu yang busuk itu! Bau tahu! Aku hamper mati nggak bisa bernapas.” Celoteh kelinci itu. Raka masih tak bereaksi apa-apa. “Kamu nggak tuli kan!” bentak kelinci itu lagi.
            “Siapa kamu?” Tanya Raka.
            “Aku Dinda, aku adalah…” kelinci itu tak melanjutkan kata-katanya. “Seorang putri.” Lanjutnya. Mendengar itu Raka tertawa. “Kanapa kamu tertawa.”
            “Mana ada putri seekor kelinci.”
            “Kamu nggak percaya? Aku ini bener-bener seorang putri.” Kata kelinci itu dengan suara ketus. “Penyihir itu yang telah membuat aku seperti ini.” Suaranya berubah menjadi parau. Raka mulai berhenti tertawa. Ia menatap kelinci itu kasihan. Entah  apa ia percaya atau tidak.
            “Apa yang kamu lakukan  di tempat ini?” Tanya Raka.
            Sesaat kelinci itu terdiam, tubuhnya yang kecil dengan bulu yang berwarna putih. Matanya bening seperti kelinci-kelinci yang lain. “Aku kabur dari rumah, aku marah sama ayah. Aku benci sama ayah, akhirnya aku pergi ke hutan ini. Aku sama sekali nggak tahu tentang hutan ini, tiba-tiba aku memasuki wilayah penyihir itu. Dan penyihir itu menyihir aku menjadi kelinci jelek ini.” Jelasnya disertai dengan umpatan.
            “Kau tidak boleh seperti itu, sekarang mau nggak mau kamu harus menerima keadaan kamu yang seperti ini.” Kata Raka tegas.
            “Aku nggak mau jadi kelinci. Aku mau tubuhku seperti semula. Dasar penyihir sialan!” kelinci itu marah. Raka tak berkata apa-apa. Ia sendiri merasa bingung. Raka bangun dari duduknya.
            “Hei, kau mau kemana!”
            “Pulang.” Jawab Raka datar.
            “Kau meninggalkan aku di sini sendirian.”
            “Terus.”
            “Kalau kau berani meninggalkan ku sendiri, kau akan tahu akibatnya. Kau belum siapa aku, siapa ayahku!” serunya.
            “Bilang saja sama ayah kamu sana, aku nggak takut.” Raka menantang. Tak ada jawaban lagi dari kelinci yang bernama Dinda itu. Raka berbalik hendak melangkah.
            “Tunggu…!” teriak kelinci itu. “Bawalah aku, aku mohon…” ucapnya memohon. Raka pun berbalik dan memasukkan kembali kelinci itu ke dalam karung. Kali ini kelinci itu tidak menolaknya atau pun marah.
            Sesampainya di rumah, Raka langsung menaruh kayu bakar itu di belakang rumahnya. Ia juga mengeluarkan kelenci itu. “Ini rumah kamu?” Tanya heran. Raka mengangguk pasti. “Ini sih bukan rumah, ini lebih pantas tempat tinggalnya bebek.” Umpatnya lagi. Raka tak menjawab, ia sudah bisa menebak bagaimana karakter kelinci satu ini. Raka berlalu meninggalkan kelinci itu sendiri. Dengan sombongnya kelinci itu hanya bertengger di bawahh pohon depan rumah Raka.
            Tak lama kemudian Raka datang dengan sayur-sayuran. “Nih kamu makan dulu.” Kata Raka.
            “Apa! Aku makan ini? Gila kamu, aku nggak mau. Aku ini manusia, bukan bintang. Aku nggak mau!” sungutnya.
            “Terus kamu mau makan apa. Aku adalah orang miskin, aku nggak punya makanan yang kamu minta. Kamu lihat, tubuh kamu itu seekor kelinci. Dan kelinci makan ini.” Kata Raka menunjukkan sayur-sayuran itu. Dinda tak menjawab. Ia bersikukuh tak mau makan. Tiba-tiba ibu Mila datang.
            “Raka, kelinci siapa itu?” Tanya ibu langsung. Raka gelagapan dibuatnya. Dinda sendiri berlagak seekor kelinci, ia menggigit-gigit sayur di depannya, meski ia tidak suka.
            “Itu kelinci…Raka dapat dari pinngir hutan,bu. Mungkin ada orang yang membuangnya.” Kata Raka bohong. Ia pun langsung memegangi hidungnya, apakah panjang atau tidak. Kalau berubah menjadi panjang berarti ia harus segara menyembunyikan hidungnya itu. Melihat gelagak Raka yang aneh, ibu Mila langsung mengetahui kalau anaknya berbohong.
            “Raka…ibu tahu kalau kamu bohong.” Raka menggaruk-garuk kepalanya yang tidakk gatal.
            “Hoek…! Ini nggak enak tahu!” akhirnya Dinda tak tahan memakan sayuran mentah itu. Mendengar itu ibu Mila kaget, ia langsung menghampiri kelinci itu dan memegangnya. “Jangan pegang aku wanita tua!” bentaknya kasar. Ibu Mila menarik lagi tangnnya. “Kalian semua benar-benar nggak bisa menjamu tamu yah? Aku ini seorang putri!” ujarnya. Mendengar itu Raka geram, di raihnya kelinci itu.       
            “Diam kau kelinci, kau tidak berhak menghina ibu ku. Kami memang orang yang nggak punya. Kalau kamu tidak mau tinggal di sini, pergilah.” Raka mulai emosi. “Aku nggak perduli mau kamu putri ataupun hanya rakyat jelata. Begitu angkuhnya kamu terhadap orang seperti kamu. Tapi satu hal yang harus  kamu tahu, sekarang ini kamu adalah seekor kelinci, hanya seekor kelinci.” Lanjutnya.
            “Sudah Raka, kasihan kelinci itu. Lepaskan, Nak.” Pinta ibunya. Raka pun melepaskannya lalu berlalu meninggalkan kelinci itu. Ibu Mila membawanya ke dalam rumah. Dinda yan di gendong Ibu Mila hanya terdiam, ke angkuhannya memang tidak pantas. Di letakkannya Dinda di atas meja kayu.
            “Maafkan saya Bu, sikap saya tidak sopan terhadap ibu sama anak ibu. Saya hanya tidak terima dengan keadaan saya ini. Saya benar-benar minta maaf, Bu.” Kata Dinda meminta maaf. Perempuan tua itu hanya tersenyum mengangguk, membelai tubuh halus Dinda.
            “Tidak apa-apa nak, ibu ngerti. Beginilah keadaan kami, tapi kami tidak pernah mengeluh ini itu, karena menurut kami inilah yanh Tuhan berikan. Ibu dan Raka hanya bisa bersyukur.” Tutur ibu Mila kalem. “Sekarang kamu ceritakan sama ibu, kenapa kamu bisa seperti ini.” Tanya ibu Mila. Lalu mengalirlah cerita dari mulut Dinda yang berubah menjdi seekor kelinci.
*
            Malam pun terasa dingin, seperti biasa Raka membuat api unggun di depan rumahnya sembari menikmati pemandangan indah di langit. Kekesalannya pada Dinda si kelinci sombong itu masih ada. Meski beberapa kali ibunya menasehati agar jangan bersikap seperti itu. Raka hanya tak ingin seseorang menghina ibunya, entah itu seorang putri ataupun sebagainya.
            Tiba-tiba hewan kecil itu melompat-lompat mendekati Raka yang terdiam menghangatkan tubuhnya. “Hei…aku mau minta maaf.” Katanya datar. Raka tak menjawab. “Kamu nggak beneran tuli kan, pemuda miskin.” Tuturnya. Raka dengan baju kumalnya bangkit dari duduknya.
            “Hei mau kemana!” seru Dinda.
            “Namaku Raka.”
            “Raka…please jangan pergi. Aku mohon…” suara Dinda melemah. Dengan kebesaran hatinya, Raka kembali duduk. Dinda mendekati pemuda tampan dengan pakaian kumal itu.
            “Raka, aku mau minta maaf sama kamu. Tidak seharusnya aku bersikap kasar seperti itu pada kamu dan ibumu.” Katanya pelan.
            “Iya nggak apa-apa, aku sudah memaafkan kamu. Aku cuma nggak suka kamu menghina ibuku, kau boleh menghina aku semau kamu, tapi jangan ibuku.” Kata Raka sembari merapikan api unggun itu agar tetap menyala.
            “Terima kasih yah, Ka.” Sekian detik tidak ada pembicaraan lagi. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Mata bening kelinci itu bersinar, lalu mengalirlah air matanya. “Aku kangen sama ayah…” rintih Dinda.
            “Raka aku mohon bantu aku menemui ayah, aku mau minta maaf sama ayahku.” Pintanya pada Raka.
            “Tenanglah, esok kita akan menemui ayah kamu. Aku janji.” Kata Raka yakin. Niat untuk membantu Dinda muncul begitu saja. Ia juga merasakan bagaimana rasanya di posisi Dinda seperti sekarang ini. Malam itu Raka dan kelinci cantik itu menikmati malam  bersama dengan api unggun kecil yang menghangatkan tubuh mereka.
*
            Keesokan harinya, Raka pun pamit pada ibunya untuk mengantar Dinda menemui ayahnya ke kota. Dan pagi-pagi sekali Raka sudah berangkat, menempatkan kelinci itu yang tak lain adalah Dinda ke dalam kandang kecil yang terbuat dari kayu. Perjalanan dari rumah gubuknya sampai ke kota membutuhkan setengah hari. Rupanya rumah Dinda cukup jauh dari perkiraannya. Raka hanya berjalan kaki, ia tak mempunyai uang untuk  menaiki kendaraan sampai ke rumah Dinda.
            Dinda yang berada di kandang beberapa kali menangis, rasa takut akan ayah tak mempercayai bahwasanya anaknya kini telah berubah menjadi seekor kelinci. Putri satu-satunya menjadi binatang yang bisa saja di santap.
            “Raka aku takut ayah tidak mau menerima keadaanku yang seperti ini?” kata Dinda pelan ketika mereka setengah perjalanan lagi menuju rumah Dinda.
            “Tenanglah, hati ayah tidak mungkin sejahat itu. Beliau akan menerima kamu apa adanya.” Raka berusaha menenangkan perasaan Dinda.
            Mereka terus berjalan, tidak perduli mentari sudah berada di atas kepala. Membuat tubuh Raka berkeringat. Beberapa orang menatapnya aneh dengan bajunya yang compang-camping dan juga kumal. Raka tak perduli, yang terpenting ia harus mempertemukan Dinda dengan keluarganya.
            Dari perjalanannya yang jauh itu, sampailah ia di sebuah rumah besar layaknya istana. Raka yang baru kali ini ke kota besar hanya melongo melihat betapa megahnya bangunan yang ada di depannya ini.
            “Raka ayo cepat masuk, aku ingin segera bertemu dengan Ayah.” Kata Dinda. Raka pun memasuki pelataran bangunan itu yang tertata rapi. Penjagaan sana-sini ketat, saat memasuki gerbang yang memasuki istana itu Raka tak di perbolehkan masuk.
            “Mau apa kau ini gembel!” bentak seorang penjaga. Raka tak bisa berkata apa-apa. Penjaga lainnya menarik badannya, merampas kandang kayu dari tangannya. Tapi dengan segera ia membuka pintu kandang itu sehingga Dinda langsung melompat dan memasuki istana yang megah itu. Sedangkan Raka di serat ke ruang tahanan.
            Di depan ayahnya, Dinda langsung melompat ke meja, menghadap ayahnya. Ayahnya yang saat itu sedang duduk santai kaget melihat seekor kelinci datang tiba-tiba. “Ayah…ini Dinda ayah…” katanya lirih. Sang ayah kaget setengah mati.
            “Apa?! Kamu Dinda!”
            “Iya ayah, ini putri ayah… Dinda minta maaf sama ayah. Karena Dinda sudah kurang ajar sama ayah. Maafin Dinda ayah…” Dinda pun menangis. Sang Ayah langsung memeluk kelinci itu, membelai tubuhnya yang lembut. Ia dapat merasakan kalau kelinci ini benar-benar putrinya.
            “Kenapa kau bisa seperti ini sayang…”
            “Penyihir hutan yang membuat Dinda seperti Yah… ayah Dinda mohon lepaskan Raka dari ruang tahanan, pemuda itu yang menyelamatkan Dinda Yah,” setelah berkata seperti itu sang ayah pun langsung menyuruh pengawal-pengawalnya melepaskan Raka dari ruang tahanan. Di panggillah Raka mengahadap ayah Dinda.
            Kata terima kasih terlontar dari mulut seorang yang disegani oleh semua orang di kota ini. Raka hanya menunduk malu. Ia sangat malu berhadapan dengan orang besar seperti ini. Siapa aku? Hanya pemuda miskin. Bukan seorang pangeran yang gagah. Gumamnya dalam hati.
            “Nak, maukah kau menikah dengan putri saya. Saya tahu sekarang ini putri saya telah menjadi seekor kelinci. Tapi saya yakin kamu dapat merubah dia lebih baik lagi dari sebelumnya.” Pinta raja itu.
            “Suatu kehormatan bagi saya, Tuan.” Kata Raka tunduk di sertai dengan anggukan kepala. Kemudian raja menyuruh Raka menemui Dinda yang berada di kamarnya. Penampilan Raka yang kumal tidak lagi jadi masalah bagi penghuni istana ini yang melihatnya.
            Di lihatnya kelinci itu di ranjangnya yang empuk. Tempat tidur yang tidak pernah ada di rumahnya. Tidak pernah ia rasakan. Raka menghampiri Dinda yang terlelap tidur. Raka tak berani untuk membangunkannya. Ia pun bersimpuh di dekat ranjang Dinda.
            “Demi Tuhan…aku akan mencintaimu dengan keadaan apa pun.” Setelah mengatakan seperti itu Raka pun mencium kening kelinci itu. Kemudian Raka bergegas keluar kamar di dampingi beberapa dayang.
            Ketika Raka sampai di pintu depan, seseorang memanggilnya. Suara yang sering ia dengar. “Raka…! Raka tunggu…!” Raka pun berbalik. Di lihatnya seorang gadis cantik menghampirinya dan langsung memeluk Raka.
            “Cinta tulusmu mengembalikan aku seperti semula. Aku Dinda, Raka…” katanya dengan bahagia. Raka pun memeluk gadis cantik itu. Dari belakang Raja berdiri tersenyum bahagia melihat anaknya telah kembali. Pemuda miskin itu benar-benar jodoh putrinya. Hanya seorang pemuda miskin. Bukan seorang pangeran.
            Akhirnya Raka menikah dengan Dinda. Mereka hidup bahagia, tinggal di istana yang mewah. Sedangkan rumah kecil di tengah itu di jadikan sebuah tempat terindah untuk Dinda dan Raka dan juga tempat peliharaan kelinci-kelinci cantik.

Tamat
Jumat, 17 Juni 2011

Senin, 25 Juli 2011

Tunggu Aku di Senja Sore Itu

Minggu, 06 Maret 2011

    Suara berisik anak-anak tak lagi aku dengar. Aku masih di tempat, duduk dengan wajah yang kubenamkan pada meja dan tas sebagai bantal. Begitu terbangun ternyata kelas sudah sepi. Kulirik jam dipergelangan tanganku, menunjukkan pukul 11 siang, belum waktunya pulang. Tapi, dimana teman-temanku. Apakah mereka ke Lab untuk praktik Biologi, dan meninggalkanku yang tertidur pulas di kelas. Dengan kebingungan yang masih menyelimuti, aku segera keluar kelas.
    Sepi, sekolah begitu sepi. Semuanya masuk kelas masing-masing, lalu aku berlari ke lantai atas, tempat lab Biologi berada. Perlahan kubuka pintunya, kosong. Kemana mereka?
    “Aku udah bangun, aku nggak mimpi…”aku memegang kedua pipiku, dan duduk di kursi depan taman sekolah. Ini juga salahku, tidur tidak kenal waktu.
    “Kelas Ipa 2 lagi observasi.” Kudengar dua orang siswa berbicara tak jauh dari tempatku duduk. Kelasku observasi? Oh, aku lupa hari ini ada observasi mata pelajaran Biologi. Aku terlambat, aku bodoh karena semalam tidur di rumah Vani dan tidak bisa tidur karena ternyata di rumah sepupuku itu si monster kecil Afra dan Affan sedang melakukan permainan perang-perangan. Akhirnya aku dan Vani jadi bulan-bulanan mereka. Aku mengutuk diriku sendiri.
    “Hei!” seruku berusaha memanggil mereka. Tapi mereka malah pergi begitu saja, seakan tak mendengar panggilanku atau mereka berpura-pura tak mendengarnya. “Dipanggil malah diem.” Sungutku lalu bangun dan pergi. Sepertinya hari ini aku akan bolos lagi. Lagian percuma aku di sini. Observasinya masih lama, aku tidak mungkin nunggu mereka sampai sore. Bisa jamuran.
    Mentari menatap tajam, mengawasi langkahku. Pohon-pohon di jalan seakan tak menghiraukan keberadaanku. Mereka seakan berbisik satu sama lain, membicarakan kemana aku akan pulang. Yah, mereka sangat tahu apa yang aku fikirkan. Aku bingung mau pulang kemana? Mana mungkin aku pulang ke rumah, bisa-bisa Papa dan Mama marah karena semalam aku pergi tidak bilang-bilang.
    Langkah kakiku ku belokkan ke arah yang berlawanan dengan rumahku. Kemana lagi tujuanku, kalau tidak ke danau tempat biasa aku sendiri. Di sana aku duduk di jembatan kecil dengan sesekali memainkan air danau yang berkilau-kilau karena pantulan sinar mentari. Papa, Mama, kembali bayangan mereka hadir dalam benakku. Mengusikku, mengingatkan tentang semua masalah yang terjadi dan mewarnai keluargaku. Dari semua itu terangkai satu kata yang mampu membuatku miris, yaitu ‘berantakan’ lalu berkembang menjadi sebuah istilah untuk keluargaku, bahkan aku sendiri sering menyebutnya dan menjadi sebuah istilah yang membuatku merasa kesal, marah, benci dan sebagainya yaitu ‘broken home’.
    Aku punya keinginan, suatu hari nanti Papa dan Mama berhenti bertengkar, kembali seperti dulu dan menganggapku sebagai anak yang manis bagi mereka. Memperdulikan lagi tentang semua nilai raportku yang tinggi seperti dua tahun yang lalu. Namun, sepertinya itu tak kan pernah kembali, jalan fikiran Mama dan Papa bertolak belakang sangat jauh.
    Satu jam berlalu. Aku niatkan hatiku untuk pulang ke rumah, tak peduli nantinya Papa dan Mama ngomong apa. Ujung-ujungnya mereka pasti kembali ketopik permasalahan yang mereka perdebatkan yaitu tentang dimana kuliahku setelah lulus nanti. Seperti yang aku katakan tadi, jalan fikiran Papa dan Mama selalu berbeda, yang satu menginginkan ke luar negeri yang satu lagi ingin tetap di sini. Sedangkan aku, masa bodoh dengan yang mereka perdebatkan. Aku sudah capek mendengar pertengkaran mereka yang terjadi setiap hari.
    Sampai di depan rumah aku ragu untuk masuk. Di depan jendela aku mendengar Papa dan Mama bertengkar lagi. Aku menghela nafas panjang lalu ke pintu belakang. Keberuntungan masih memihakku, Bi Minah yang biasa di dapur kini tidak ada. Kesempatanku untuk masuk tanpa diketahui orang rumah. Aku langsung masuk dan menuju kamar.
    Kurebahkan tubuhku ke temapt tidur,membiarkan pikiranku tour ke semua tempat terindah dalam dunia hayalku. Tapi ada sesuatu yang mengganjal dihatiku. Aku merasakan ada sesuatu yang aku lupa, sesuatu yang aku lewatkan. Tapi aku tak tahu apa itu. I can’t think anything.
*
    Aku berada di sebuah tempat tidak aku tahui, tempat tidak pernah terlintas dalam benakku, tempat yang tidak ada di dunia hayalku. Tempat yang bisa memperlihatkan semua keinginanku, semua impianku, dan semua cita-citaku. Tempat yang lalu aku beri nama, tempat impian. Aku tidak bisa menceritakan dan menggambarkan apa-apa yang ada di hadapanku, sedari tadi aku takjub tak bergeming melihat sebuah adegan seperti dalam sinetron. Dan perannya adalah aku, semua orang disekitarku. Ini adalah sebuah film yang membahas tentang semua impian dalam hidupku.
    Papa dan Mama saling berpelukan dan tersenyum manis pada seorang gadis cantik yaitu aku, yang saat itu berada di Bandara. Di sebelah kanan dari penglihatanku, teman-temanku juga tersenyum padaku, mereka memelukku, dan tak ada lagi orang yang mengatakan aku adalah anak broken home. Dan sebelah kiri dari penglihatanku, disana ada Bintang_kekasihku_ duduk menunggu di sebuah taman dengan sebuah mawar merah dalam genggamannya, dia sendiri, apakah dia sedang menungguku. Dari arah lain, akupun datang dengan gaun putih selutut. Aku menghampiri Bintang dan duduk di sampingnya. Terdiam, dan tersenyum tidak mengeluarkan sepatah katapun. Itu yang aku lakukan pada saat itu.
    Karena penasaran aku mulai mendekati gambaran aku dan Bintang. Samar-samar aku dengar pembicaraan Bintang dan_aku_
    “Bulan…” lirih Bintang pelan lalu menyerahkan mawar itu kepadaku. Aku tersenyum menerimanya. Pandangan Bintang kembali di lemparkan ke sisi lain. “Aku sangat menyayangimu.” Katanya. Dan lagi aku hanya tersenyum, aku tak mengerti dengan sikapku yang berada di bayangan itu.
    “Aku tulus menyayangimu setulus bulan yang berbagi cahaya indahnya di dunia ini. Dan lihatlah, itu adalah aku dan kamu.” Aku menunjuk ke atas. Perlahan bias warna biru langit berubah menjadi gelap. Seketika sore berganti malam. Aku tertegun dengan semua yang terjadi, bayangan yang semula sore dengan cepat berubah malam. Dan masih dengan tersenyum, aku yang berada di bayangan itu bersandar di bahu Bintang.
    “Bulan…” Bintang seakan kehabisan kata-katanya. Ia sendiri menikmati suasana damai ini bersamaku.
    “Aku akan pergi jauh dari kamu Bintang, tapi kamu dapat lihat aku saat malam ketika bulan bersinar terang. Seperti sekarang ini. Ingat aku selalu yah Bintang.” Aku mulai bangun dari duduknya. Aku yang mendengarnya kontan kaget.
    “Bulan, cabut omongan kamu. Kamu nggak mungkin ninggalin Bintang. Nggak ini bukan yang aku mau, ini bukan impianku!” teriakku tak jelas. Dengan tergesa-gesa aku langsung menghampiri bayangan itu. Berusaha untuk menghilangkan bayangan yang bukan impianku. Tapi tiba-tiba saja bayangan itu lenyap entah kemana.
    “Tidak!!!” teriakku. Aku terbangun, nafasku tersenggal-senggal. Hanya mimpi. Aku tertidur di kasur masih dengan seragam sekolah. Entah kenapa, aku mudah sekali tertidur. Kembali kulirik jam di tanganku. Pukul 16.00. sudah sore, selama itukah aku tidur.
    Aku turun dari tempat tidur, membuka jendela kamar, menghirup udara dalam-dalam. “Hanya mimpi Bulan…” aku meyakinkan hatiku lagi tentang semua mimpi itu. Tiba-tiba terdengar suara Bi Minah yang berbicara sendiri di depan pintu kamarku.
    “Aduh, ini teh gimana? Non Bulan belum datang, bisa-bisa den Bintang marah, karena suratnya nggak saya kasih, aduh gimana yah?” bi Minah dengan mondar-mandir memegang sebuah surat ditangannya. “Mending saya taruh di depan pintu kamar non Bulan aja, biar kalau non Bulan pulang langsung baca suratnya. Iya, seperti ini.” Bi Minah tersenyum sendiri dengan idenya yang cemerlang, lalu ia menaruh surat itu di depan kamarku. Kemudian bi Minah kembali ke dapur.
    Dengan segara aku membuka pintu setelah memastikan kalau bi Minah benar-benar telah pergi. Perlahan aku buka surat yang di tulis Bintang untuknya. Di sana Bintang menulis pesan, untuk ketemu di taman sore ini. Aku tersenyum membacanya. Meski dengan back street sama Papa dan Mama, aku tak peduli. Aku hanya ingin menikmati hak ku mencintai dan dicintai.
    Tanpa pikir panjang aku langsung berhambur keluar. Sampai di ruang tamu, Papa dan Mama masih berseteru kali ini dengan masalah yang berbeda. Mereka menyalahkan satu sama lain.
    “Saya sudah bilang, jaga Bulan jangan biarkan dia kabur gitu. Ini salah kamu, Bulan jadi nggak pulang. Bahkan di sekolah Bulan nggak ada.” Kata Papa dengan amarah yang meluap-luap.
    “Apa! kamu nyalahin saya, siapa yang membuat semua ini berantakan. Kamu kan? Bulan sedih dan marah liat kamu pergi dengan wanita lain.” Balas Mama tak mau kalah.
    “Alah, kamu ini bisanya menyalahkan kesalahan kepada saya. Sekarang saya nggak mau tahu, kita harus cari Bulan sampai ketemu. Atau nggak saya yang akan buat perhitungan sama kamu.” Papa semakin emosi. Aku langsung berlari ke pintu belakang, mereka mengkhawatirkanku, tapi mereka tidak bisa mengatasinya dengan kepala dingin, dengan mencari bersama-sama tanpa bertengkar. Aku tak peduli lagi dengan Papa dan Mama, bahkan mereka ribut dulu untuk mencariku.
    Aku terus berjalan menuju taman tempat dimana Bintang menunggu. Pasti dia sudah menunggu sedari tadi. Masih dengan seragam sekolah aku berjalan di jalanan yang lengang di bawah sinar keemasan dari langit. Hari semakin sore. Jarak antara rumah dan taman cukup jauh membuat aku harus mempercepat langkahku, aku tak mau Bintang lama menunggu kedatanganku. Aku tak membawa uang untuk naik kendaraan, ponselku di dalam tas, aku tak bisa menghubungi Bintang untuk memberitahukan aku datang terlambat.
    Sampai di taman aku langsung mencari Bintang, mengitari taman. Hingga aku temukan Bintang duduk sendiri dengan bunga mawar di genggamannya seperti dalam mimpiku tadi. Beberapa meter lagi aku ke tempatnya, tepat di belakang Bintang. Sebelum aku menepuk bahunya tiba-tiba saja ponsel Bintang berbunyi, dengan wajah cemas Bintang langsung mengangkatnya. Aku yang di belakangnya hanya mendengarkan.
    “Apa!?” Bintang kaget. Aku tak bisa mendengar percakapan mereka. Yang aku lihat Bintang begitu kaget mendengar perkataan di saluran sana.
    “Nggak mungkin, kamu bohong. Nggak mungkin Bulan kecelakaan!” seru Bintang tak percaya. Aku tertegun mendengar ucapan Bintang. Kecelakaan? Aku?
    “Nggak mungkin Bulan ninggalin aku, nggak mungkin!” lalu Bintang langsung menutup telpon,ia terduduk lemas dikursi. Air matanya mulai menetes. Sedangakan aku tak bisa berkata apa-apa.
    “Nggak mungkin Bulan kecelakaan, nggak mungkin dia meninggal.” Isaknya, mawar dalam genggamannya jatuh ke tanah. Aku segera menghampirinya.
    “Bintang, kamu jangan percaya, aku ada di sini aku nggak mungkin ninggalin kamu?” kataku di depan Bintang. Tapi ia diam saja. Aku bingung, Bintang seakan tak melihatku. “Bintang, ini aku! Bintang aku nggak pergi, aku ada di sini Bintang!” kataku berusaha membuat Bintang melihat ke arahku.
    “Bulan, aku nunggu kamu…” desahnya.
    “Bintang, ini aku!” aku berusaha meraih tangan Bintang. Tapi, aku tak bisa menyentuhnya. Aku coba lagi meraih tangan bintang, tetap sama. Aku tak bisa menyentuh Bintang. “Kenapa ini..kenapa ini!” aku mulai hilang kendali.
    “Bintang, aku nggak meninggal. Aku ada di sini, aku di depan kamu Bintang!” aku terus berusaha membuat Bintang menyadari keberadaabku. Air mataku mulai mengalir. “Ini nggak mungkin.”
    Bintang bangun dari duduknya dan berlalu pergi meninggalkan taman dan bunga mawar itu. “Bintang! Kamu nggak boleh pergi. Ini aku…” aku duduk di kursi dan hendak mengambil mawar itu. Tapi aku tetap saja tak bisa menyentuh mawar itu. “Tuhan…aku nggak mungkin…”aku tak bisa berkata-kata lagi. Aku teringat tentang buku-buku dari luar negeri yang mengungkapkan sebuah reinkarnasi. Aku bingung, aku mengingat semua kejadian tadi pagi. Yang aku ingat hanya tertidur di kelas, selanjutnya…ah aku tak ingat. Aku merangkul kedua lututku, menunpahkan semua tangisku. Aku benar-benar tak percaya, kalau aku benar-benar telah tiada.
*
    Pagi itu aku dengan tergesa-gesa berangkat sekolah. Semalam benar-benar tidak bisa tidur, karena di rumah Vani sangat ribut dengan adanya Afra dan Affan. Di jalan begitu sepi, dengan sabar aku menunggu angkot yang datang. Sayangnya angkot yang aku tunggu berada di seberang yang berlawanan dari tempat aku berdiri. Dengan langkah yang dipercepat aku langsung menyebrang dan memasuki angkot tersebut.
    Fiuh…asap rokok dari seorang laki-laki yang duduk di depan pintu langsung menyambutku. Aku terbatuk-batuk di buatnya. Segera kucari tempat yang paling pojok. Seharusnya ada peraturan di larang merokok di dalam angkot.
    Beberapa menit angkot melaju dengan kecepatan yang tinggi. Sesekali para penumpang berdesakan karena rem yang di tarik secara mendadak. Namun itu semua tak berjalan mulus, tepat di tikungan. Angkot kehilangan kendali, remnya tidak berfungsi baik, akibatnya dari arah yang berlawanan sebuah mobil truk melintas juga dengan kecepatan tinggi. Supir kalut, akhirnya angkot menabrak pembatas jalan yang masuk ke sungai yang curam.
    Teriakan para penumpang terdengar nyaring memekakkan telinga. Dalam sekejap tubuh-tubuh itu bercucuran darah. Dalam kecelakaan itu, tak ada yang selamat termasuk aku_Bulan_ tak ada yang mengetahui kecelakaan itu. Dua jam kemudian para penduduk serta tim SAR mencari mayat-mayat yang hanyut, serta mengevakuasi korban jiwa.
    Jasad aku sendiri sulit di evakuasi, karena terjepit pada bagian mobil, yang membuat Tim SAR hati-hati mengambil jasadku. Di mobil angkot itu hanya aku sendiri yang siswa pelajar. Sore pukul  17.15 baru tim SAR bisa mengangkat jasadku dan memberitahukan pada semua keluargaku tentang kabar buruk ini.

    Catatan : tempat impian yang menggambarkan impianku itu benar. Papa dan Mama kembali damai.
TAMAT
Minggu, 06 Maret 2011

   
Senin, 06 Juni 2011
Amel si Bidadari Kecil

    Berlari-lari di siang hari bersama teman-teman sangatlah menyenangkan. Begitu pun dengan yang dirasakan Amel, Nemi, Bella dan Bayu. Bercanda di bawah pohon yang rindang di belakang rumah Nemi. Mereka adalah anak-anak yang masih duduk di kelas 6 SD.
    “Bell, kamu nggak bisa seperti itu. Ini adalah permainan yang menuntut seseotang untuk bersikap jujur.” Tutur Nemi tak suka dengan sikap Bella yang masih menyembunyikan kertas yang berisi cita-citanya itu. Bella tertunduk memandang wajah teman-temannya.
    Mereka sedang menuliskan impian dan cita-cita mereka di sebuah kertas, berharap suatu saat nanti impian dan cita-cita itu terwujud. Bella ingin menjadi model, karena ia mempunyai postur tubuh yang bagus. Bayu ingin menjadi seorang komikus, karena ia maniak dengan komik. Komik apa pun ia suka. Koleksi di rumahnya sudah tak terhitung.
    Sedangkan Nemi dan Amel belum menunjukkan impian dan cita-cita mereka. Nemi beberpa kali menelen ludahnya, takut di tertawakan oleh teman-temannya. Amel sendiri masih ragu dengan apa yang ditulisnya di kertas bergambar wenny the poo.
    “Sini kertasnya, biar aku yang baca.” Bella meraih kertas itu dari tangan Nemi. Matanya membulat melihat tulisan Nemi. “Ingin jadi istri yang baik buat Kian.” Ujarnya. Kontan Bella dan Bayu tertawa membuat Nemi semakin menundukan kepalanya. Menyembunyikan wajahnya yang oval, dan lesung pipinya semakin terlihat.
    “Nemi suka yah sama Kian…” timpal Bayu menyenggol lengan Nemi yang tersipu malu.
    “Nemi punya cinta monyet dong…” sela Bella.
    “Nggak ada salahnya kan aku punya impian seperti itu. Toh kata mama impian apa pun yang kita inginkan, berusahalah untuk meraihnya.” Terang Nemi. Yang lain mengangguk menyetujui perkataan Nemi. Bukankah impian apa pun seseorang itu adalah wajar. Begitu pun dengan impian Nemi yang ingi menjadi istri yang baik untul Kian.
    Di saat yang lain sedang asyik tertawa, Amel semakin menyembunyikan kertas itu. Bahkan kini kertas itu di remasnya. Mata lincah Bayu langsung menangkap pada kertas Amel yang di sembunyikan di belakang tubuhnya.
    “Sekarang giliran kamu, Mel.” Kata Bayu meminta kertas itu. Tapi Amel menggeleng. “Ayolah Mel, kasih ke aku.” Lanjutnya. Amel tetap menggeleng. Ia benar-benar tak ingin menunjukkan impiannya itu, bahkan untuk menunjukkannya pada Bayu pun tak mau. Memang, Bayu adalah salah satu orang yang sangat dekat dengan Amel.
    “Kamu gimana sih Mel, tadi kamu sudah menyetujui permainan ini. Terus apa salahnya sih kamu menunjukkan apa yang kamu tulis.” Lagi-lagi Bella kesal, wajah cantiknya di tekuk. Tapi itu tak mengurangi kecantikannya.
    “Jangan, aku malu…” lirihnya.
    “Aku nggak mau tahu, kamu harus menunjukkannya pada kita semua.” Pinta Bella memaksa. Akhirnya Bayu dapat mengambilnya dari tangan Amel, membuka dengan perlahan, Karena kertas itu kusut diremas Amel.
    “Sini biar aku aja!” Bella pun meraih kertas itu. Matanya serius membaca tulisan Amel, bibirnya yang merah muda dan tipis tersenyum, dan kini tertawa. Nemi dan Bayu melongo. Tak tahu apa yang di tertawakan Bella.
    “Hahaha…kamu nggak akan pernah jadi seperti itu. Mel…Mel…punya impian tuh yang agak pas dong sama kamu.” Kata Bella, Amel menunduk.
    “Emang apaan sih yang di tulis Amel.” Nemi pun meraih kertas itu dan kemudian tertawa juga.
    “Si gendut kayak kamu nggak mungkin jadi bidadari cantik seperti yang ada di negeri dongeng. Bahkan bidadari dalam cerita rakyat Jaka Tarub pun itu nggak sesuai dengan kamu. Yang pantas jadi bidadari itu aku, aku kan cantik.” Bella memuji dirinya sendiri. Kini kertas itu berada di tangan Bayu. Bayu memandang ke arah Amel, tentu saja tanpa tertawa. Ia mengerti apa yang dirasakan Amel teman sejak kecilnya itu.
    Memang Amel mempunyai postur tubuh yang subur, tapi bagi Bayu itu tidak termasuk ke dalam postur tubuh yang gendut. Hanya saja cubby. Bukannya cubby itu manis? Gumam Bayu.
    “Eh Bell, kamu baca nggak bagian terakhir yang di tulis Amel.” Tanya Nemi. Bella mengangguk. “Ingin jadi bidadari kecil yang selalu melindungi pangeran yaitu Bayu.” Tuturnya di susul dengan tawa Bella dan Nemi.
    Amel mulai berkaca-kaca, pipinya yang gembul dan putih itu memerah. Malu. Tentu saja. Apa pun yang ia impikan selalu menjadi bahan ejekan teman-temannya. Bukankah tadi Nemi bilang apapun impian kita berusahalah untuk meraihnya. Lalu apakah aku salah? Gumam Amel sedih. Bayu terdiam, tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya.
    “Sadar dong Mel, ini bukan dunia hayal, bukan negeri dongeng. Nggak ada pangeran dan nggak ada bidadari cantik.” Kembali Bella mengejek. Angin berhembus menerbangkan poni-poni Amel. Ia yakin, angin, dedaunan serta rumput-rumput di depannya itu juga menertawakannya. Mencibir tentang impiannya, mencomooh dirinya yang gendut mempunyai impian jadi bidadari kecil untuk sang pangeran.
    “Apa aku salah mempunyai impian seperti itu?” ujar Amel meminta jawaban teman-temannya.
    “Iyalah Mel, coba bayangkan kamu yang gendut punya impian jadi bidadari untuk pangeran Bayu. Nggak wajar banget tahu! Lha…kalau aku kan wajar, aku cantik sedangkan Kian juga ganteng.” Nemi memuji dirinya sendiri. Amel mulai terisak.
    “Lagian bukankah bidadari itu mampu melindungi dirinya sendiri, tapi kamu…” cibir Bella tertawa kecil bersama Nemi. Bayu yang melihat kedua temannya terus mengejek Amel mulai kesal. Ia pun berdiri dan memandang ke arah Bella dan Nemi dengan pandangan yang tajam.
    “Berhenti mengejek Amel! Kalian semua nggak berhak melarang Amel bermimpi, kalian nggak berhak mengatakan impian Amel nggak wajar!” ucap Bayu menetang. Bella dan Nemi tak percaya ternyata Bayu membela Amel yang menurut mereka tak pantas untuk di bela.
    “Bukankah mimpi kamu juga nggak wajar Nemi,” kini Bayu menatap Nemi.
    “Maksud kamu, Bay?”
    “Kamu bermimpi ingin menjadi istri Kian yang baik. Dan kamu Bella, ingin jadi model. Kalian fikir, kalian lebih baik dari pada Amel. Belum tentu kan? Orang yang mengejek impian seseorang itu berarti mengejek impiannya sendiri. Tadi kalian bilang apapun impian kita berusahalahh untuk meraihnya. Lalu apa salah Amel punya impian seperti itu?” pernyataan Bayu membuat Bella dan Nemi tak berkutik. Mulut mereka terkunci rapat. Tak bisa menentang perkataan Bayu. Tapi tatapan mereka terlihat kesal dan  benci terhadap Amel.
    “Aku tetap berpendapat kalau impia Amel itu nggak wajar. Dia pikir ini dunia dongeng? Ngayal dia!” umpat Bella. Lalu menarik tangan Nemi pergi dari hadapan Bayu dan Amel.
    Setelah kepergiaan Bella dan Amel, Bayu langsung menghampiri Amel yang sudah menjatuhkan tetesan beningnya dari mata sipit Amel. Ia mengambil kertas impian Amel yang sudah kusut. Amel tak berani melihat ke Bayu.
    “Kalau mau jadi bidadari kecil yang melindungi pangeran Bayu jangan pernah menetesskan air mata. Karena pangeran itu nggak mau melihat bidadari kecil menangis.” Kata Bayu mencoba menenangkan Amel. Tapi Amel masih tak mau melihat ke arah Bayu, orang yang sudah membela impian yang tak kan pernah terwujud.
    Perlahan Bayu mendekati Amel dan duduk di sampingnya memberikan kertas itu di tangan Amel. “Lihatlah Mel, jangan kau buat impian kecil mu itu kusam seperti ini.”
    “Berhenti menyebut impian itu Bay!” sungut Amel menyeka air matanya. “Kenapa aku nggak secantik Bella, kenapa aku nggak seberani Nemi. Kenapa aku harus mempunyai tubuh yang gendut, kenapa?” tangisnya meledak lagi. Bayu meraih ranting pohon yang ada di dekatnya.
    “Lihat deh Mel, ranting ini jelek kan? Kotor lagi.” Ujarnya. Seketika Amel melihat ranting yang dimainkan Bayu di tangannya. “Terkadang sesuatu yang jelek, kotor, kusam itu tidak selamanya tak  berguna. Ranting ini juga bisa digunakan untuk menciptakan sebuah api unggun jika terkumpul banyak.” Terang Bayu. Amel tak bergeming.
    “Begitu pun dengan sebuah impian, seburuk apapun itu, setidak wajarpun itu tidak semuanya tak terwujud. Biarkan saja orang bilang apa, kamu harus yakin dengan diri kamu. Kamu jangan merasa paling  buruk diantara mereka, karena menurutku mereka belum tentu sebaik yang kamu kirra, sesempurna yang kamu kira.” Bayu menjelaskan dengan panjang lebar. Dengan mudah Amel langsung dapat menyerap kata-kata Bayu itu.
    “Dan ini…” Bayu pun mengambil daun kering yang jatuh di sampingnya. “Jika daun ini disatukan dengan ranting, apa yang terjadi jika keduanya berada dalam sebuah tujuan yang sama.”
    “Api unggun itu semakin besar,mengahangatkan tubuh yang kedinginan” Amel menimpali. Bayu pun tersenyum melihat Amel.
    “Dan ketika ranting dan daun ini bersama di satu pohon, bukankah akan menguatkan sebuah batang pohon dan memperindah pohon tersebut.” Lanjut Amel dengan senyum manis terlukis dibibirnya. Bayu mengangguk menyetujui perkataan Amel si cewek cubby yang mempunyai impian menjadi bidadari kecil untuk pangeran, yaitu dirinya.
    “Dan aku yakin kamu adalah bidadari kecil untuk papa dan mama kamu, dan juga aku? Bukankah dari kecil kita selalu bersama.” Kata Bayu, senyum Amel semakin sumringah karena bahagia. Bayu benar masih ada papa dan mamanya.
    Sesampianya di rumah Amel, ia langsung berhambur memeluk tubuh mamanya. Perempuan cantik itu hanya melongo melihat tingkah putrinya. “Amel, kamu kenapa?” Tanya mama. Tapi Amel belum juga melepaskan pelukannya. Bayu yang saat itu mengantar Amel hanya tersenyum melihat sahabat karibnya bertingkah seolah-olah tak mau lepas dari mamanya.
    “Bayu, Amel kenapa?” kini pertanyaan itu beralih pada Bayu.
    “Amel cuma lagi bahagia aja Tante,” jawab Bayu polos.
    Kini Amel menatap wajah mamanya. “Mama, Amel pengen jadi bidadari kecil buat mama dan papa.” Katanya pelan. Mama yang mendengar hanya tersenyum.
    “Sayang, tanpa kamu minta pun kamu itu bidadari kecil mama, yang selalu mama sayang.” Amel kembali memeluk mamanya.
    “Amel, jangan lupain aku dong…” seru Bayu sambil senyum-senyum. Bayu yang sudah lama ditinggal ibunya, juga ingin merasakan pelukan seorang ibu.
    “Sini Bayu…” pinta mama Amel. Bayu pun berangsur mendekati ibu anak itu. Kemudian mama Amel memeluk kedua anak yang sudah menjadi sahabat dari kecil itu.

    Di bukit belakang rumah Amel, Bayu dan Amel sedang menikamti siang yang teduh. Wajah murung dari anak berwajah cubby itu tak ada lagi. Berganti dengan wajah yang penuh dengan senyum kebahagiaan.
    “Amel, nanti kalau kamu udah jadi bidadari terus sayap kamu tumbuh, jangan terbang jauh-jauh yah?” kata Bayu dengan nyengir kuda.
    “Ih apaan sih kamu Bay, mana mungkin aku bisa terbang. Ngangkat tubuhnya aja berat kali.” Jawab Amel dengan tersenyum.
    “Bukan aku lho yang ngomong…kalau kamu itu gen…uh…cubby…” Bayu menutup mulutnya. Melihat tingkah Bayu, Amel pun langsung mencubitnya.
    “Ih…awas yah kamu…” Bayu pun berlari menghindari cubitan Amel.
* * *
   
Kamis, 09 Juni 2011
Oleh
Via Fariska

Pelangi Untuk Ibu

Kamis, 03 February 2011
Pelangi Untuk Ibu

    Teduhnya pagi di bukit kebun teh. Sejauh mata memandang, tumbuhan teh terhampar luas di depan mata. Dengan senyum menghias di bibir pucatku. Aku terus berjalan menuju tempat kerjaku. Yah, aku adalah gadis pemetik daun teh milik Pak Dani. Beliau sangat baik padaku. Entah karena kasihan melihatku yang sering di marahi ibu, atau apa. Yang pasti aku senang dan bahagia bekerja di kebun miliknya. Meskipun dalam hati, aku ingin sekali melanjutkan sekolahku ke perguruan tinggi. Namun, aku memahami ekonomi keluargaku. Ibu membiayai sekolah sampai SMA saja itu sudah beruntung buatku. Sekarang giliranku untuk membantu Ibu yang selama ini setia merawatku.
    “Langi,” seru Pak Dani saat aku akan pergi ke kebun dengan keranjang serta topi yang besar melindungi kepalaku.
    “Iya Pak,”kataku menundukan kepala.
    “Setelah kamu memetik daun teh, kamu mau kan temenin anak Bapak yang baru pulang dari luar negeri menempuh S2 di Australia” ujarnya meminta bantuan.
    “Anak Bapak?” ucapku heran. Setahuku Pak Dani hanya mempunyai anak perempuan yang masih duduk di bangku SMA kelas 3.  Pak Dani mengangguk.
    “Bapak hanya percaya sama kamu, Langi. Kamu gadis yang baik dan cantik. Anak Bapak butuh orang seperti kamu, yang pandai bergaul. Temenin dia melihat-lihat kampung halaman yang sudah lama ia tinggalkan.” Terangnya panjang lebar. Aku hanya tersenyum mendengar sanjungannya.
    “Iya, Pak.” Jawabku menyetujui. “Yah, sudah Pak, Langi kerja dulu, keburu siang, biar nanti bisa nemenin anak Bapak” aku pamit dengan sopan. Pak Dani membalasnya dengan anggukan kepala.
    Memetik daun teh, melihat pemandangan di bukit, mendengar kicauan burung, itu semua selalu aku rasakan setiap hari.    Aku masih teringat pelajaran Geografi yang membahas tentang lingkungan. Yang menjelaskan, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Yang di dalamnya terdapat beberapa komponen yang mendukung. Seperti yang sekarang ada di depanku. Kebun teh tumbuh subur di atas tanah perbukitan, matahari yang membantu jalannya rantai makanan dalam tumbuhan hijau, hewan-hewankecil bersarang malu pada daun-daun teh. Dan aku, yang tersenyum memetik daun-daun teh yang sudah saatnya dipanen. Semuanya saling berinteraksi. Sungguh aku tak menyesal bersekolah. Dengan bersekolah aku dapat melawan dunia dengan ilmu yang aku miliki.
*
    Matahari mulai di atas kepala, panasnya pun mulai terasa. Semua ibu-ibu mulai berteduh untuk beristirahat, dengan membawa keranjang-keranjang yang berisi daun-daun teh.
    “Langi, istirahatlah dulu, hari sudah panas.” Seru Ibu Dewi yang sudah melepas topinya. Memang diantara semua pekerja di kebun teh milik Pak dani hanya aku sendiri dan dua sahabatku yang tergolong  masih muda.
    “Iya Bu, nanggung nih. Ibu  istirahat aja duluan” jawabku sembari tersenyum.
    “Ibu duluan yah, Langi” serunya lagi. Aku hanya mengangguk dan kemudian melanjutkan pekerjaanku. Aku harus bisa membagi waktu. Karena setelah ini harus membantu Ibu membuat kue-kue untuk dijual. Dan setelah itu menemani anak Pak Dani.
    Dan akhirnya pekerjaanku selesai. Aku berjalan menuju rumah, pasti Ibu sudah menunggu, aku tidak mau Ibu sampai marah lagi. Jujur, terkadang tamparan Ibu terasa sangat sakit di pipiku.
    “Assalamualaikum…” ucapku masuk ke dalam. Tapi tidak ada jawaban. Mungkin Ibu di belakang. Ku lihat Ibu sedang membereskan barang-barang, sepertinya pekerjaan Ibu sudah selesai. Segera aku membantu membereskannya.
    “Sini Bu, biar Langi bantu” kataku mengambil wadah besar dari tangan Ibu. Wajah Ibu terlihat sangat lelah.
    “Tidak perlu!” bentak Ibu menghempaskan tanganku. “Habis dari mana kamu, Langi. Lihat, matahari sudah di atas kepala, kalau seandainya kue-kue ini tidak segera dijual, kita mau makan apa. Kamu harus sadar dengan keadaan kita yang susah ini’ tutur Ibu. Aku hanya tertunduk.
    “Tadi pekerjaan di kebun teh banyak, Bu. Karena kata Pak mandor harus segera dipanen.” Kataku menjelaskan berharap Ibu mengerti.
    “Ibu nggak mau denger alasan kamu lagi.” Bentak Ibu.
    “Maafkan Langi, Bu”
    “Sudahlah, Ibu capek, Ibu mau antar pesanan ini” katanya berbalik membenahi ranjang-ranjang kue.  “Kalau saja Bapak masih ada, Ibu nggak akan susah seperti ini. Dan ini semua gara-gara kamu, Langi” tutur Ibu tepat di depanku sebelum pergi. Aku hanya terdiam mendengarnya. Lagi-lagi Ibu mengatakan hal itu, yang sama sekali tidak aku mengerti. Perkataan yang mengandung arti seolah-olah akulah yang bersalah, akulah yang menyebabkan Bapak meninggal. Sedangkan aku sama sekali tak tahu apa-apa tentang Bapak.
    Aku hanya mendengar dari Ibu, kalau Bapak meninggal ketika aku masih bayi. Karena kecelakaan. Dan selanjutnya Ibu tak memberitahu alasannya mengapa Ibu selalu menyalahkanku. Sejak kecil aku terus di marahi Ibu, seakan Ibu benci terhadapku. Tapi bagiku, Ibu adalah pahlawan dalam hidupku, meski aku jarang bahkan hampir tak pernah merasakan pelukan seorang Ibu. Namun, aku sangat menyayanginya melebihi diriku sendiri.
*
    Dengan rok selutut, aku berjalan ke rumah Pak Dani untuk melaksanakan tugasku selanjutnya, menjadi penuntun anak Pak Dani. Diperjalanan, sebuah mobil berhenti di depanku. Lalu turunlah Pak Dani dari dalam mobil itu.
    “Langi…” sapanya. Di sampingnya seorang cowok tinggi dan putih berdiri. Wajahnya oriental, di kedua pipinya sebuah lesung pipi bertengger. Cowok yang baru aku lihat wajahnya.
    “Langi, ini Awan anak Bapak yang baru pulang dari luar negeri.” Katanya.
    “Oh…ini, cakep yah Pak, kayak Bapaknya” kataku. Entah bohong atau tidak. Dan jika disurvei orang-orang akan menilai anak dan bapak itu perbandingannya 1:2. Alias agak jauh. Anaknya yang bernama Awan lebih mirip aktor bintang film layar lebar, tapi bukan layar tancap.
    “Ah kamu ini bisa saja. Yah sudah, ajaklah Awan keliling, Bapak ada urusan penting. Dan jelaskan padanya tentang teh yah, Langi” kata Pak Dani menyarankan.
    “Iya, Pak.” Lalu mobil Pak Dani kembali melaju meninggalkan aku yang berdiri bersama Awan, ankanya.
    Aku mengajak Awan keliling-keliling dari tempat mobil berhenti sampai ke kebun teh milik bapaknya. Awan cowok yang baik dan tidak belagu seperti cowok-cowok kota yang baru datang dari luar negeri. Sok kebarat-baratan. Tapi Awan beda, ia sama sekali tidak menghilangkan adat bicara dan bergaul di kampung halamannya. Dan menurutku, Awan orang yang pandai, dapat dilihat dari cara bicara dan sikapnya yang selalu berfikir.
    Dan kini aku dan Awan duduk di bawah pohon di atas bukit. Melihat pemandangan di bawah sana. Bahkan Awan tak segan-segan mengikutiku yang duduk di rumput tanpa mengeluh takut kotor atau apa.
    “Nama kamu Langi?” tanyanya. Yah, saking asyiknya ngobrol sana-sini dari awal, sampai aku lupa mengenalkan nama asliku. Mungkin dia hanya mengingat namaku ketika Pak Dani memanggil namaku.
    “Namaku Pelangi, biasa dipanggil Langi.” Jawabku. Awan hanya mengangguk, paham.
    “Kau gadis yang yang baik, kamu juga pintar menjelaskan tentang teh dan semua prosesnya.” Kata Awan mengungkapkan kekagumannya.
    “Ah, biasa saja, itu karena aku sudah lama bekerja di kebun teh milik bapak kamu,” kataku.
    “Orang tua kamu pasti senang.” Aku terdiam. Orang tua? Aku hanya mengetahui Ibu, sedangkan aku belum tahu sosok Bapakku. Aku tersenyum mendengar pernyataannya.
    “Aku hanya tinggal bersama Ibu, aku nggak tahu wajah Bapak. Bahkan Ibu tak pernah menunjukkan foto Bapak padaku.” Entah keberanian dari mana datangnya. Dengan mudahnya aku bercerita. Awan melihat ke arahku.
    “Kamu…maaf,” lirihnya.
    “Nggak apa-apa kok, tapi bagiku Ibu adalah segalanya. Beliau adalah Ibu sekaligus Bapak dalam hidupku.” Tuturku dengan pandangan lurus ke depan membayangkan wajah Ibu yang tersenyum dan dan memelukku, seperti aku kecil dulu, meski dengan nada bentakan, melihatku yang terjatuh dari sepeda.
    “Kamu gadis yang hebat” ujar Awan lagi. Aku hanya tersenyum.
    Selanjutnya cerita mengalir dari mulutku dan juga Awan. Entah apa yang aku rasakan, berada di samping Awan rasanya tenang dan dengan terbukanya aku menceritakan semuanya, kecuali tentang Ibuku.
*
    Malam itu, darah dikain mulai banyak. Aku hanya terdiam sembari duduk di pinggir ranjang, menikmati udara malam yang berhembus dari jendela kayu yan kubuka. Tiba-tiba pintu berderak, Ibu berdiri di ambang pintu dengan raut wajah yang dingin. Selalu begitu setiap kali melihatku. Aku segera menyembunyikan kain itu dan menutupi mulutku dengan sapu tangan.
    “Kenapa kamu?” tanya Ibu dengan nada yang meyelidiki. Aku hanya menggeleng.
    “Aku nggak apa-apa kok, Bu” jawabku masih menutup mulut.
    “Ibu nggak perduli, Ibu mau menyampaikan, besok kamu jangan kerja dulu di kebun Pak Dani, bantu Ibu membuat kue, karena besok ada banyak pesanan.” Kata Ibu menjelaskan masih tak ada senyum di bibirnya.
    “Iya, Bu.” Jawabku.
    “Sekarang kamu tidur, Ibu nggak mau semua pesanan gagal cuma karena kamu bangun kesiangan.” Katanya lalu berbalik dan menutup pintu. Tanpa mengucapkan selamat malam atau ciuman di kening seperti pada umumnya seorang Ibu terhadap anaknya. Tapi itu sama sekali tidak terjadi padaku, dan sampai detik ini aku masih merindukan semua itu terjadi padaku.
   
    Ternyata bukan hanya hari itu saja Ibu menyuruhku tidak bekerja, tapi sudah tiga hari aku tidak bekerja di kebun Pak Dani. Aku membantu Ibu membuat kue, bahkan kini sebagian kue harus dijual keliling. Karena took-toko mulai tidak menerima kue buatan Ibu. Kini Ibu hanya menerima pesanan saja, yang katanya bayarannya lebih lumayan dibandingkan dengan menjual di toko-toko dan warung.
    Hingga hari itu, aku merasakan seluruh tubuhku remuk, kepalaku pusing dan terus batuk-batuk saat aku membantu Ibu. Tapi dengan kesibukannya memasukkan kue ke ranjang Ibu tak memperdulikanku yang sudah sempoyongan membawa baki yang berisi kue yang akan dijual keliling. Tiba-tiba saja aku terjatuh dan semua isi kue di baki terjatuh ke lantai. Kontan Ibu langsung berdiri dan menarik tanganku yang hendak memunguti kue-kue yang jatuh.
    “Kalau kamu nggak mau bantu Ibu, jangan lakukan!” bentak Ibu tepat di depanku.
    “Maafkan aku Bu.” Lalu dengan emosi yang meluap-luap tangan Ibu melayang dan mendarat di pipi kananku. Tamparan Ibu sangat keras hingga aku yang sudah terhuyung-huyung jatuh ke lantai.
    “Kamu ini benar-benar anak tak berguna. Kapan kamu membantu Ibu dengan baik tanpa membuat masalah!” kata Ibu yang kini menarik-narik rambut panjangku. Airmataku mulai mengalir. Lagi-lagi Ibu bertingkah seperti terhadapku.
    “Ampun Bu…” dengan gemetar aku mencoba melepaska tangan Ibu.
    “Kenapa kamu harus ada dalam hidup Ibu, Langi.” Katanya terus membentak-bentak. Aku hanya bisa menangis. Ibu benar-benar tak pernah menginginkanku.
    “Asal kamu tahu Langi, Ibu tak pernah menginginkan kamu, Ibu benci sama kamu. Karena kamu yang menyebabkan Bapak meninggal!” ucap Ibu.
    “Jelaskan pada Langi Bu, kenapa Ibu selalu bilang Langi yang menyebabkan Bapak meninggal. Langi tidak mengerti Bu…” aku mencoba bertanya kepada Ibu. Ibu terduduk di lantai dengan air mata yang membasahi kedua pipinya.
    “Bapak meninggal ketika menyelamatkan kamu dari pembantaian di rumah majikan tempat Bapak bekerja. Dan para pembantai itu mengejar Bapak yang membawa Bayi majikannya, yaitu kamu Langi. Kamu bukan anak Ibu, kamu bukan darah daging Ibu!” Terang Ibu. Perkataan terakhir yang Ibu ucapkan seperti halilintar ditelingaku. Aku bukan anak Ibu, aku bukan darah daging Ibu.
    “Kamu tahu apa yang terjadi pada Bapak, suamiku. Para pembantai itu berhasil memmbunuh Bapak, tapi dengan sisa tenaganya Bapak membawa bayi itu ke Ibu dan menyuruh Ibu merawatnya. Itu adalah permintaan Bapak untuk terakhir kalinya” air mata Ibu tak henti. Begitupun denganku, tangisku semakin menjadi mengetahui semuanya.
    “Tapi Ibu gagal, setiap kali Ibu melihatmu, Ibu selalu marah, Ibu benci kamu, Langi. Hanya demi menyelamatkan kamu, Bapak rela mengorbankan nyawanya. Hanya demi kamu yang bukan darah dagingnya, menyuruh Ibu merawatmu!” aku hanya terdiam mendengar penuturan Ibu. Kini aku tahu semuanya, aku tahu siapa aku sebenarnya.
    “Kini kamu ngerti kan, Langi. Mengapa Ibu selalu membenci kamu, mengapa Ibu nggak bisa bersikap baik terhadapmu, karena kamu bukan anak Ibu.” Tuturnya membuatku semakin hancur. Kemudian Ibu bangkit.
    “Ibu…” panggilku dengan nada tangis. Ibu diam tanpa melihat ke arahku. “Maafkan aku Bu, tapi Langi mohon, jadikan Langi anak Ibu, Langi mohon, Bu…” ucapku memohon. Ibu tak menjawab, lalu ia berlalu meninggalkanku sendiri yang masih duduk di lantai.
    “Ibu…aku mau jadi anak Ibu…” tangisku tak henti. Di balik pintu kayu yang sudah usang yang saat itu terbuka, Awan berdiri dengan mata yang berkaca-kaca. Awan mendengar semua yang terjadi di rumahku. Mengetahui semua yang aku ributkan dengan Ibu.
*
    Siang ini aku duduk di atas bukit berasama Awan. Semenjak mengetahui siapa aku sebenarnya, aku lebih banyak diam dan memikirkan Ibu. Selama ini aku selalu berharap Ibu memelukku, mencium keningku sebelum tidur dan Ibu menggandeng tanganku saat menjajakan kue. Tapi semua itu tak akan pernah terwujud setelah aku tahu siapa aku. Anak yang menyebabkan Bapak meninggal. Tiba-tiba dengan lembut Awan menghapus air mataku.
    “Langi, kamu jangan seperti ini terus. Aku yakin sebenarnya Ibu kamu sayang padamu, hanya saja Ibu kamu belum menunjukkan kasih sayangnya kepadamu” kata Awan.
    “Tapi kenyataannya aku bukan anak Ibu, Wan?”
    “Kamu inget, kamu pernah bilang Ibu adalah segalanya untukmu. Ibu adalah orang tua dalam hidupmu. Dan selamanya akan seperti itu. walaupun darah Ibu tidak ada di tubuhmu, tapi dia merawatmu sejak kecil. Dia sayang kamu, Langi” Awan berusaha menghiburku. Dan usahanya itu membuatku tenang. Dan kini aku yakin, masih ada rasa sayang di hati Ibu untukku. Sekecil apapun itu, aku akan mendapatkannya.
    “Langi, besok adalah hari kasih sayang, 14 Februari. Kamu berikan sesuatu yang terindah untuk ibumu” saran Awan menatap mataku dalam-dalam. Apakah aku punya hadiah terindah untuk Ibu?
*
    Dan esoknya aku kembali bekerja di kebun Pak Dani. Tapi langit masih terlihat mendung setelah beberapa menit lalu hujan deras mengguyur. Aku hendak kembali meneruskan pekerjaanku. Namun tiba-tiba, kepalaku pusing tiada terkira, dan darah mulai keluar dari mulutku setelah beberapa kali terbatuk. Awan yang saat itu sedang jalan-jalan langsung berhabur mendekatiku. Aku terkulai di pangkuan Awan.
    “Langi, kamu kenapa?” tanya Awan mulai cemas. Sari yang saat itu melihat langsung berlari ke arah rumahku.
    “Awan…aku ingin Ibu” kataku tertahan, darah terus keluar dari mulutku.
    “Langi, kamu harus tahan, Ibu kamu akan segera datang” ujarnya. “Jangan tinggalkan aku, Langi.” Lanjutnya. Aku hanya tersenyum mendengarnya. Aku hanya bisa mengatakan dalam hati. Aku sayang kamu, Awan.
    Tak lama kemudian, Ibu datang dengan deraian air mata. Lalu beliau menghampiriku yang terkulai lemah. Kini aku beralih dalam pangkuan Ibu. Sebuah moment yang selama ini aku inginkan.
    “Pelangi, kenapa kamu nggak bilang soal TBC kamu” kata Ibu meneteskan air mata. Aku berusaha mengangkat tanganku dan menghapus air mataku.
    “Ibu, Langi sayang banget sama Ibu, melebihi diri Langi sediri.” Kataku berat. “Ibu, Langi ingin selamanya di pangkuan Ibu, seperti sekarang ini.” Aku menatap perempuan itu.
    “Maafkan Ibu Langi, Ibu janji akan sayang sama kamu, Ibu janji akan memperlalukan kamu seperti anak Ibu sendiri. Selama ini Ibu terlalu egois mementingkan perasaan Ibu.” Aku bahagia sekali mendengar perkataan itu.
    “Ibu, peluk Langi, Bu?” pintaku. Ibu memelukku erat, rasanya hangat,hangat sekali. Pelukan malaikat yang selama ini aku rindukan. Aku berbisik lirih di telinga Ibu, sebelum nafasku benar-benar berhenti.
    “Ibu, di hari kasih sayang ini, Langi ingin berikan sesuatu buat Ibu, yaitu semua sayang Langi, dan sebuah pelangi di atas kepala Ibu. Ibu kenang Langi selalu. Langi sayang Ibu” dan nafaskupun berhenti. Masih kurasakan hangatnya pelukan Ibu, eratnya genggaman tangan Awan dan tangis Sari sahabatku.
    Tepat di atas kepala Ibu, sebuah pelangi dengan warna yang indah tiba-tiba saja muncul menghiasi langit yang mendung.  Mengiringi kepergianku dan hadiah untuk Ibu. Untuk membuktikan, aku Pelangi akan selamanya bersama Ibu. Aku Pelangi yang senantiasa menghiasi hari Ibu dengan sejuta warna keindahan. Pelangi untuk Ibu.

TAMAT
Kamis, 03 Februari 2011
Via Fariska