Rabu, 15 Agustus 2012

Dalam Mimpi Dhera "Bagian 1"


Sabtu, 04 Agustus 2012
21. 30
Dalam Mimpi Dhera

            Drap...drap...drap...aku sedikit berlari.
            Mulutku sudah manyun beberapa senti mendengar omelan Memey di telepon. Sampai-sampai aku pergi ke belakang kostan untuk mendengarkan ceramah Memey. Pamorku turun deh kalau anak-anak penghuni kost di jalan Setia Budi, Bandung, ini pada tahu. Seorang Dhera di ceramahin yang panjangnya kayak kereta lebarnya kayak jalan pantura oleh nyokap tersayangnya. Aku duduk berdiri  pohon yang ada di belakang kost.
            “Tapi kan Mey...”Aku berusaha menyela perkataan Memey yang pastinya langsung di sela lagi sama Memey. Pokoknya tidak ada jalan. Ibarat sedang mudik, jalan pintas mana pun sudah tidak bisa dilewati, macet total. *perumpaannya jelek sekali si author*
            “Memey minta kamu berhenti ngeband, Nok!” ultimatum dari Memey terlontar dari mulutnya.
            “Yah, yah, yah, kok gitu. Sebelumnya Memey ngizinin Inok ngeband kan?” aku mulai kawatir. Jantungku memopa lebih cepat lagi. Berhenti ngeband? Apa kata Say-What nanti. Oh tidak! *lebay sekali dirimu*
            “Nggak akan Memey izinin kalau kamu terus bolos kuliah demi ngeband. Hobby sih hobby Inok, tapi kewajiban kamu jangan sampai dilupakan.” ujar Memey lagi. Aku menggigit bibir bawahku. Ingat pepatah dulu. Setajam-tajamnya kulit durian, pasti akan tumpul juga *gak ada wooiii pepatah itu* sepandai-pandainya menyembunyikan bangkai, pasti akan tercium jua. Nah, pas banget dengan situasi sekarang. Ok, aku akui, aku baru masuk kuliah sekitar tiga bulan, tapi bolosku sudah banyak. Aku kira Memey tidak tahu, tapi ternyata. Insting seorang ibu itu tajam, setajam pedang. Kalau tidak karena insting, pastinya abangku si Yogi memataiku. Abang jahatnya dirimu padaku *Tuhan, lebay sekali ini author*
            “Mey, menjadi penyanyi dan punya band itu impian Inok. Inok ingin mewujudkannya?” rengekku berharap Memey mengerti. Tapi usahaku sia-sia. Memey terus mengatakan kalau aku tidak boleh lagi ngeband bareng Say’A, suruh fokus kuliah.
            “Papa kamu juga marah denger kamu sering bolos. Sudah Inok, dengerin Memey. Apa kamu mau papa kamu yang marahin kamu!” kata Memey. Aku tak menjawab. Meski pun sekarang tidak di depan Memey, aku sudah menebak bagaimana raut Memey sekarang. Seyeeem *serem maksudnya* Aku memukul-mukul batang pohon dengan kakiku. Kesal. Tentu saja.
            “Mey...”rengekku lagi.
            “Nggak Inok, kali ini kamu harus dengerin Memey.” kata Memey tegas. Aku menunduk. Mataku mulai memanas. Siapa juga yang bakar-bakaran sampai mataku pedih seperti ini. *kata-kata Memey yg bakar-bakaran Nok*
            “Ini impian Inok, Mey...”
            “Inok, kamu tahu Memey sendiri ragu kamu ngekost, kamu biasa manja sama Memey, sekarang kamu di Bandung sendiri. Tapi kamu malah bolos dan nggak dengerin Memey.” Memey ngamuk. Aku tak menjawab. Aku akui kesalahanku, mungkin aku memang pantas untuk dimarahi.
            “Inok belajar mandiri kok Mey, Inok juga udah bikin susu sendiri, udah makan sendiri.” ucapku pelan.
            “Tapi nggak ada yang bilangin kamu!”
            “Ada kok, ibu kost sama teman-teman Say’A.”
            “Berarti kamu yang bandel nggak dengerin setiap nasihat yang mereka berikan padamu.” aku tak menjawab. Salah lagi kan? Sudahlah, tak ada jalan untukku. Tapi aku tidak akan mendengarkan ucapan Memey untuk mengubur impianku. Jawabannya TIDAK! Dengar itu TIDAK!
            “Memey harap, ini peringatan terkahir buat kamu. Ingat jangan bolos kuliah!” tegas sekali ucapannya. Aku hanya mendesah. “Kamu hati-hati di sana Nok, ingat Memey tahu apa yang kamu lakukan.” lanjutnya. Punya mata batin nih si Memey. Hebat benar bisa tahu kegiatanku.
            “Iya Mey...” jawabku.
            “Ya sudah, Assalamualaikum.”
            “Walaikumsalam.” klik! Telepon terputus. Aku menggigit ujung handphoneku. Kesal. Sangat. “Gue buang juga nih, handphone!” sungutku mengangkat handphone tinggi-tinggi.
            “Eits! Sayang sekali dibuang, buat gue aja.” tiba-tiba sebuah tangan meraih handphoneku. Rambut pendeknya bergoyang tertiup angin.
            “Apaan sih lo, balikin nggak!” ujarku.
            “Nggak bisa, elo kan tadi mau buang. Mending buat gue.”
            “Akiisss!!! Balikin cepeet...!!” nah tuh pohon semuanya bergetar mendengar teriakanku. Burung-burung terbang ke angkasa tak mau tergampar oleh suara merduku. *author tutup kuping* “Gue nggak jadi buang!” aku meraih handphoneku dari tangan Akis. Akis hanya mencibir.
            “Plin plan.”
            “Bodo.” Aku menjulurkan lidah ke arahnya.
            “Lo kenapa tadi, hampir meledak gitu?” tanya Akis. Aku melangkah menuju ke kost’an dengan Akis di sampingku. Kalau mengingat kata Memey, mataku rasanya kembali memanas, dan juga kesalnya bisa sampai ke ubun-ubun.
            “Memey!”
            “Ada apa dengan Memey lo, sakit? Kalau sakit kenapa tadi elo kayak mau meledak gitu, apinya juga sudah menyala di sini.” Akis mengacak rambutku. Berasa kepalaku obor bisa nyala api.
            “Cerewet! Bukan itu. Elo ngarepin Memey gue sakit?” tatapku tajam.
            “Sensi deh si Inok. Becanda non...”
            “Ini masalah serius?” raut wajahku berubah. Lalu duduk di depan kost’an. Tak mempedulikan tatapan anak-anak lain. Denger-denger mereka sirik padaku, karena aku mempunyai tampang yang kece badai *korban sinetron* aku sih masa bodo. Yang penting aku bersyukur sama Allah, karena diberi tampang sekece ini *pedenya dirimu Nok*
            “Memey tadi telpon, nyeramahin gue. Dan ultimatum yang gue terima itu, gue disuruh berhenti ngeband, dan fokus kuliah aja.” jelasku. Kontan membuat mulut Akis menganga seperti mulut buaya lagi berjemur.
            “Yah terus gimana dengan Say’A?” Akis ikut kawatir.
            “Gue nggak mungkin berhenti Kis, menjadi penyanyi dan punya band itu impian gue. Yah, gue harus mewujudkannya sebisa guelah.” tandasku mengklik tombol go to di handphoneku. Dari pada pusing, on itu lebih baik. Tapi tangan Akis menutup layar handphoneku.
            “Ini serius Nok, jangan main handphone dulu.” kata Akis. Aku menurut lalu mendesah. “Elo sih kebanyakan bolos.” lanjutnya. Aku balik menatap Akis.
            “Kayak elo nggak aja. Kita berdua dan anak Say’A lain memang sering bolos kan?” balasku.
            “Tapi elo lebih banyak.” lanjut Akis. Aku tak menjawab. Masa iya aku lebih banyak *iya apa nggak Nok*
            “Tapi kan demi ketemu kalian?” belaku. Aku dan Akis memang beda kost, kalau sekarang dia ada di sini itu kebiasaannya. Sering main ke sini. Selain itu, aku dan anak Say’A lainnya beda kampus. Itulah yang menyebabkan kita bolos kuliah untuk ketemuan di suatu tempat, membahas lagu, musik, latihan, sampai mencari job. Maklum, kita memang ingin sekali menjadi band yang besar. Itu tidak mudah, aku tahu. Tapi kita hanya bisa berusaha dengan keras untuk mendapatkan hasil yang baik. Itu sesuai moto Say’A.
            Sebagai info, aku kuliah di Institut Teknologi Nasional (Itenas) jurusan Desain Komunikasi Visual. Akis di Universitas Indonesia (UPI) jurusan pendidikan seni musik. Herdi di Universitas Pasundan (Unpas) jurusan Akuntansi. Aji di Universitas (UPI) jurusan pendidikan seni musik sama seperti Akis. Dan Tablet di Universitas Komputer Indonesia (Unikom) jurusan Teknik Komputer (computer engineering). Semuanya memang masih wilayah Bandung. Cuma waktu yang dibutuhkan untuk latihan itu memang sedikit mengorbankan jam kuliah.
            “Terus gimana Nok?” Akis bimbang atau galau yah? Entahlah, apa kata Akis saja.
            “Kis, ini kan impian kita. Masa kita mundur begitu saja. Nggak ada salahnya kan kita terus berusaha, kali aja nanti ada yang mau ngontrak Say’A. Berpikir positif aja.” kataku menenangkan. Padahal aku sendiri tidak tenang.
            “Terus gimana dengan Memey lo?”
            “Gue pinter-pinter bagi waktu aja.”
            “Emangnya elo pinter bagi waktu?” sergah Akis ragu. Aku menggaruk-garuk kepalaku. Lalu tersenyum nyamping di depannya “Semprul! Bagi waktu tidur dan ngerjain tugas kuliah aja elo payah Nok, banyakan tidur elo mah.” Sindir Akis. Aku hanya manyun. Pinter banget bongkar kartu nih anak.
****
            Aku sibuk mengotak-atik camera niconku. Akis mengobrol dengan Herdi. Nah tuh si Aji manyun deh. Lupa! Akis dan Aji udah pisah, Akis bilang dari pada putus pertemanan mending putus pacaran. Nice. Aku lihat pasca putus mereka baik-baik saja, seakan tidak menampakkan rasa penyesalan di mata mereka berdua. Aku akui, Akis cukup kuat kalau masalah perasaannya. Lalu bagaimana denganku? Di jawab nggak yah...*ganjen* masalah Indra. Sedikit kecewa karena Indra masih di Semarang. Bilangnya entar bulan depan akan ke Bandung. Semoga.
            “Ya Tuhan, si Tablet ke mana sih? Tuh anak ke salon dulu kali yah, lama bener.” sungut Aji yang sudah beberapa kali menengok ke pintu depan. Tak ada sosok Tablet, kami ketemuan di café setengah jam yang lalu, tapi Tablet belum juga datang. Jangan tanya bagaimana kita ke sini. Bolos, pasti. Tapi tidak semuanya bolos. Aji dan Akis yang satu kampus mereka memang kompak untuk bolos, Herdi yang ada jam kuliah, memilih kuliah dulu. Katanya cuma satu pertemuan. Kalau aku, insyaf deh. Untungnya hari ini aku tidak ada kuliah, jadi aku tidak bolos *horeeee gak jadi dimarahin Memey*
            “Emang kita mau ngapain sih?” ujar Akis. Aku mengangkat bahu.
            “Jadi gini...”
            “Sorry gue telat!” Tablet datang memotong perkataan Herdi yang baru dua kata itu. Tepat juga nih anak. Meeting akan dimulai *bahasanya ih*
            “Habis nyalon yah,” timpal Aji.
            “Bukan, mutilasi orang dulu.” jawab Tablet asal.
            “Mutilasi apa makan hasil mutilasi.” sambungku. Langsung Tablet menoyor kepalaku. Rese.
            “Ok ok, gini gue punya sesuatu.” kata Herdi lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah kertas, hmmm aku lihat itu brosur. Benar tidak? *mana gue tahu* “Ini brosur kompetisi band se Bandung. Siapa aja boleh ikut, hadiahnya lumayan loh. Nggak ada salahnya Say’A ikut.” nah tebakanku jitu. Kami berempat membaca brosur itu bersamaan. Memang menarik.

            “Ada uang pendaftarannya nih,” tunjuk Aji pada brosur itu. “Tiga ratus ribu.”
            “Kita patungan aja.” sergah Akis, yang lain mengangguk.
            “Gue sih nggak menang juga nggak apa-apa. Pengennya nanti ada seorang manager yang tertarik dan mau memasukkan musik kita ke lebel.” tambahku. Jujur mungkin kalau anak-anak Say’a bisa masuk lebel terus mengeluarkan single atau album, itu bisa merubah larangan Memey dan Papa. Aku bisa membuktikan kalau aku dan bandku nanti bakal sukses.
            “Yah, bener tuh kata Inok. Tadi minum obat apa Nok, kok encer gitu otaknya.” ujar Tablet.
            “Minum dan makan ceramahan Memey.” sambung Akis. Membuat aku melempar snack keripik ke arahnya. Tapi yang nangkap Aji, terus di makan olehnya. Dasar doyan makan.
            “Gue juga denger, nanti bakal ada produser gitu yang nonton.”
            “Nah menarik banget tuh. Ikut dah kita.” ucapku sambil memasukkan Nicon ke dalam tas.
            “Ok, jadi kita ikut yah. Biar gue yang ngisi formulirnya.” tambah Herdi.
            “Kapan kita ketemuan lagi?” tanya Akis.
            “Kalau bisa besok. Sekalian ngomongin lagu kita, kan kompetisinya di laksanakan minggu depan. Persiapan yang matang itu penting kan?” saran Herdi lagi. Yang lain berpikir. Aji dan Akis saling tatap, sama-sama berpikir apakah besok ada jam kuliah. Tablet mengangguk, dia tidak ada jam kuliah, Herdi juga mengangguk. Aku masih berpikir.
            “Kis besok ada kuliah nggak sih?” Aji menggaruk-garuk, lupa dia.
            “Ada praktikum dodol!” jawab Akis.
            “Hahha iya, wah gue sama Akis nggak bisa. Nggak ingin deh nilai praktikum gue jelek. Kalau ketemu juga bisanya sore.” kata Aji di bebarengi dengan anggukan kepala dari Akis.
            “Elo Nok?” kini Tablet menatapku. Aku masih berpikir. Yang lain punya kesempatan untuk bertemu. Memang besok aku ada kuliah, tapi ingin mempersiapkan semuanya sama mereka.
            “Gue...nggak bisa. Gue ada kuliah.” jawabku. “Jangan besok deh, gue nggak mau kena marah terus sama Memey gara-gara sering bolos. Nanti kalau nggak ada kuliah, kita langsung ketemuan deh, atau nggak gue bisa curi-curi waktu.” tambahku. Yang lain menatapku iba. Rese. Tega benar mereka memberiku tatapan seperti itu.
            “Ok Nok, kita ngerti keadaan lo. Setidaknya kita masih bisa ketemuan nanti.” Aji merangkul bahuku. Yang lain juga mengangguk. Haduuuuh...senang mempunyai sahabat-sahabat pengertian seperti mereka.



TBC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar