“Baiklah,
cewek yang kita tunggu-tunggu sebagai pelengkap band Say’A ini ternyata sudah
datang dan siap menghibur kita semua.!” kata pembawa acara dengan semangat.
“Dhe, udah siap kan?” tanya Ivan
lembut. Lagi-lagi Dhera tak menjawab. Putus asa, Ivan meminta Indra agar Dhera mau
naik ke atas panggung.
“Dhe, sekarang giliran kamu. Nanti
setelah penampilan ini selesai, giliran kita duet.” Kata Indra menatap Dhera.
“Kita
sambut DHEEEERRAAAA!!” Teriak si pembawa acara heboh dengan tepuk tangan
penonton. Mendengar namanya dipanggil, Dhera melirik ke panggung. Sejenak ia
balas menggenggam tangan Indra.
“Aku naik yah,” ucap Dhera akhirnya
lalu melepas tangan Indra. Tiba-tiba WUUUSSSHH!! Saat mau beranjak ke panggung,
ia digagetkan dengan kedatangan Febri dari arah depan. Saat itulah tatapan mereka
bertemu. Mata Dhera dengan sorot kemarahan dan mata Febri dengan sorot
penyesalan dan rasa kaget.
Sesaat semuanya berhenti, ketegangan
menyelimuti mereka, juga Ivan dan Indra yang saat itu merasa kaget dengan
kedatangan Febri. Sedangkan di atas panggung sana, pembawa acara sudah tiga
kali memanggil Dhera, tentu saja membuat raut wajah anak-anak Say’A jadi ikut
tegang. Jangan-jangan Dhera nggak mau naik.
seperti itulah yang Akis pikirkan.
“Dhera....gu...”
Tap...Tap...Tap...Dhera
melangkah ketika Febri belum selesai melanjutkan kata-katanya. Cewek tomboy itu
naik ke atas panggung dengan satu senyuman tersungging di bibirnya, membuat
tepuk tangan penonton semakin riuh. Bahkan lebih riuh dari sebelumnya. Akis
langsung menghampiri Dhera lalu memeluknya erat.
“Gue kira elo bakal batalin acara
manggung ini.” bisiknya. Dhera hanya tersenyum. Selanjutnya Dhera beserta
teman-temannya memulai aksi mereka, menyanyikan lagu Adoration. Berbeda dengan di atas panggung, Dhera yang berusaha
memberi penampilan terbaiknya. Sedangkan di belakang panggung, Febri, Indra dan
Ivan sedang membicarakan sesuatu yang terlihat sangat penting. Tidak luput
Febri dihakimi oleh Indra dan Ivan dalam pembicaraan ini. *pembicaraan sesama
cowok nih*
“Kak Indra!” seru suara cewek
mengagetkan Indra yang sedang ngobrol serius dengan dua perjaka.
“Ivhi, lo udah balik.”
“Udah Kak. Oh yah, kak Dhera mana, dia
mau manggung kan?” tanya Ivhi dengan nafas sedikit ngos-ngosan. Indra mengangguk sambil menunjuk ke arah panggung.
Ivhi mengikuti telunjuk Kakaknya.
“Syukurlah. Kak Dhera cantik banget
kak, tomboy-tomboy girly.” kagum Ivhi, bahkan melangkah menuju ke para penonton
beserta teman-temannya. Akhirnya Ivhi bisa melihat Dhera juga setelah sekian
lama tidak pernah melihat wajah manis itu.
Penampilan selanjutnya yaitu Dhera dan
Indra dengan sambutan lebih meriah lagi. Sejenak Dhera seakan melupakan
kemarahannya pada Febri. Ia begitu lepas tertawa, tersenyum dan memberikan yang
terbaik untuk yang hadir di acara ini. Tentu saja membuat si pemilik acara
merasa bahagia sekali.
Usai penampilan dari dua sejoli
(DHERINDRA) di susul penampilan dari yang lain, selain Say’A, yaitu teman-teman
Ivhi yang juga mempunyai band. Setelah itu acara tiup lilin dan potong kue pun
dimulai, tentu saja acara itu semakin meriah ketika Dhera bersama
teman-temannya menyanyikan lagu Happy Bithday.
****
Kurang lebih satu jam setengah berada
di tengah-tengah acara itu membuat Dhera mulai suntuk. Ia bersama
teman-temannya memilih kembali ke villa Ivan. Kenapa? Karena Indra dan
anak-anak Say’A memaksa, padahal Dhera sudah menolak mentah-mentah. Katanya
sih, mau bakar ikan hasil pancingan mereka. Kalau dibawa ke villa Akis jadi
nggak seru. *alasan* Iya, memang itu salah satu alasan. Alasan selanjutnya
tanya sama yang lain saja.
Dhera duduk di teras bersama Ivhi dan
Akis. Tak henti-hentinya gadis yang sekarang duduk di bangku SMA kelas 1 itu
bercelotoh menanyakan ini itu kepada Dhera. Bahkan ia memilih duduk di samping
Dhera sambil menggandeng tangan Dhera manja. “Kak Dhera, Kakak nggak tahu sih
gimana frustasinya kak Indra nyari Kakak. Aku sempat berniat bawa dia ke rumah
sakit jiwa loh.” kata Ivhi.
“Eh, eh, eh, nih anak berani bener
ngomong kayak gitu.” tiba-tiba Indra datang dan langsung menjewer telinga Ivhi. Kontan membuat Dhera dan Akis tertawa.
“Ih Kakak, sakit tahu.” Ivhi
mengelus-elus telinganya.
“Wah, kalau itu niat elo Vhi, gue
setuju dah. Bila perlu gue ikut ngantar.” timpal Akis sambil tertawa. Indra
mendelik ke arah Akis tajam. “Dan kalau elo berani natap dengan tatapan seperti
itu pada Inok, pasti elo bakal ditelen sama dia.” lanjut Akis menunjuk Dhera dengan
dagunya. Mendengar penuturan Akis, Dhera melongo lalu memperhatikan postur
tubuh Indra yang lebih tinggi darinya itu.
“Ngaco, mana mungkin gue bisa nelen si
Indra, ada juga gue yang nelen elo.” balas Dhera yang langsung di amini oleh
Indra.
“Dhe...” suara seseorang di belakang
Indra. begitu Dhera tahu itu siapa, tawanya langsung lenyap dan membuang muka
ke arah lain. Ivhi, Indra dan Akis juga hanya terdiam.
“Ndra, gue...” Ucap Febri kepada
Indra.
“Iya Feb, gue ngerti kok. Sok elo
jelasin aja ke Dhera semuanya. Tapi, awas aja kalau elo bikin Dhera nangis
lagi, gue langsung gorok elo di
tempat.” ancam Indra lalu menarik tangan Ivhi dan mengacak-acak rambut Dhera
dan membisikkan sesuatu di telinga pacarnya.
“Jadilah
Dhera yang pemaaf.” bisik Indra lalu pergi bersama Ivhi dan Akis menyusul
teman-teman yang lain di belakang villa sambil membakar ikan.
Kini tinggallah dua orang di teras
depan. Tak ada yang berbicara. Tiba-tiba tangan Febri menarik tangan Dhera.
“Apaan sih lo, Kak?!” bentak Dhera.
“Ikut gue dulu, Dhe.”
“Nggak!”
“Please...” Febri memohon sambil
menatap Dhera dalam. Melihat tatapan itu, Dhera pun luluh. Ia bangun dari
duduknya lalu mengikuti langkah Febri yang ia tahu itu menuju villanya (Milik
Febri).
Bagian 17
Dalam
Duniaku (Dhera)
Aku terus mengikuti langkah Febri
memasuki villanya, tentu tanpa sepengetahuan teman-teman yang lain. Perasaan
kesal dan marah masih menyelimutiku. Febri terus membawaku ke sebuah ruangan
yang kurasa ini berada di belakang villa, atau bisa dibilang gudang yang
terpisah dengan villa ini. Dengan kunci dalam genggamannya, Febri langsung
memasukkan kunci itu pada lubang yang dekat dengan gagang pintu. KREEEK...Pintu
yang masih terlihat bagus itu terbuka setengah. Sejenak Febri menatapku yang
masih keheranan.
“Untuk apa Kak Febri bawa gue ke sini.”
masih terdengar sinis.
“Ada yang mau gue tunjukin ke elo,
Dhe.” jawabnya. Lalu dengan gerakan cepat, pintu gudang terbuka sempurna. “Ayo
Dhe.” ajaknya Aku hanya menurut. Ku
edarkan pandanganku ke seluruh ruangan gudang ini. Kurasa terlalu bersih dan
rapi untuk di namakan gudang. Lihat saja, barang-barang semuanya tertata rapi,
beberapa kursi kayu terbungkus rapi dengan kain putih. Sepertinya Febri sering membersihkan gudang
ini. Tapi apa mungkin?
“Gue nggak kuat dengan debu.” ujarku.
Bodoh, bodoh, bodoh. Kenapa juga aku mengatakan itu. Di sini hampir saja tidak
ada debu. Akibat mengatakan itu Febri terkekeh meski tertahan.
“Gue hampir setiap hari membersihkan
gudang ini Dhe.” jawabnya. Aku hanya garuk-garuk kepala. Sepenting apa sih, nih gudang. Sampe tiap hari dibersihin. batinku.
Kemudian langkah Febri terhenti di
depan rak besar. Aku terdiam melihat Febri berjongkok dan menarik sebuah benda
kotak berukuran besar. Tangannya dengan cepat membuka kotak yang terbalut kain
putih. Begitu kain itu terlepas, ternyata hanya sebuah kardus. Febri
mengangkatnya dan meletakkan di sebuah meja.
Aku tak berani bertanya apakah itu?
Febri juga tidak berkata apa-apa, ia hanya menatapku.
“Apa sih ini?” akhirnya rasa
penasaranku tidak bisa dibendung lagi. Sejurus dengan perkataanku itu Febri
membuka tutup kardus. Diam, ia terdiam melihat isinya. Membuat aku semakin
penasaran. Ku dekati Febri dan melongok ke dalam kardus. Aku menutup mulut
dengan kedua tanganku begitu melihat dalam kardus itu.
“I...ini...”
“Gue nyimpen ini sejak elo memutuskan
untuk membuangnya. Karena gue pikir ini bisa diperbaiki. Tapi ternyata, usaha
gue sia-sia. Ini nggak bisa...” nada Febri terdengar berat. Mataku tak lepas
melihat benda yang sangat aku kenal, tapi sekarang pecah menjadi beberapa
bagian. Yah, itu pecahan minitur tamanku dulu. Semuanya masih ada, bangku
taman, kumpulan rumput, batu-batu kecil, serpihan salju berserakan di
sekitarnya. Pecahan kaca dari miniatur itu juga masih ada. Pandanganku tertuju
pada patung kecil seorang cowok yang terbalut sweater, tapi sayang patung
ceweknya agak rusak.
Perlahan tanganku bergerak mengambil
patung cewek itu. Sungguh! Bayangan tentang Papa memberikan miniatur ini
kembali berputar di otakku. Hadiah yang selama ini aku inginkan, akhirnya
terkabul.juga. Tapi itu tidak lama, beberapa bulan kemudian minitur ini pecah
seperti sekarang.
“Ini....” lirihku antara percaya dan
tidak percaya pecahan ini berada di depanku. Padahal aku sudah menyuruh Papa
untuk membuangnya. Tapi ternyata Febri malah menyimpannya.
“Maafin gue Dhe, gue bener-bener nggak
sengaja. Asal elo tahu Dhe, dari kejadian itu gue terus dihantui rasa bersalah.
Gue emang pengecut nggak bisa ngakuin kesalahan gue. Itu karena gue sangat
takut, takut dan takut dibenci sama elo.” Terang Febri dengan nada penyesalan
dan menunduk. Sepertinya ia tak berani menatapku.
“Beberapa tahun yang lalu seorang cewek
bernama Ivhi menyarankanku untuk berkata jujur dan mengakui kesalahan gue, gue
frustasi Dhe. Sedangkan gue nggak tahu elo di mana, elo nggak datang lagi ke
Bogor. Bahkan beberapa kali gue datang ke villa yang dulu elo tempatin berharap
elo bisa datang,
“Seharusnya gue sadar, itu villa udah
elo jual. Gue nggak tahu harus apa, perasaan bersalah gue membuat gue buntu.
Gue pengen melupakannya, tapi kalau mengingat reaksi elo saat miniatur taman
ini pecah bener-bener nggak bisa gue lupakan. Gue bener-bener minta maaf Dhe,
sekarang gue siap kalau elo benci sama gue. Gue siap Dhe, asal elo maafin gue.”
tes! tes! tanpa sadar airmataku nyeloroh jatuh begitu juga dengan Febri meski
beberapa kali ia hapus.
Perlahan aku melangkah dan berdiri di
samping Febri. Febri kembali berkata.
“Gue udah berusaha buat memperbaikinya,
tapi itu gagal.” ucap Febri. Aku tahu, harga miniatur itu mahal, mungkin Febri
tidak bisa menggantinya. Lagian, hadiah itu Papa pesan khusus buatku. Tentu
hasilnya juga akan beda dari semula kalau Febri mau memesannya lagi.
“Udah Kak, jangan bicara seperti itu.
Gue emang kesel dan marah sama Kak Febri gara-gara ini. Jujur gue terpukul Kak,
orang yang udah gue anggap Kakak sendiri malah yang mecahin miniatur itu
sekaligus Kakak juga ngebohongi gue. Tapi gue nggak boleh egois, elo juga nggak
sengaja mecahin. Misalnya gue di posisi elo mungkin juga sama, aku takut dan
terus dikejar rasa bersalah. Atau mungkin gue nggak berani mengakuinya.
Sedangkan Kak Febri mengakui kesalahan
Kakak. Udah Kak, jangan ngomong gitu lagi, gue nggak benci sama Kakak.”
terangku panjang lebar sambil mengelus-elus punggung Febri pelan.
“Tapi Dhe, elo emang pantas buat ngebenci
gue. Gue....”
“Ssstt...Gue bilang udah Kak, yang
terpenting Kak Febri sudah mengakui kesalahan Kakak.”
“Makasih Dhe, makasih banyak.” Febri
merengkuh tubuhku dalam pelukannya. Sejenak kita larut dalam rasa kasih sayang
yang kembali muncul. Kasih sayangku kepada Febri sebagai Kakak.
%$%$#%$^$@&#
Sesampai di villa, sudah menunjukkan
pukul 19.00. Selesai mandi, aku dan Akis serta yang lain langsung packing
barang-barang, biar besok saat pulang tidak repot. Yang tidak aku mengerti dari
pihak sekolah, kenapa juga hari senin nanti berangkat, padahal sekitar satu
minggu lagi itu tahun baru, kenapa gitu tidak sekalian saja liburannya. *maunya
elo itu mah, Nok*
“Kis ambilin syal gue di meja dong,”
pintaku sambil memasukkan baju-baju ke koper. Akis tak bergeming.
bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar