“Kami dari pihak kepolisian.” Indra
kaget mendengarnya. Pasti sesuatu terjadi pada diri Dhera sampai-sampai polisi
menghubungi dirinya.
“A...Ada apa yah, Pak?” tanya Indra gugup.
“Teman Anda yang bernama Non Dhera Anggia Putri Prawitasari berada di
kantor polisi, karena mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi dan juga tidak
membawa SIM.” Polisi itu berbicara. Indra tertegun.
#%%^&%&%^^$#$
@ Kantor Polisi
Indra bergegas masuk ke dalam kantor
polisi. Ia lihat Dhera duduk dengan sedikit mencak-mencak, mulutnya
manyun-manyun sambil menjelaskan kepada polisi.
“Dhera!” seru Indra. Dhera menoleh.
Kemudian Indra duduk di samping Dhera, yang saat itu sedang d introgasi oleh
polisi.
“Ini ada apa, Pak?” Tanya Indra.
“Teman Anda melakukan beberapa
palanggaran, ia mengebut dan hampir menabrak pejalan kaki, serta tidak membawa
SIM.” Catatan, saat itu Dhera baru mendapatkan SIM beberapa minggu yang lalu,
ketika usianya tepat 17 tahun.
“Ih Bapak ini gimana, saya bawa SIM
pak...” bela Dhera.
“Kalau ada coba Anda tunjukkan.” kata
polisi dengan kumis tipis menghiasi bawah hidungnya. Dhera terdiam.
“Dhera, mana SIM kamu?” tanya Indra
pelan.
“Di tas Ndra, ketinggalan di rumah Kak
Ivan.” Dhera tertunduk. “Tapi Pak polisi ini nggak percaya kalau papa itu
polisi juga.” Belanya lagi.
“Kamu telpon papa kamu,” sergah Indra.
“Pulsaku habis.”
“Sudah, keterangan palsu Anda tidak
berguna bagi kami, untuk beberapa hari ini Anda kami tahan.” mendengar itu
Indra dan Dhera tersentak kaget.
“Pak tunggu dulu, Ayah Dhera memang
polisi Pak, ia juga beneran punya SIM.” Tambah Indra.
“Nih pak polisi rese yah, udah saya
bilang kalau saya itu...” Dhera sudah terlanjur emosi.
“Dhera udah Dhe, biar aku yang
ngomong. Mana handphone kamu.” Indra menatap Dhera. Sedangkan wajah Dhera merah
padam menahan amarah, dengan muka ditekuk ia meletakkan handphonenya di tangan Indra,
lalu pergi.
Lima belas menit kemudian, Indra
keluar dan menemui Dhera yang saat itu terus ngedumel di bangku tunggu. Di
wajahnya terbentuk beberapa lipatan.
“Pulang yuk, kamu bebas.”kata Indra
sembari mengulurkan tangannya.
“Kok bisa?”
“Tadi aku telpon Papa kamu. Udah ayo
pulang, apa kamu mau di sini aja.” Dhera melirik cowoknya, lalu menerima uluran
tangan Indra.
“Dhe, kamu naik mobilku aja yah.”
Dhera menggeleng dan siap-siap masuk ke mobilnya “Dhera, dengerin aku napa? Aku
nggak mau kamu ngebut lagi, itu bahaya Dhe. Nanti mobilnya biar Ivhi yang ngambil,
dia lagi ke sini sama temannya.” Indra
sedikit memaksa. Sambil manyun, ia menurut lalu masuk ke dalam mobil.
Membanting pintu dengan keras. Si Indra hanya geleng-geleng.
Beberpa menit di perjalanan Dhera
tidak mengeluarkan sepatah katapun, matanya melihat ke luar jendela. Indra
dapat menebak nih cewek habis nangis, lihat saja lingkaran di kelopak matanya.
“Dhe...”
“Hmmm...”
“Masih kepikiran tentang...miniatur
taman itu yah.”
“Udah Ndra, nggak usah bahas masalah
itu.”
“Aku tahu kalau Febri yang mecahin
minatur itu.” ucap Indra.
“Tahu dari mana?” tanyanya penasaran.
“Dari Ivhi.” Dhera melirik ke Indra.
“Ivhi? Kok bisa?”
“Iya, beberapa tahun lalu aku baru
ingat kalau Ivhi pernah tinggal di villa Bogor bersama Opa dan Oma. Dari
situlah Ivhi kenal dengan Febri, aku sih nggak tahu jelas gimana pastinya. Kata
Ivhi ia kenal dekat dengan Febri, tapi nggak dengan Ivan. Hingga pada akhirnya
Febri menceritakan rahasia yang selama ini ditutupinya pada Ivhi. Febri tidak
tahu kalau Ivhi itu adikku.”
“Terus Ivhi menceritakannya sama
kamu?” tanya Dhera. Indra mengangguk, sambil terus mengemudi.
“Karena Ivhi tahu kalau aku selama ini
selalu mencari kamu, Dhe. Bahkan beberapa kali ia memaksa ingin ikut untuk
mencari kamu, katanya ia rindu.” Lanjut Indra. Dhera kembali terdiam.
“Tapi kak Febri udah bohongi aku.”
Tes! satu bulir jatuh di pipinya. “Dia memecahkan benda berhargaku, dan tidak
mengakui kesalahannya.”
“Nggak Dhe.” potong Indra. “Kata Ivhi,
Febri tidak sengaja memecahkannya. Ia hanya ingin meminjam miniatur taman itu
untuk mengerjai kamu, bagaimana misalnya miniatur taman itu hilang, tapi di luar
dugaan ia malah memecahkannya. Febri takut kamu marah dan membecinya, ia lebih
memilih merahasiakan ini daripada harus dibenci kamu.” terang Indra lagi.
“Shit!
Tetap saja ia bohongi aku Ndra.” Tiba-tiba handphone Indra bunyi. Belum sempat
Indra menenangkan kekasihnya, ia keburu mengangkat telpon.
“Hallo Kis,” sapa Indra. “Iya, kita
lagi di jalan. Kalian tunggu aja di acara temen Ivhi, kita langsung ke sana.”
Terjadi percakapan antara Indra dan Akis. “Iya, elo tenang aja. Beberapa menit
lagi kita sampai. Bilang sama temen Ivhi kasih waktu buat penampilan Say’A
sampai Dhera datang.” Klik! Indra menaruh handphonenya. Karena Ivhi sendiri
sedang mengambil mobil Dhera.
“Dari Akis.”
“Iya, kita langsung ke tempat acara.
Sebentar lagi akan di mulai.”
“Aku nggak mau manggung, aku nggak mau ketemu sama Kak Febri.” sahut Dhera.
Moodnya bener-bener down.
“Kok gitu Dhe, kamu nggak kasihan sama Ivhi. Ia ingin ketemu kamu.”
“Tapi...”
“Lakukan ini demi Ivhi dan anak-anak Say’A.” ujar Indra. Dhera menghela
nafas, lalu mengangguk. Tiba-tiba tangan Indra mendarat di punggung tangan
Dhera. “Udah ah! Jangan cemberut gitu, jelek tahu.”
“Bodo.” jawab Dhera cuek bebek.
“Dhe, masalah Febri lebih baik kamu
omongin dulu biar semua....”
“Udah Ndra, aku nggak mau bahas itu
lagi.” potong Dhera lalu melempar pandangannya ke jendela. Indra tak lagi
berkicau, ia konsen menyetir. Tidak sampai dua menit, handphone Indra kembali
bunyi.
“Dhe...”
“Apalagi? Bilang sama Akis, kalau dia
telpon lagi aku bakal beneran batalin nih acara.” ancamnya.
“Bukan dari Akis, dari papa kamu.”
Deg! Dhera langsung melihat ke Indra dengan tatapan kaget juga takut.
Dipastikan ia akan mendapat khotbah yang panjang. “Nih.” Indra memberikan
handphonenya. Perlahan Dhera mengambil setelah menarik beberapa hela nafas
beratnya.
“Hallo Pa?” sapa Dhera getir.
“Inok kamu ini apa-apaan, kenapa tadi
bisa di kantor polisi. Kenapa juga kamu pake acara ngebut terus nggak bawa SIM,
inget yah Nok kamu ini anak polisi.” runtut pertanyaan Papa sampai-sampai Dhera
sedikit menjauhkan handphone dari telinganya. Indra yang melihat itu hanya
menahan tawa.
“Iya Pa maafin Inok, tadi SIMnya
ketinggalan di tas, dan tasnya nggak Inok bawa. Kalau acara ngebut itu...”
“Kamu bilang ngebut itu acara.
Inok...?!” Papa geram di saluran sana, Dhera hanya menggigit bibirnya. “Kapan
kamu pulang, papa nggak mau kamu bikin masalah di situ, apalagi sampai ke
kantor polisi.” potong papa melanjutkan aksi ceramahnya *ganti lagi*
“Iya Pa, besok juga kami pulang kok.
Lagian tadi tuh pejalan kakinya aja yang nggak lihat jalan. Tapi beneran deh,
Inok nggak nabrak kok?” *Loh, emang tadi papmu nanya kamu nabrak nggak, yah?
nggak kan? -,-‘
“Ya sudah, Papa tunggu kamu. Salam
buat Indra.” klik! Dhera menyerahkan handphonenya ke Indra yang saat itu sudah
tertawa sambil memegang setir.
“Apaan sih, ketawanya bangga banget.”
sungut Dhera.
“Nggak, nggak apa-apa kok. Tapi muka
kamu....hadooohh...asli ancur!”
“Indraaaa....!!!” teriak Dhera
mencubit pinggang Indra.
“Hadooh, sakit Dhe. Udah sekarang
pasang sabuk pengamannya.” Indra ancang-ancang.
“Mau ngapain Ndra, kamu mau ngebut?”
Indra hanya mengangguk. “Hei! Tadi kamu yang bilang aku nggak boleh ngebut, eh
sekarang kamunya yang mau ngebut. Plin-plan
ah!” Dhera protes.
“Hadeeh, sebentar lagi acara di mulai.
Kalau aku ketangkep nggak apa-apa deh, asal di tangkapnya sama papa kamu, kali
aja langsung dijadiin mantu, hahha.” Indra tetawa. Dhera mengacak-acak rambut
Indra lalu memasang sabuk pengamannya. Padahal orang tua Indra juga polisi.
Ckckc apakah ini jodoh?
Amazing!
Tidak sampai setengah jam mereka berdua sudah sampai di depan sebuah café yang
sudah penuh dengan orang-orang. Kemeriahan juga sampai terdengar ke luar.
Dengan cepat Indra memarkir mobilnya di ujung.
“Ayo Dhe,” kata Indra membuka pintu. Tapi
Dhera tak beranjak, ia malah menatap Indra “Kenapa? Nggak mood lagi.” tebak
Indra.
“Aku beneran nggak mau lihat Kak Febri,
Ndra. Aku...aku...masih kesal sama dia.” Matanya kembali berkaca-kaca. Tubuh
jangkung Indra menunduk, lalu memegang kedua pipi Dhera dengan tangannya.
“Non Dhera yang aku kenal tidak boleh
kayak gitu, Non Dhera yang aku kenal itu sangat pemaaf.” ucap Indra lembut
sambil menyelami mata indah Dhera. “Dan satu lagi, nggak boleh nangis. Masa
nanti kamu nyanyi matanya gitu...” Indra mengusap lembut mata Dhera.
“Kamu temenin aku.” katanya manja.
Indra hanya mengangguk yakin, lalu menggandeng tangan Dhera masuk café. Tentu
saja tidak langsung ke panggung meski teman-temannya sudah berada di atas sana.
Dan saat itu Akis yang menjadi vokal.
Indra dan Dhera pergi ke belakang
panggung. Namun, Dhera langsung bersembunyi di belakang tubuh Indra begitu
tatapannya menemukan sosok Ivan, meski pun tidak ada Febri di sana. Bagi Dhera,
Ivan juga sama kenapa ia tidak memberitahukan masalah ini padanya. Sama-sama
membohongi Dhera.
“Dhe, kamu nggak apa-apa.” Sergah Ivan
dengan nada cemas. Dhera tak menjawab, ia malah semakin menenggelamkan tubuh
mungilnya di belakang Indra.
“Dia nggak apa-apa, Van.” Indra
menggantikan jawaban Dhera dengan tangannya terus menggenggam tangan Dhera
erat. “Ini penampilan berapa, Van?” tanya Indra.
“Pertama Ndra, terpaksa Akis yang
nyanyi soalnya penonton sudah ingin melihat penampilan mereka.” jawab Ivan
sekaligus penjelasan pendeknya.
Riuh tepuk tangan penonton menggema di
seluruh dinding café, tanda penampilan pertama Say’A selesai. Kemudian di sudut
panggung sana teman Ivhi yaitu Lisa dengan pembawa yang kembali bercuap-cuap
tentang penampilan mereka. Kemudian sudut mata pembawa acara itu berkedip ke
arah Ivan. Ivan si cowok cute and baby face itu mengacungkan jempolnya, lalu
melirik ke Indra.
“Giliran Dhera yah,” ujar Indra. Ivan
mengangguk.
“Baiklah,
cewek yang kita tunggu-tunggu sebagai pelengkap band Say’A ini ternyata sudah
datang dan siap menghibur kita semua.!” kata pembawa acara dengan
semangat.
bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar