Kamis, 16 Juni 2011
I am not Prince
Senja sore begitu indah, cahayanya bersembunyi di balik pepohonan di pinggir hutan. Raka menikmatinya sambil duduk bersandar di bawah pohon. Membiarkan kaki dan pingganngnya renggang. Kayu bakar di sampingnya sudah terkumpul lumayan banyak. Mata beningnya menatap langit yang berwarna keemasan itu.
“Andaikan saja aku bisa seperti burung itu. Bisa terbang sebebas mungkin.” Desahnya pelan, melihat burung-burung terbang pulang ke sarangnya. Setelah dirasakan capeknya hilang ia pun kembali membawa kayu-kayu bakar itu di pundaknya yang kekar. Ia berjalan menyusuri jalan yang sukar, kakinya yang telanjang bulat tanpa alas kaki tidak takut terkena duri atau benda lain yang bisa melukainya. Karena ia sudah terbiasa tak beralaskan kaki, bahkan ia tak mempunyai sandal.
Sampailah ia di sebuah gubuk tua di tengah hutan. Hanya satu-satunya gubuk yang berada di situ. Ibu Mila yang sedang menyapu sampah-sampah yang berserakan di depan rumahnya langsung menyambut putranya itu.
“Raka, sekarang kamu mandi sana. Oh yah, mandinya di sungai itu yah. Soalnya sungai yang biasa kamu mandi terkena pencemaran dari kota.” Kata ibunya sambil menunjukkan arah sungai. Raka hanya mengangguk paham. Hampir seisi hutan ini ia tahu. Bukan air hangat yang ibunya sediakan, tetapi sebuah sungai untuk mandi. Bukan teh hangat yang ibunya sediakan untuknya yang pulang mencari kayu bakar, tetapi hanya daun-daun yang di racik dari hutan.
Hari semakin sore. Setelah selesai mandi Raka makan yang telah ibunya sediakan di meja kecil yang sudah usang. Temboknya terbuat dari kayu-kayu keropos, sehingga tidak kuat untuk bersender. Sedangkan atapnya terbuat dari daun kelapa yang dikeringkan. Kehidupan yang sangat sederhana dibandingkan dengan rumah-rumah yang ada di pinggiran hutan sana. Sudah tersentuh kemewahan.
Raka adalah anak satu-satunya Ibu Mila. Sedangkan ayahnya meninggal sejak ia masih dikandungan. Ibu Mila memilih tinggal di tengah hutan, dari pada di kota atau di desa sekalipun. Mungkin karena keterbatasannya.
Ada satu hal yang ia tanamkan pada Raka. Yaitu jangan pernah berbohong. Sejak kecil ibunya selalu menasehati Raka untuk tidak berbohong. Dan kalau berbohong hidungnya berubah menjadi panjang, seperti yang dialami pinokio.
“Ibu, memangnya kita ini turunan keluarga pinokio yah Bu, sehingga kalau aku berbohong hidungnya berubah jadi panjang.” Tanya Raka ketika ia masih kecil. Ibunya hanya tersenyum mendengar pertanyaan anaknya.
“Berarti tubuh Raka juga terbuat dari kayu dong, Bu.” Belum puas rasa ingin tahunya.
“Bukan begitu Raka, Raka adalah anak ibu. Tapi Raka tahu kan, pinokio hidungnya panjang karena ia sering berbohong. Apa kamu mau seperti pinokio?” Tanya ibunya. Seketika Raka langsung memegangi hidungnya disertai gelengan kepala. Ibu Mila langsung memeluk Raka. Hingga saat ini Raka tak pernah berbohong pada ibunya. Sekali berbohong ibunya langsung mengetahui gerak-gerik anaknya itu.
Ribuan bintang mewarnai gelapnya langit malam. Di depan rumah, Raka membuat api unggun untuk menghangatkan tubuhnya. Kayu bakar yang ia cari setiap hari sangat membantunya dalam menghidupi ibu dan dirinya. Beberapa minggu sekali ibunya pergi ke desa atau kota untuk menukar beras dengan bahan-bahan yang ia cari bersama Raka di hutan.
“Hei, kunang-kunang!” seru Raka melihat kunang-kunang berkumpul di salah satu pohon. “Apa kamu membawa kabar tentang kejadian-kejadian di kota hari ini?” tanyanya seakan menanyakan pada temannnya sendiri. Dulu ia mempunyai banyak teman ketika ia masih berada di desa kecil, namun teman-temannya mulai menghilang ketika ia memilih hidup di tengah hutan bersama ibu tercintanya. Dan kini ia hanya berteman dengan semua yang ada di hutan ini.
Bersama api unggun yang terus menyala, Raka berbaring di dipan yang sudah usang. Matanya menikmati bintang-bintang di atas langit. Di matanya bintang-bintang itu seperti pasir yang bisa bersinar. Sangat banyak. Dan tak lama kemudian ia pun terlelap.
*
“Raka, hari ini ibu mau ke desa. Kamu cari kayu bakar yah?” kata ibunya dengan kebaya yang kumal. Kebaya yang menurut ibunya paling bagus untuk di pakai ke desa. Raka memandang ibunya dari atas sampai bawah. Terpikir dibenaknya untuk membelikan ibu baju. Tapi dengan apa?
“Iya bu,” jawab Raka. Yah, setiap hari Raka hanya mencari kayu bakar serta sayur-sayuran yang ia kelola bersama ibunya. Bagaimana ia bisa membelikan ibunya kebaya yang bagus.
Ibu Mila berangkat dengan beberapa bawaan yang cukup banyak. Hingga baru saja ia melangkah, sayur-sayuran itu jatuh berserakan. Dengan cepat Raka berlari dan membantu ibunya membawa sayuran itu.
“Biar Raka saja yang bawa yah bu. Raka antar sampai pinggir hutan, pulangnya Raka mencari kayu bakar.” Tutur Raka. Ibu Mila hanya menggangguk mengelus-elus kepala putranya itu.
Setelah mengantar ibunya sampai pinggir hutan, yang langsung menuju ke arah desa sebelah. Raka kembali mencari kayu bakar. Ia tidak pernah mengeluh dengan kerjaannya ini. Toh ia menikmati semua yang di berikan oleh Tuhan. Yang terpenting bagi Raka, ia bersama ibundanya.
Kicauan burung selalu menemaninya menelusuri hutan ini. Sesekali ia beristirahat di pinngir sungai untuk menghilangkan rasa lelahnya. Saat ia mengambil air di sungai, tiba-tiba terdengar sebuah teriakan. Mulanya Raka tak menghiraukan suara itu, tapi lama-kelamaan suara itu semakin keras.
“Tolong! Tolong!” suara itu terus terdengar. Raka mengamati asal suara itu. “Tolong! Tolong!”
“Suara siapa itu? Apa yang ia lakukan di hutan ini?” gumamnya heran. Tanpa pikir panjang lagi Raka langsung bergegas membawa kayu bakar itu dan mencari asal teriakan. Pendengarannya yang tajam itu menuntun langkahnya. Setelah dirasa suara itu semakin dekat, langkahnya terhenti seketika. Melihat dimana ia berada sekarang ini.
“Raka, jangan pernah kamu memasuki wilayah itu. Keramat, Nak. Ibu nggak mau terjadi apa-apa sama kamu. Ingat pesan ibu yah, Raka.” Kata-kata ibunya terngiang di benaknya. Ia sekarang berada di wilayah terlarang dari hutan ini. Wilayah yang tak pernah di datangi oleh siapap pun. Langkahnya ingin berbalik, tapi suara itu…orang itu membutuhkan pertolangannya.
Perlahan ia melangkah memasuki wilayah itu. Suara minta tolong itu kini berubah menjadi sebuah tangisan yang pilu. Hati Raka mulai berdebar-debar. “Tolong saya…” rintih suara itu.
“Siapa itu?!” seru Raka.
“Tolong saya…” Raka terus mencari asal suara itu. Tapi ia sama sekali tak melihat seorang pun.
“Raka, ingat kalau kamu sudah melihat sebuah pohon yang besar dan menyeramkan, segeralah kamu pergi. Itu adalah pintu yang memasuki wilayah peyihir yang jahat di hutan ini.” Kata-kata ibunya kembali terngiang. Raka menelan ludahnya sendiri. Takut. Pohon itu beberapa langkah lagi di depannya.
“Kamu dimana!” teriak Raka.
“Aku di sini…” Raka mencari suara itu. Sedangkan ia sama sekali tak melihat siapa pun. “Aku di bawah pohon…”
Deg! Bawah pohon. Pohon itukah? Gumamnya mulai ketakutan. Tapi tak ada orang.
“Aku di bawah pohon sebelah kanan kamu…” suara itu kembali terdengar. Raka pun berbalik, tidak ada siapa-siapa. Tak ada manusia. “Aku di sini…” serunya lagi. Pandangan Raka langsung ke arah hewan kecil yang berwarna putih mulus itu. Matanya seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Tolong aku…”
“Kelinci bisa ngomong.” Raka terheran-heran. Dan belum hilang keheranannya, tiba-tiba sebuah jeritan yang menakutkan terdengar lagi. Raka bingung, suara itu sangat memekakkan telinga.
“Itu suara penyihir!” kata Raka. kelinci itu meloncat-loncat di bawah kakinya. Raka yang saat itu masih kebingungan tak bisa berbuat apa-apa. Jeritan itu masih terdengar keras. Dengan segera Raka meraih kelinci itu dan memasukkannya pada karung yang ia bawa dari rumah.
“Hei, mau dibawa kemana aku ini! Lepaskan!” teriak kelinci itu. Tapi Raka tak menghiraukannya. Ia mengambil kayu bakar itu dan langsung berlari meninggalkan tempat itu. Setelah ia jauh dari tempat terlarang itu, Raka berhenti, napasnya tersenggal-senggal. Perkataan ibu dan orang-orang benar. Tempat itu adalah tempat tinggalnya penyihir jahat. Di bagian tertentu bajunya robek terkena ranting pohon yang menghalanginya saat ia berlari.
“Hei! Kau, lepaskan aku!” Raka teringat denga isi karung yang di bawanya, dengan pelan ia mengeluarkan kelinci itu. Kekagetannya dengan hewan kecil ini belum hilang. Meski ibu pernah bercerita kalau sudah banyak orang yang terkena sihir oleh penyihir itu. Tapi baru kali ini Raka melihatnya secara langsung.
“Kau memasukkan aku ke dalam karungmu yang busuk itu! Bau tahu! Aku hamper mati nggak bisa bernapas.” Celoteh kelinci itu. Raka masih tak bereaksi apa-apa. “Kamu nggak tuli kan!” bentak kelinci itu lagi.
“Siapa kamu?” Tanya Raka.
“Aku Dinda, aku adalah…” kelinci itu tak melanjutkan kata-katanya. “Seorang putri.” Lanjutnya. Mendengar itu Raka tertawa. “Kanapa kamu tertawa.”
“Mana ada putri seekor kelinci.”
“Kamu nggak percaya? Aku ini bener-bener seorang putri.” Kata kelinci itu dengan suara ketus. “Penyihir itu yang telah membuat aku seperti ini.” Suaranya berubah menjadi parau. Raka mulai berhenti tertawa. Ia menatap kelinci itu kasihan. Entah apa ia percaya atau tidak.
“Apa yang kamu lakukan di tempat ini?” Tanya Raka.
Sesaat kelinci itu terdiam, tubuhnya yang kecil dengan bulu yang berwarna putih. Matanya bening seperti kelinci-kelinci yang lain. “Aku kabur dari rumah, aku marah sama ayah. Aku benci sama ayah, akhirnya aku pergi ke hutan ini. Aku sama sekali nggak tahu tentang hutan ini, tiba-tiba aku memasuki wilayah penyihir itu. Dan penyihir itu menyihir aku menjadi kelinci jelek ini.” Jelasnya disertai dengan umpatan.
“Kau tidak boleh seperti itu, sekarang mau nggak mau kamu harus menerima keadaan kamu yang seperti ini.” Kata Raka tegas.
“Aku nggak mau jadi kelinci. Aku mau tubuhku seperti semula. Dasar penyihir sialan!” kelinci itu marah. Raka tak berkata apa-apa. Ia sendiri merasa bingung. Raka bangun dari duduknya.
“Hei, kau mau kemana!”
“Pulang.” Jawab Raka datar.
“Kau meninggalkan aku di sini sendirian.”
“Terus.”
“Kalau kau berani meninggalkan ku sendiri, kau akan tahu akibatnya. Kau belum siapa aku, siapa ayahku!” serunya.
“Bilang saja sama ayah kamu sana, aku nggak takut.” Raka menantang. Tak ada jawaban lagi dari kelinci yang bernama Dinda itu. Raka berbalik hendak melangkah.
“Tunggu…!” teriak kelinci itu. “Bawalah aku, aku mohon…” ucapnya memohon. Raka pun berbalik dan memasukkan kembali kelinci itu ke dalam karung. Kali ini kelinci itu tidak menolaknya atau pun marah.
Sesampainya di rumah, Raka langsung menaruh kayu bakar itu di belakang rumahnya. Ia juga mengeluarkan kelenci itu. “Ini rumah kamu?” Tanya heran. Raka mengangguk pasti. “Ini sih bukan rumah, ini lebih pantas tempat tinggalnya bebek.” Umpatnya lagi. Raka tak menjawab, ia sudah bisa menebak bagaimana karakter kelinci satu ini. Raka berlalu meninggalkan kelinci itu sendiri. Dengan sombongnya kelinci itu hanya bertengger di bawahh pohon depan rumah Raka.
Tak lama kemudian Raka datang dengan sayur-sayuran. “Nih kamu makan dulu.” Kata Raka.
“Apa! Aku makan ini? Gila kamu, aku nggak mau. Aku ini manusia, bukan bintang. Aku nggak mau!” sungutnya.
“Terus kamu mau makan apa. Aku adalah orang miskin, aku nggak punya makanan yang kamu minta. Kamu lihat, tubuh kamu itu seekor kelinci. Dan kelinci makan ini.” Kata Raka menunjukkan sayur-sayuran itu. Dinda tak menjawab. Ia bersikukuh tak mau makan. Tiba-tiba ibu Mila datang.
“Raka, kelinci siapa itu?” Tanya ibu langsung. Raka gelagapan dibuatnya. Dinda sendiri berlagak seekor kelinci, ia menggigit-gigit sayur di depannya, meski ia tidak suka.
“Itu kelinci…Raka dapat dari pinngir hutan,bu. Mungkin ada orang yang membuangnya.” Kata Raka bohong. Ia pun langsung memegangi hidungnya, apakah panjang atau tidak. Kalau berubah menjadi panjang berarti ia harus segara menyembunyikan hidungnya itu. Melihat gelagak Raka yang aneh, ibu Mila langsung mengetahui kalau anaknya berbohong.
“Raka…ibu tahu kalau kamu bohong.” Raka menggaruk-garuk kepalanya yang tidakk gatal.
“Hoek…! Ini nggak enak tahu!” akhirnya Dinda tak tahan memakan sayuran mentah itu. Mendengar itu ibu Mila kaget, ia langsung menghampiri kelinci itu dan memegangnya. “Jangan pegang aku wanita tua!” bentaknya kasar. Ibu Mila menarik lagi tangnnya. “Kalian semua benar-benar nggak bisa menjamu tamu yah? Aku ini seorang putri!” ujarnya. Mendengar itu Raka geram, di raihnya kelinci itu.
“Diam kau kelinci, kau tidak berhak menghina ibu ku. Kami memang orang yang nggak punya. Kalau kamu tidak mau tinggal di sini, pergilah.” Raka mulai emosi. “Aku nggak perduli mau kamu putri ataupun hanya rakyat jelata. Begitu angkuhnya kamu terhadap orang seperti kamu. Tapi satu hal yang harus kamu tahu, sekarang ini kamu adalah seekor kelinci, hanya seekor kelinci.” Lanjutnya.
“Sudah Raka, kasihan kelinci itu. Lepaskan, Nak.” Pinta ibunya. Raka pun melepaskannya lalu berlalu meninggalkan kelinci itu. Ibu Mila membawanya ke dalam rumah. Dinda yan di gendong Ibu Mila hanya terdiam, ke angkuhannya memang tidak pantas. Di letakkannya Dinda di atas meja kayu.
“Maafkan saya Bu, sikap saya tidak sopan terhadap ibu sama anak ibu. Saya hanya tidak terima dengan keadaan saya ini. Saya benar-benar minta maaf, Bu.” Kata Dinda meminta maaf. Perempuan tua itu hanya tersenyum mengangguk, membelai tubuh halus Dinda.
“Tidak apa-apa nak, ibu ngerti. Beginilah keadaan kami, tapi kami tidak pernah mengeluh ini itu, karena menurut kami inilah yanh Tuhan berikan. Ibu dan Raka hanya bisa bersyukur.” Tutur ibu Mila kalem. “Sekarang kamu ceritakan sama ibu, kenapa kamu bisa seperti ini.” Tanya ibu Mila. Lalu mengalirlah cerita dari mulut Dinda yang berubah menjdi seekor kelinci.
*
Malam pun terasa dingin, seperti biasa Raka membuat api unggun di depan rumahnya sembari menikmati pemandangan indah di langit. Kekesalannya pada Dinda si kelinci sombong itu masih ada. Meski beberapa kali ibunya menasehati agar jangan bersikap seperti itu. Raka hanya tak ingin seseorang menghina ibunya, entah itu seorang putri ataupun sebagainya.
Tiba-tiba hewan kecil itu melompat-lompat mendekati Raka yang terdiam menghangatkan tubuhnya. “Hei…aku mau minta maaf.” Katanya datar. Raka tak menjawab. “Kamu nggak beneran tuli kan, pemuda miskin.” Tuturnya. Raka dengan baju kumalnya bangkit dari duduknya.
“Hei mau kemana!” seru Dinda.
“Namaku Raka.”
“Raka…please jangan pergi. Aku mohon…” suara Dinda melemah. Dengan kebesaran hatinya, Raka kembali duduk. Dinda mendekati pemuda tampan dengan pakaian kumal itu.
“Raka, aku mau minta maaf sama kamu. Tidak seharusnya aku bersikap kasar seperti itu pada kamu dan ibumu.” Katanya pelan.
“Iya nggak apa-apa, aku sudah memaafkan kamu. Aku cuma nggak suka kamu menghina ibuku, kau boleh menghina aku semau kamu, tapi jangan ibuku.” Kata Raka sembari merapikan api unggun itu agar tetap menyala.
“Terima kasih yah, Ka.” Sekian detik tidak ada pembicaraan lagi. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Mata bening kelinci itu bersinar, lalu mengalirlah air matanya. “Aku kangen sama ayah…” rintih Dinda.
“Raka aku mohon bantu aku menemui ayah, aku mau minta maaf sama ayahku.” Pintanya pada Raka.
“Tenanglah, esok kita akan menemui ayah kamu. Aku janji.” Kata Raka yakin. Niat untuk membantu Dinda muncul begitu saja. Ia juga merasakan bagaimana rasanya di posisi Dinda seperti sekarang ini. Malam itu Raka dan kelinci cantik itu menikmati malam bersama dengan api unggun kecil yang menghangatkan tubuh mereka.
*
Keesokan harinya, Raka pun pamit pada ibunya untuk mengantar Dinda menemui ayahnya ke kota. Dan pagi-pagi sekali Raka sudah berangkat, menempatkan kelinci itu yang tak lain adalah Dinda ke dalam kandang kecil yang terbuat dari kayu. Perjalanan dari rumah gubuknya sampai ke kota membutuhkan setengah hari. Rupanya rumah Dinda cukup jauh dari perkiraannya. Raka hanya berjalan kaki, ia tak mempunyai uang untuk menaiki kendaraan sampai ke rumah Dinda.
Dinda yang berada di kandang beberapa kali menangis, rasa takut akan ayah tak mempercayai bahwasanya anaknya kini telah berubah menjadi seekor kelinci. Putri satu-satunya menjadi binatang yang bisa saja di santap.
“Raka aku takut ayah tidak mau menerima keadaanku yang seperti ini?” kata Dinda pelan ketika mereka setengah perjalanan lagi menuju rumah Dinda.
“Tenanglah, hati ayah tidak mungkin sejahat itu. Beliau akan menerima kamu apa adanya.” Raka berusaha menenangkan perasaan Dinda.
Mereka terus berjalan, tidak perduli mentari sudah berada di atas kepala. Membuat tubuh Raka berkeringat. Beberapa orang menatapnya aneh dengan bajunya yang compang-camping dan juga kumal. Raka tak perduli, yang terpenting ia harus mempertemukan Dinda dengan keluarganya.
Dari perjalanannya yang jauh itu, sampailah ia di sebuah rumah besar layaknya istana. Raka yang baru kali ini ke kota besar hanya melongo melihat betapa megahnya bangunan yang ada di depannya ini.
“Raka ayo cepat masuk, aku ingin segera bertemu dengan Ayah.” Kata Dinda. Raka pun memasuki pelataran bangunan itu yang tertata rapi. Penjagaan sana-sini ketat, saat memasuki gerbang yang memasuki istana itu Raka tak di perbolehkan masuk.
“Mau apa kau ini gembel!” bentak seorang penjaga. Raka tak bisa berkata apa-apa. Penjaga lainnya menarik badannya, merampas kandang kayu dari tangannya. Tapi dengan segera ia membuka pintu kandang itu sehingga Dinda langsung melompat dan memasuki istana yang megah itu. Sedangkan Raka di serat ke ruang tahanan.
Di depan ayahnya, Dinda langsung melompat ke meja, menghadap ayahnya. Ayahnya yang saat itu sedang duduk santai kaget melihat seekor kelinci datang tiba-tiba. “Ayah…ini Dinda ayah…” katanya lirih. Sang ayah kaget setengah mati.
“Apa?! Kamu Dinda!”
“Iya ayah, ini putri ayah… Dinda minta maaf sama ayah. Karena Dinda sudah kurang ajar sama ayah. Maafin Dinda ayah…” Dinda pun menangis. Sang Ayah langsung memeluk kelinci itu, membelai tubuhnya yang lembut. Ia dapat merasakan kalau kelinci ini benar-benar putrinya.
“Kenapa kau bisa seperti ini sayang…”
“Penyihir hutan yang membuat Dinda seperti Yah… ayah Dinda mohon lepaskan Raka dari ruang tahanan, pemuda itu yang menyelamatkan Dinda Yah,” setelah berkata seperti itu sang ayah pun langsung menyuruh pengawal-pengawalnya melepaskan Raka dari ruang tahanan. Di panggillah Raka mengahadap ayah Dinda.
Kata terima kasih terlontar dari mulut seorang yang disegani oleh semua orang di kota ini. Raka hanya menunduk malu. Ia sangat malu berhadapan dengan orang besar seperti ini. Siapa aku? Hanya pemuda miskin. Bukan seorang pangeran yang gagah. Gumamnya dalam hati.
“Nak, maukah kau menikah dengan putri saya. Saya tahu sekarang ini putri saya telah menjadi seekor kelinci. Tapi saya yakin kamu dapat merubah dia lebih baik lagi dari sebelumnya.” Pinta raja itu.
“Suatu kehormatan bagi saya, Tuan.” Kata Raka tunduk di sertai dengan anggukan kepala. Kemudian raja menyuruh Raka menemui Dinda yang berada di kamarnya. Penampilan Raka yang kumal tidak lagi jadi masalah bagi penghuni istana ini yang melihatnya.
Di lihatnya kelinci itu di ranjangnya yang empuk. Tempat tidur yang tidak pernah ada di rumahnya. Tidak pernah ia rasakan. Raka menghampiri Dinda yang terlelap tidur. Raka tak berani untuk membangunkannya. Ia pun bersimpuh di dekat ranjang Dinda.
“Demi Tuhan…aku akan mencintaimu dengan keadaan apa pun.” Setelah mengatakan seperti itu Raka pun mencium kening kelinci itu. Kemudian Raka bergegas keluar kamar di dampingi beberapa dayang.
Ketika Raka sampai di pintu depan, seseorang memanggilnya. Suara yang sering ia dengar. “Raka…! Raka tunggu…!” Raka pun berbalik. Di lihatnya seorang gadis cantik menghampirinya dan langsung memeluk Raka.
“Cinta tulusmu mengembalikan aku seperti semula. Aku Dinda, Raka…” katanya dengan bahagia. Raka pun memeluk gadis cantik itu. Dari belakang Raja berdiri tersenyum bahagia melihat anaknya telah kembali. Pemuda miskin itu benar-benar jodoh putrinya. Hanya seorang pemuda miskin. Bukan seorang pangeran.
Akhirnya Raka menikah dengan Dinda. Mereka hidup bahagia, tinggal di istana yang mewah. Sedangkan rumah kecil di tengah itu di jadikan sebuah tempat terindah untuk Dinda dan Raka dan juga tempat peliharaan kelinci-kelinci cantik.
Tamat
Jumat, 17 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar