Kamis,
26 April 2012
14.00
Bersama
Lembayung
Bulan telah memasuki musim kemarau. Bulan April ini
diawali dengan panen padi di desa-desa tertentu. Tentu saja
cuaca yang panas membuat keringat berjatuhan di pelupuh para petani atau
pun buruh tani yang sedang memetik hasil
panen. Biasanya penjual es keliling sampai ke area persawahan, dan membuat untung
bagi mereka karena penjualan meningkat dari biasanya.
Seperti dikeluarga Pak Hanjar yang
sedang panen. Sawahnya lumayan banyak, sampai-sampai ia harus mempekerjakan
orang-orang yang sebagian besar tetangganya untuk membantu menyelesaikan panen
bulan ini.
“Tiara! Ambilkan minum, Nak!” teriak
Pak Hanjar, Bapak Tiara. Tiara atau Mutiara adalah anak kedua dari dua
bersaudara.
“Iya, Pak!” jawab Tiara yang posisinya
memang berada di ruang tamu. Sedangkan Pak Hanjar duduk sambil menyandarkan
tubuhnya pada tiang sambil mengibaskan topi sawah ke wajahnya. Walaupun angin
berhembus tapi tidak membuatnya merasa adem.
“Nih, Pak.” Tiara datang membawa
minuman dingin lalu duduk di samping Bapaknya. Mereka memang tinggal di desa
yang mayoritas di kelilingi oleh para petani dan buruh tani. Tetangga mereka
banyak yang menawarkan diri agar dipekerjakan di sawahnya.
“Ibu masih di sawah yah, Pak?” tanya
Tiara. Sudah dua minggu lebih bapak dan ibunya memetik hasil panen di sawahnya
sendiri. Bapak dan ibu Tiara tidak ingin hanya berpangku tangan menerima hasil
panennya, mereka memilih ikut bekerja di sawah, memetik hasil dari keringat
mereka sendiri. Sedangkan Tiara di rumah saja, kecuali pagi ia harus ke
sekolah.
“Iya.” Jawab Pak Hanjar singkat
sambil meneguk minuman dingin yang dibawa anaknya. “Nanti habis bapak
istirahat, kamu ikut bapak ke sawah yah, bantu Bapak dan Ibu.” Lanjutnya dengan
logat Jawa yang kental.
“Ih, nggak ah! Pak, Tiara nggak
mau.” Jawab Tiara langsung. Ia juga sama logat Jawanya masih melekat. Keluarga
Pak Hanjar memang asli orang Jawa, meski menggunakan Bahasa Indonesia tapi
logat Jawanya tidak hilang.
“Nanti kulit Tiara hitam, Pak.”
Tolak Tiara.
“Lah, wong kamu ini sudah hitam toh,
Ra. Ngapain takut kulit hitam.” Timpal Pak Hanjar sambil memandang putrinya
yang berkulit hitam manis. Tiara putri satu-satunya Pak Hanjar, sedangkan anak
pertamanya laki-laki.
“Maksudnya, Tiara tambah hitam gitu
Pak, kan malu sama teman-teman di sekolah. Udah gitu kalau ke sawah itu tubuh
Tiara gatal-gatal, pada merah.”
Segala macam alasan keluar dari mulut Tiara. Pak Hanjar hanya geleng-geleng
kepala. Jawaban itulah yang sering ia dengar tiap kali mengajak Tiara ke sawah,
entah itu saat musim panen maupun saat penyiangan padi.
Alasannya sama, takut hitam,
gatal-gatal, malu sama teman-temannya dan seribu alasan lainnya. Gengsi Tiara
mulai besar, karena ia sekolah di SMA yang terpandang di desa ini. Namun begitu,
Tiara mempunyai otak yang encer. Pak Hanjar selalu menanamkan sifat-sifat
rendah hati pada anak-anaknya. Tingkah laku Tiara juga baik, meski pun begitu
pergaulan dengan teman-teman Tiara lebih memengaruhi rasa gengsinya.
“Yah sudah, kalau kamu tidak mau.
Pulang sekolah kamu di rumah saja sambil jaga padi yang Bapak jemur di pinggir
jalan.” Terang Pak Hanjar meneguk minumannya lagi. “Sesekali kamu tengok, kalau
ada ayam yang ngacak-ngacak dan makan padi kamu usir, dan juga ratakan padinya
biar seluruhnya kering yah, Ra.” Lanjutnya. Bibir Tiara manyun-manyun mendengar
penjelasan Bapaknya. Beberapa kali Pak Hanjar memberi interupsi seperti itu
ketika Tiara disuruh jaga jemuran padi. Tapi Tiara hanya mengusir ayam-ayam
yang mematuk-matuk dan mengacak-acak padi, sedangkan untuk meratakan padi Tiara
tidak lakukan. Katanya, telapak kaki Tiara jadi gatal-gatal.
“Iya Pak, kalau itu nggak apa-apa.
Tapi Tiara nggak mau meratakan padinya yah, bapak tahu sendiri kan kaki Tiara
gatal-gatal setelah itu.” Komentar Tiara.
“Ya sudah, nggak apa-apa, biar Bapak
saja. Bapak akan sering pulang untuk meratakan padi sambil ngangkut padinya.”
Terang Pak Hanjar. Tiara hanya mengangguk. “Kamu ambilkan makanan yah, untuk
Ibu dan pekerja lainnya. Mereka pasti sudah lapar dan kehausan.”
“Iya, Pak.” Tiara bangun dari
duduknya untuk mengambil makanan dan minuman untuk Ibu dan para pekerja di
sawah. Setidaknya itulah yang dapat Tiara lakukan, kadang ia juga membuat
makanan sendiri untuk dibawa ke sawah.
Beberapa menit kemudian Tiara datang
dengan membawa kantung plastik berukuran besar yang berisi makanan dan minuman.
Lalu ia letakkan di atas meja yang ada di teras rumah. Tiara tidak mengatakan
apa-apa, ia hanya diam mendengarkan percakapan antara Pak Hanjar dengan salah
satu pekerjanya.
“Iya Pak, saya mau minta karung
lagi. Di sana sudah habis.” Kata Jaka pemuda putus sekolah yang satu tahun
lebih tua dari Tiara itu memakai pakaian yang sudah kumal.
“Aduh karungnya sudah habis, Ka.”
Kata Pak Hanjar bingung. “Yah sudah, nanti saya beli dulu, nanti saya antar ke
sawah. Ini padi yang kamu angkut basah, Ka?” tanyanya melihat karung-karung
padi berukuran besar yang Jaka angkut dengan motor doyok plus bututnya.
“Iya Pak, soalnya padi Pak Hanjar di
bagian Selatan hampir semuanya rubuh kena angin. Sudah gitu kondisi tanah masih
ada air. Bapak harus cepat-cepat jemur padi-padi ini takutnya akan tumbuh.”
Jelas Raka. Dari belakang Tiara terdiam mendengarkannya.
“Iya, saya tahu itu. Makanya sore
ini juga saya akan menambah jemuran padinya. Sekarang mending kamu kembali lagi
aja ke sawah, karung biar saya urus.”
Jaka mengangguk lalu pamit pergi untuk melanjutkan pekerjaannya.
Pak Hanjar memeriksa karung-karung
padi yang ada di gudang samping rumahnya. Masih banyak yang belum dijemur.
Sedangkan padi-padi yang sudah dipanen dalam keadaan basah. Lokasi penjemuran
padi juga harus ngantre, menunggu orang lain selesai menjemur.
Setelah melihat padi-padinya Pak
Hanjar menghampiri Tiara. “Mana Ra, Bapak mau berangkat.”
“Ini, Pak.” Tiara mengambil kantung plastik
itu dan menyerahkannya pada Pak Hanjar. “Padi-padinya harus cepat-cepat dijemur
yah, Pak?” Tanya Tiara. Ada rasa kasihan dalam hatinya melihat Bapaknya harus
ngatre tempat menjemur padi.
“Iya, lusa tempat Pak Badrun akan
Bapak gunakan untuk menjemur, itu juga kalau boleh. Kamu tahu sendiri kan Pak
Badrun itu seperti apa.”Tiara menerawang sosok tetangganya yang terkenal pelit,
bahkan untuk menyewakan tanah kosongnya saja, tidak boleh.
“Kalau tidak boleh, gimana Pak?”
Tiara mulai cemas akan nasib padi-padi Bapaknya.
“Yah, harus nunggu padi Bapak kering
dulu.” Jawab Pak Hanjar tersenyum. Bapaknya ini memang sangat sabar. “Bapak
berangkat dulu yah Ra, hati-hati di rumah, ingat tengok padinya kali saja ada
ayam.” Nasihat Pak Hanjar. Tiara mengangguk lalu mencium punggung tangan Pak
Hanjar.
Sepeninggalan Pak Hanjar Tiara masuk
ke dalam rumah. Kini ia kembali sibuk dengan laptopnya sambil browsing tentang
info-info lomba menulis. Sejenak ia sibuk menekuni kegiatannya. Ketika ia
membuka blog, tiba-tiba saja bayangan teman-temannya yang notabene anak-anak populer
langsung mencul dibenaknya.
“Kemarin
gue liat elo jemur padi, Ra. Ih! Tiara kamse banget sih lo.” Kata Nikita cewek
cantik berpenampilan modis bak model cover majalah yang juga teman sekelas dengannya.
“Beneran lo.” Karin sahabat Nikita ikut nimbrung. Tiara
yang duduk di sebelah Nikita hanya terdiam menunduk.
“Benerlah.” Jawab Nikita. “Iya kan, Ra.” Sambil melirik
ke arah Tiara.
“Pantes yah, elo item gini, kusut, ndeso banget gitu.”
Celoteh Karin.
“Kalian jangan sok tahu, aku nggak pernah jemur padi
kok.” Elak Tiara saat itu.
“Udah, elo ngaku aja. Kulit elo yang item nggak bisa
dibohongi. Jangan-jangan elo juga ikut metik padi di sawah yah, iiihh….gue sih
ogah!” ujar Nikita. Tiara menundukkan wajahnya semakin dalam lagi. Teman-teman
sekelas kontan sepenuhnya menatap ke arah Tiara.
“Nikita sama Karin keterlaluan.”
Umpat Tiara yang sudah tersadar dari lamunannya. Namun, secepat kilat
pembicaraan Bapaknya dan Jaka langsung menggantikan ocehan Karin dan Nikita.
Sejurus kemudian Tiara mematikan laptopnya, lalu mengambil buku bacaan dan
keluar menuju teras.
Tiara duduk di bangku yang ada di
teras rumah dengan buku bacaann di pangkuannya. “Masa bodo Nikita sama Karin
mau ngomong apa, yang penting aku bisa bantu Bapak dan Ibu.” Kata Tiara lebih
pada diri sendiri. Ia menatap jemuran padi yang tidak jauh di depannya, pinggir
jalan. Setidaknya ia tdak akan membiarkan ayam-ayam milik tetangga
mengacak-acak jemuran padi Bapaknya yang memang ada dua jalur.
Dua jam berlalu, Tiara masih duduk
menjaga jemuran padi milik Bapaknya. Cuaca yang semula panas menyengat kini
berubah menjadi mendung, dan kapan saja bisa turun hujan. Melihat mendung di
langit yang mulai menebal Tiara bangun dari duduknya.
“Mendung, bakalan hujan, nih.” Tiara
mulai cemas sambil melihat jemuran di depannya. “Bapak kok nggak pulang-pulang
sih,” Tiara kini mondar-mandir. Kalau ia menutup padi sendirian yang ada dua
jalur apa ia bisa.
Kepanikannya bertambah melihat
orang-orang yang juga menjemur padi langsung berhamburan dan bergegas menutup
padi mereka. Dengan menguatkan tekadnya Tiara langsung meletakkan buku
bacaannya ke meja dan menyambar alat perataann padi yang bertengger di pagar
teras. Gagang alat perataan itu terbuat dari kayu, sedangkan perataannya
berbentuk pesegi panjang dan terbuat dari besi. Kemudian ia langsung berlari
menuju pinggir jalan.
Dengan sedikit terburu-buru Tiara
langsung membuat jemuran padi Bapaknya menumpuk dan panjang agar mudah di tutup
dengan kain karung yang khusus untuk menjemur padi. Tiara terus menggaruk-garuk
padi menjadi satu jalur yang memanjang. Sesekali ia melihat langit yang
mendungnya semakin tebal saja, sedangkan masih satu jalur jemuran lagi yang
harus ditutup.
“Tiara! Elo, hahhaha!!” terdengar suara
cewek yang tertawa. Tiara langsung mendongakkan wajahnya, ternyata Nikita yang
menaiki mobil terbarunya. Tiara sempat kaget di buatnya.
“Ternyata bener yah. Elo…” Nikita
tidak melanjutkan kata-katanya. Tiara mencoba tidak termakan perkataan temannya
itu. Ia kembali melanjutkan pekejannya. Kali ini jemuran padi Bapaknya lebih
penting daripada rasa gengsinya. Tak berapa lama mobil Nikita melaju pergi.
Tiara sendiri terus membuat tumpukan padinya.
“Tiara! Kok sendiri, mana Bapakmu!”
seru seseorang. Begitu Tiara melihat siapa yang berbicara, ia tersenyum.
“Paman! Bantu Tiara yah, Tiara nggak
bisa nutup dua jemuran kalau sendirian.” Pinta Tiara. Dika, pamannya yang
sering membantu Bapaknya di sawah itu langsung mengambil alat yang sama dengan
Tiara dan langsung menutup satu jalur lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar