Tiara merasakan tetesan jatuh dari
langit membasahi tangannya, gerimis turun. Membuat Tiara semakin panik. Satu
jalur saja ia belum selesai. “Jangan
hujan dulu, kasihan Bapak kalau padinya harus basah lagi.” Kata Tiara dalam
hati sambil terus menggaruk-garuk padinya. Gerimis masih juga turun, sedikit
lagi tumpukannya akan selesai. Sedangkan Dika sudah menyelesaikan jalur
satunya. Lalu segera Dika membantu Tiara menyelesaikannya.
Sekarang tinggal menutup padi. Tiara
langsung mengambil batang kayu yang berukuran besar untuk menindih tumpukan
padi itu. Dan, selesai! Tiara bernafas lega begitu juga dengan Dika. Kemudian
disusul dengan turunnya hujan yang cukup deras. Dika langsung berlari ke arah
rumah Tiara tanpa membawa alat perataan padinya. Dengan cepat Tiara mengambil
dua alat itu dan ikut berlari.
“Huh!” tiara duduk di teras rumah.
Bajunya sudah basah.
“Ra, aku pulang yah.” Kata Dika.
“Makasih banget yah, paman sudah
bantu Tiara.”
“Iya sama-sama. Paman mau bersihin
badan dulu.” Katanya lalu berlalu. Serbuk padi memang membuat kulit tubuh
menjadi sangat gatal.
Saking capeknya, Tiara hanya menyandarkan tubuhnya. Telapak kakinya mulai
terasa sakit tadi menginjak-injak butiran padi yang masih kasar, karena saat
menutup padi tadi Tiara tidak memakai sandal. Kedua bahunya juga terasa sakit
akibat menggaruk-garuk padi dengan terburu-buru.
“Aku baru ngerasain pekerjaan Bapak
sama Ibu, ternyata seperti ini.” Gumam Tiara. Tiba-tiba terdengar suara deru
motor. Tiara langsung terbelalak melihat siapa yang datang. Ternyata Bapaknya
yang juga terguyur hujan. Di jok belakang Pak Hanjar, barang bawaan banyak
sekali.
“Tiara! Bantu Bapak, Nak. Ini susah
jalan.” Seru Pak Hanjar. Tiara langsung saja lari dan mendorong motor yang di
tumpangi Bapaknya. Kini Tiara dan Pak Hanjar sama-sama basah kuyup. Begitu
berada di samping gudang sambil menempatkan motornya, Pak Hanjar langsung
memeriksa tubuh anaknya.
“Ra, siapa toh yang nutup padinya?”
Tanya Pak Hanjar memegang kedua bahu anaknya.
“Tiara Pak, untung tadi ada paman
ikut bantu.” Kata Tiara tersenyum.
“Si Dika?” pak Hanjar sedikit tidak
percaya. Tiara hanya mengangguk.
“Tadi Bapak buru-buru palang,
ternyata jalanan di sawah susah dilalui. Kamu hebat, terima kasih, Nak.” Ucap
Pak Hanjar dengan nada terharu. Tiara hanya mengangguk dan tersenyum.
“Sudah seharusnya Tiara seperti itu
kan, Pak.” Kata Tiara. “Ibu mana, Pak?”
“Ibu sedang berteduh di sana, di
salah satu rumah warga.” Jawabnya. “Nanti Bapak akan ke sana jemput Ibu, kalau
sudah reda.” Kemudian merek berdua masuk ke dalam rumah untuk membersihkan diri.
*(‘,’)*
*(‘,’)* *(‘,’)* *(‘,’)* *(‘,’)* *(‘,’)*
Hari ini cuaca sedang tak tentu,
kadang panas kadang mendung tebal, inilah awal pergantian musim, hujan bisa
saja turun. Membuat Pak Hanjar bingung untuk menjemur. Meski pun begitu ia
merasa lega karena Pak Badrun memperbolehkannya menjemur padi di tempatnya yang
tak jauh dari rumahnya.
“Ini untuk, Bapak dan Ibu.” Tiara
datang dengan membawa the manis di tangannya.
“Makasih, Ra.” Jawab Ibu Hanjar.
Kemudian ia duduk di samping Ibunya. Mereka bertiga sedang duduk bersama di
ruang tengah.
“Tiara, pasti tadi pagi kamu diejek
yah, sama teman-teman kamu di sekolah?” Tanya Ibunya. Mendengar itu Tiara hanya
tersenyum tipis. Memang itu benar, hari ini teman-teman di sekolah
mengejekanya, tertutama Nikita dan Karin. Tapi masih ada sahabat-sahabatnya
yang masih membela, dengan mengatakan ‘orang-orang
populer seperti kalian hanya tahu enaknya, tidak tahu bagaimana sulitnya
bekerja. Tidak tahu kalau nasi yang mereka makan mungkin saja berasal dari padi
yang Tiara dan keluarganya jemur’ mendengar itu cukup membuat mereka
berhenti berceloteh dengan mengatakan Tiara anak Ndeso.
“Sudahlah Bu, itu nggak perlu
dicemaskan. Toh, sekarang Tiara
merasa bangga punya Bapak sama Ibu yang seorang petani. Jadi tenang aja, Tiara
nggak peduli dengan perkataan mereka.” Jawab Tiara mantap. Bapak dan Ibu
tersenyum mendengar jawaban anaknya. Sekarang gengsi Tiara sudah hilang.
“Oh yah, kalau jemur padi emang
berapa hari toh, Pak?” Tanya Tiara.
“Yah, tiga hari bisa. Bahkan bisa
juga dua hari kalau cuacanya panas terus.” Jawab Pak Hanjar. Tiara terdiam,
mengingat-ngingat berapa banyak padi yang ada di gudang.
“Biasanya Bapak berapa karung untuk
menjemur satu jalur?” Tanya Tiara lagi.
“Bisa sembilan belas sampai dua
puluh dua.” Jawab Pak Hanjar. Tiara manggut-manggut paham.
“Weleh anak Ibu mau jadi wartawan toh, nanya-nanya terus.” Timpal Ibunya.
“Bukan Bu, Tiara itu mau jadi petani
sejati.” Sela Pak Hanjar.
“Jadi kamu mau jadi apa toh, Ra?” Tanya Ibunya. Tiara hanya
tersenyum.
“Bapak sama Ibu ini, Tiara cuma
nanya aja kok. Ternyata menjadi seorang petani itu bukan sebuah profesi yang
buruk yah, Pak, Bu. Perjuangan Bapak sama Ibu dari pembibitan sampai panen
benar-benar usaha yang keras.” Tutur Tiara. “Mulai hari ini, Tiara akan bantu
Bapak sama Ibu, Tiara nggak malu lagi Bu.” Lanjutnya dan disambut dengan senyum
bahagia kedua orang tuanya.
“Tapi sekolah tetap penting toh, Ra.” Sela Pak Hanjar.
“Nggih Pak, Tiara ngerti.” Jawabnya
lembut
~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~
Hari berikutnya….
Pukul 16.30. “Ra, bantu Ibu sama
Bapak yah, muatin padi yang sudah kering ke karung.” Kata Ibunya masuk ke kamar
Tiara yang sedang menyelsaikan tulisannya. Tiara berbalik lalu mengangguk.
Begitu memakai pakaian serba
panjang, Tiara mulai membantu Ibu dan Bapaknya. Kata Ibu, kalau mau bantu harus
pakai pakaian panjang, biar serbuk padi tidak menjalar ke seluruh tubuh. Tiara membantu
kedua orang tuanya dengan senang hati, ia tidak peduli melihat beberapa kali
Nikita lewat dan mengklakson serta cibiran untuknya. Ia hanya menanggapinya
dengan biasa saja.
Kini jalur padi yang Pak Hanjar
jemur sudah ada empat jalur. Tenaga tiga orang tidak cukup, karena kakak
laki-laki Tiara sedang menempuh kuliah di luar kota. Jadinya, tetangga-tetangga
ikut membantu memuat padi yang sudah kering. Itu mungkin karena sikap Bapak dan
Ibu selalu baik pada tetangga-tetangganya. Jadi tetangga juga dengan senang
hati membantunya.
“Lembayungnya
indah.” Gumam Tiara yang sejenak berhenti menggaruk-garuk padi jadi satu.
Ia memandang Bapak dan Ibunya bergantian serta lembayung yang ada di ufuk
Barat. Bagi Tiara kedua orang tuanya sama seperti warna lembayung yang selalu
menenangkannya. Bersama lembayung ini Tiara juga akan selamanya bersama Bapak
dan Ibunya.
“Tiara, setelah salat maghrib nanti,
kamu urus aja tulisan kamu, biar Ibu dan Bapak yang melanjutkan.” Kata Ibunya.
Tiara mengangguk.
TAMAT
Kamis,
26 April 2012
19.33
Tidak ada komentar:
Posting Komentar