“Gue antar yah?” TAP! Tangannya
berhasil menahan tanganku.
“Ngga usah Ga.” jawabku seraya
melepaskan tangannya. Aku menunduk. “Aku bisa naik angkot.” lalu keluar dari
café. Beruntung sekali sebuah angkot melaju di depan. Aku segera berlari
menerobos hujan dan memberhentikannya. Tanpa menunggu apa-apa lagi, aku masuk
angkot dan duduk di bagian belakang yang kosong. Masih kulihat dari jendela
angkot yang buram karena air hujan, Angga tetap berdiri di tempatnya memandang
angkot ini melaju.
Nina, demi apapun. Aku tidak merebut
perhatian Angga. Itu tidak akan terjadi. Tidak akan, Nin. Batinku
masih terpikirkan perkataan Angga tadi. Meski pun aku belum pernah pacaran,
tapi setahuku kalau seorang cowok menanyakan kepada seorang cewek apakah sudah
mempunyai pasangan, biasanya cowok itu akan mengutarakan cintanya. Pertanyaan
itu untuk memastikan status cewek tersebut. Yah, itu yang aku tahu.
Angkot terus melaju menuju pemukiman
tempatku tinggal. Hujan belum juga berhenti. Nanti begitu memasuki gang
kontrakanku, aku harus melepas sepatu karena jalanan yang becek dan pastinya
ada genangan air juga. Sayang, sepatuku buat besok sekolah. Kalau dijemur juga
tidak mungkin kering. Dan sepertinya hari ini langit benar-benar tak
bersahabat.
***
Aku berada di ruang tengah dengan dua
bocah kelas 4 SD sedang belajar. Aku mengajarinya beberapa mata pelajaran yang
mereka kurang menguasai. Aku tidak terlalu memaksakan mereka menuruti
kehendakku. Aku ajak mereka menyukai pelajaran dulu, kalau sudah suka, belajar
juga jadi enak. Apalagi dua bocah ini sangat menyenangkan, tidak bandal. Yang
cewek anaknya tante Inah, bernama Tari. Yang satunya cowok, anak temen tante
Inah, bernama Yoga. Mereka terlihat begitu akrab. Seakrab aku dan Nina.
Satu jam setengah berlalu. Aku masih
bersama dua bocah ini. Sesekali ku tengok ke luar rumah. Masih hujan, meski
tidak sederas tadi. Di rumah besar ini tidak ada orang, hanya seorang pembantu
dan dua bocah ini. Katnya tante Inah sedang ada keperluan penting.
“Tari, Yoga, kalian sudah mengerti
dengan materi ini?” tanyaku menatap mereka berdua. Saat ini aku mengajarkan Matematika
kepada mereka.
“Sudah, kak Senja!” seru Tari
semangat.
“Kalau kamu, Yoga?” aku beralih pada
Yoga yang saat itu garuk-garuk kepala menatap bukunya.
“Belum kak, ini dari mana yah?” Yoga
meletakkan buku itu dengan posisi terbuka dan menunjuk contoh soal yang aku
berikan. Saat aku mau menjawab, Tari mengambil pensil dari tangan Yoga.
“Dari sini Yoga. Yang ini di taruh
di sini, terus dibagi hasilnya di taruh di atas. Terus ininya....” bla bla bla,
Tari dengan suara khas anak kecilnya menjelaskan pada Yoga sambil menunjuk
angka-angka. Yoga memperhatikan dengan saksama. Aku tersenyum melihat tingkah
Tari, itu bocah cepat ngerti. Padahal awalnya Tarilah yang ogah-ogahan belajar
begitu tahu yang akan diajari itu adalah Matematika. Usahaku memotivasi mereka
berdua ternyata berhasil.
“Oh iya juga yah Tar, kamu kok piter
sih?” puji Yoga.
“Iya dong, Tari gitu!” Tari
menepuk-nepuk dadanya sendiri. Aku tertawa kecil.
“Wee, itu kan karena kamu diajari
sama kak Senja.” Yoga menjulurkan lidahnya.
“Tapi kan aku udah bisa, Yoga...”
Tari dengan gemas mencubit pipi Yoga. Melihat itu, aku mendekati mereka.
“Nah, untuk hari ini belajarnya
sampai pada materi itu yah? Nanti lusa kita belajar lagi.” kataku merangkul
Tari dan Yoga bersamaan. Mereka mengangguk serempak. Ku lirik jam dinding yang
ada di ruang tengah. Sudah jam 16.00. Aku langsung pamit pada pembantu rumah
tante Inah. Aku telat! Seharusnya setengah jam lalu aku sudah berada di panti.
****
Suara
adzan terdengar syahdu di telingaku. Aku terbangun. Segera ku ambil air whudlu
untuk menunaikan salat Shubuh. Biasanya Aku kesulitan membangunkan Nina untuk
salat, soalnya ia kecapekan karena seharian latihan basket dan volly. Tapi
sekarang, aku sendirian.
Begitu khusyuk salatku. Setelahnya,
kupanjatkan doa untuk kedua orang tuaku yang sudah berada di sisi Allah, untuk
ibu Fatimah yang sudah kuanggap ibu sendiri, lalu untuk Nina. Doaku terhenti
begitu terdengar suara benda jatuh. Aku langsung bangun masih memakai mukenah.
Ternyata pot bunga di ruang tamu jatuh, untung saja pot itu terbuat dari
anyaman rotan, sehingga tidak pecah. Perlahan kuambil pot bunga itu dan
memandangnya aneh. Jelas aneh! Kenapa bisa jatuh, padahal tidak ada angin di
ruangan ini. Tunggu! Aku ingat, Nina sering menyenggol pot bunga ini kalau ia
pulang sekolah dengan terburu-buru atau sedang capek. Dan aku sering
menyebutnya ceroboh. Jangan-jangan Nina pulang! Tapi...apa mungkin. Dia kan....
Sejenak aku terdiam. Kulangkahkan
kakiku menuju dapur hingga kamar mandi. Tidak ada siapa-siapa. Tiba-tiba
kurasakan seperti gerakan tangan merangkul bahuku. Aku langsung menoleh. Tidak
ada siapa-siapa. Ah! Cuma perasaanku saja. Aku kembali ke kamar.
***
Terlihat sesak di depan mading
sekolah. Aku penasaran ada pengumuman apa, segera kuberlari kecil menuju
mading. Memaksa masuk dalam kerumunan siswa-siswi. Terlihat tulisan gede-gede
terpajang di mading:
PERTANDINGAN
VOLLY ANTAR SMA
Yang
akan dilaksanakan pada Senin, 13 Agustus 2012
Bagi
siapa yang ingin masuk tim inti
Harap
mengikuti seleksi mulai sore ini
Ada sesak yang teramat menyiksa di
hatiku. Kenapa pertandingannya baru ada sekarang, dan kenapa seleksinya dimulai
sore ini. Kalau Nina ada, dia pasti ikut. Ini olahraga kesukaannya. Aku keluar dari
kerumunan dengan lemah, tak sampai selesai aku membaca pengumuman itu.
Nina... lirihku
dalam hati. Aku menjauh dari kerumuman, menuju bawah tangga koridor.
Kusandarkan punggungku ke tembok, menghembuskan napas yang masih terasa sesak.
“Kalau Nina ada, pasti dia akan ikut
seleksi itu kan?” tiba-tiba seseorang datang. Aku mendelik, dia lagi!
“Iya, Ga.” jawabku masih lemah.
Angga ikut menyandarkan punggungnya di sebelahku. Angga datang tanpa
teman-temannya, tumben. Biasanya tuh anak selalu bareng sama Gilang, Reno dan
Diki.
“Elo rindu yah, sama Nina.” ujar
Angga. Pertanyaan yang tidak perlu dilontarkan. Jelas aku rindu padanya, dia
sahabatku, sahabat terdekatku. Aku mengangguk. Angga mendongakkan kepalanya,
sebentar ia memejamkan kedua matanya.
“Ngapain kamu ke sini, nggak malu
sama teman-temanmu, karena kamu berdiri di sampingku.” ujarku to the point. Aku
benar-benar tidak mengerti dengan sikap Angga dari kemarin. Ini orang selalu
datang tiba-tiba di depanku.
“Nggak boleh? Lagian hak gue mau di
samping siapa. Yang berdiri juga gue kan, bukan mereka.” jawabnya.
“Tapi Ga, kamu cowok yang paling...”
“Paling keren, populer,
dikejar-kejar cewek, bak pangeran di SMA ini. Itu kan maksud lo.” hardik Angga
dengan percaya dirinya. Aku menggigit bibir bawahku.
“Yah, dan rasanya aneh kalau kamu
sekarang mau berdiri di sampingku.”
“Kemarin gue bonceng elo, itu juga
aneh!” balas Angga.
“Yah!”
“Elo yang aneh, Senja. Gue Raditya
Angga Saputra tetap siswa SMA Bintang. Gue juga berhak dekat siapa saja,
termasuk elo. Gue Angga, cowok terpopuler di SMA ini mempunyai hak yang sama
dengan siswa lain.” Tandas Angga sedikit menaikkan nada bicaranya. Aku ingin
sekali membungkam mulutnya, agar anak-anak lain tidak mendengar. Malu pastinya
kalau yang lain tahu, seorang Angga sedang bersamaku, aku yang seperti upik
abu. Bukan hanya itu, bisa-bisa aku jadi bulanan para cewek yang ngejar-ngejar
Angga. Karena meskipun banyak yang menyukai, selama ini aku belum pernah
melihat Angga berjalan mesra dengan cewek.
“Dan satu lagi Senja.” Wajah Angga
mendekat tepat di wajahku. Aku mematung. Matanya tajam ke manik mataku. “Jangan
anggap gue cowok yang pilih-pilih teman, karena gue nggak seperti itu. Bahkan
gue mau berteman dengan pembantu sekalipun, kalau itu orang baik why not.” Lanjut Angga menekankan setiap
kata-katanya. Glek! Aku tidak bisa menjawab, mulutku terkunci rapat.
“Ga...mi...minggir...” ucapku
terbata. Angga tersadar posisinya begitu dekat denganku. Dengan cepat ia
menarik tubuhnya lagi sedikit menjauh.
“Masuk kelas sana!” Pinta Angga.
Loh, cowok satu ini malah menyuruhku? Tanpa basa-basi lagi aku langsung berlari
menuju kelas. Tentu saja jantungku masih berdebar sangat kencang sambil
memanggil nama Nina dalam hati.
***
bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar