Sabtu, 04 Agustus 2012
21. 30
Dalam
Mimpi Dhera
Drap...drap...drap...aku
sedikit berlari.
Mulutku sudah manyun beberapa senti mendengar omelan
Memey di telepon. Sampai-sampai aku pergi ke belakang kostan untuk mendengarkan
ceramah Memey. Pamorku turun deh kalau anak-anak penghuni kost di jalan Setia
Budi, Bandung, ini pada tahu. Seorang Dhera di ceramahin yang panjangnya kayak
kereta lebarnya kayak jalan pantura oleh nyokap tersayangnya. Aku duduk berdiri
pohon yang ada di belakang kost.
“Tapi kan Mey...”Aku berusaha menyela perkataan Memey
yang pastinya langsung di sela lagi sama Memey. Pokoknya tidak ada jalan.
Ibarat sedang mudik, jalan pintas mana pun sudah tidak bisa dilewati, macet
total. *perumpaannya jelek sekali si author*
“Memey minta kamu berhenti ngeband, Nok!” ultimatum dari
Memey terlontar dari mulutnya.
“Yah, yah, yah, kok gitu. Sebelumnya Memey ngizinin Inok
ngeband kan?” aku mulai kawatir. Jantungku memopa lebih cepat lagi. Berhenti
ngeband? Apa kata Say-What nanti. Oh tidak! *lebay sekali dirimu*
“Nggak akan Memey izinin kalau kamu terus bolos kuliah
demi ngeband. Hobby sih hobby Inok, tapi kewajiban kamu jangan sampai dilupakan.”
ujar Memey lagi. Aku menggigit bibir bawahku. Ingat pepatah dulu.
Setajam-tajamnya kulit durian, pasti akan tumpul juga *gak ada wooiii pepatah
itu* sepandai-pandainya menyembunyikan bangkai, pasti akan tercium jua. Nah,
pas banget dengan situasi sekarang. Ok, aku akui, aku baru masuk kuliah sekitar
tiga bulan, tapi bolosku sudah banyak. Aku kira Memey tidak tahu, tapi
ternyata. Insting seorang ibu itu tajam, setajam pedang. Kalau tidak karena
insting, pastinya abangku si Yogi memataiku. Abang jahatnya dirimu padaku
*Tuhan, lebay sekali ini author*
“Mey, menjadi penyanyi dan punya band itu impian Inok.
Inok ingin mewujudkannya?” rengekku berharap Memey mengerti. Tapi usahaku
sia-sia. Memey terus mengatakan kalau aku tidak boleh lagi ngeband bareng
Say’A, suruh fokus kuliah.
“Papa kamu juga marah denger kamu sering bolos. Sudah
Inok, dengerin Memey. Apa kamu mau papa kamu yang marahin kamu!” kata Memey.
Aku tak menjawab. Meski pun sekarang tidak di depan Memey, aku sudah menebak
bagaimana raut Memey sekarang. Seyeeem *serem maksudnya* Aku memukul-mukul
batang pohon dengan kakiku. Kesal. Tentu saja.
“Mey...”rengekku lagi.
“Nggak Inok, kali ini kamu harus dengerin Memey.” kata
Memey tegas. Aku menunduk. Mataku mulai memanas. Siapa juga yang bakar-bakaran
sampai mataku pedih seperti ini. *kata-kata Memey yg bakar-bakaran Nok*
“Ini impian Inok, Mey...”
“Inok, kamu tahu Memey sendiri ragu kamu ngekost, kamu
biasa manja sama Memey, sekarang kamu di Bandung sendiri. Tapi kamu malah bolos
dan nggak dengerin Memey.” Memey ngamuk. Aku tak menjawab. Aku akui
kesalahanku, mungkin aku memang pantas untuk dimarahi.
“Inok belajar mandiri kok Mey, Inok juga udah bikin susu
sendiri, udah makan sendiri.” ucapku pelan.
“Tapi nggak ada yang bilangin kamu!”
“Ada kok, ibu kost sama teman-teman Say’A.”
“Berarti kamu yang bandel nggak dengerin setiap nasihat
yang mereka berikan padamu.” aku tak menjawab. Salah lagi kan? Sudahlah, tak
ada jalan untukku. Tapi aku tidak akan mendengarkan ucapan Memey untuk mengubur
impianku. Jawabannya TIDAK! Dengar itu TIDAK!
“Memey harap, ini peringatan terkahir buat kamu. Ingat
jangan bolos kuliah!” tegas sekali ucapannya. Aku hanya mendesah. “Kamu
hati-hati di sana Nok, ingat Memey tahu apa yang kamu lakukan.” lanjutnya.
Punya mata batin nih si Memey. Hebat benar bisa tahu kegiatanku.
“Iya Mey...” jawabku.
“Ya sudah, Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam.” klik! Telepon terputus. Aku menggigit
ujung handphoneku. Kesal. Sangat. “Gue buang juga nih, handphone!” sungutku
mengangkat handphone tinggi-tinggi.
“Eits! Sayang sekali dibuang, buat gue aja.” tiba-tiba
sebuah tangan meraih handphoneku. Rambut pendeknya bergoyang tertiup angin.
“Apaan sih lo, balikin nggak!” ujarku.
“Nggak bisa, elo kan tadi mau buang. Mending buat gue.”
“Akiisss!!! Balikin cepeet...!!” nah tuh pohon semuanya
bergetar mendengar teriakanku. Burung-burung terbang ke angkasa tak mau
tergampar oleh suara merduku. *author tutup kuping* “Gue nggak jadi buang!” aku
meraih handphoneku dari tangan Akis. Akis hanya mencibir.
“Plin plan.”
“Bodo.” Aku menjulurkan lidah ke arahnya.
“Lo kenapa tadi, hampir meledak gitu?” tanya Akis. Aku
melangkah menuju ke kost’an dengan Akis di sampingku. Kalau mengingat kata
Memey, mataku rasanya kembali memanas, dan juga kesalnya bisa sampai ke
ubun-ubun.
“Memey!”
“Ada apa dengan Memey lo, sakit? Kalau sakit kenapa tadi
elo kayak mau meledak gitu, apinya juga sudah menyala di sini.” Akis mengacak
rambutku. Berasa kepalaku obor bisa nyala api.
“Cerewet! Bukan itu. Elo ngarepin Memey gue sakit?”
tatapku tajam.
“Sensi deh si Inok. Becanda non...”
“Ini masalah serius?” raut wajahku berubah. Lalu duduk di
depan kost’an. Tak mempedulikan tatapan anak-anak lain. Denger-denger mereka
sirik padaku, karena aku mempunyai tampang yang kece badai *korban sinetron*
aku sih masa bodo. Yang penting aku bersyukur sama Allah, karena diberi tampang
sekece ini *pedenya dirimu Nok*
“Memey tadi telpon, nyeramahin gue. Dan ultimatum yang
gue terima itu, gue disuruh berhenti ngeband, dan fokus kuliah aja.” jelasku.
Kontan membuat mulut Akis menganga seperti mulut buaya lagi berjemur.
“Yah terus gimana dengan Say’A?” Akis ikut kawatir.
“Gue nggak mungkin berhenti Kis, menjadi penyanyi dan
punya band itu impian gue. Yah, gue harus mewujudkannya sebisa guelah.”
tandasku mengklik tombol go to di
handphoneku. Dari pada pusing, on itu lebih baik. Tapi tangan Akis menutup layar
handphoneku.
“Ini serius Nok, jangan main handphone dulu.” kata Akis.
Aku menurut lalu mendesah. “Elo sih kebanyakan bolos.” lanjutnya. Aku balik
menatap Akis.
“Kayak elo nggak aja. Kita berdua dan anak Say’A lain
memang sering bolos kan?” balasku.
“Tapi elo lebih banyak.” lanjut Akis. Aku tak menjawab.
Masa iya aku lebih banyak *iya apa nggak Nok*
“Tapi kan demi ketemu kalian?” belaku. Aku dan Akis
memang beda kost, kalau sekarang dia ada di sini itu kebiasaannya. Sering main
ke sini. Selain itu, aku dan anak Say’A lainnya beda kampus. Itulah yang
menyebabkan kita bolos kuliah untuk ketemuan di suatu tempat, membahas lagu,
musik, latihan, sampai mencari job. Maklum, kita memang ingin sekali menjadi
band yang besar. Itu tidak mudah, aku tahu. Tapi kita hanya bisa berusaha dengan
keras untuk mendapatkan hasil yang baik. Itu sesuai moto Say’A.
Sebagai info, aku kuliah di Institut Teknologi Nasional
(Itenas) jurusan Desain Komunikasi Visual. Akis di Universitas Indonesia (UPI)
jurusan pendidikan seni musik. Herdi di Universitas Pasundan (Unpas) jurusan
Akuntansi. Aji di Universitas (UPI) jurusan pendidikan seni musik sama seperti
Akis. Dan Tablet di Universitas Komputer Indonesia (Unikom) jurusan Teknik
Komputer (computer engineering). Semuanya memang masih wilayah Bandung. Cuma
waktu yang dibutuhkan untuk latihan itu memang sedikit mengorbankan jam kuliah.
“Terus gimana Nok?” Akis bimbang atau galau yah?
Entahlah, apa kata Akis saja.
“Kis, ini kan impian kita. Masa kita mundur begitu saja.
Nggak ada salahnya kan kita terus berusaha, kali aja nanti ada yang mau
ngontrak Say’A. Berpikir positif aja.” kataku menenangkan. Padahal aku sendiri
tidak tenang.
“Terus gimana dengan Memey lo?”
“Gue pinter-pinter bagi waktu aja.”
“Emangnya elo pinter bagi waktu?” sergah Akis ragu. Aku
menggaruk-garuk kepalaku. Lalu tersenyum nyamping di depannya “Semprul! Bagi
waktu tidur dan ngerjain tugas kuliah aja elo payah Nok, banyakan tidur elo
mah.” Sindir Akis. Aku hanya manyun. Pinter banget bongkar kartu nih anak.
****
Aku sibuk mengotak-atik camera niconku. Akis mengobrol
dengan Herdi. Nah tuh si Aji manyun deh. Lupa! Akis dan Aji udah pisah, Akis
bilang dari pada putus pertemanan mending putus pacaran. Nice. Aku lihat pasca
putus mereka baik-baik saja, seakan tidak menampakkan rasa penyesalan di mata
mereka berdua. Aku akui, Akis cukup kuat kalau masalah perasaannya. Lalu
bagaimana denganku? Di jawab nggak yah...*ganjen* masalah Indra. Sedikit kecewa
karena Indra masih di Semarang. Bilangnya entar bulan depan akan ke Bandung.
Semoga.
“Ya Tuhan, si Tablet ke mana sih? Tuh anak ke salon dulu
kali yah, lama bener.” sungut Aji yang sudah beberapa kali menengok ke pintu
depan. Tak ada sosok Tablet, kami ketemuan di café setengah jam yang lalu, tapi
Tablet belum juga datang. Jangan tanya bagaimana kita ke sini. Bolos, pasti.
Tapi tidak semuanya bolos. Aji dan Akis yang satu kampus mereka memang kompak untuk
bolos, Herdi yang ada jam kuliah, memilih kuliah dulu. Katanya cuma satu
pertemuan. Kalau aku, insyaf deh. Untungnya hari ini aku tidak ada kuliah, jadi
aku tidak bolos *horeeee gak jadi dimarahin Memey*
“Emang kita mau ngapain sih?” ujar Akis. Aku mengangkat
bahu.
“Jadi gini...”
“Sorry gue telat!” Tablet datang memotong perkataan Herdi
yang baru dua kata itu. Tepat juga nih anak. Meeting akan dimulai *bahasanya
ih*
“Habis nyalon yah,” timpal Aji.
“Bukan, mutilasi orang dulu.” jawab Tablet asal.
“Mutilasi apa makan hasil mutilasi.” sambungku. Langsung
Tablet menoyor kepalaku. Rese.
“Ok ok, gini gue punya sesuatu.” kata Herdi lalu mengeluarkan
sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah kertas, hmmm aku lihat itu brosur. Benar
tidak? *mana gue tahu* “Ini brosur kompetisi band se Bandung. Siapa aja boleh
ikut, hadiahnya lumayan loh. Nggak ada salahnya Say’A ikut.” nah tebakanku jitu.
Kami berempat membaca brosur itu bersamaan. Memang menarik.
“Ada uang pendaftarannya nih,” tunjuk Aji pada brosur
itu. “Tiga ratus ribu.”
“Kita patungan aja.”
sergah Akis, yang lain mengangguk.
“Gue sih nggak menang juga nggak apa-apa. Pengennya nanti
ada seorang manager yang tertarik dan mau memasukkan musik kita ke lebel.”
tambahku. Jujur mungkin kalau anak-anak Say’a bisa masuk lebel terus
mengeluarkan single atau album, itu bisa merubah larangan Memey dan Papa. Aku
bisa membuktikan kalau aku dan bandku nanti bakal sukses.
“Yah, bener tuh kata Inok. Tadi minum obat apa Nok, kok
encer gitu otaknya.” ujar Tablet.
“Minum dan makan ceramahan Memey.” sambung Akis. Membuat
aku melempar snack keripik ke arahnya. Tapi yang nangkap Aji, terus di makan
olehnya. Dasar doyan makan.
“Gue juga denger, nanti bakal ada produser gitu yang
nonton.”
“Nah menarik banget tuh. Ikut dah kita.” ucapku sambil memasukkan
Nicon ke dalam tas.
“Ok, jadi kita ikut yah. Biar gue yang ngisi formulirnya.”
tambah Herdi.
“Kapan kita ketemuan lagi?” tanya Akis.
“Kalau bisa besok. Sekalian ngomongin lagu kita, kan
kompetisinya di laksanakan minggu depan. Persiapan yang matang itu penting
kan?” saran Herdi lagi. Yang lain berpikir. Aji dan Akis saling tatap,
sama-sama berpikir apakah besok ada jam kuliah. Tablet mengangguk, dia tidak
ada jam kuliah, Herdi juga mengangguk. Aku masih berpikir.
“Kis besok ada kuliah nggak sih?” Aji menggaruk-garuk,
lupa dia.
“Ada praktikum dodol!” jawab Akis.
“Hahha iya, wah gue sama Akis nggak bisa. Nggak ingin deh
nilai praktikum gue jelek. Kalau ketemu juga bisanya sore.” kata Aji di
bebarengi dengan anggukan kepala dari Akis.
“Elo Nok?” kini Tablet menatapku. Aku masih berpikir.
Yang lain punya kesempatan untuk bertemu. Memang besok aku ada kuliah, tapi
ingin mempersiapkan semuanya sama mereka.
“Gue...nggak bisa. Gue ada kuliah.” jawabku. “Jangan
besok deh, gue nggak mau kena marah terus sama Memey gara-gara sering bolos.
Nanti kalau nggak ada kuliah, kita langsung ketemuan deh, atau nggak gue bisa
curi-curi waktu.” tambahku. Yang lain menatapku iba. Rese. Tega benar mereka
memberiku tatapan seperti itu.
“Ok Nok, kita ngerti keadaan lo. Setidaknya kita masih
bisa ketemuan nanti.” Aji merangkul bahuku. Yang lain juga mengangguk.
Haduuuuh...senang mempunyai sahabat-sahabat pengertian seperti mereka.
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar