Pelangi Untuk Ibu
Teduhnya pagi di bukit kebun teh. Sejauh mata memandang, tumbuhan teh terhampar luas di depan mata. Dengan senyum menghias di bibir pucatku. Aku terus berjalan menuju tempat kerjaku. Yah, aku adalah gadis pemetik daun teh milik Pak Dani. Beliau sangat baik padaku. Entah karena kasihan melihatku yang sering di marahi ibu, atau apa. Yang pasti aku senang dan bahagia bekerja di kebun miliknya. Meskipun dalam hati, aku ingin sekali melanjutkan sekolahku ke perguruan tinggi. Namun, aku memahami ekonomi keluargaku. Ibu membiayai sekolah sampai SMA saja itu sudah beruntung buatku. Sekarang giliranku untuk membantu Ibu yang selama ini setia merawatku.
“Langi,” seru Pak Dani saat aku akan pergi ke kebun dengan keranjang serta topi yang besar melindungi kepalaku.
“Iya Pak,”kataku menundukan kepala.
“Setelah kamu memetik daun teh, kamu mau kan temenin anak Bapak yang baru pulang dari luar negeri menempuh S2 di Australia” ujarnya meminta bantuan.
“Anak Bapak?” ucapku heran. Setahuku Pak Dani hanya mempunyai anak perempuan yang masih duduk di bangku SMA kelas 3. Pak Dani mengangguk.
“Bapak hanya percaya sama kamu, Langi. Kamu gadis yang baik dan cantik. Anak Bapak butuh orang seperti kamu, yang pandai bergaul. Temenin dia melihat-lihat kampung halaman yang sudah lama ia tinggalkan.” Terangnya panjang lebar. Aku hanya tersenyum mendengar sanjungannya.
“Iya, Pak.” Jawabku menyetujui. “Yah, sudah Pak, Langi kerja dulu, keburu siang, biar nanti bisa nemenin anak Bapak” aku pamit dengan sopan. Pak Dani membalasnya dengan anggukan kepala.
Memetik daun teh, melihat pemandangan di bukit, mendengar kicauan burung, itu semua selalu aku rasakan setiap hari. Aku masih teringat pelajaran Geografi yang membahas tentang lingkungan. Yang menjelaskan, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Yang di dalamnya terdapat beberapa komponen yang mendukung. Seperti yang sekarang ada di depanku. Kebun teh tumbuh subur di atas tanah perbukitan, matahari yang membantu jalannya rantai makanan dalam tumbuhan hijau, hewan-hewankecil bersarang malu pada daun-daun teh. Dan aku, yang tersenyum memetik daun-daun teh yang sudah saatnya dipanen. Semuanya saling berinteraksi. Sungguh aku tak menyesal bersekolah. Dengan bersekolah aku dapat melawan dunia dengan ilmu yang aku miliki.
*
Matahari mulai di atas kepala, panasnya pun mulai terasa. Semua ibu-ibu mulai berteduh untuk beristirahat, dengan membawa keranjang-keranjang yang berisi daun-daun teh.
“Langi, istirahatlah dulu, hari sudah panas.” Seru Ibu Dewi yang sudah melepas topinya. Memang diantara semua pekerja di kebun teh milik Pak dani hanya aku sendiri dan dua sahabatku yang tergolong masih muda.
“Iya Bu, nanggung nih. Ibu istirahat aja duluan” jawabku sembari tersenyum.
“Ibu duluan yah, Langi” serunya lagi. Aku hanya mengangguk dan kemudian melanjutkan pekerjaanku. Aku harus bisa membagi waktu. Karena setelah ini harus membantu Ibu membuat kue-kue untuk dijual. Dan setelah itu menemani anak Pak Dani.
Dan akhirnya pekerjaanku selesai. Aku berjalan menuju rumah, pasti Ibu sudah menunggu, aku tidak mau Ibu sampai marah lagi. Jujur, terkadang tamparan Ibu terasa sangat sakit di pipiku.
“Assalamualaikum…” ucapku masuk ke dalam. Tapi tidak ada jawaban. Mungkin Ibu di belakang. Ku lihat Ibu sedang membereskan barang-barang, sepertinya pekerjaan Ibu sudah selesai. Segera aku membantu membereskannya.
“Sini Bu, biar Langi bantu” kataku mengambil wadah besar dari tangan Ibu. Wajah Ibu terlihat sangat lelah.
“Tidak perlu!” bentak Ibu menghempaskan tanganku. “Habis dari mana kamu, Langi. Lihat, matahari sudah di atas kepala, kalau seandainya kue-kue ini tidak segera dijual, kita mau makan apa. Kamu harus sadar dengan keadaan kita yang susah ini’ tutur Ibu. Aku hanya tertunduk.
“Tadi pekerjaan di kebun teh banyak, Bu. Karena kata Pak mandor harus segera dipanen.” Kataku menjelaskan berharap Ibu mengerti.
“Ibu nggak mau denger alasan kamu lagi.” Bentak Ibu.
“Maafkan Langi, Bu”
“Sudahlah, Ibu capek, Ibu mau antar pesanan ini” katanya berbalik membenahi ranjang-ranjang kue. “Kalau saja Bapak masih ada, Ibu nggak akan susah seperti ini. Dan ini semua gara-gara kamu, Langi” tutur Ibu tepat di depanku sebelum pergi. Aku hanya terdiam mendengarnya. Lagi-lagi Ibu mengatakan hal itu, yang sama sekali tidak aku mengerti. Perkataan yang mengandung arti seolah-olah akulah yang bersalah, akulah yang menyebabkan Bapak meninggal. Sedangkan aku sama sekali tak tahu apa-apa tentang Bapak.
Aku hanya mendengar dari Ibu, kalau Bapak meninggal ketika aku masih bayi. Karena kecelakaan. Dan selanjutnya Ibu tak memberitahu alasannya mengapa Ibu selalu menyalahkanku. Sejak kecil aku terus di marahi Ibu, seakan Ibu benci terhadapku. Tapi bagiku, Ibu adalah pahlawan dalam hidupku, meski aku jarang bahkan hampir tak pernah merasakan pelukan seorang Ibu. Namun, aku sangat menyayanginya melebihi diriku sendiri.
*
Dengan rok selutut, aku berjalan ke rumah Pak Dani untuk melaksanakan tugasku selanjutnya, menjadi penuntun anak Pak Dani. Diperjalanan, sebuah mobil berhenti di depanku. Lalu turunlah Pak Dani dari dalam mobil itu.
“Langi…” sapanya. Di sampingnya seorang cowok tinggi dan putih berdiri. Wajahnya oriental, di kedua pipinya sebuah lesung pipi bertengger. Cowok yang baru aku lihat wajahnya.
“Langi, ini Awan anak Bapak yang baru pulang dari luar negeri.” Katanya.
“Oh…ini, cakep yah Pak, kayak Bapaknya” kataku. Entah bohong atau tidak. Dan jika disurvei orang-orang akan menilai anak dan bapak itu perbandingannya 1:2. Alias agak jauh. Anaknya yang bernama Awan lebih mirip aktor bintang film layar lebar, tapi bukan layar tancap.
“Ah kamu ini bisa saja. Yah sudah, ajaklah Awan keliling, Bapak ada urusan penting. Dan jelaskan padanya tentang teh yah, Langi” kata Pak Dani menyarankan.
“Iya, Pak.” Lalu mobil Pak Dani kembali melaju meninggalkan aku yang berdiri bersama Awan, ankanya.
Aku mengajak Awan keliling-keliling dari tempat mobil berhenti sampai ke kebun teh milik bapaknya. Awan cowok yang baik dan tidak belagu seperti cowok-cowok kota yang baru datang dari luar negeri. Sok kebarat-baratan. Tapi Awan beda, ia sama sekali tidak menghilangkan adat bicara dan bergaul di kampung halamannya. Dan menurutku, Awan orang yang pandai, dapat dilihat dari cara bicara dan sikapnya yang selalu berfikir.
Dan kini aku dan Awan duduk di bawah pohon di atas bukit. Melihat pemandangan di bawah sana. Bahkan Awan tak segan-segan mengikutiku yang duduk di rumput tanpa mengeluh takut kotor atau apa.
“Nama kamu Langi?” tanyanya. Yah, saking asyiknya ngobrol sana-sini dari awal, sampai aku lupa mengenalkan nama asliku. Mungkin dia hanya mengingat namaku ketika Pak Dani memanggil namaku.
“Namaku Pelangi, biasa dipanggil Langi.” Jawabku. Awan hanya mengangguk, paham.
“Kau gadis yang yang baik, kamu juga pintar menjelaskan tentang teh dan semua prosesnya.” Kata Awan mengungkapkan kekagumannya.
“Ah, biasa saja, itu karena aku sudah lama bekerja di kebun teh milik bapak kamu,” kataku.
“Orang tua kamu pasti senang.” Aku terdiam. Orang tua? Aku hanya mengetahui Ibu, sedangkan aku belum tahu sosok Bapakku. Aku tersenyum mendengar pernyataannya.
“Aku hanya tinggal bersama Ibu, aku nggak tahu wajah Bapak. Bahkan Ibu tak pernah menunjukkan foto Bapak padaku.” Entah keberanian dari mana datangnya. Dengan mudahnya aku bercerita. Awan melihat ke arahku.
“Kamu…maaf,” lirihnya.
“Nggak apa-apa kok, tapi bagiku Ibu adalah segalanya. Beliau adalah Ibu sekaligus Bapak dalam hidupku.” Tuturku dengan pandangan lurus ke depan membayangkan wajah Ibu yang tersenyum dan dan memelukku, seperti aku kecil dulu, meski dengan nada bentakan, melihatku yang terjatuh dari sepeda.
“Kamu gadis yang hebat” ujar Awan lagi. Aku hanya tersenyum.
Selanjutnya cerita mengalir dari mulutku dan juga Awan. Entah apa yang aku rasakan, berada di samping Awan rasanya tenang dan dengan terbukanya aku menceritakan semuanya, kecuali tentang Ibuku.
*
Malam itu, darah dikain mulai banyak. Aku hanya terdiam sembari duduk di pinggir ranjang, menikmati udara malam yang berhembus dari jendela kayu yan kubuka. Tiba-tiba pintu berderak, Ibu berdiri di ambang pintu dengan raut wajah yang dingin. Selalu begitu setiap kali melihatku. Aku segera menyembunyikan kain itu dan menutupi mulutku dengan sapu tangan.
“Kenapa kamu?” tanya Ibu dengan nada yang meyelidiki. Aku hanya menggeleng.
“Aku nggak apa-apa kok, Bu” jawabku masih menutup mulut.
“Ibu nggak perduli, Ibu mau menyampaikan, besok kamu jangan kerja dulu di kebun Pak Dani, bantu Ibu membuat kue, karena besok ada banyak pesanan.” Kata Ibu menjelaskan masih tak ada senyum di bibirnya.
“Iya, Bu.” Jawabku.
“Sekarang kamu tidur, Ibu nggak mau semua pesanan gagal cuma karena kamu bangun kesiangan.” Katanya lalu berbalik dan menutup pintu. Tanpa mengucapkan selamat malam atau ciuman di kening seperti pada umumnya seorang Ibu terhadap anaknya. Tapi itu sama sekali tidak terjadi padaku, dan sampai detik ini aku masih merindukan semua itu terjadi padaku.
Ternyata bukan hanya hari itu saja Ibu menyuruhku tidak bekerja, tapi sudah tiga hari aku tidak bekerja di kebun Pak Dani. Aku membantu Ibu membuat kue, bahkan kini sebagian kue harus dijual keliling. Karena took-toko mulai tidak menerima kue buatan Ibu. Kini Ibu hanya menerima pesanan saja, yang katanya bayarannya lebih lumayan dibandingkan dengan menjual di toko-toko dan warung.
Hingga hari itu, aku merasakan seluruh tubuhku remuk, kepalaku pusing dan terus batuk-batuk saat aku membantu Ibu. Tapi dengan kesibukannya memasukkan kue ke ranjang Ibu tak memperdulikanku yang sudah sempoyongan membawa baki yang berisi kue yang akan dijual keliling. Tiba-tiba saja aku terjatuh dan semua isi kue di baki terjatuh ke lantai. Kontan Ibu langsung berdiri dan menarik tanganku yang hendak memunguti kue-kue yang jatuh.
“Kalau kamu nggak mau bantu Ibu, jangan lakukan!” bentak Ibu tepat di depanku.
“Maafkan aku Bu.” Lalu dengan emosi yang meluap-luap tangan Ibu melayang dan mendarat di pipi kananku. Tamparan Ibu sangat keras hingga aku yang sudah terhuyung-huyung jatuh ke lantai.
“Kamu ini benar-benar anak tak berguna. Kapan kamu membantu Ibu dengan baik tanpa membuat masalah!” kata Ibu yang kini menarik-narik rambut panjangku. Airmataku mulai mengalir. Lagi-lagi Ibu bertingkah seperti terhadapku.
“Ampun Bu…” dengan gemetar aku mencoba melepaska tangan Ibu.
“Kenapa kamu harus ada dalam hidup Ibu, Langi.” Katanya terus membentak-bentak. Aku hanya bisa menangis. Ibu benar-benar tak pernah menginginkanku.
“Asal kamu tahu Langi, Ibu tak pernah menginginkan kamu, Ibu benci sama kamu. Karena kamu yang menyebabkan Bapak meninggal!” ucap Ibu.
“Jelaskan pada Langi Bu, kenapa Ibu selalu bilang Langi yang menyebabkan Bapak meninggal. Langi tidak mengerti Bu…” aku mencoba bertanya kepada Ibu. Ibu terduduk di lantai dengan air mata yang membasahi kedua pipinya.
“Bapak meninggal ketika menyelamatkan kamu dari pembantaian di rumah majikan tempat Bapak bekerja. Dan para pembantai itu mengejar Bapak yang membawa Bayi majikannya, yaitu kamu Langi. Kamu bukan anak Ibu, kamu bukan darah daging Ibu!” Terang Ibu. Perkataan terakhir yang Ibu ucapkan seperti halilintar ditelingaku. Aku bukan anak Ibu, aku bukan darah daging Ibu.
“Kamu tahu apa yang terjadi pada Bapak, suamiku. Para pembantai itu berhasil memmbunuh Bapak, tapi dengan sisa tenaganya Bapak membawa bayi itu ke Ibu dan menyuruh Ibu merawatnya. Itu adalah permintaan Bapak untuk terakhir kalinya” air mata Ibu tak henti. Begitupun denganku, tangisku semakin menjadi mengetahui semuanya.
“Tapi Ibu gagal, setiap kali Ibu melihatmu, Ibu selalu marah, Ibu benci kamu, Langi. Hanya demi menyelamatkan kamu, Bapak rela mengorbankan nyawanya. Hanya demi kamu yang bukan darah dagingnya, menyuruh Ibu merawatmu!” aku hanya terdiam mendengar penuturan Ibu. Kini aku tahu semuanya, aku tahu siapa aku sebenarnya.
“Kini kamu ngerti kan, Langi. Mengapa Ibu selalu membenci kamu, mengapa Ibu nggak bisa bersikap baik terhadapmu, karena kamu bukan anak Ibu.” Tuturnya membuatku semakin hancur. Kemudian Ibu bangkit.
“Ibu…” panggilku dengan nada tangis. Ibu diam tanpa melihat ke arahku. “Maafkan aku Bu, tapi Langi mohon, jadikan Langi anak Ibu, Langi mohon, Bu…” ucapku memohon. Ibu tak menjawab, lalu ia berlalu meninggalkanku sendiri yang masih duduk di lantai.
“Ibu…aku mau jadi anak Ibu…” tangisku tak henti. Di balik pintu kayu yang sudah usang yang saat itu terbuka, Awan berdiri dengan mata yang berkaca-kaca. Awan mendengar semua yang terjadi di rumahku. Mengetahui semua yang aku ributkan dengan Ibu.
*
Siang ini aku duduk di atas bukit berasama Awan. Semenjak mengetahui siapa aku sebenarnya, aku lebih banyak diam dan memikirkan Ibu. Selama ini aku selalu berharap Ibu memelukku, mencium keningku sebelum tidur dan Ibu menggandeng tanganku saat menjajakan kue. Tapi semua itu tak akan pernah terwujud setelah aku tahu siapa aku. Anak yang menyebabkan Bapak meninggal. Tiba-tiba dengan lembut Awan menghapus air mataku.
“Langi, kamu jangan seperti ini terus. Aku yakin sebenarnya Ibu kamu sayang padamu, hanya saja Ibu kamu belum menunjukkan kasih sayangnya kepadamu” kata Awan.
“Tapi kenyataannya aku bukan anak Ibu, Wan?”
“Kamu inget, kamu pernah bilang Ibu adalah segalanya untukmu. Ibu adalah orang tua dalam hidupmu. Dan selamanya akan seperti itu. walaupun darah Ibu tidak ada di tubuhmu, tapi dia merawatmu sejak kecil. Dia sayang kamu, Langi” Awan berusaha menghiburku. Dan usahanya itu membuatku tenang. Dan kini aku yakin, masih ada rasa sayang di hati Ibu untukku. Sekecil apapun itu, aku akan mendapatkannya.
“Langi, besok adalah hari kasih sayang, 14 Februari. Kamu berikan sesuatu yang terindah untuk ibumu” saran Awan menatap mataku dalam-dalam. Apakah aku punya hadiah terindah untuk Ibu?
*
Dan esoknya aku kembali bekerja di kebun Pak Dani. Tapi langit masih terlihat mendung setelah beberapa menit lalu hujan deras mengguyur. Aku hendak kembali meneruskan pekerjaanku. Namun tiba-tiba, kepalaku pusing tiada terkira, dan darah mulai keluar dari mulutku setelah beberapa kali terbatuk. Awan yang saat itu sedang jalan-jalan langsung berhabur mendekatiku. Aku terkulai di pangkuan Awan.
“Langi, kamu kenapa?” tanya Awan mulai cemas. Sari yang saat itu melihat langsung berlari ke arah rumahku.
“Awan…aku ingin Ibu” kataku tertahan, darah terus keluar dari mulutku.
“Langi, kamu harus tahan, Ibu kamu akan segera datang” ujarnya. “Jangan tinggalkan aku, Langi.” Lanjutnya. Aku hanya tersenyum mendengarnya. Aku hanya bisa mengatakan dalam hati. Aku sayang kamu, Awan.
Tak lama kemudian, Ibu datang dengan deraian air mata. Lalu beliau menghampiriku yang terkulai lemah. Kini aku beralih dalam pangkuan Ibu. Sebuah moment yang selama ini aku inginkan.
“Pelangi, kenapa kamu nggak bilang soal TBC kamu” kata Ibu meneteskan air mata. Aku berusaha mengangkat tanganku dan menghapus air mataku.
“Ibu, Langi sayang banget sama Ibu, melebihi diri Langi sediri.” Kataku berat. “Ibu, Langi ingin selamanya di pangkuan Ibu, seperti sekarang ini.” Aku menatap perempuan itu.
“Maafkan Ibu Langi, Ibu janji akan sayang sama kamu, Ibu janji akan memperlalukan kamu seperti anak Ibu sendiri. Selama ini Ibu terlalu egois mementingkan perasaan Ibu.” Aku bahagia sekali mendengar perkataan itu.
“Ibu, peluk Langi, Bu?” pintaku. Ibu memelukku erat, rasanya hangat,hangat sekali. Pelukan malaikat yang selama ini aku rindukan. Aku berbisik lirih di telinga Ibu, sebelum nafasku benar-benar berhenti.
“Ibu, di hari kasih sayang ini, Langi ingin berikan sesuatu buat Ibu, yaitu semua sayang Langi, dan sebuah pelangi di atas kepala Ibu. Ibu kenang Langi selalu. Langi sayang Ibu” dan nafaskupun berhenti. Masih kurasakan hangatnya pelukan Ibu, eratnya genggaman tangan Awan dan tangis Sari sahabatku.
Tepat di atas kepala Ibu, sebuah pelangi dengan warna yang indah tiba-tiba saja muncul menghiasi langit yang mendung. Mengiringi kepergianku dan hadiah untuk Ibu. Untuk membuktikan, aku Pelangi akan selamanya bersama Ibu. Aku Pelangi yang senantiasa menghiasi hari Ibu dengan sejuta warna keindahan. Pelangi untuk Ibu.
TAMAT
Kamis, 03 Februari 2011
Via Fariska
Tidak ada komentar:
Posting Komentar