Rabu, 11 Juli 2012

Bersama Lembayung Part 2 (Ending)



            Tiara merasakan tetesan jatuh dari langit membasahi tangannya, gerimis turun. Membuat Tiara semakin panik. Satu jalur saja ia belum selesai. “Jangan hujan dulu, kasihan Bapak kalau padinya harus basah lagi.” Kata Tiara dalam hati sambil terus menggaruk-garuk padinya. Gerimis masih juga turun, sedikit lagi tumpukannya akan selesai. Sedangkan Dika sudah menyelesaikan jalur satunya. Lalu segera Dika membantu Tiara menyelesaikannya.
            Sekarang tinggal menutup padi. Tiara langsung mengambil batang kayu yang berukuran besar untuk menindih tumpukan padi itu. Dan, selesai! Tiara bernafas lega begitu juga dengan Dika. Kemudian disusul dengan turunnya hujan yang cukup deras. Dika langsung berlari ke arah rumah Tiara tanpa membawa alat perataan padinya. Dengan cepat Tiara mengambil dua alat itu dan ikut berlari.
            “Huh!” tiara duduk di teras rumah. Bajunya sudah basah.
            “Ra, aku pulang yah.” Kata Dika.
            “Makasih banget yah, paman sudah bantu Tiara.”
            “Iya sama-sama. Paman mau bersihin badan dulu.” Katanya lalu berlalu. Serbuk padi memang membuat kulit tubuh menjadi sangat gatal.
            Saking capeknya, Tiara hanya menyandarkan tubuhnya. Telapak kakinya mulai terasa sakit tadi menginjak-injak butiran padi yang masih kasar, karena saat menutup padi tadi Tiara tidak memakai sandal. Kedua bahunya juga terasa sakit akibat menggaruk-garuk padi dengan terburu-buru.
            “Aku baru ngerasain pekerjaan Bapak sama Ibu, ternyata seperti ini.” Gumam Tiara. Tiba-tiba terdengar suara deru motor. Tiara langsung terbelalak melihat siapa yang datang. Ternyata Bapaknya yang juga terguyur hujan. Di jok belakang Pak Hanjar, barang bawaan banyak sekali.
            “Tiara! Bantu Bapak, Nak. Ini susah jalan.” Seru Pak Hanjar. Tiara langsung saja lari dan mendorong motor yang di tumpangi Bapaknya. Kini Tiara dan Pak Hanjar sama-sama basah kuyup. Begitu berada di samping gudang sambil menempatkan motornya, Pak Hanjar langsung memeriksa tubuh anaknya.
            “Ra, siapa toh yang nutup padinya?” Tanya Pak Hanjar memegang kedua bahu anaknya.
            “Tiara Pak, untung tadi ada paman ikut bantu.” Kata Tiara tersenyum.
            “Si Dika?” pak Hanjar sedikit tidak percaya. Tiara hanya mengangguk.
            “Tadi Bapak buru-buru palang, ternyata jalanan di sawah susah dilalui. Kamu hebat, terima kasih, Nak.” Ucap Pak Hanjar dengan nada terharu. Tiara hanya mengangguk dan tersenyum.
            “Sudah seharusnya Tiara seperti itu kan, Pak.” Kata Tiara. “Ibu mana, Pak?”
            “Ibu sedang berteduh di sana, di salah satu rumah warga.” Jawabnya. “Nanti Bapak akan ke sana jemput Ibu, kalau sudah reda.” Kemudian merek berdua masuk ke dalam rumah untuk membersihkan diri.
*(‘,’)* *(‘,’)* *(‘,’)* *(‘,’)* *(‘,’)* *(‘,’)*

            Hari ini cuaca sedang tak tentu, kadang panas kadang mendung tebal, inilah awal pergantian musim, hujan bisa saja turun. Membuat Pak Hanjar bingung untuk menjemur. Meski pun begitu ia merasa lega karena Pak Badrun memperbolehkannya menjemur padi di tempatnya yang tak jauh dari rumahnya.
            “Ini untuk, Bapak dan Ibu.” Tiara datang dengan membawa the manis di tangannya.
            “Makasih, Ra.” Jawab Ibu Hanjar. Kemudian ia duduk di samping Ibunya. Mereka bertiga sedang duduk bersama di ruang tengah.
            “Tiara, pasti tadi pagi kamu diejek yah, sama teman-teman kamu di sekolah?” Tanya Ibunya. Mendengar itu Tiara hanya tersenyum tipis. Memang itu benar, hari ini teman-teman di sekolah mengejekanya, tertutama Nikita dan Karin. Tapi masih ada sahabat-sahabatnya yang masih membela, dengan mengatakan ‘orang-orang populer seperti kalian hanya tahu enaknya, tidak tahu bagaimana sulitnya bekerja. Tidak tahu kalau nasi yang mereka makan mungkin saja berasal dari padi yang Tiara dan keluarganya jemur’ mendengar itu cukup membuat mereka berhenti berceloteh dengan mengatakan Tiara anak Ndeso.
            “Sudahlah Bu, itu nggak perlu dicemaskan. Toh, sekarang Tiara merasa bangga punya Bapak sama Ibu yang seorang petani. Jadi tenang aja, Tiara nggak peduli dengan perkataan mereka.” Jawab Tiara mantap. Bapak dan Ibu tersenyum mendengar jawaban anaknya. Sekarang gengsi Tiara sudah hilang.
            “Oh yah, kalau jemur padi emang berapa hari toh, Pak?” Tanya Tiara.
            “Yah, tiga hari bisa. Bahkan bisa juga dua hari kalau cuacanya panas terus.” Jawab Pak Hanjar. Tiara terdiam, mengingat-ngingat berapa banyak padi yang ada di gudang.
            “Biasanya Bapak berapa karung untuk menjemur satu jalur?” Tanya Tiara lagi.
            “Bisa sembilan belas sampai dua puluh dua.” Jawab Pak Hanjar. Tiara manggut-manggut paham.
            “Weleh anak Ibu mau jadi wartawan toh, nanya-nanya terus.” Timpal Ibunya.
            “Bukan Bu, Tiara itu mau jadi petani sejati.” Sela Pak Hanjar.
            “Jadi kamu mau jadi apa toh, Ra?” Tanya Ibunya. Tiara hanya tersenyum.
            “Bapak sama Ibu ini, Tiara cuma nanya aja kok. Ternyata menjadi seorang petani itu bukan sebuah profesi yang buruk yah, Pak, Bu. Perjuangan Bapak sama Ibu dari pembibitan sampai panen benar-benar usaha yang keras.” Tutur Tiara. “Mulai hari ini, Tiara akan bantu Bapak sama Ibu, Tiara nggak malu lagi Bu.” Lanjutnya dan disambut dengan senyum bahagia kedua orang tuanya.
            “Tapi sekolah tetap penting toh, Ra.” Sela Pak Hanjar.
            “Nggih Pak, Tiara ngerti.” Jawabnya lembut


~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~

            Hari berikutnya….
            Pukul 16.30. “Ra, bantu Ibu sama Bapak yah, muatin padi yang sudah kering ke karung.” Kata Ibunya masuk ke kamar Tiara yang sedang menyelsaikan tulisannya. Tiara berbalik lalu mengangguk.
            Begitu memakai pakaian serba panjang, Tiara mulai membantu Ibu dan Bapaknya. Kata Ibu, kalau mau bantu harus pakai pakaian panjang, biar serbuk padi tidak menjalar ke seluruh tubuh. Tiara membantu kedua orang tuanya dengan senang hati, ia tidak peduli melihat beberapa kali Nikita lewat dan mengklakson serta cibiran untuknya. Ia hanya menanggapinya dengan biasa saja.
            Kini jalur padi yang Pak Hanjar jemur sudah ada empat jalur. Tenaga tiga orang tidak cukup, karena kakak laki-laki Tiara sedang menempuh kuliah di luar kota. Jadinya, tetangga-tetangga ikut membantu memuat padi yang sudah kering. Itu mungkin karena sikap Bapak dan Ibu selalu baik pada tetangga-tetangganya. Jadi tetangga juga dengan senang hati membantunya.
            “Lembayungnya indah.” Gumam Tiara yang sejenak berhenti menggaruk-garuk padi jadi satu. Ia memandang Bapak dan Ibunya bergantian serta lembayung yang ada di ufuk Barat. Bagi Tiara kedua orang tuanya sama seperti warna lembayung yang selalu menenangkannya. Bersama lembayung ini Tiara juga akan selamanya bersama Bapak dan Ibunya.
            “Tiara, setelah salat maghrib nanti, kamu urus aja tulisan kamu, biar Ibu dan Bapak yang melanjutkan.” Kata Ibunya. Tiara mengangguk.

TAMAT
Kamis, 26 April 2012
19.33

Tidak ada komentar:

Posting Komentar