Senin, 25 Juli 2011

Tunggu Aku di Senja Sore Itu

Minggu, 06 Maret 2011

    Suara berisik anak-anak tak lagi aku dengar. Aku masih di tempat, duduk dengan wajah yang kubenamkan pada meja dan tas sebagai bantal. Begitu terbangun ternyata kelas sudah sepi. Kulirik jam dipergelangan tanganku, menunjukkan pukul 11 siang, belum waktunya pulang. Tapi, dimana teman-temanku. Apakah mereka ke Lab untuk praktik Biologi, dan meninggalkanku yang tertidur pulas di kelas. Dengan kebingungan yang masih menyelimuti, aku segera keluar kelas.
    Sepi, sekolah begitu sepi. Semuanya masuk kelas masing-masing, lalu aku berlari ke lantai atas, tempat lab Biologi berada. Perlahan kubuka pintunya, kosong. Kemana mereka?
    “Aku udah bangun, aku nggak mimpi…”aku memegang kedua pipiku, dan duduk di kursi depan taman sekolah. Ini juga salahku, tidur tidak kenal waktu.
    “Kelas Ipa 2 lagi observasi.” Kudengar dua orang siswa berbicara tak jauh dari tempatku duduk. Kelasku observasi? Oh, aku lupa hari ini ada observasi mata pelajaran Biologi. Aku terlambat, aku bodoh karena semalam tidur di rumah Vani dan tidak bisa tidur karena ternyata di rumah sepupuku itu si monster kecil Afra dan Affan sedang melakukan permainan perang-perangan. Akhirnya aku dan Vani jadi bulan-bulanan mereka. Aku mengutuk diriku sendiri.
    “Hei!” seruku berusaha memanggil mereka. Tapi mereka malah pergi begitu saja, seakan tak mendengar panggilanku atau mereka berpura-pura tak mendengarnya. “Dipanggil malah diem.” Sungutku lalu bangun dan pergi. Sepertinya hari ini aku akan bolos lagi. Lagian percuma aku di sini. Observasinya masih lama, aku tidak mungkin nunggu mereka sampai sore. Bisa jamuran.
    Mentari menatap tajam, mengawasi langkahku. Pohon-pohon di jalan seakan tak menghiraukan keberadaanku. Mereka seakan berbisik satu sama lain, membicarakan kemana aku akan pulang. Yah, mereka sangat tahu apa yang aku fikirkan. Aku bingung mau pulang kemana? Mana mungkin aku pulang ke rumah, bisa-bisa Papa dan Mama marah karena semalam aku pergi tidak bilang-bilang.
    Langkah kakiku ku belokkan ke arah yang berlawanan dengan rumahku. Kemana lagi tujuanku, kalau tidak ke danau tempat biasa aku sendiri. Di sana aku duduk di jembatan kecil dengan sesekali memainkan air danau yang berkilau-kilau karena pantulan sinar mentari. Papa, Mama, kembali bayangan mereka hadir dalam benakku. Mengusikku, mengingatkan tentang semua masalah yang terjadi dan mewarnai keluargaku. Dari semua itu terangkai satu kata yang mampu membuatku miris, yaitu ‘berantakan’ lalu berkembang menjadi sebuah istilah untuk keluargaku, bahkan aku sendiri sering menyebutnya dan menjadi sebuah istilah yang membuatku merasa kesal, marah, benci dan sebagainya yaitu ‘broken home’.
    Aku punya keinginan, suatu hari nanti Papa dan Mama berhenti bertengkar, kembali seperti dulu dan menganggapku sebagai anak yang manis bagi mereka. Memperdulikan lagi tentang semua nilai raportku yang tinggi seperti dua tahun yang lalu. Namun, sepertinya itu tak kan pernah kembali, jalan fikiran Mama dan Papa bertolak belakang sangat jauh.
    Satu jam berlalu. Aku niatkan hatiku untuk pulang ke rumah, tak peduli nantinya Papa dan Mama ngomong apa. Ujung-ujungnya mereka pasti kembali ketopik permasalahan yang mereka perdebatkan yaitu tentang dimana kuliahku setelah lulus nanti. Seperti yang aku katakan tadi, jalan fikiran Papa dan Mama selalu berbeda, yang satu menginginkan ke luar negeri yang satu lagi ingin tetap di sini. Sedangkan aku, masa bodoh dengan yang mereka perdebatkan. Aku sudah capek mendengar pertengkaran mereka yang terjadi setiap hari.
    Sampai di depan rumah aku ragu untuk masuk. Di depan jendela aku mendengar Papa dan Mama bertengkar lagi. Aku menghela nafas panjang lalu ke pintu belakang. Keberuntungan masih memihakku, Bi Minah yang biasa di dapur kini tidak ada. Kesempatanku untuk masuk tanpa diketahui orang rumah. Aku langsung masuk dan menuju kamar.
    Kurebahkan tubuhku ke temapt tidur,membiarkan pikiranku tour ke semua tempat terindah dalam dunia hayalku. Tapi ada sesuatu yang mengganjal dihatiku. Aku merasakan ada sesuatu yang aku lupa, sesuatu yang aku lewatkan. Tapi aku tak tahu apa itu. I can’t think anything.
*
    Aku berada di sebuah tempat tidak aku tahui, tempat tidak pernah terlintas dalam benakku, tempat yang tidak ada di dunia hayalku. Tempat yang bisa memperlihatkan semua keinginanku, semua impianku, dan semua cita-citaku. Tempat yang lalu aku beri nama, tempat impian. Aku tidak bisa menceritakan dan menggambarkan apa-apa yang ada di hadapanku, sedari tadi aku takjub tak bergeming melihat sebuah adegan seperti dalam sinetron. Dan perannya adalah aku, semua orang disekitarku. Ini adalah sebuah film yang membahas tentang semua impian dalam hidupku.
    Papa dan Mama saling berpelukan dan tersenyum manis pada seorang gadis cantik yaitu aku, yang saat itu berada di Bandara. Di sebelah kanan dari penglihatanku, teman-temanku juga tersenyum padaku, mereka memelukku, dan tak ada lagi orang yang mengatakan aku adalah anak broken home. Dan sebelah kiri dari penglihatanku, disana ada Bintang_kekasihku_ duduk menunggu di sebuah taman dengan sebuah mawar merah dalam genggamannya, dia sendiri, apakah dia sedang menungguku. Dari arah lain, akupun datang dengan gaun putih selutut. Aku menghampiri Bintang dan duduk di sampingnya. Terdiam, dan tersenyum tidak mengeluarkan sepatah katapun. Itu yang aku lakukan pada saat itu.
    Karena penasaran aku mulai mendekati gambaran aku dan Bintang. Samar-samar aku dengar pembicaraan Bintang dan_aku_
    “Bulan…” lirih Bintang pelan lalu menyerahkan mawar itu kepadaku. Aku tersenyum menerimanya. Pandangan Bintang kembali di lemparkan ke sisi lain. “Aku sangat menyayangimu.” Katanya. Dan lagi aku hanya tersenyum, aku tak mengerti dengan sikapku yang berada di bayangan itu.
    “Aku tulus menyayangimu setulus bulan yang berbagi cahaya indahnya di dunia ini. Dan lihatlah, itu adalah aku dan kamu.” Aku menunjuk ke atas. Perlahan bias warna biru langit berubah menjadi gelap. Seketika sore berganti malam. Aku tertegun dengan semua yang terjadi, bayangan yang semula sore dengan cepat berubah malam. Dan masih dengan tersenyum, aku yang berada di bayangan itu bersandar di bahu Bintang.
    “Bulan…” Bintang seakan kehabisan kata-katanya. Ia sendiri menikmati suasana damai ini bersamaku.
    “Aku akan pergi jauh dari kamu Bintang, tapi kamu dapat lihat aku saat malam ketika bulan bersinar terang. Seperti sekarang ini. Ingat aku selalu yah Bintang.” Aku mulai bangun dari duduknya. Aku yang mendengarnya kontan kaget.
    “Bulan, cabut omongan kamu. Kamu nggak mungkin ninggalin Bintang. Nggak ini bukan yang aku mau, ini bukan impianku!” teriakku tak jelas. Dengan tergesa-gesa aku langsung menghampiri bayangan itu. Berusaha untuk menghilangkan bayangan yang bukan impianku. Tapi tiba-tiba saja bayangan itu lenyap entah kemana.
    “Tidak!!!” teriakku. Aku terbangun, nafasku tersenggal-senggal. Hanya mimpi. Aku tertidur di kasur masih dengan seragam sekolah. Entah kenapa, aku mudah sekali tertidur. Kembali kulirik jam di tanganku. Pukul 16.00. sudah sore, selama itukah aku tidur.
    Aku turun dari tempat tidur, membuka jendela kamar, menghirup udara dalam-dalam. “Hanya mimpi Bulan…” aku meyakinkan hatiku lagi tentang semua mimpi itu. Tiba-tiba terdengar suara Bi Minah yang berbicara sendiri di depan pintu kamarku.
    “Aduh, ini teh gimana? Non Bulan belum datang, bisa-bisa den Bintang marah, karena suratnya nggak saya kasih, aduh gimana yah?” bi Minah dengan mondar-mandir memegang sebuah surat ditangannya. “Mending saya taruh di depan pintu kamar non Bulan aja, biar kalau non Bulan pulang langsung baca suratnya. Iya, seperti ini.” Bi Minah tersenyum sendiri dengan idenya yang cemerlang, lalu ia menaruh surat itu di depan kamarku. Kemudian bi Minah kembali ke dapur.
    Dengan segara aku membuka pintu setelah memastikan kalau bi Minah benar-benar telah pergi. Perlahan aku buka surat yang di tulis Bintang untuknya. Di sana Bintang menulis pesan, untuk ketemu di taman sore ini. Aku tersenyum membacanya. Meski dengan back street sama Papa dan Mama, aku tak peduli. Aku hanya ingin menikmati hak ku mencintai dan dicintai.
    Tanpa pikir panjang aku langsung berhambur keluar. Sampai di ruang tamu, Papa dan Mama masih berseteru kali ini dengan masalah yang berbeda. Mereka menyalahkan satu sama lain.
    “Saya sudah bilang, jaga Bulan jangan biarkan dia kabur gitu. Ini salah kamu, Bulan jadi nggak pulang. Bahkan di sekolah Bulan nggak ada.” Kata Papa dengan amarah yang meluap-luap.
    “Apa! kamu nyalahin saya, siapa yang membuat semua ini berantakan. Kamu kan? Bulan sedih dan marah liat kamu pergi dengan wanita lain.” Balas Mama tak mau kalah.
    “Alah, kamu ini bisanya menyalahkan kesalahan kepada saya. Sekarang saya nggak mau tahu, kita harus cari Bulan sampai ketemu. Atau nggak saya yang akan buat perhitungan sama kamu.” Papa semakin emosi. Aku langsung berlari ke pintu belakang, mereka mengkhawatirkanku, tapi mereka tidak bisa mengatasinya dengan kepala dingin, dengan mencari bersama-sama tanpa bertengkar. Aku tak peduli lagi dengan Papa dan Mama, bahkan mereka ribut dulu untuk mencariku.
    Aku terus berjalan menuju taman tempat dimana Bintang menunggu. Pasti dia sudah menunggu sedari tadi. Masih dengan seragam sekolah aku berjalan di jalanan yang lengang di bawah sinar keemasan dari langit. Hari semakin sore. Jarak antara rumah dan taman cukup jauh membuat aku harus mempercepat langkahku, aku tak mau Bintang lama menunggu kedatanganku. Aku tak membawa uang untuk naik kendaraan, ponselku di dalam tas, aku tak bisa menghubungi Bintang untuk memberitahukan aku datang terlambat.
    Sampai di taman aku langsung mencari Bintang, mengitari taman. Hingga aku temukan Bintang duduk sendiri dengan bunga mawar di genggamannya seperti dalam mimpiku tadi. Beberapa meter lagi aku ke tempatnya, tepat di belakang Bintang. Sebelum aku menepuk bahunya tiba-tiba saja ponsel Bintang berbunyi, dengan wajah cemas Bintang langsung mengangkatnya. Aku yang di belakangnya hanya mendengarkan.
    “Apa!?” Bintang kaget. Aku tak bisa mendengar percakapan mereka. Yang aku lihat Bintang begitu kaget mendengar perkataan di saluran sana.
    “Nggak mungkin, kamu bohong. Nggak mungkin Bulan kecelakaan!” seru Bintang tak percaya. Aku tertegun mendengar ucapan Bintang. Kecelakaan? Aku?
    “Nggak mungkin Bulan ninggalin aku, nggak mungkin!” lalu Bintang langsung menutup telpon,ia terduduk lemas dikursi. Air matanya mulai menetes. Sedangakan aku tak bisa berkata apa-apa.
    “Nggak mungkin Bulan kecelakaan, nggak mungkin dia meninggal.” Isaknya, mawar dalam genggamannya jatuh ke tanah. Aku segera menghampirinya.
    “Bintang, kamu jangan percaya, aku ada di sini aku nggak mungkin ninggalin kamu?” kataku di depan Bintang. Tapi ia diam saja. Aku bingung, Bintang seakan tak melihatku. “Bintang, ini aku! Bintang aku nggak pergi, aku ada di sini Bintang!” kataku berusaha membuat Bintang melihat ke arahku.
    “Bulan, aku nunggu kamu…” desahnya.
    “Bintang, ini aku!” aku berusaha meraih tangan Bintang. Tapi, aku tak bisa menyentuhnya. Aku coba lagi meraih tangan bintang, tetap sama. Aku tak bisa menyentuh Bintang. “Kenapa ini..kenapa ini!” aku mulai hilang kendali.
    “Bintang, aku nggak meninggal. Aku ada di sini, aku di depan kamu Bintang!” aku terus berusaha membuat Bintang menyadari keberadaabku. Air mataku mulai mengalir. “Ini nggak mungkin.”
    Bintang bangun dari duduknya dan berlalu pergi meninggalkan taman dan bunga mawar itu. “Bintang! Kamu nggak boleh pergi. Ini aku…” aku duduk di kursi dan hendak mengambil mawar itu. Tapi aku tetap saja tak bisa menyentuh mawar itu. “Tuhan…aku nggak mungkin…”aku tak bisa berkata-kata lagi. Aku teringat tentang buku-buku dari luar negeri yang mengungkapkan sebuah reinkarnasi. Aku bingung, aku mengingat semua kejadian tadi pagi. Yang aku ingat hanya tertidur di kelas, selanjutnya…ah aku tak ingat. Aku merangkul kedua lututku, menunpahkan semua tangisku. Aku benar-benar tak percaya, kalau aku benar-benar telah tiada.
*
    Pagi itu aku dengan tergesa-gesa berangkat sekolah. Semalam benar-benar tidak bisa tidur, karena di rumah Vani sangat ribut dengan adanya Afra dan Affan. Di jalan begitu sepi, dengan sabar aku menunggu angkot yang datang. Sayangnya angkot yang aku tunggu berada di seberang yang berlawanan dari tempat aku berdiri. Dengan langkah yang dipercepat aku langsung menyebrang dan memasuki angkot tersebut.
    Fiuh…asap rokok dari seorang laki-laki yang duduk di depan pintu langsung menyambutku. Aku terbatuk-batuk di buatnya. Segera kucari tempat yang paling pojok. Seharusnya ada peraturan di larang merokok di dalam angkot.
    Beberapa menit angkot melaju dengan kecepatan yang tinggi. Sesekali para penumpang berdesakan karena rem yang di tarik secara mendadak. Namun itu semua tak berjalan mulus, tepat di tikungan. Angkot kehilangan kendali, remnya tidak berfungsi baik, akibatnya dari arah yang berlawanan sebuah mobil truk melintas juga dengan kecepatan tinggi. Supir kalut, akhirnya angkot menabrak pembatas jalan yang masuk ke sungai yang curam.
    Teriakan para penumpang terdengar nyaring memekakkan telinga. Dalam sekejap tubuh-tubuh itu bercucuran darah. Dalam kecelakaan itu, tak ada yang selamat termasuk aku_Bulan_ tak ada yang mengetahui kecelakaan itu. Dua jam kemudian para penduduk serta tim SAR mencari mayat-mayat yang hanyut, serta mengevakuasi korban jiwa.
    Jasad aku sendiri sulit di evakuasi, karena terjepit pada bagian mobil, yang membuat Tim SAR hati-hati mengambil jasadku. Di mobil angkot itu hanya aku sendiri yang siswa pelajar. Sore pukul  17.15 baru tim SAR bisa mengangkat jasadku dan memberitahukan pada semua keluargaku tentang kabar buruk ini.

    Catatan : tempat impian yang menggambarkan impianku itu benar. Papa dan Mama kembali damai.
TAMAT
Minggu, 06 Maret 2011

   

2 komentar: