“Kis ambilin syal gue di meja dong,”
pintaku sambil memasukkan baju-baju ke koper. Akis tak bergeming.
“Ambil sendiri aja Nok, gue lagi
sibuk.” jawab Akis. Ku lirik Akis yang sedang bebenah barang-barangnya. Eh,
salah tuh anak malah membongkar kembali isi tasnya.
“Lo ngapain sih, serius amat?”
Tanyaku.
“Nok, elo lihat tas selempang gue
nggak?” ia balik nanya. Aku hanya menggeleng. “Kok nggak ada sih,” Akis kembali
mengeluarkan isi tasnya, bahkan ia mau membongkar koperku. Tapi langsung aku
hujani dengan tatapan macam. Akis urung, ia membuka lemari pakaian.
“Akis, udah dong. Mungkin elo lupa
naruhnya.” ucapku. Akis berpikir. Setelah beberapa menit terdiam ia langsung
berlari keluar kamar.
Sepeninggalan Akis, aku yang tinggal
memasukkan syal aja, lalu packing barang-barang pun selesai. Aku mengambil gitar
acoustic dan memainkannya. tujuh menit kemudian, Akis datang dengan wajah kesal
dan membanting pintu dengan keras.
“Akis! Elo kenapa sih?”
“Gue sebel, Nok!” tampangnya ancur.
“Coba elo lihat!” ia menunjukkan tas selempang yang ia cari tadi. Tapi tuh tas gagangnya
putus.
“Loooh... itu kenapa?”
“Ini gara-gara Aji, kemarin pulang
dari café Aji bawa tas gue. Katanya nyangkut di paku saat ia ngejar anak-anak,
tuh putus deh.” wajah Akis ditekuk.
BRAK! Pintu dibuka seseorang dengan
keras. Kalau ini memang villaku, udah aku omelin tuh orang. Dua kali nih pintu
di gebrak dengan keras, kasihan kan si pintu.
“Ngapain elo ke sini.” sorot mata Akis
tajam melihat cowok yang masuk dengan tiba-tiba itu.
“Gue minta maaf Kis, gue nggak
sengaja.” ujar Aji tetap di ambang pintu. Aku yang melihat mereka marahan hanya
diam saja.
“Idiih gampang banget elo minta maaf.”
sungut Akis.
“Kis, beneran gue minta maaf. Gue
janji, gue bakal ganti tas elo.”
“Tapi nggak ada yang sama seperti
ini.” kok kasusnya sama sepertiku yah.
“Tapi Kis,gue...”
“Ya udah sana pergi, asal nanti elo
mau ganti dengan yang baru, bermerek, dan mahal.” ujar Akis sedikit terdengar
sadis.
“Iya tenang aja. Tapi elo maafin gue
kan?”
“Iya, iya. Sekarang kalau elo nggak
mau pergi, gue berubah pikiran dan nggak mau maafin elo.”
“Iya, gue pergi Kis.” Tapi tuh anak
langkahnya bukan keluar, tapi malah mendekati Akis. “Gue minta ini yah?” Aji
menunjuk pipinya sendiri. Langsung Akis menunjukkan kepalan tangannya, membuat
Aji urung dan berlalu pergi. Aku yang duduk di atas tempat tidur hanya ngakak
saja melihat pasangan gokil ini.
“Ngapain elo ketawa.” sembur Akis.
“Yaelah Kis, yang ngerusak tas elo kan
si Aji, bukan gue. Kenapa tatapan setan elo juga ke gue sih?” protesku.
“Yah elo ketawanya bangga banget. Udah
elo bantu gue packing!” paksanya.
“Ogah! Elo aja sendiri.” Aku berbaring
sambil memainkan handphoneku tak mempedulikan bibir Akis yang sudah manyun lima
senti.
“Nok, ngomong-ngomong soal barang yang
rusak, gimana dengan miniatur taman yang dipecahkan Kak Febri. Pas waktu di
villa Kak Ivan, elo muncul bareng Kak Febri akur gitu, elo nggak marah lagi
sama kak Febri.”
“Gue emang sempat marah dan kesel
tingkat internasional sama Kak Febri. Tapi kan gue nggak bisa egois, Kak Febri
juga nggak sengaja mecahin miniatur itu. So, semuanya baik-baik aja kok.”
jawabku enteng. “Kalau elo, marah nggak sama si Aji karena itu tas.”
“Asal dia mau ganti aja.” jawabnya
cengengesan. Aku melempar boneka ke arahnya.
“Gue capek, mau tidur.” ucapku.
“Nok, barang-barang gue belum masuk
semua nih, bantu napa.”
“Minta bantuan Aji aja.” aku menarik
selimut dan terbuai dalam mimpi.
***
Esok harinya, aku dan Akis sudah rapi.
Aku memakai celana pendek, dan T-shirt
pink. Sedangkan Akis memakai jeasn panjang dan T-shirt panjang juga. Kami
berdua menuruni tangga, tapi jujur saja aku tidak kuat membawa barang-barangku
ini.
“Indraaaa!!!” teriakku yang langsung
melihat sosok Indra nongol di pintu.
“Iya Dhe!” balasnya.
“Bantu gue ngangkat nih koper!”
teriakku lagi. Indra langsung masuk ke dan menghampiriku. Degan sigap kami
berdua membawa koper ini turun bersama. Akis yang berada di belakangku hanya
melongo.
“Gue juga berat Ndra, bantu dong.”
“Biar gue aja.” Aji datang dan
melempar tas miliknya ke arah Tablet. Kontan
Tablet jatuh ke sofa.
“Gue orang Ji, bukan kursi.”
sungutnya. Tapi Aji tidak peduli ia langsung mengahampiri Akis dan membawa tas
pacarnya.
Begitu barang bawaan sudah masuk
bagasi mobil. Kita semua menghampiri Ivan dan Febri yang juga sudah ada di
sini. “Kak Ivan dan Kak Febri kita pulang yah. Jaga diri kalian baik-baik.”
tuturku di depan mereka. Ivan dan Febri menatapaku sebentar lalu beralih
menatap ke arah Indra.
“Ndra, kita berdua izin meluk Dhera
yah,” ucap Ivan.
“Apa?!” Indra kaget.
“Boleh kok Van, Feb. Biar kita tutup
mata si Indra.” sela Herdi. Lalu ia bersama Tablet menutup mata Indra.
“Hei, apa-apan kalian.”
“Udah diem lo Ndra, dari pada elo
lihat terus cemburu bisa berabe kan?” kata Tablet. Indra hanya pasrah. Aku
terkekeh melihat Indra.
“Ndra boleh nggak?” aku memastikan.
“Yah boleh, asal jangan lebih dari
lima detik.” jawabnya.
“Satu menit yah, Ndra.” ujar Febri.
langsung Indra menunjukkan kepalan tangannya. Sejurus kemudian Febri dan Ivan
memelukku bersamaan. Aku seperti di peluk sama Yoga dan Yogi.
“Selamat jalan Dhe, hati-hati yah.”
ucap mereka bersamaan, aku hanya mengangguk.
“Kapan-kapan kalian juga main ke
Cianjur yah,” kataku.
“Kalau ada waktu yah, Dhe.”
“Woooii...gue rasa udah lebih satu
menit!” seru Indra.
“Belum Ndra, baru 45 detik.” timpal
Herdi.
“Nggak mungkin! Febri, Ivan, udah lo!”
Indra melepas tangan Tablet bersamaan dengan lepasnya pelukan Ivan dan Febri.
“Ya udah, kita balik yah Kak.” kini
Akis pamit. Lalu mereka semua berjabat tangan tanda perpisahan.
Sebelum masuk mobil, aku ingat
sesuatu. Lalu berbalik dan menghampiri Ivan dan Febri. “Ada yang ketinggalan,
Dhe?” tanya Febri. Aku hanya tersenyum.
“Ini buat Kak Febri, simpan yah, ini
topi kesayangan gue.” kataku sambil memasang topi di kepalanya.
“Dan ini buat Kak Ivan.” aku juga
memakaikan kacamata padanya. Mereka berdua hanya tersenyum “Gue tunggu kalian
di Cianjur, daaaaahhhh.....!!!” seruku sambil melambaikan tangan padanya lalu
masuk mobil Indra.
Sekarang mobil yang kami tumpangi ada
tiga, aku dan Indra memakai mobil Indra. Akis dan Aji memakai mobil milik Akis.
Sedangkan mobilku dipakai sama Herdi dan Tablet, dan alat-alat musik di bawa
ditiap mobil. Adie kemana? Tuh cowok katanya nanti pulangnya besok, sekalian
membawa Gea ke Cianjur. Sejak Indra datang Adie memang jarang bersama kita
lagi, katanya sibuk dengan Gea.
Mobil kami melaju pulang ke Cianjur,
meninggalkan kenangan selama kurang lebih dua minggu ini. Indra memang ikut ke
Cianjur, katanya mau ngantar aku ke rumah, kalau Ivhi ia masih di Bogor.
~~~~
Beberpa jam di perjalanan, akhirnya
kami sampai di depan rumahku. Setelah berbincang-bincang dengan teman-teman di
basecamp, kemudian yang lain pamit pulang ke rumah masing-masing. Begitu juga
Indra yang baru saja selesai ngobrol bareng Memey karena Papa belum pulang.
“Ndra, nanti sering-sering main ke
sini yah,” kata Memey dengan aku di sampingnya.
“Insya Allah Tante...” jawab Indra
tersenyum. “Ya sudah tante, Indra pamit pulang.” Indra mencium punggung tangan
Memey lalu mengacak-acak rambutku.
“Jangan nakal yah, Dhe.” ujarnya.
“Bawel.” balasku.
“Hati-hati yah, Ndra.” aku dan Memey
melambaikan tangan padanya. Beberapa saat kemudian, mobil Indra hilang dari
pandangan. Aku dan Memey masuk. Tentu saja aku ingin segera berbaring di tempat
tidur kesayanganku.
“Akhirnya, sampai rumah juga.” aku
mengempaskan tubuh ke tempat tidur. Kreek...pintu terbuka, ternyata Memey.
“Memey...” aku mengambil posisi duduk
memeluk Ona, Oni dan Ono, kalau boneka dari Indra aku sudah pajang di meja
kecil samping ranjang.
“Kamu belum cerita sama Memey, gimana
liburan di sana. Menyenangkan bukan?” tanya Memey.
“Menyengkan sih Mey, di sana ketemu
sama Kak Febri dan Kak Ivan.”
“Kamu ketemu mereka?” Memey tak
percaya. Memey memang kenal betul dengan mereka berdua. Bagaimana tidak, aku
kecil dulu bareng mereka terus.
“Iya. Tapi Inok juga dibikin pusing sama mereka Mey.”
“Kenapa?” Memey terlihat penasaran. Nggak etis banget deh, gue cerita perasaan
Kak Ivan dan Kak Febri sama Memey. batinku.
“Yaaah, gitu Mey.” aku menggaruk-garuk
kepala. “Oh yah, bang Yogi mana Mey” aku sudah kangen pengen lihat Yogi, apa
tuh anak sudah mahir main gitar?
“Tadinya sih main kerumah temennya,
bentar lagi juga pulang,” Jawab Memey. Aku manggut-manggut, lalu memeluk Memey
manja.
“Mey, bikinin susu buat Inok yah.”
“Ya ampun Inok, Memey kira di sana
kamu sudah jadi cewek mandiri. Terus siapa yang bikinin kamu susu di sana?”
“Si Akis sih, cuma bikinan Memey lebih
enak, Akis mah kalah jauh deh. Yah, yah, yah, bikinin. Kan Inok baru pulang.”
Manjaku kumat. Memey menarik hidungku lalu mengangguk.
“Memey baru inget, tadi Memey nggak
lihat Adie di antara mereka. Adie kemana, Nok?” tanya Memey lagi. Kali ini aku
tak langsung menjawab, terdiam dalam pelukan Memey. Adie?
“Kenapa kok diem Nok?”
“Adie...masih di sana Mey.” jawbaku
singkat, masih ragu apakah harus menceritakan hal ini.
“Looh...kalian tinggalin atau gimana?”
“Memey seharusnya udah bisa menebak
gimana hubungan Inok sama Adie, kan tadi Inok bawa Indra ke sini?” balasku.
“Memey tahu, tuh Indra pasti pacar kamu.
Tapi si Adie kenapa?” Memey sudah kayak wartawan dari tadi tanya mulu. Aku
masih di pelukan Memey, bahkan tiduran di pangkuannya. Rasanya perih lagi kalau
mengingat Adie.
“Memey, bukannya kami ninggalin Adie
di sana. Tapi di sana Adie dijodohin, bahkan beberapa hari lagi Inok denger
Adie mau tunangan Mey.” aku bersaha tegar menjelaskannya. Aku melirik Memey
sebentar untuk melihat reaksinya, memang memey sempat kaget mendengar
penjelasanku. Lalu ia membelai rambutku lembut.
“Awalnya Inok sulit untuk menerimanya
Mey, tapi perlahan Inok bisa apalagi ada Indra. Lagian Memey juga tahu kan
Indra, dulu pernah satu SMP sama Inok. Anak-anak Say’A juga selalu menghibur
Inok. Jadi perlahan Inok bisa menerima semuanya.” terangku.
“Sekarang Inok udah besar yah, bisa
berpikir secara dewasa. Terkadang sesuatu yang kita ingini tidak mesti kita
miliki kan, Nok. Di balik semua ini pasti Allah merencakan yang lebih indah
lagi buat kamu.” nasihat Memey. Aku hanya tersenyum.
“Iya Memey, pokoknya di sana sempat
membuat dunia Inok jungkir balik, terutama dunia cinta Inok. Dari Adie, Indra,
kak Febri dan Kak Ivan. Mereka semua memporak-porandakan duniaku.”
“Loh, Febri dan Ivan. Mereka juga
su...”
“Eh bukan itu maksudnya.” aku
menyadari kalau tadi aku keceplosan menyebut nama Febri dan Ivan.
“Hayoo...ada apa dengan mereka.” goda
Memey. Aku langsung bangkit dari pangkuan Memey.
“Ng...ng...nggak kok Mey...” jawabku
bingung. Untuk sekarang aku tidak mau membicarakan perasaan mereka berdua dan
juga tentang Febri yang memecahkan miniatur itu. Mungkin suatu hari nanti.
“Kok mukanya merah sih?” Memey masih
menggoda.
“Memey apaan sih, udah ah! Mending buatin
susu buat Inok yah, sekarang Inok mau pacaran dulu sama Gibson. Daaaahhh...
Memey!!!” seruku lalu beranjak pergi ke ruang tengah dengan terburu-buru.
“Inoook...!!!” Teriak Memey hanya
geleng-geleng kepala.
THE END
Rabu, 18
Juli 2012
11.46
Tidak ada komentar:
Posting Komentar