Senin, 13 September 2010
“Afan, sini?!” seru Baby. Aku langsung menghampirinya. Cewek cantik di depanku itu tak ada lelahnya mengitari taman sejak siang. Aku saja sampai terduduk lemas di bawah pohon. Dan sekarang Baby memanggilku di depan pedagang ice cream.
“Afan…” rengeknya menarik-narik lenganku.
“Apa lagi, baby”
“Aku mau beli ini, beliin yah?” wajahnya berbinar ceria minta ice cream. Aku mengangguk. seketika Baby langsung mengambil ice cream dalam kotak. Tentu saja si pedagang merasa senang. Karena dengan antusiasnya Baby mengambil tujuh ice cream dengan rasa yang berbeda.
“Ini Pak?” katanya kepada si pedagang. Aku melongo melihat ice cream di tangan Baby dan sebagian di tempatkan pinggir kotak, si pedagang hanya tersenyum. “Hah?! Nggak salah Bab, sebanyak itu?” ujarku tak percaya. Baby mengangguk yakin. Aku kaget bukan karena takut uangku kurang. Tapi apakah cewek cantik ini menghabiskan tujuh ice cream sekaligus.
Begitu aku membayarnya, lalu Baby menarik tanganku dan mengajakku duduk. Tak tanggung-tanggung Baby langsung melahap ice creamnya. Aku hanya melihatnya heran. Cewek ini seperti baru melihat yang namanya ice cream. Sepertinya ice cream adalah suatu yang asing buatnya.
Pandanganku terus tertuju pada Baby. Jujur sejak pertama kali ketemu sama Baby, ketika aku di undang ke rumah Prof. hasan, saat itu aku langsung tertarik sama Baby. Bisa di bilang aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Begitu Prof yang tak lain adalah saudara mamaku, aku langsung menyetujuinya. Katanya Baby baru datang dari luar negeri. Merasa di lihatin, Baby menyodorkan ice cream padaku. Akupun menerimanya.
“Fan, aku nggak pernah merasakan makanan ini, ternyata enak yah? Namanya apa sih?” tanya Baby polos sembari melumat ice creamnya. Aku tersentak kaget mendengarnya. Haah?!?? Baby tidak tahu apa yang dimakannya? Dan dia juga tidak tahu namanya? Nih cewek cantik tapi kok lemor yah. Nggak mungkin di negaranya nggak ada ice cream? Gumamku.
“Ka…kamu nggak tahu namanya?” ujarku. Baby menggeleng. Ia benar-benar tidak tahu. “Yang kamu makan itu namanya ice cream” jawabku. “Kamu aneh yah, memangnya di Negara kamu nggak ada ice cream?”tanyaku heran. Baby hanya tersenyum dan kembali memakan ice creamnya. Bola matanya lincah memandang kesegala penjuru. Baby seakan baru pertama kali melihat dunia. Ya, Baby seperti baru lahir.
Selang beberapa waktu, Baby merengek kekenyangan. Lalu ia meminta pulang, ice creamnya masih sisa tiga. “Bab, ice creamnya buat anak-anak itu aja yah?” kataku menunjuk kearah anak-anak yang sedang bermain. Baby langsung menyela.
“Dikasih ke anak-anak itu? Jangan Afan, mending kita pulang terus ice creamnya buat boneka-bonekaku di rumah” ujarnya. Aku kembali melongo. Boneka???
“Boneka? Tapi mereka-mereka itu tidak punya nyawa, mereka benda mati Bab, jadi nggak mungkin bisa makan?” kataku heran. Baby langsung menunduk, diam tak menjawab. Wajahnya murung seketika. Apakah Baby marah karena perkataanku. Apa ada yang salah dengan ucapanku tadi? Boneka hanyalah sebuah benda mati. Apa itu salah?
“Tapi kasihan, mereka juga butuh makan” kata Baby pelan. Aku jadi tak tega melihatnya murung seperti ini.
“Yah sudah, entar kita beli lagi ice cream buat boneka-boneka kamu di rumah. Sekarang kita pulang yah?” ajakku menarik tangan Baby yang mulus dan putih. Kemudian ku berikan ice cream itu pada anak-anak yang sedang bermain.
*
Sampai di ruamh Prof. Hasan, Baby langsung ke taman belakang rumah. Karena rumah Prof jauh dari keramaian, tempat yang nyaman dan damai. Aku saja sampai betah berlama-lama di rumah ini. Selain nyaman rumah Prof sepi. Hanya Prof sendiri yang menempatinya bersama robot-robot kecil buatannya sendiri dan alat-alat lainnya, yang kebanyakan tak ku mengerti cara kerjanya. Misalnya saja tikus buatan, kucing buatan dan lain sebagainya.
Aku memandang Baby dari jendela yang mengarah pada taman belakang. Baby sedang asyik bermain di taman mengejar kupu-kupu. Cewek cantik itu tak ada lelahnya. Tubuhnya tinggi, semapai, cewek yang sempurna di mataku.
“Afan.” Prof. Hasan menepuk pundakku. Tubuh yang gempal dengan pakaian putih di tambah dengan kacamata besarnya itu mengagetkanku.
“Jangan lama-lama kau memandang Baby. Bisa-bisa jatuh cinta kamu padanya” kata Prof. Hasan. Aku tersipu malu, tahu saja kalau aku jatuh cinta pada anaknya itu. Lalu Prof, mengajakku duduk.
“Bagaimana rasanya mengajak Baby jalan-jalan, Fan?” tanya Prof. Hasan yang sudah lama ku kenal itu.
“Hhmmm…asyik Prof. Baby seperti kupu-kupu itu, tak ada lelahnya berlari-lari. Aku saja sampai kalah.” Ujarku. Prof hanya tersenyum.
“Seperti itulah Baby, gadis yang ceria. Apakah ada hal aneh yang dilakukan Baby?” tanya Prof. menyelidiki.
“Yah begitulah Prof. Emang di tempat tinggal Baby nggak ada yang namanya ice cream yah?” kataku mengutarakan keherananku ketika di taman tadi. Prof. Hasan terlihat bingung.
“Ice cream?” gumamnya.
“Iya, tadi Baby beli ice cream tujuh, Baby juga bilang katanya ia tak pernah merasakan yang namanya ice cream, dan lagi Baby berniat member ice cream untuk boneka-bonekanya” tuturku heran. Lagi-lagi Prof. Hasan hanya tersenyum mendengar penuturanku. Kami sama-sama melihat Baby yang duduk di tengah-tengah rumput dari barik jendela.
“Yah, sudah, mending sekarang kamu makan dan mandi saja di sini. Lagian hari sudah sore Fan, kamu pasti capek menemani Baby jalan-jalan” ujar Prof. Aku hanya mengangguk. Senang juga lama-lama di sini, berarti aku bisa terus melihat Baby.
Hari sudah gekap, cuacapun mendung, anginpun berhembus kencang. Aku sudah berada di depan rumah Prof. Hasan serta Baby.
“Saya sarankan kamu jangan pulang, menginap sajalah di sini. Kayanya sebentar lagi akan turun hujan?” saran Prof.
“Nggak usah Prof, terima kasih, saya lebih baik pulang aja” jawabku. Baby yang berada di samping Prof. Hasan hanya memandangku mengisyaratkan agar aku tidak pulang. Cewek cantik seperti boneka itu menarik tanganku.
“Fan, jangan pulang” ujarnya. Aku tertegun, tak biasanya ia memohon seperti ini.
“Maaf yah Bab, aku harus pulang” jawabku. Perlahan Baby melepaskan tangannya. Lalu aku langsung pamit pada Prof. Hasan.
Belum jauh dari rumah Prof. Hasan, tiba-tiba saja hujan turun begitu derasnya. Mau tak mau aku harus kembali ke rumah Prof. Hasan. Sampai di depan rumahnya, aku langsung mengetuk pintu dengan tubuh yang sudah basah kuyup. Tak lama pintu terbuka, Baby berdiri tepat di depannya.
“Afan.” Lalu ia langsung mengajakku masuk, menyruruhku duduk dan memberikan handuk. “Apa aku bilang, jangan pulang.” Katanya. Aku hanya terdiam. Dan lebih parahnya lagi, aku mulai bersin-bersin. Baginilah kalau terkena hujan. Di luar sana langit seakan memuntahkan semua airnya, hujan turun begitu deras. Aku duduk di ruang tamu. Sekian detik yang lalu Baby meninggalkanku sendriri. Dan tak lama kemudian, Baby datang dengan membawa baju.
“Ini dari papa, katanya cepet kamu ganti baju nanti kamu bisa masuk angin. Dan kata papa juga kamu harus menginap di sini, papa sudah menelpon orang-orang di rumah kamu.” Jelas Baby tenang lalu memberikan baju itu padaku. Di bibirnya yang tipis tergambar seulas senyum yang indah..
“Makasih yah Bab” kataku. Baby hanya menjawab dengan anggukan kepala. Lalu pergi untuk mengambil minuman hangat untukku. Baby melayaninya dengan baik, seakan ia sudah terbiasa dengan semuanya. Biasanya cewek cantik malas untuk melakukan sesuatunya sendiri. Tapi Baby beda, di samping di gadis ceria juga cekatan.
“Kalau mau tidur di kamar itu yah?” katanya menunjuk sebuah kamar. “Fan, Baby tinggal dulu yah?” lalu ia melangkah pergi.
“Baby…” seruku. Baby berbalik.
“Sekali lagi, makasih yah?” lanjutku. Baby hanya membalasnya dengan senyuman. Ah, indah sekali senyuman itu.
*
Malam terus merambat, di luar sana hujan masih belum juga berhenti. Rumah Prof.pun mulai senyap. Dan rasa kantuk mulai menyerangku, beberapa kali aku bersin-bersin. Aku berbaring di sofa, tak ingin aku menempati kamar yang di tunjuk Baby, lebih baik aku di sini. Sebagai tamu Prof. Hasan dan juga Baby.
Ku lirik jam yang terpampang di dinding tak jauh dari tempatku berbaring, sebelum aku memutuskan untuk tidur. Masih menunjukkan pukul 21.00. Dan beberapa saat kemudian aku terlelap tidur.
*
Dinginnya malam semakin terasa ketulang. Tapi sama sekali tak kupedulikan. Rasa lelah yang menghalangiku untuk mengusik rasa dingin itu. Tiba-tiba Baby datang membawa selimut, lalu di balutkannya selimut itu ditubuhku. Aku yang tertidur pulas hanya bisa merasakan sentuhannya. Sentuhan selembut malaikat. Mata Baby sambab memandangku. Pandangan yang tak dapat aku artikan. Tangan Baby melayang hendak menyentuh rambutku yang masih basah, tapi urung. Ia langsung memalingkan pandangannya ke sisi lain, dan air matapun jatuh dari bola mata indahnya. Secepat ia menghapus air matanya ia langsung bergegas pergi. Entah aku tak tahu apa yang dirasakan Baby sekarang ini.
Tengah malam aku terbangun. Aku bingung, karena selimut itu membalut tubuhku dengan hangat. Tiba-tiba terdengar percakapan melalui telpon malam-malam seperti ini. Prof. Hasan telepon siapa? Tak tahu kenapa rasa penasaran langsung merasuk. Ingin mengetahui percakapan itu. Karena tadi Prof. menyebut-nyebut nama Baby. Ku tempelka telinga kirinya pada pintu agar bisa mendengar percakapan Prof. dengan seseorang.
“Baiklah, tapi saya minta beberapa hari lagi Baby di sini?” katanya. Aku terus mendengar. “Apa tidak bisa? Ayolah Pak, saya butuh Baby” sepertinya orang yang berada disaluran telpon itu tak mau menggubris permintaan Prof, Hasan. Apakah Baby akan kembali ke luar negeri? Gumamku dalam hati. Ada perasaan sedih yang langsung menyeruak dalam hatiku.
“Ya, semuanya sudah beres, saya cuma minta beberapa hari lagi Baby di sini” ucap Prof. Hasan masih berbegoisasi. Aku tak athu persis apa yang dibicarakan Prof. Hasan dengan orang itu. Kalau seandainya Prof. tidak mengizinkan Baby ke luar negeri, beliau bisa melarangnya kan? Toh, Baby adalah putrinya. Fikirku tak mengerti. Lalu aku meninggalkan Prof yang masih berbincang-bincang ditelepon.
Fikiranku langsung ke cewek cantik bernama Baby. Tepat di sebah kamar kudengar suara tangis meskipun terdengar sangat pelan. Dengan ragu dan perlahan ku pegang gagang pintu, dan tak dikunci. Lalu ku buka.
Baby terduduk di lantai merangkul kedua lututnya. Dengan ragu aku melangkah mendekatinya. Baby memandangku, rambut panjangnya di kucir kuda.
“Baby…kamu kenapa?” tanyaku pelan. Bukannya Baby menjawab, ia malah menatapku lekat. Saat itulah mata kita bertemu. Aku ingin masuk dan menelusuri mata indah milik Baby. Di bola matanya itu masih terlihat butiran bening yang tadi membasahi matanya. Tiba-tiba tangan Baby melayang dan mendarat di pipi kananku. Sungguh, aku menikmati semntuhan itu. Sentuhan yang sebenarnya tak ku mengerti.
Begitu tersadar, Baby langsung menarik tangannya. Tertunduk, bersembunyi seperti kura-kura yang bersembunyi dalam cangkangnya. Malu.
“Baby, sebenarnya ada apa?” tanyaku lagi. Baby hanya menggeleng. Aku urung untuk menanyakannya lagi. Ia begitu terlihat tertekan. Perlahan ku raih tangannya dan ku hapus air mata yang tersisa.
“Baby yang aku kenal bukan seperti ini. Baby yang aku kenal adalah Baby yang ceria. Baby yang selalu tersenyum” kataku. Ia masih tetap menunduk. Apakah mungkin ia sudah mengetahui tentang keberangkatannya ke luar negeri, dan ia tak mau? Apakah benar seperti itu?
“Afan, gimana sih rasanya jatuh cinta?” tanya Baby menatapku lagi. Aku bingung harus jawab apa, apakah Baby sedang jatuh cinta pada orang lain.
Malam terus bergulir. Di kamar yang penuh dengan boneka-boneka ini aku duduk di lantai bersama Baby. Baby masih tetap menatapku menanti jawaban atas pertanyaannya.
“Pertanyaan kamu aneh Bab,” kataku. “Cewek secantik kamu mana mungkin belum merasakan jatuh cinta”
Baby menunduk “Aku mohon jelaskan cinta itu apa?” tanyanya lagi. Semakin bingunglah aku, aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.
“Jatuh cinta itu sangat sulit untuk digambarkan, sangat kompleks rasanya. Seperti dalam lagu-lagu ‘jatuh cinta berjuta rasanya’ bahkan bisa bermilyar-milyar” kataku tak tahu benar atau tidak. Tetapi Baby begitu seksama mendengarnya.
“Sebanyak itukah?” kata Baby lebih menekankan rasa ingin tahunya.
“Yah, saat kita jatuh cinta, orang itu seakan masuh ke dalam hati kita, mengetuk pintu hati, dan sangat indah dimata kita. Kita tak perlu jatuh dulu untuk cinta padanya, biarlah cinta yang jatuh didalam hati kita.” Terangku tenang. Sejak kapan aku menerangkan semua itu benar? Sebenarnya aku hanya menggambarkan perasaanku pada Baby. Perasaan jatuh cinta padanya.
“Baby, sudah malam. Kamu tidur yah?” kataku mencoba mengalihhkan rasa ingin tahunya. Baby terdiam, lalu bangun dari duduknya dan menuju tempat tidur. Mungkin ia sudah mengantuk. Aku punh bangun dan menyelimutinya. Tiba-tiba Baby menarik tanganku, akupun berbalik.
“Ada apa Bab?”
“Terima kasih yah? Kamu sudah menjelaskan tadi. Besok ceriatain lagi tentang cinta yah Fan?” pintanya. Aku tersenyum, lalu mengangguk.
“Kamu tidur, besok aku akan bawa kamu ke tempat yang paling indah” kataku. Segera aku berbalik. Jujur sedari tadi aku sulit menetralisir perasaanku yang sedari tadi jantungku berdegup kencang, khususnya malam ini. Cintakah ini? Tepat di ambang pintu aku kembali melihat ke Baby dan mngucapkan selamat malam lalu menghilang meninggalkan Baby bersama malamnya.
*
Pagi harinya Baby sudah cantik. Aku yang baru datang setelah ganti pakaian dari rumah di sambut hangat oleh tuan putrid cantik itu. “Afan, ayo berangkat” seru Baby menggandeng tanganku. Wajahnya terlihat ceria, sama sekali tak melihat wajah sedihnya semalam. Jantungku pun kembali berdegup kencang.
“Baby, biarlah Afan dudukdulu, dia kan baru datang, masa langsung diajak pergi.” Kata Prof. Hasan dari belakang Baby. Melihat papanya ia hanya tersenyum.
“Iya, iya pa” lalu Baby langsung melepaskan gandengannya. Segera Prof. menyuruhku masuk.
“Sorry, habisnya aku penasaran banget dan nggak sabar pengen liat tempat yang kata kamu indah itu” bisik Baby sebelum ie ngeloyor mengambil minuman. Aku hanya tersenyum mendengar bisikannya.
*
Langit mengantarkan kaki-kaki kecil Baby yang menapaki jalan lengang. Ia berputar-putar, menarik tanganku, tertawa dan sebagainya. Aku mengajak Baby ke tempat yang penuh nuansa alam, pohon-pohon rindang, daun-daun yang bergufuran dimakan usia dan diterbangkan oleh angin. Kupu-kupu berterbangan diantara bunga-bunga yang ada di tepi jalan. Semuanya terlihat serasi dengan cuaca yang sejuk.
Di bawah pohon rindang, aku dan Baby duduk di sebuah kursi. Mata polos Baby memandang birunya langit dengan awan yang berarak kesana – kemari. Entah apa yang aku rasakan saat ini, yang aku tahu, aku begitu bahagia, dan senang melihat wajah cantik Baby.
Betapa sempurnanya Tuhan menciptakan semesta dan segala isinya. Dan juga sempurna menciptakan makhluk bernama Baby. Semua yang ada padanya aku suka.
“Fan, gimana rasanya kehilangan?” tanya Baby. Pandangannya lurus ke depan. Paras yang sedikit lagi mengenai matanya di terpa angin, wajah cantiknya pun tak luput dari terpaan angin itu. Ia begitu indah.
“Kehilangan?” ulangku. Baby mengangguk. “Rasa kehilangan memang sangat menyakitkan. Apalagi jika kita kehilangan orang yang paling kita sayangi. Seakan kehilangan sebagian dari hidup kita” terangku mengingat di mana aku kehilangan seorang yang berharga dalam hidupku, seorang malaikat yang selalu menyayangiku. Yaitu, mama. Mama pergi meninggalkanku ketika aku duduk di kelas tiga SD, karena penyakit yang dideritanya, kanker.
“Hmmm….aku juga pernah merasakan kehilangan.” Kata Baby. Seketika aku langsung melihat kearahnya. “Ketika aku kehilangan teman-temanku, meninggalkan mereka begitu saja. Ada rasa sakit di sini” ucapnya sembari menunjuk kedadanya sendiri.
“Kamu meninggalkannya?” tanyaku. Baby mengangguk.
“Ya, aku meninggalkan mereka, karena ada alasan tertentu. Aku ingin sekali menemui mereka, dan meminta maaf. Tapi…” Baby tak melanjutkan kata-katanya.
“Tapi apa?”
“Aku nggak bisa, aku juga ingin tetap di sini. Karena ada hal lain yang aku rasakan. Rasa yang tak pernah aku mengerti dengan jelas, aku bingung apa yang aku rasakan ini?” tuturnya. Aku hanya terdiam mendengarnya. Kata-kata Baby yang membuatku harus menguatkan fikiranku agar aku dapat menangkap maksud dari perkataannya.
“Sosok yang telah mengetuk pintu hatiku, seperti yang kamu bilang semalam. Apakah itu cinta?” kata Baby membuatku langsung terhenyak kaget. Cinta? Baby jatuh cinta? Sama siapa? Aku pun mulai khawatir.
“Afan, aku ingin sekali bertemu dengan teman-temanku, tapi disisi lain aku juga ingin bersama dia?” lanjutnya. Aku berusaha untuk tetap tenang.
“Baby, aku mengerti perasaan kamu. Tapi coba kam fikir teman yang baik sangat sulit untuk ditemukan, apalagi kamu sudah menyayangi mereka. Kalau kamu memilih untuk meninggalkan mereka, aku takut kamu akan menyesal. Sedangkan dia, orang yang bisa dibilang kamu cinta padanya, belum tentu dia sebaik teman-temanmu. Pada dasarnya status pacar dan teman berbeda. Yakinkan hati kamu, kalau emang dia milikmu, suatu saat dia akan kembali untukmu” jelasku panjang lebar.
“Jadi…”
“Kamu kejar teman-temanmu, dan sayangilah mereka. Aku yakin cinta yang besar akan datang padamu. Ingat jangan menunggu kita jatuh terlebi dahulu untuk mendapatkan cintanya, biarlah cinta itu yang akan jatuh dihati kita” tuturku dengan tenang.
“Mungkinkah aku pantas mendapatkan cinta? Aku hanya makhluk yang mempunyai nyawa buatan”lirih Baby pelan, sangat pelan.
“Apa Bab?” Baby hanya menggeleng.
*
Siang itu aku ke rumah Baby. Tapi begitu sampai di depan rumah, Prof. Hasan baru saja turun dari mobil. Bergegas aku menghampirinya. Prof. Hasab tahu kalau aku datang ke sini ingin menemui Baby. Dan aku akan mengungkapkan sesuatu padanya.
“Baby mana Profesor?” tanyaku langsung dengan senyum mengembang dibibirku. Prof. Hasan tak menjawab.
“Maafkan saya Fan, saya membohongimu. Tentang Baby” ucapnya menatapku dengan wajah yang menyesal. Aku sama sekali tak mengerti dengan perkataannya. “Sebenarnya Baby bukan anak saya. Dia…dia adalah sebuah robot buatan tangan manusia dari luar negeri”terangnya. Aku tersentak kaget mendengar kejelasan Prof. Hasan,
“Apa??! Professor pasti bohong. Baby adalah manusia Prof. bukan robot ataupun boneka. Prof, katakana padaku, dimana Babyu?” kataku tak percaya.
“Baby sudah berangkat ke luar negeri. Percayalah pada saya Fan, saya tidak bohong. Mereka mendatangkan Baby pada saya karena ada system-sistem yang rusak dalam tubuh Baby. Lalu saya memperbaikinya. Dan setelah selesai Baby harus kembali pada tuannya.” Terang Prof. membuat aku tak bisa bernafas. Semuanya tak masuk diakal.
“Sebelum Baby pergi, dia menitipkan surat ini untukmu” katanya menyerahkan sebuah surat kepadaku. Lalu Prof. Hasan melangkah masuk meninggalkan aku yang msih berdiri termangu menerima surat itu. Beliau juga terlihat sedih kehilangan sosok Baby yang ceria. Perlahan kubuka surat itu, ada tulisan Baby yang rapi.
Dear…Afan…
Setelah kamu baca surat ini, mungkin aku sudah berangkat ke kuar negeri. Yah, menemui teman-temanku. Sebelumnya aku mau mengucapkan terima kasih padamu, karena kamu sudah memberitahuku tentang jatuh cinta dan kehilangan. Aku bahagia bisa bertemy denganmu, Fan.
Mungkin sekarang kamu sudah mengetahui siapa aku yang sebenarnya. Yah, benar. Aku hanya sebuah robot, boneka yang menyerupai manusia sama seperti kamu. Manusia yang mempunyai nyawa buatan. Aku dibuat untuk kepentingan-kepentingan orang-orang di sana. Aku sadar siapa aku? Dan apa pekerjaanku bersama teman-teman. Menuruti perintah tuan-tuan kita.
Tapi satu hal yang membuat aku bingung. Sejak pertama kali melihatmu. Ada berbagai rasa, berjuta, bahkan bermilyar-milyar. Aku juga menangis, apakah mungkin seorang ‘aku’ jatuh cinta? Aku hanya sebuah robot. Mungkin ketika Prof. Hasan memperbaikiku, ketika dia sedang jatuh cinta. Hehehe…
Afan, aku cinta sama kamu. Aku janji aku akan simpan kamu di memory otakku….
Baby
Setelah membaca surat itu, ada perasaan yang menggelitik. Dia benar-benar sebuah robot. Dan satu hal lagi yang menyentuh hatiku. Baby juga jatuh cinta padaku. Lalu apakah aku jatuh cinta pada sebuah robot? Entahlah, tapi itu yang aku rasakan.
TAMAT
Senin, 20 September 2010
Oleh : Via Fariska
Tidak ada komentar:
Posting Komentar