Minggu, 29 Juli
2012
Nyanyian
Nina Bersama Senja
Ku buka
jendela kayu dengan tirai berwarna putih yang sudah kusam. Meski pun sudah
beberapa kali dicuci tetap saja warnanya tidak sebening dulu. Itu tirai sudah
terpasang sebelum aku menempati kontrakan yang minimalis ini. Yang hanya ada
ruang tamu, dapur yang digabung dengan ruang makan, kamar mandi, dan satu kamar
tidur. Tak ada yang istimewa di kontrakan ini, kecuali kedamaian yang aku
rasakan. Tapi untuk sekarang, kedamaian itu terusik.
Sang surya tak terlihat, hanya ada awan-awan mendung
menghiasi langit. Sepertinya akan turun hujan. Pastinya membuat aku sedikit
kewalahan melewati jalanan becek di gang pemukiman kontrakanku.
“Nina! Sudah belum mandinya!” teriakku. Namun, beberapa
detik setelah teriakan itu aku terhenyak. Menyadari sosok sahabatku itu tidak
berada di rumah. Tiga hari lalu Nina pergi ke rumah seseorang yang selama ini
menunggunya. Entah aku tidak tahu seseorang itu siapa. Bahkan aku juga tidak
tahu apakah Nina betah di sana, atau malah sebaliknya. Ia juga sudah tiga hari
tidak berangkat sekolah. Mengingat tak ada Nina, aku langsung masuk kamar mandi
dengan handuk yang sudah nyangkol di bahu kananku.
Nina, cewek cantik dengan postur tubuh tinggi, rambut
panjang serta bola mata yang berwarna cokelat itu adalah sahabatku. Kami
dipertemukan di sebuah panti asuhan, Harapan Bunda. Yah, saat kami sama-sama
berusia 1o tahun. Dari situlah persaudaraan kami terjalin begitu erat. Di mana
ada Nina di situ ada aku.
Hingga sekarang, kami berdua sudah duduk di bangku SMA
kelas XII. Tentu saja kita satu kelas bahkan satu bangku. Lalu bagaiman kami
sekolah? Dari awal pertemuan kami, memang biaya untuk sekolah masih
mengandalkan para donatur-donatur yang menyumbangkan dananya ke panti asuhan.
Akan tetapi, aku dan Nina tidak tinggal diam. Untuk mencukupi hidup kami berdua
dan juga Ibu Fatimah─pengurus panti asuhan─
aku dan Nina berjualan kue dan makanan lainnya yang ibu Fatimah buat.
Barulah kami memutuskan keluar dari panti ketika masuk
SMA. Tapi tetap berjualan. Di waktu luang, aku dan Nina juga sering mengunjungi
panti asuhan. Kenapa kami memilih keluar dari panti? Pertama, kami tidak ingin
merepotkan ibu Fatimah lagi yaitu dengan hidup mandiri. Kedua, kami tidak ingin
terpisahkan. Pernah, beberapa orang tua berniat mengadopsi aku, tapi aku
langsung menolak. Begitu pun dengan Nina, ia akan segera menolak saat ada yang
mengadopsi. Kami benar-benar tidak ingin terpisahkan. Bagiku, Nina adalah
sahabat, saudara terdekat yang aku miliki. Aku bersyukur mempunyai Nina, walau
pun kami tidak mempunyai hubungan darah.
Sekarang Nina tidak ada. Dan aku harap ia segera kembali,
baru saja ditinggal tiga hari aku sudah sangat merindukannya.
“Assalamualaikum...” terdengar seseorang mengucap salam.
Aku langsung menyambar tas selempangku lalu keluar kamar.
“Walaikumsalam...”jawabku seraya membuka pintu. Wanita
berumur 35-an tersenyum manis padaku. “Tente Inah?” sapaku.
“Ayo tante masuk dulu,” aku mempersilakan Tante Inah
masuk. Ia adalah tetanggaku.
“Nggak usah Senja, tante cuma sebentar kok.” Ucapnya.
“Pulang sekolah kamu sibuk nggak?” tanyanya lagi.
“Hmm, nggak tante. Ada apa memang?”
“Ada pekerjaan untuk kamu. Kamu mau kan mengajari anak
tante les?” aku langsung megangguk diakhir ucapannnya. Yah, untuk mengisi waktu
luang, aku mengajar les privat kepada orang yang membutuhkan. Aku menerima les
privat apa saja, dari mata pelejaran Sekolah Dasar sampai SMA. Tapi kebanyakan aku mengajar les privat SMP.
Bayarannya pun aku bagi dua dengan ibu Fatimah. Bagaimana pun juga, panti
adalah bagian dari hidupku. Bagaimana dengan Nina? Tak jauh beda denganku.
Untuk mengisi waktu luang, ia melatih anak-anak kompleks perumahan bermain basket
dan volly. Nina memang menyukai olahraga. Bahkan ia juga menjadi pelatih basket
dan volly di beberapa SMP.
“Baiklah, nanti bukan anak tante saja yang kamu ajari,
ada anak temen tante juga.” Paparnya lagi. Aku mengangguk.
“Iya tante, makasih yah.” aku tersenyum. Tiba-tiba tangan
tante membelai rambutku lembut. Tatapannya berubah sayu.
“Kamu nggak apa-apa Senja?” tanyanya. Kembali aku
tersenyum, sudah bisa aku tebak apa maksud tante Inah. “Kamu pasti kesepian
tidak ada Nina, yah?” aku terdiam. Nina,
kapan kamu pulang? Langsung tante Inah membawaku dalam pelukannya.
Mengelus-elus punggungku pelan, menenangkan.
“Kamu yang sabar yah, bila perlu kamu tinggal di rumah
tante saja.” tawarnya. Aku melepaskan pelukannya lalu menggeleng.
“Nggak tante, nggak usah.” jawabku sedikit terbata.
“Ya sudah. Kamu baik-baik yah, Senja.” aku mengangguk,
lalu mencium punggung telapak tangan tante Inah. “Assalamualaikum...”
“Walaikumsalam tante.” Beliau pergi. Tante Inah adalah
tetangga yang paling dekat denganku. Aku langsung mengunci pintu, dan berangkat
sekolah.
****
Gerimis turun,
saat aku menunggu angkot di persimpangan jalan. Biasanya aku selalu bercanda
dengan Nina tiap kali berangkat sekolah. Satu lagi, Nina itu suka gerimis, tapi
tidak suka dengan hujan. Katanya suara hujan membuatnya takut. Ah! Aku rindu
Nina.
Aku mengucap syukur begitu angkot datang. Langsung saja
aku masuk yang sudah sesak dengan penumpang. Beberapa menit kemudian aku sampai
di sekolah. Ratusan pasang mata menatapku iba, beberapa anak tersenyum aku
hanya mampu membalas senyuman itu. Sampai di kelas juga sama, tatapan itu.
Membuat hatiku semakin terusik.
“Senja, yang sabar yah?” ucap Bella seraya menepuk
pundakku. Aku tersenyum lalu duduk di bangkuku. Ini tentang Nina, yah mereka
sudah tahu Nina pergi meninggalkan aku dan tak tahu kapan ia kembali. Ku lirik
bangku di sampingku yang kosong.
“Nina, andai kamu di sini? Aku tidak
akan kesepian seperti ini.” batinku dengan mata yang
berkaca-kaca. Sebisa mungkin aku menahan buliran ini tidak jatuh.
***
Langit tetap murung, sama sekali tidak terlihat adanya
sang surya. Aku melangkahkan kakiku keluar gerbang. Tetap tak ada Nina di
sampingku. Biasanya kalau sudah bel pulang berbunyi Nina senangnya bukan main,
karena ia akan segera melatih anak-anak kompleks perumahan atau pergi ke SMP
untuk melatih basket dan volly. Tapi sekarang tawanya hilang, bagai ditelan
bumi.
“Senja!” seseorang memanggilku. Kuhentikan langkahku.
Dari arah parkir sebuah motor gede melaju pelan ke arahku. “Mau pulang? Gue
antar yah?” ucap Angga masih nongkrong di atas motornya. Angga? Cowok yang
disukai Nina. Tetapi Nina tak berani mengutarakan rasanya itu. Nina selalu
salah tingkah tiap kali melihat Angga. Maklum, Angga adalah cowok populer di
SMA Bintang ini, cewek yang ngejar-ngejar Angga juga bejibun. Nina yang hanya cewek biasa, tidak mungkin Angga
meliriknya.
“Elo kok bengong?” Angga menepuk pundakku. Aku gelagapan.
Tak percaya, tentu saja. Seorang Angga mengajakku pulang, eh bukan. Mengantarku
pulang? Kalau ada Nina, pasti ia akan senang minta ampun.
“Eg...nggak usah deh, Ga. Aku naik angkot aja.” jawabku
terbata.
“Mendung loh.” Angga menatap langit. “Gue antar aja yah,
nunggu angkot lama. Dari pada nanti elo kehujanan.” ucap Angga lagi. Aku
terdiam sejenak. Lalu mengangguk.
Aku dan Angga melaju di keramaian kota. Tes! Gerimis
kembali turun. Motor Angga tetap melaju bahkan menambah kecepatannya, katanya
biar cepat sampai rumah. Kalau Nina tahu aku diantar pulang oleh Angga ia pasti
marah, jelas saja seperti itu. Angga adalah cowok pertama yang membuatnya jatuh
cinta. Sejak ia masuk SMA.
“Senja, kayaknya bakal hujan gede nih, kita berteduh dulu
yah?” seru Angga melirik ke arahku. Aku hanya diam, menurut. Benar saja, hujan
turun begitu deras begitu aku dan Angga berteduh di depan café. Angga
mengibas-ngibaskan rambutnya yang basah. Aku sendiri terdiam menatap langit.
“Kita masuk aja yuk,” ajaknya menarik tanganku. Kontan
aku langsung melepaskannya. “Sorry.” ucapnya lagi. Aku mengikuti langkah Angga.
Nina, ini mimpi kan? Seorang Angga
mengajakku ke sini? Coba kamu ada di sini, Nin. Batinku.
Angga memesan minuman hangat untuknya dan untukku.
Perlahan-lahan ia meneguk minumannya dengan raut wajah kedinginan. Aku hanya
memegang minuman hangat itu ditelapak tanganku. Risih juga mendapat tatapan
aneh dari pengunjung café. Sadar aku dan Angga memakai seragam, berdua lagi.
Aku hanya menundukkan kepalaku dalam. Hening. Tak ada yang berbicara. Entah apa
yang Angga pikirkan.
“Senja, gue sudah denger berita tentang Nina. Elo, yang
sabar yah?” ucapnya pelan. Aku tak menjawab. Tunggu! Angga tadi menyebut nama Nina?
“Aku tidak percaya kamu mau mengantarku pulang. Setahuku
kamu tidak terlalu dekat denganku dan Nina.” tuturku di luar pembicaraan Angga
tadi. Angga kembali meneguk minumannya. Apa yang aku katakan itu benar. Angga
tidak dekat denganku dan Nina, hanya beberapa kali Angga menyapa kami saat di
sekolah. Lagian cowok populer seperti dia mana sudi berteman dekat denganku dan
Nina yang hanya anak super biasa di sekolah. Meski bisa dibilang otakku rada
encer, tapi status sosial lebih diangkat di SMA Bintang.
Ada senyum di sudut bibirnya. “Memangnya kalau mau
ngantar pulang, harus dekat dulu yah? Kalau begitu, bila ada seseorang yang tersesat
tak tahu arah jalan kita tidak boleh mengantarnya karena kita tidak dekat
dengan orang itu?” Pintar. Aku terdiam mendengar ucapannya. Dalam hati aku
membenarkan ucapan Angga barusan.
“Bukan seperti itu Ga, maksudku...”
“Well, gue ngerti kok.” potong Angga langsung. Untuk
pertama kalinya aku diajak cowok ke café. Cowok itu Angga pula! Sesuatu yang
sulit dipercaya. Wajar saja cewek-cewek mengejarnya, cowok di depanku ini
begitu ─keren─
“Kamu tahu Nina?” tanyaku heran.
“Hei Senja, kita satu sekolah wajar kalau gue tahu Nina.
Bahkan gue tahu banget tentang Nina.” ucapnya langsung.
“Maksudmu?” aku tak mengerti. Angga terlihat gugup.
Sepertinya Angga keceplosan mengucapkan tadi. Untuk menutupi kegugupannya, ia
kembali meneguk minuman. “Maksudmu apa Ga?” ku ulang pertanyaanku.
“Nggak ada maksud apa-apa kok.” jawabnya dengan data
jutek. Aku meneguk minuman hangat di depanku. Aku tahu, sesuatu disembunyikan
Angga. Sepertinya tentang Nina. Kembali hening. Di luar sana hujan masih
mengguyur dengan derasnya. Masih dapat ku dengar guntur menggelegar, meski di
café ada alunan nada yang lembut. Kalau ada Nina, pasti ia akan merangkulku
erat. Menutup telinganya rapat-rapat mendengar suara hujan dan guntur.
“Senja...” lirih Angga. Seketika aku melihat ke arahnya.
Raut wajahnya masih gugup tapi terlihat serius.
“Ya.”
“Elo udah....punya pacar?” lirihnya lagi dengan suara
pelan. Tapi dengan Angga di depanku, terdengar jelas di telingaku. Aku tertegun
mendengar ucapannya. Aku tak menjawab. Untuk apa dia menanyakan itu padaku? Apa
maksudnya? Aku jadi ikut gugup. Maklumlah, walau sudah kelas XII tapi aku belum
pernah yang namanya pacaran. Kalau jatuh cinta mungkin iya, tapi bukan dengan
Angga. Nina, hanya sahabatku yang jatuh cinta pada cowok yang bernama Angga.
Aku melemparkan ke sekeliling. Orang-orang sibuk makan
dan minum yang hangat-hangat. Aku merogoh sesuatu dari tasku, kulihat jam
tangan cream yang aku beli dari bayaran les privat.
“A...aku harus pulang sekarang Ga.” kataku segera. Pasti
Angga dapat melihat kegugupanku yang amat ketara.
“Tapi masih hujan, Senja.”
“A...aku harus pulang. Ada perlu.” jawabku lalu berdiri menenteng tas. Dengan cepat aku berbalik
menuju pintu depan. Kulihat Angga juga bangun dari duduknya dan mengejarku.
“Gue antar yah?” TAP! Tangannya berhasil menahan
tanganku.
bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar