Rabu, 11 Juli 2012

Bersama Lembayung Part 1


Kamis, 26 April 2012
14.00
Bersama Lembayung

Bulan telah memasuki musim kemarau. Bulan April ini diawali dengan panen padi di desa-desa tertentu.  Tentu saja  cuaca yang panas membuat keringat berjatuhan di pelupuh para petani atau pun buruh tani yang sedang  memetik hasil panen. Biasanya penjual es keliling sampai ke area persawahan, dan membuat untung bagi mereka karena penjualan meningkat dari biasanya.
            Seperti dikeluarga Pak Hanjar yang sedang panen. Sawahnya lumayan banyak, sampai-sampai ia harus mempekerjakan orang-orang yang sebagian besar tetangganya untuk membantu menyelesaikan panen bulan ini.
            “Tiara! Ambilkan minum, Nak!” teriak Pak Hanjar, Bapak Tiara. Tiara atau Mutiara adalah anak kedua dari dua bersaudara.
            “Iya, Pak!” jawab Tiara yang posisinya memang berada di ruang tamu. Sedangkan Pak Hanjar duduk sambil menyandarkan tubuhnya pada tiang sambil mengibaskan topi sawah ke wajahnya. Walaupun angin berhembus tapi tidak membuatnya merasa adem.
            “Nih, Pak.” Tiara datang membawa minuman dingin lalu duduk di samping Bapaknya. Mereka memang tinggal di desa yang mayoritas di kelilingi oleh para petani dan buruh tani. Tetangga mereka banyak yang menawarkan diri agar dipekerjakan di sawahnya.
            “Ibu masih di sawah yah, Pak?” tanya Tiara. Sudah dua minggu lebih bapak dan ibunya memetik hasil panen di sawahnya sendiri. Bapak dan ibu Tiara tidak ingin hanya berpangku tangan menerima hasil panennya, mereka memilih ikut bekerja di sawah, memetik hasil dari keringat mereka sendiri. Sedangkan Tiara di rumah saja, kecuali pagi ia harus ke sekolah.
            “Iya.” Jawab Pak Hanjar singkat sambil meneguk minuman dingin yang dibawa anaknya. “Nanti habis bapak istirahat, kamu ikut bapak ke sawah yah, bantu Bapak dan Ibu.” Lanjutnya dengan logat Jawa yang kental.
            “Ih, nggak ah! Pak, Tiara nggak mau.” Jawab Tiara langsung. Ia juga sama logat Jawanya masih melekat. Keluarga Pak Hanjar memang asli orang Jawa, meski menggunakan Bahasa Indonesia tapi logat Jawanya tidak hilang.
            “Nanti kulit Tiara hitam, Pak.” Tolak Tiara.
            “Lah, wong kamu ini sudah hitam toh, Ra. Ngapain takut kulit hitam.” Timpal Pak Hanjar sambil memandang putrinya yang berkulit hitam manis. Tiara putri satu-satunya Pak Hanjar, sedangkan anak pertamanya laki-laki.
            “Maksudnya, Tiara tambah hitam gitu Pak, kan malu sama teman-teman di sekolah. Udah gitu kalau ke sawah itu tubuh Tiara gatal-gatal, pada merah.” Segala macam alasan keluar dari mulut Tiara. Pak Hanjar hanya geleng-geleng kepala. Jawaban itulah yang sering ia dengar tiap kali mengajak Tiara ke sawah, entah itu saat musim panen maupun saat penyiangan padi.
            Alasannya sama, takut hitam, gatal-gatal, malu sama teman-temannya dan seribu alasan lainnya. Gengsi Tiara mulai besar, karena ia sekolah di SMA yang terpandang di desa ini. Namun begitu, Tiara mempunyai otak yang encer. Pak Hanjar selalu menanamkan sifat-sifat rendah hati pada anak-anaknya. Tingkah laku Tiara juga baik, meski pun begitu pergaulan dengan teman-teman Tiara lebih memengaruhi rasa gengsinya.
            “Yah sudah, kalau kamu tidak mau. Pulang sekolah kamu di rumah saja sambil jaga padi yang Bapak jemur di pinggir jalan.” Terang Pak Hanjar meneguk minumannya lagi. “Sesekali kamu tengok, kalau ada ayam yang ngacak-ngacak dan makan padi kamu usir, dan juga ratakan padinya biar seluruhnya kering yah, Ra.” Lanjutnya. Bibir Tiara manyun-manyun mendengar penjelasan Bapaknya. Beberapa kali Pak Hanjar memberi interupsi seperti itu ketika Tiara disuruh jaga jemuran padi. Tapi Tiara hanya mengusir ayam-ayam yang mematuk-matuk dan mengacak-acak padi, sedangkan untuk meratakan padi Tiara tidak lakukan. Katanya, telapak kaki Tiara jadi gatal-gatal.
            “Iya Pak, kalau itu nggak apa-apa. Tapi Tiara nggak mau meratakan padinya yah, bapak tahu sendiri kan kaki Tiara gatal-gatal setelah itu.” Komentar Tiara.
            “Ya sudah, nggak apa-apa, biar Bapak saja. Bapak akan sering pulang untuk meratakan padi sambil ngangkut padinya.” Terang Pak Hanjar. Tiara hanya mengangguk. “Kamu ambilkan makanan yah, untuk Ibu dan pekerja lainnya. Mereka pasti sudah lapar dan kehausan.”
            “Iya, Pak.” Tiara bangun dari duduknya untuk mengambil makanan dan minuman untuk Ibu dan para pekerja di sawah. Setidaknya itulah yang dapat Tiara lakukan, kadang ia juga membuat makanan sendiri untuk dibawa ke sawah.
            Beberapa menit kemudian Tiara datang dengan membawa kantung plastik berukuran besar yang berisi makanan dan minuman. Lalu ia letakkan di atas meja yang ada di teras rumah. Tiara tidak mengatakan apa-apa, ia hanya diam mendengarkan percakapan antara Pak Hanjar dengan salah satu pekerjanya.
            “Iya Pak, saya mau minta karung lagi. Di sana sudah habis.” Kata Jaka pemuda putus sekolah yang satu tahun lebih tua dari Tiara itu memakai pakaian yang sudah kumal.
            “Aduh karungnya sudah habis, Ka.” Kata Pak Hanjar bingung. “Yah sudah, nanti saya beli dulu, nanti saya antar ke sawah. Ini padi yang kamu angkut basah, Ka?” tanyanya melihat karung-karung padi berukuran besar yang Jaka angkut dengan motor doyok plus bututnya.
            “Iya Pak, soalnya padi Pak Hanjar di bagian Selatan hampir semuanya rubuh kena angin. Sudah gitu kondisi tanah masih ada air. Bapak harus cepat-cepat jemur padi-padi ini takutnya akan tumbuh.” Jelas Raka. Dari belakang Tiara terdiam mendengarkannya.
            “Iya, saya tahu itu. Makanya sore ini juga saya akan menambah jemuran padinya. Sekarang mending kamu kembali lagi aja ke sawah, karung biar saya urus.”  Jaka mengangguk lalu pamit pergi untuk melanjutkan pekerjaannya.
            Pak Hanjar memeriksa karung-karung padi yang ada di gudang samping rumahnya. Masih banyak yang belum dijemur. Sedangkan padi-padi yang sudah dipanen dalam keadaan basah. Lokasi penjemuran padi juga harus ngantre, menunggu orang lain selesai menjemur.
            Setelah melihat padi-padinya Pak Hanjar menghampiri Tiara. “Mana Ra, Bapak mau berangkat.”
            “Ini, Pak.” Tiara mengambil kantung plastik itu dan menyerahkannya pada Pak Hanjar. “Padi-padinya harus cepat-cepat dijemur yah, Pak?” Tanya Tiara. Ada rasa kasihan dalam hatinya melihat Bapaknya harus ngatre tempat menjemur padi.
            “Iya, lusa tempat Pak Badrun akan Bapak gunakan untuk menjemur, itu juga kalau boleh. Kamu tahu sendiri kan Pak Badrun itu seperti apa.”Tiara menerawang sosok tetangganya yang terkenal pelit, bahkan untuk menyewakan tanah kosongnya saja, tidak boleh.
            “Kalau tidak boleh, gimana Pak?” Tiara mulai cemas akan nasib padi-padi Bapaknya.
            “Yah, harus nunggu padi Bapak kering dulu.” Jawab Pak Hanjar tersenyum. Bapaknya ini memang sangat sabar. “Bapak berangkat dulu yah Ra, hati-hati di rumah, ingat tengok padinya kali saja ada ayam.” Nasihat Pak Hanjar. Tiara mengangguk lalu mencium punggung tangan Pak Hanjar.
            Sepeninggalan Pak Hanjar Tiara masuk ke dalam rumah. Kini ia kembali sibuk dengan laptopnya sambil browsing tentang info-info lomba menulis. Sejenak ia sibuk menekuni kegiatannya. Ketika ia membuka blog, tiba-tiba saja bayangan teman-temannya yang notabene anak-anak populer langsung mencul dibenaknya.
            “Kemarin gue liat elo jemur padi, Ra. Ih! Tiara kamse banget sih lo.” Kata Nikita cewek cantik berpenampilan modis bak model cover majalah yang juga teman sekelas dengannya.
            “Beneran lo.” Karin sahabat Nikita ikut nimbrung. Tiara yang duduk di sebelah Nikita hanya terdiam menunduk.
            “Benerlah.” Jawab Nikita. “Iya kan, Ra.” Sambil melirik ke arah Tiara.
            “Pantes yah, elo item gini, kusut, ndeso banget gitu.” Celoteh Karin.
            “Kalian jangan sok tahu, aku nggak pernah jemur padi kok.” Elak Tiara saat itu.
            “Udah, elo ngaku aja. Kulit elo yang item nggak bisa dibohongi. Jangan-jangan elo juga ikut metik padi di sawah yah, iiihh….gue sih ogah!” ujar Nikita. Tiara menundukkan wajahnya semakin dalam lagi. Teman-teman sekelas kontan sepenuhnya menatap ke arah Tiara.
            “Nikita sama Karin keterlaluan.” Umpat Tiara yang sudah tersadar dari lamunannya. Namun, secepat kilat pembicaraan Bapaknya dan Jaka langsung menggantikan ocehan Karin dan Nikita. Sejurus kemudian Tiara mematikan laptopnya, lalu mengambil buku bacaan dan keluar menuju teras.
            Tiara duduk di bangku yang ada di teras rumah dengan buku bacaann di pangkuannya. “Masa bodo Nikita sama Karin mau ngomong apa, yang penting aku bisa bantu Bapak dan Ibu.” Kata Tiara lebih pada diri sendiri. Ia menatap jemuran padi yang tidak jauh di depannya, pinggir jalan. Setidaknya ia tdak akan membiarkan ayam-ayam milik tetangga mengacak-acak jemuran padi Bapaknya yang memang ada dua jalur.
            Dua jam berlalu, Tiara masih duduk menjaga jemuran padi milik Bapaknya. Cuaca yang semula panas menyengat kini berubah menjadi mendung, dan kapan saja bisa turun hujan. Melihat mendung di langit yang mulai menebal Tiara bangun dari duduknya.
            “Mendung, bakalan hujan, nih.” Tiara mulai cemas sambil melihat jemuran di depannya. “Bapak kok nggak pulang-pulang sih,” Tiara kini mondar-mandir. Kalau ia menutup padi sendirian yang ada dua jalur apa ia bisa.
            Kepanikannya bertambah melihat orang-orang yang juga menjemur padi langsung berhamburan dan bergegas menutup padi mereka. Dengan menguatkan tekadnya Tiara langsung meletakkan buku bacaannya ke meja dan menyambar alat perataann padi yang bertengger di pagar teras. Gagang alat perataan itu terbuat dari kayu, sedangkan perataannya berbentuk pesegi panjang dan terbuat dari besi. Kemudian ia langsung berlari menuju pinggir jalan.
            Dengan sedikit terburu-buru Tiara langsung membuat jemuran padi Bapaknya menumpuk dan panjang agar mudah di tutup dengan kain karung yang khusus untuk menjemur padi. Tiara terus menggaruk-garuk padi menjadi satu jalur yang memanjang. Sesekali ia melihat langit yang mendungnya semakin tebal saja, sedangkan masih satu jalur jemuran lagi yang harus ditutup.
            “Tiara! Elo, hahhaha!!” terdengar suara cewek yang tertawa. Tiara langsung mendongakkan wajahnya, ternyata Nikita yang menaiki mobil terbarunya. Tiara sempat kaget di buatnya.
            “Ternyata bener yah. Elo…” Nikita tidak melanjutkan kata-katanya. Tiara mencoba tidak termakan perkataan temannya itu. Ia kembali melanjutkan pekejannya. Kali ini jemuran padi Bapaknya lebih penting daripada rasa gengsinya. Tak berapa lama mobil Nikita melaju pergi. Tiara sendiri terus membuat tumpukan padinya.
            “Tiara! Kok sendiri, mana Bapakmu!” seru seseorang. Begitu Tiara melihat siapa yang berbicara, ia tersenyum.
            “Paman! Bantu Tiara yah, Tiara nggak bisa nutup dua jemuran kalau sendirian.” Pinta Tiara. Dika, pamannya yang sering membantu Bapaknya di sawah itu langsung mengambil alat yang sama dengan Tiara dan langsung menutup satu jalur lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar