ehm! aku dataaaang...membawa pisaang..
ini nih part 4 nya yang kalian tunggu2...tapi tapi tapi...kayanya part ini ceritanya gaj jelas deh, ada problem dgn otakku...perlu di servis...jadi jadi jadi...kritik sarannya aku tunggu yah...ramaikan dengan koment dan jempol kalian...:D
eits! lupa! part ini ada bawa2 kak Adie...moga aja gk marah yah dheranya...*maaf kak*
ce ki doooot....
Di dalam kamar aku langsung sibuk menghubungi teman-temanku, kalau saat ini kami bertemu pasti sudah saling tos-tosan dengan gelak tawa yang menggema. Senang sekali rasanya besok bisa liburan bersama Say’A selama kurang lebih dua minggu pula. Hahhaha *girang banget si Inok*
“Oh yah Nok, kita ajak Adie juga yah, nantinya elo bisa berdua tuh sama adie.” Kata Akis yang saat itu aku sedang menelponnya. Aku berpikir sejenak. Siapa Adie? Aku jadi malu untuk menceritakannya. Dia itu pacarku *Inok semu merona*
“Boleh juga, lagian gue kangen tuh sama Adie sekarang kan gue sama dia jarang bareng.” Jawabku masih dengan rona merah di pipi. Aku merangkul Ona, Oni, dan Ono, menyembunyikan wajahku yang semakin merah saja, sesekali aku tertawa kecil.
“Inok! Sarap deh, kalau udah ngomongin Adie.” Sungut Akis yang sudah dapat menebak pasti aku tersenyum-senyum sendiri kalau sudah membayangkan Adie.
“Hehehe, elo emang sahabat gue Kis, tahu aja deh!” kataku. Kalau saja Akis ada di sini sudah aku peluk erat-erat tuh anak. Tiba-tiba terdengar suara Yoga memanggilku di depan pintu kamar. “Kis, udah dulu yah, tuh abang Yoga manggil gue.” Klik! Telpon terputus. “Masuk bang!” teriakku. Lalu Yoga masuk. Kakak pertamu itu senyum-senyum tak jelas.
“Ada apa bang?” tanyaku.
“Belum tidur, Nok?”
“Nih mau tidur. Apaan tuh di belakang abang?” tanyaku lagi melihat kedua tangan Yoga tersembunyi di belakangnya. Yoga langsung duduk di sisi ranjang. Aku sendiri masih memeluk Ona, Oni dan Ono.
“Abang punya sesuatu buat elo?”
“Apa? Pisang? Kan tadi udah di kasih.” Jawabku sekenanya.
“Ya sudah kalau nggak mau.” Yoga hendak beranjak. Langsung saja aku tarik tangannya dan cecengesan. Kemudian Yoga mengeluarkan sesuatu dari belakang badannya. Sebuah kotak berukuran sedang dan bersampul pink, warna kesukaanku. Aku mengernyitkan dahi, tak tahu apa itu.
“Apa itu?” selidikku. “Elo mau ngerjain gue bang.”
“Ih, negatif aja pikiran elo, Nok. Cepet gih buka.” Katanya. Aku langsung meraih kotak itu dan perlahan membukanya. Hatiku dag dig dug takut isinya sesuatu yang aku takuti. Kalau itu terjadi, Yoga langsung ku tendang ke Mars.*hobby Inok nendang kali yah*
Begitu kotak terbuka, aku melongok ke dalam, gelap! *kasih lampu dong nok* aku memasukkan tanganku dan mengambil isinya. Sebuah kamera Nikon. Mulutku menganga, “Ini untuk gue, bang?” tanyaku tak percaya. Kamera yang selama ini aku inginkan berada di tanganku. Yoga hanya mengangguk dan memamerkan deretan giginya yang tersusun rapi. Refleks aku memeluk Yoga erat.
“Thanks bang, elo tahu aja gue pengen ini.” Kataku haru.
“Iya Nok, sama-sama. Pas banget yah, besok elo liburan dapat Nikon. Bisa elo gunakan untuk foto-foto di sana.” Ujar Yoga. Sekali lagi ku peluk tubuh atletisnya. Sumpah! Hari ini Tuhan benar-benar membuat impianku terkabul, liburan bareng Say’A di tambah kamera nikon ini. Yoga dan Yogi serta kedua orang tua, membuat aku mengharu biru.
%$^%&^*^*$%^$&^*
Bagian 3
Dag Dig Dug
Aku sudah dengan koper kecil di tanganku. Ku hampiri Herdi dan Aji yang sudah nongkrong di depan mobil hitam milikku. Mereka datang setengah jam yang lalu, bahkan ketika aku masih terlelap karena tidak mau bangun sebelum Memey membangunkan aku dengan segelas susu di tangannya. Tapi tidak ada Akis dan Dera di antara mereka.
Melihatku yang datang dengan menarik koper kecil, Herdi dan Aji melongo. “Elo mau liburan atau pindah, Nok. Kok bawa koper?” tanya Aji.
“Loh, kita kan liburannya lama, wajar bawaan gue banyak. Ini nih penuh dengan Ona, Oni dan Ono, nggak mungkin mereka gue tinggal.” Kataku polos.
“Kenapa nggak sekalian Gipsonnya elo bawa juga, Nok?” kini Herdi yang berbicara disertai tawa kecil yang membuat matanya semakin sayu.
“Pengennya sih gitu, tapi susah bawanya.” Jawabku. Aji hanya mengangguk-angguk, tak tahulah apa tuh anak ngerti. Aku memerhatikan penampilan Aji dan Herdi. Sebelumnya belum aku kenalkan siapa Herdi. Cowok yang mempunyai nama lengkap Muhamad Herdi Herdiansyah, memegang Cajon di Say’A, tinggi kurang lebih 175cm, kulit kekuning-kuningan, dan matanya itu loh, sayu kayak lilin ketiup angin, kalau senyum maka alisnya saling bertautan meski tidak sampau menyambung. Kali ini ia memakai celana jeans, serta T-shirt putih. Tapi bawahnya cuma pakai sandal, coba bayangkan mau liburan pakai sandal. Simple banget nih orang. Herdi menurutku paling simple kalau soal style, tidak mau ribet
Sedangkan Aji, dia memakai T-shirt Biru dan celana jeans tanggung. Dia hoby banget pakai celana tanggung, kalau soal bagaimana Aji di Say’A sudah dijelaskan di awal. Dan sekarang dia juga memakai sandal. Aji ini sedikit tambun di banding personil Say’A yang lain. Aku sendiri memakai T-shirt orange dengan jeans panjang dan sepatu kets. Tak lupa tas selempang warna merah yang selalu menemaniku.
“Eh, elo bawa cajon kan Her?” tanyaku pada Herdi. Herdi hanya mengangguk. “Elo Ji, bawa gitar kan?” aku melirik Aji. Sesaat cowok itu terdiam. Aku mulai khawatir itu anak tidak bawa alat musik. Sekian detik Aji berpikir, lalu ia mengangguk. Aku dan Herdi menghela napas lega.
“Eh, Akis sama Dera mana?” tanyaku.
“Kalau Dera lagi ke toilet Nok, tadi di antar pembantu elo. Tuh anak tiba-tiba aja nggak beres perutnya.” Terang Herdi. “Kalau Akis, tadi dia udah datang sekarang dia pergi.” Lanjutnya.
“Kemana?” tanyaku lagi.
“Ji, kemana si Akis, tadi kan selagi gue beresin cajon elo ngobrol bareng Akis?” Herdi menatap Aji. Lagi-lagi Aji terdiam, berpikir. Keningnya mengkirut, mengingat sesuatu.
“Akis memang ngobrol sama gue, tapi dia ngomong apa yah, gue lupa” kata Aji memasang wajah tak berdosa. Gubrak! Untung di bawah kakiku dan Herdi tidak ada kulit pisang, kalau ada sudah kepleset masuk tong sampah dari tadi. Aku geram melihat ekspresinya yang hanya garuk-garuk kepala.
“Semprul, penyakit lupa elo parah, Ji.” Herdi menoyor kepala Aji. Aji sendiri hanya senyum-senyum saja.
“Sorry, gue emang beneran lupa, Jenggot.” Bela Aji. Nah, sebutan Jenggot itu di tunjukkan kepada Herdi. Kenapa? Lihat saja, di dagunya ada jenggot tumbuh meski masih kecil-kecil *gue siapin kaca pembesar biar keliatan*. Tak peduli dengan ucapan mereka, aku langsung menelpon Akis.
“Kis, elo ada di mana sih,” ucapku begitu telpon diangkat.
“Gue habis jemput Adie, mobil Adie dibawa adiknya. Jadi gue jemput dia, pake mobil gue.” Kata Akis enteng. Deg! Akis benar-benar mengajak Adie. Aku berbalik dari hadapan Herdi dan Aji, tentu saja tidak ingin mereka berdua melihat rona merah di kedua pipiku.
“Hmmm...cepet Kis, udah siang.”kataku berusaha setenang mungkin, dan tidak jingkrak-jingkrak.
“Udah siang, atau elo nggak sabar pengen lihat Adie.” Kyaaa! Enteng sekali Akis mengatakannya, tidak peduli denganku yang seakan terbang. “Gue dan Adie lagi di jalan, kalian tunggu aja.” Klik! Telpon kembali terputus. Sebentar ku dekap handphoneku. Huh! Drum band di hatiku belum juga berhenti. Entah kenapa, meski sudah beberapa bulan pacaran, tapi aku selaui gugup kalau sudah membahas tentang cowok yang bernama Adie Rossiadi. Kita memang jarang ketemu karena sibuk dengan urusan masing-masing.
“INOOK!” Aji sudah berdiri di sampingku. Kontan aku tersentak kaget. “Tahu deh kita, kalau elo gugup kayak gini, pasti karena Adie.” *prok prok prok, Aji ingat woooiii* *besok kita rayain*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar