Minggu, 17 Juni 2012

Cerbung >> Dalam Dunia Dhera *Part 2*



eng ing eng...part 2 nongol...:)
sekali lagi yah diperingatkan, ini bukan kisah asli Dhera..cuma kebiasaan dan hal2 tentang Dhera aja itu nyata...
semoga kalian suka...dan jangan lupa bayangin wajah Dhera yah saat baca...:)

            “Belum, emangnya ada apa sih?” Yogi balik nanya.
            “Ih, belaga lupa atau emang elo pelupa sih, buat izin liburan besok lah.”
            “Oh iya yah. Tapi Nok, kalau Mama tahu elo masih ngeband bareng Say’A gimana?” Yogi terlihat ragu.
            “Ish! Elo kayak nggak tahu gue aja bang, udah ayo latihan gitar lagi.” Aku mendorong tubuh Yogi ke kamarku. Sudah tiga hari ini aku dan Yogi bermain gitar di kamarku, tidak terlalu sulit untuk mengajarkan bermain gitar pada Yogi. Abangku itu dari dulu sudah mengenal kunci gembok, *author sarap* maksudnya kunci gitar tinggal memperlancar saja. Dan yang paling membahagiakan, sepertinya Memey sudah welcome bila anak keduanya itu bermain musik, itu di yakini olehku ketika kemarin malam Memey memergoki aku sedang membimbing Yogi. Dan Memey hanya tersenyum lalu pergi.
            “Coba elo nyanyiin lagu Say’A yang selamat pagi.” Pintaku sekenanya. Aku sendiri sibuk dengan handphoneku. Sesekali aku tersenyum membaca message dari Fransiskus Ajie atau yang biasa dipanggil Aji sekaligus guitar di Say’A yang saat itu membahas acara untuk besok. Aku heran sama tuh anak, pelupanya semakin menjadi saja. Sempat Aji bingung besok ada acaraan apaan. Kalau pun ada obat pelupa buat Aji, pasti butuh waktu lama untuk menyembuhkan pelupanya, parahnya tingkat akut.
            “Inok, ini nadanya udah bener.” Yogi sambil menunjukkan kuncinya. Aku masih sibuk mengetik balasan untuk Aji dengan senyum-senyum sendiri. “Inooook!!! Gue ngomong sama elo!” Yogi pun meraih handphoneku.
            “Yaelah bang, gue denger kali. Balikin handphone gue.” Aku menyodorkan tanganku di depan Yogi. “Abaaang…balikin nggak!” aku menaikkan nada suaraku. Tiba-tiba handphonenya berdering tanda telpon masuk. Shit! Yogi malah mengangkatnya.
            “Oh, Akis.” Kata Yogi. “Apa, Inok. Dia nggak ada, lagi berenang sama Gipson.” Kata Yogi sambil tertawa.
            “AKISS!! Jangan dengerin abang gue yang tengil, gue di sini!” teriakku dan berusaha mengambil handphoneku. Dan tap! Berhasil, langsung aku beranjak dari tempat menuju ruang tengah, tempat aquarium berada dengan ikan lohan kesayanganku yang aku beri nama Gipson.
            “Iya Kis, gue lagi usaha buat izin sama Memey.”
            “Pokoknya elo harus ikut Nok.”
            “Iya bawel, inget yah nanti kita semua bawa alat musik, biar di sana bisa latihan juga.” Kataku sambil memberi makan pada Gipson.
            “Yah sudah Nok, nanti kita lanjut lagi.” Kata pemilik nama lengkap Balkis Sabiladina dan dipanggil Akis, cewek agak tomboy itu memegang Bass di Say’A. Kalau aku tentu di Vokal dan sesekali bermain gitar. Aku dan Akis tak jauh beda, kita sama-sama tomboy tapi tetap girly.
            Kemudian telpon terputus. Aku langsung memandang lohan kesayanganku dengan tatapan penuh segudang kasih sayang untuk ikan satu ini. “Gipson…besok gue mau liburan, gue pasti kangen banget sama elo.” Kataku sambil menatap mata Gipson. “Elo juga pasti kangen banget kan sama gue. Pengen sih, bawa elo liburan ke Villa Akis tapi itu nggak mungkin. Tempat elo ini gede, gue susah bawanya.” Melankolis aku jadinya melihat Gipson yang seakan mengerti dengan perkataanku tadi, ia mendekatkan kepalanya ke dinding aquarium sembari membuka dan menutup mulutnya seakan membalas ucapanku tadi.
            “Apa Gipson?” tanyaku. Ah, aku seakan mengerti Gipson berbicara apa. “Iya tenang aja, gue juga bakal kangen sama elo. Elo jangan khawatir, Memey dan Yogi pasti memberimu makan tiga kali sehari.” Tuturku lagi *Oh God, katakan kalau saraf Dhera tidak ada yang putus*
            “Gipson, gue sayang sama elo…mmuuaaacch!” aku mencium aquarium. Ku harap yang baca tidak salah paham!
            Setelah curhat sama Gipson aku langsung meluncur ke ruang makan dan mataku langsung tertuju pada buah warna kuning yang bertengger di atas meja makan. Dengan sedikit berlari aku langsung menyerbu buah pisang yang menggiurkan itu.
            “Waah, pisaaang…” langsung saja aku melahap satu pisang dan duduk di kursi. Ku edarkan pandangan ke sekeliling, tidak ada siapa-siapa. Biasanya Memey yang biasa menyediakan buah pisang kesukaanku itu.
            Satu pisang sudah habis aku lahap, saking doyannya sama pisang, aku langsung membawa tiga buah pisang *maniak pisang nih si Gipson alias Dhera* ke ruang tamu, tentunya dengan satu pisang yang sedang kulahap.
            Aku tidak melihat Yoga, kalau Yogi pasti sedang asyik bermain gitar. Papa dan Memey belum kelihatan batang hidungnya. Aku putuskan untuk jalan-jalan di sekeliling cukup dengan jalan kaki, kali saja ada Jenggot Herdi.
            Dengan T-shirt biru dan jeans selutut aku membuka pintu depan. Daripada di rumah nunggu Memey tidak datang-datang mending jalan-jalan ke taman yang tidak jauh dari rumahku. Tiba-tiba handphoneku berbunyi.
            “Hallo, iya Bang ada apa?” kataku langsung begitu tahu yang menelpon adalah Yoga, tentu saja masih dengan melahap pisang *jangan ditiru, gak baik makan di jalan*
            “Inok, gue yakin elo pasti udah makan pisang di meja makan kan?” katanya.
            “He-eh, ini lagi makan.” Jawabku menatap satu pisang di tangan kananku, yang dua sudah masuk perut dan lagi diproses.
            “Bagus deh, kalau perlu elo habisin semua aja.” Kata Yoga. Aku berpikir sejenak, seharusnya Yoga tidak perlu berkata seperti itu, tanpa disuruh juga sudah pasti aku habiskan. Tunggu dulu, jangan-jangan hadiah yang dimaksud Yoga itu pisang!             “Bang, hadiah yang elo kasih buat gue itu pisang yah?”
            “Hmmm…maunya…”
            “Ih elo yah, gue emang suka pisang tapi Memey juga tiap hari beliin bang, elo ngasih gue yang istimewa ke’, hah! Sadis lo bang.” Sungutku dengan melempar kulit pisang ke tempat sampah yang ada di pinggir jalan. Dan PLUK! *anggap saja bunyi kulit pisang masuk tempat sampah* lemparannya tetap sasaran. Kalau kayak gini, boleh juga aku masuk baseball, pasti menang.
            “Bawel lo yah, udah tunggu aja nanti. Setengah jam lagi gue balik, sekarang gue lagi di rumah teman.” Klik! Telpon terputus. Aku menjulurkan lidah pada handhoneku sendiri.
            “Abang gue nggak jelas.” Aku pun kembali melanjutkan langkahku.
            “Neng Gia!” panggil seseorang. Nah, ada lagi panggilanku yaitu Neng Gia. Ini sebutan berlaku untuk para tetanggaku saja, sejak kecil sampai sekarang panggilan tetangga dengan sebutan Neng Gia memang sudah melekat, kalau  ada yang menjiplak aku bakal lempar ke bulan bareng Yogi. *berasa bulan pengungsian apa*
            “Iya tante!” jawabku melihat tante Lisa tetangga Memey yang super baik, sering memberi buah pisang secara cuma-cuma, betapa senangnya aku.
            “Sini sebentar.” Kata Tante Lisa lagi, masih membawa sisa pisang di tanganku, ku hampiri beliau. “Tante mau minta pendapat kamu tentang peliharaan baru tante.” Lanjutnya. Aku mengernyitkan keningku. Peliharaan baru tante Lisa? Gumamku. Setahuku dua minggu yang lalu Tante Lisa juga minta pendapatku tentang peliharaannya, yaitu dua ekor kelinci. Aku hanya menjawab “Lucu, Tante. Siapa namanya?” dan bla…bla…bla…Tante Lisa demen banget nyuruh aku berkomentar. Kalau kayak gini, mending aku jadi juri Indonesian Idol 2012 saja, biar nanti jadi tranding topic di twitter.
            “Apa tante, pasti yang ini lucu juga deh.” Ucapku sambil tersenyum *bayangin Dhera senyum* *langsung meleleh*
            “Sebentar yah,” Tante Lisa mengintip ke dalam pintu rumah. “Pus…pus…pus…” mendengar ucapan tante Lisa aku sejenak tertegun, mencoba mencerna sesuatu dari ucapannya itu.
            “Pus…pus…itu kan….” Gumamku.
            “Nah, sini manis…” Tante Lisa berjongkok hendak menggendong sesuatu yang ia panggil tadi. Tersadar apa yang Tante Lisa gendong, kontan aku histeris.


bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar