Kamis, 02 Agustus 2012

Cerbung >> Dalam Dunia Dhera *Part 22*


          “Baiklah, cewek yang kita tunggu-tunggu sebagai pelengkap band Say’A ini ternyata sudah datang dan siap menghibur kita semua.!” kata pembawa acara dengan semangat.
          “Dhe, udah siap kan?” tanya Ivan lembut. Lagi-lagi Dhera tak menjawab. Putus asa, Ivan meminta Indra agar Dhera mau naik ke atas panggung.
          “Dhe, sekarang giliran kamu. Nanti setelah penampilan ini selesai, giliran kita duet.” Kata Indra menatap Dhera.
          “Kita sambut DHEEEERRAAAA!!” Teriak si pembawa acara heboh dengan tepuk tangan penonton. Mendengar namanya dipanggil, Dhera melirik ke panggung. Sejenak ia balas menggenggam tangan Indra.
          “Aku naik yah,” ucap Dhera akhirnya lalu melepas tangan Indra. Tiba-tiba WUUUSSSHH!! Saat mau beranjak ke panggung, ia digagetkan dengan kedatangan Febri dari arah depan. Saat itulah tatapan mereka bertemu. Mata Dhera dengan sorot kemarahan dan mata Febri dengan sorot penyesalan dan rasa kaget.
          Sesaat semuanya berhenti, ketegangan menyelimuti mereka, juga Ivan dan Indra yang saat itu merasa kaget dengan kedatangan Febri. Sedangkan di atas panggung sana, pembawa acara sudah tiga kali memanggil Dhera, tentu saja membuat raut wajah anak-anak Say’A jadi ikut tegang. Jangan-jangan Dhera nggak mau naik. seperti itulah yang Akis pikirkan.
          “Dhera....gu...”
          Tap...Tap...Tap...Dhera melangkah ketika Febri belum selesai melanjutkan kata-katanya. Cewek tomboy itu naik ke atas panggung dengan satu senyuman tersungging di bibirnya, membuat tepuk tangan penonton semakin riuh. Bahkan lebih riuh dari sebelumnya. Akis langsung menghampiri Dhera lalu memeluknya erat.
          “Gue kira elo bakal batalin acara manggung ini.” bisiknya. Dhera hanya tersenyum. Selanjutnya Dhera beserta teman-temannya memulai aksi mereka, menyanyikan lagu Adoration. Berbeda dengan di atas panggung, Dhera yang berusaha memberi penampilan terbaiknya. Sedangkan di belakang panggung, Febri, Indra dan Ivan sedang membicarakan sesuatu yang terlihat sangat penting. Tidak luput Febri dihakimi oleh Indra dan Ivan dalam pembicaraan ini. *pembicaraan sesama cowok nih*
          “Kak Indra!” seru suara cewek mengagetkan Indra yang sedang ngobrol serius dengan dua perjaka.
          “Ivhi, lo udah balik.”
          “Udah Kak. Oh yah, kak Dhera mana, dia mau manggung kan?” tanya Ivhi dengan nafas sedikit ngos-ngosan. Indra mengangguk sambil menunjuk ke arah panggung. Ivhi mengikuti telunjuk Kakaknya.
          “Syukurlah. Kak Dhera cantik banget kak, tomboy-tomboy girly.” kagum Ivhi, bahkan melangkah menuju ke para penonton beserta teman-temannya. Akhirnya Ivhi bisa melihat Dhera juga setelah sekian lama tidak pernah melihat wajah manis itu.
          Penampilan selanjutnya yaitu Dhera dan Indra dengan sambutan lebih meriah lagi. Sejenak Dhera seakan melupakan kemarahannya pada Febri. Ia begitu lepas tertawa, tersenyum dan memberikan yang terbaik untuk yang hadir di acara ini. Tentu saja membuat si pemilik acara merasa bahagia sekali.
          Usai penampilan dari dua sejoli (DHERINDRA) di susul penampilan dari yang lain, selain Say’A, yaitu teman-teman Ivhi yang juga mempunyai band. Setelah itu acara tiup lilin dan potong kue pun dimulai, tentu saja acara itu semakin meriah ketika Dhera bersama teman-temannya menyanyikan lagu Happy Bithday.
****
          Kurang lebih satu jam setengah berada di tengah-tengah acara itu membuat Dhera mulai suntuk. Ia bersama teman-temannya memilih kembali ke villa Ivan. Kenapa? Karena Indra dan anak-anak Say’A memaksa, padahal Dhera sudah menolak mentah-mentah. Katanya sih, mau bakar ikan hasil pancingan mereka. Kalau dibawa ke villa Akis jadi nggak seru. *alasan* Iya, memang itu salah satu alasan. Alasan selanjutnya tanya sama yang lain saja.
          Dhera duduk di teras bersama Ivhi dan Akis. Tak henti-hentinya gadis yang sekarang duduk di bangku SMA kelas 1 itu bercelotoh menanyakan ini itu kepada Dhera. Bahkan ia memilih duduk di samping Dhera sambil menggandeng tangan Dhera manja. “Kak Dhera, Kakak nggak tahu sih gimana frustasinya kak Indra nyari Kakak. Aku sempat berniat bawa dia ke rumah sakit jiwa loh.” kata Ivhi.
          “Eh, eh, eh, nih anak berani bener ngomong kayak gitu.” tiba-tiba Indra datang dan langsung menjewer telinga Ivhi. Kontan membuat Dhera dan Akis tertawa.
          “Ih Kakak, sakit tahu.” Ivhi mengelus-elus telinganya.
          “Wah, kalau itu niat elo Vhi, gue setuju dah. Bila perlu gue ikut ngantar.” timpal Akis sambil tertawa. Indra mendelik ke arah Akis tajam. “Dan kalau elo berani natap dengan tatapan seperti itu pada Inok, pasti elo bakal ditelen sama dia.” lanjut Akis menunjuk Dhera dengan dagunya. Mendengar penuturan Akis, Dhera melongo lalu memperhatikan postur tubuh Indra yang lebih tinggi darinya itu.
          “Ngaco, mana mungkin gue bisa nelen si Indra, ada juga gue yang nelen elo.” balas Dhera yang langsung di amini oleh Indra.
          “Dhe...” suara seseorang di belakang Indra. begitu Dhera tahu itu siapa, tawanya langsung lenyap dan membuang muka ke arah lain. Ivhi, Indra dan Akis juga hanya terdiam.
          “Ndra, gue...” Ucap Febri kepada Indra.
          “Iya Feb, gue ngerti kok. Sok elo jelasin aja ke Dhera semuanya. Tapi, awas aja kalau elo bikin Dhera nangis lagi, gue langsung gorok elo di tempat.” ancam Indra lalu menarik tangan Ivhi dan mengacak-acak rambut Dhera dan membisikkan sesuatu di telinga pacarnya.
          “Jadilah Dhera yang pemaaf.” bisik Indra lalu pergi bersama Ivhi dan Akis menyusul teman-teman yang lain di belakang villa sambil membakar ikan.
          Kini tinggallah dua orang di teras depan. Tak ada yang berbicara. Tiba-tiba tangan Febri menarik tangan Dhera. “Apaan sih lo, Kak?!” bentak Dhera.
          “Ikut gue dulu, Dhe.”
          “Nggak!”
          “Please...” Febri memohon sambil menatap Dhera dalam. Melihat tatapan itu, Dhera pun luluh. Ia bangun dari duduknya lalu mengikuti langkah Febri yang ia tahu itu menuju villanya (Milik Febri).
Bagian 17
Dalam Duniaku (Dhera)


          Aku terus mengikuti langkah Febri memasuki villanya, tentu tanpa sepengetahuan teman-teman yang lain. Perasaan kesal dan marah masih menyelimutiku. Febri terus membawaku ke sebuah ruangan yang kurasa ini berada di belakang villa, atau bisa dibilang gudang yang terpisah dengan villa ini. Dengan kunci dalam genggamannya, Febri langsung memasukkan kunci itu pada lubang yang dekat dengan gagang pintu. KREEEK...Pintu yang masih terlihat bagus itu terbuka setengah. Sejenak Febri menatapku yang masih keheranan.
         “Untuk apa Kak Febri bawa gue ke sini.” masih terdengar sinis.
         “Ada yang mau gue tunjukin ke elo, Dhe.” jawabnya. Lalu dengan gerakan cepat, pintu gudang terbuka sempurna. “Ayo Dhe.” ajaknya  Aku hanya menurut. Ku edarkan pandanganku ke seluruh ruangan gudang ini. Kurasa terlalu bersih dan rapi untuk di namakan gudang. Lihat saja, barang-barang semuanya tertata rapi, beberapa kursi kayu terbungkus rapi dengan kain putih.  Sepertinya Febri sering membersihkan gudang ini. Tapi apa mungkin?
         “Gue nggak kuat dengan debu.” ujarku. Bodoh, bodoh, bodoh. Kenapa juga aku mengatakan itu. Di sini hampir saja tidak ada debu. Akibat mengatakan itu Febri terkekeh meski tertahan.
         “Gue hampir setiap hari membersihkan gudang ini Dhe.” jawabnya. Aku hanya garuk-garuk kepala. Sepenting apa sih, nih gudang. Sampe tiap hari dibersihin. batinku.
         Kemudian langkah Febri terhenti di depan rak besar. Aku terdiam melihat Febri berjongkok dan menarik sebuah benda kotak berukuran besar. Tangannya dengan cepat membuka kotak yang terbalut kain putih. Begitu kain itu terlepas, ternyata hanya sebuah kardus. Febri mengangkatnya dan meletakkan di sebuah meja.
         Aku tak berani bertanya apakah itu? Febri juga tidak berkata apa-apa, ia hanya menatapku.
         “Apa sih ini?” akhirnya rasa penasaranku tidak bisa dibendung lagi. Sejurus dengan perkataanku itu Febri membuka tutup kardus. Diam, ia terdiam melihat isinya. Membuat aku semakin penasaran. Ku dekati Febri dan melongok ke dalam kardus. Aku menutup mulut dengan kedua tanganku begitu melihat dalam kardus itu.
         “I...ini...”
         “Gue nyimpen ini sejak elo memutuskan untuk membuangnya. Karena gue pikir ini bisa diperbaiki. Tapi ternyata, usaha gue sia-sia. Ini nggak bisa...” nada Febri terdengar berat. Mataku tak lepas melihat benda yang sangat aku kenal, tapi sekarang pecah menjadi beberapa bagian. Yah, itu pecahan minitur tamanku dulu. Semuanya masih ada, bangku taman, kumpulan rumput, batu-batu kecil, serpihan salju berserakan di sekitarnya. Pecahan kaca dari miniatur itu juga masih ada. Pandanganku tertuju pada patung kecil seorang cowok yang terbalut sweater, tapi sayang patung ceweknya agak rusak.
         Perlahan tanganku bergerak mengambil patung cewek itu. Sungguh! Bayangan tentang Papa memberikan miniatur ini kembali berputar di otakku. Hadiah yang selama ini aku inginkan, akhirnya terkabul.juga. Tapi itu tidak lama, beberapa bulan kemudian minitur ini pecah seperti sekarang.
         “Ini....” lirihku antara percaya dan tidak percaya pecahan ini berada di depanku. Padahal aku sudah menyuruh Papa untuk membuangnya. Tapi ternyata Febri malah menyimpannya.
         “Maafin gue Dhe, gue bener-bener nggak sengaja. Asal elo tahu Dhe, dari kejadian itu gue terus dihantui rasa bersalah. Gue emang pengecut nggak bisa ngakuin kesalahan gue. Itu karena gue sangat takut, takut dan takut dibenci sama elo.” Terang Febri dengan nada penyesalan dan menunduk. Sepertinya ia tak berani menatapku.
         “Beberapa tahun yang lalu seorang cewek bernama Ivhi menyarankanku untuk berkata jujur dan mengakui kesalahan gue, gue frustasi Dhe. Sedangkan gue nggak tahu elo di mana, elo nggak datang lagi ke Bogor. Bahkan beberapa kali gue datang ke villa yang dulu elo tempatin berharap elo bisa datang,
         “Seharusnya gue sadar, itu villa udah elo jual. Gue nggak tahu harus apa, perasaan bersalah gue membuat gue buntu. Gue pengen melupakannya, tapi kalau mengingat reaksi elo saat miniatur taman ini pecah bener-bener nggak bisa gue lupakan. Gue bener-bener minta maaf Dhe, sekarang gue siap kalau elo benci sama gue. Gue siap Dhe, asal elo maafin gue.” tes! tes! tanpa sadar airmataku nyeloroh jatuh begitu juga dengan Febri meski beberapa kali ia hapus.
         Perlahan aku melangkah dan berdiri di samping Febri. Febri kembali berkata.
         “Gue udah berusaha buat memperbaikinya, tapi itu gagal.” ucap Febri. Aku tahu, harga miniatur itu mahal, mungkin Febri tidak bisa menggantinya. Lagian, hadiah itu Papa pesan khusus buatku. Tentu hasilnya juga akan beda dari semula kalau Febri mau memesannya lagi.
         “Udah Kak, jangan bicara seperti itu. Gue emang kesel dan marah sama Kak Febri gara-gara ini. Jujur gue terpukul Kak, orang yang udah gue anggap Kakak sendiri malah yang mecahin miniatur itu sekaligus Kakak juga ngebohongi gue. Tapi gue nggak boleh egois, elo juga nggak sengaja mecahin. Misalnya gue di posisi elo mungkin juga sama, aku takut dan terus dikejar rasa bersalah. Atau mungkin gue nggak berani mengakuinya.
         Sedangkan Kak Febri mengakui kesalahan Kakak. Udah Kak, jangan ngomong gitu lagi, gue nggak benci sama Kakak.” terangku panjang lebar sambil mengelus-elus punggung Febri pelan.
         “Tapi Dhe, elo emang pantas buat ngebenci gue. Gue....”
         “Ssstt...Gue bilang udah Kak, yang terpenting Kak Febri sudah mengakui kesalahan Kakak.”
         “Makasih Dhe, makasih banyak.” Febri merengkuh tubuhku dalam pelukannya. Sejenak kita larut dalam rasa kasih sayang yang kembali muncul. Kasih sayangku kepada Febri sebagai Kakak.
%$%$#%$^$@&#



          Sesampai di villa, sudah menunjukkan pukul 19.00. Selesai mandi, aku dan Akis serta yang lain langsung packing barang-barang, biar besok saat pulang tidak repot. Yang tidak aku mengerti dari pihak sekolah, kenapa juga hari senin nanti berangkat, padahal sekitar satu minggu lagi itu tahun baru, kenapa gitu tidak sekalian saja liburannya. *maunya elo itu mah, Nok*
          “Kis ambilin syal gue di meja dong,” pintaku sambil memasukkan baju-baju ke koper. Akis tak bergeming.

bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar