Rabu, 11 Juli 2012

Cerbung >> Dalam Dunia Dhera *Part 12*


hay....kali ini sudut pandangnya aku ubah..jadi orang ketiga...
so...semoga kalian ngerti yah jalan ceritanya...ini bukan cerita nyata loh, ini hayalan, jangan di anggap serius, dan jangan menjelek2an tokoh dalam cerbung yah..:D buat kak Indra ntar nongolnya, nyelesein konflik Adie Dhera dulu...
ok happy reading guys...


            ##%$^&%*^*^$%@

Bagian 9
Inok, Kau Buat Kita Khawatir

            Kejadian itu begitu cepat. Dan kini Dhera masih tak sadarkan diri dengan kaki yang tertindih badan motor. Pelipis Dhera menghantam aspal dan di kedua lengannya juga lecet hingga mengeluarkan berkas darah. Dari jauh Febri yang melihat langsung kejadian itu, segera berlari menghampiri Dhera.
            “Dhera!!!” begitu sampai di tempat Dhera, dengan sigap ia langsung menyingkirkan motor itu dari kaki Dhera. Terlihat jelas betapa takutnya ia melihat kondisi Dhera saat ini.
            “Dhe! Dhera!!!” Febri mengguncang-guncangkan tubuh Dhera dengan sesekali memegang kedua pipinya. Febri celingak-celinguk mencari seseorang, sepi. “Tolooong!!” teriaknya keras berharap ada yang mendengar. “Tolooong!!!”
            Karena di rasa tidak ada orang, dengan segera Febri menggotong tubuh Dhera. Dengan tergopoh-gopoh menuju jalan raya dan membawa Dhera ke rumah sakit. Febri terus menggotong tubuh Dhera dengan rasa takut. Tentu saja ia merasa sangat takut, ia tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi sama Dhera. Cewek yang dulu ia cintai sampai saat ini.
            Dari sisi lain Adie yang melihat Febri menggotong tubuh Dhera segera berlari. “Febri! Inok  kenapa?” sergah Adie, tentu saja dengan Gea di sampingnya. Terlihat Gea juga ikut panik.
            “Dia jatuh dari motor, kita harus cepat-cepat bawa dia ke rumah sakit” ujar Febri dengan terburu-buru. Kalut, bingung, panik dan takut yang mereka bertiga rasakan.
            “Biar gue yang bawa Dhera, tak jauh dari sini ada rumah paman gue, kita bisa pinjam mobil. Elo hubungi Akis dan yang lain.” Ucap Adie mangambil alih  tubuh Dhera dan menyerahkan handphonenya pada Febri. Tanpa basa-basi lagi Adie membawa Dhera pergi.
            “Die! Gue gimana?” tanya Gea bingung.
            “Please Ge, keselamatan Dhera lebih penting!” nada suara Adie meninggi. “Lebih baik elo pulang, gue nggak mau terjadi apa-apa sama Dhera.” Lanjutnya lagi semakin panik karena pelipis Dhera berdarah dan mengenai lengannya juga.
            Gea terdiam dan menghentikan langkahnya. Percuma saja ia ikut bersama Adie,  cowok itu akan lebih perhatian sama Dhera. Febri yang sudah menelpon Akis dan yang lain langsung membantu Adie.
*
            Beberapa menit yang lalu dokter dan suster masuk memeriksa keadaan Dhera. Di depan pintu UGD Febri dan Adie menunggu dengan cemas. Tidak ada yang berbicara, mereka diam dengan pikiran masing-masing. Tak lama kemudian anak-anak Say’A datang dan menghampiri mereka berdua.
            “Gimana dengan Inok.” Sergah Akis kepada Adie. Adie hanya terdiam dengan wajah yang ketakutan. Akis mengalihkan pandangan ke Febri. Sama, cowok kalem itu juga hanya diam.
            “Die! Jawab!” Herdi mendekat dan menatap Adie tajam.
            “Gue nggak tahu Her, Inok jatuh dari motor.” Jawab Adie sedikit bergetar. Berbeda dengan Akis, ia sudah sesegukkan di bahu Aji. Ia memikirkan bagaimana kalau orang tua Dhera sampai tahu, bisa gawat. Mereka sudah berjanji akan menjaga Dhera dengan baik.
            Tak lama kemudian dokter keluar dari ruang UGD. Segara mereka semua menghampiri dokter itu. “Gimana keadaan Dhera Dok, dia nggak apa-apa kan?” tanya Febri langsung. Dokter itu tersenyum.
            “Tidak apa-apa, teman kalian baik-baik saja.” Kata Dokter. Semuanya mengucap syukur. “Tapi...”
            “Tapi apa Dok?” sergah Adie.
            “Sepertinya kaki Dhera...”
            “Kenapa Dok, kakinya nggak patah kan.” Timpal Tablet.
            “Nggak, cuma...”
            “Harus dioperasi yah Dok.” Ujar Aji. Asli! Dua cowok ini suka banget yang namanya motong pembicaraan.
            “Nggak, kaki Dhera terkilir, untuk sementara ia harus memakai alat bantu untuk berjalan. Kita sudah memberikan obat untuknya.” Terang Dokter, kembali raut wajah mereka kusut. Dokter bagaimana sih, katanya Dhera tidak apa-apa, ini sampai terkilir. Itu namanya ada apa-apa.
            Setelah itu Dokter memperbolehkan mereka masuk ke ruangan. Beliau juga mengatakan kalau hari ini Dhera bisa langsung di bawa pulang. Tak henti-hentinya merka semua mengucap syukur.
            “Inoook!” seru Akis dan langsung menghampiri Dhera yang sudah siuman. Di pelipis kirinya diperban, begitu juga dengan bagian tubuh Dhera yang lain. “Nok, elo kenapa bisa kayak gini sih.” Akis meringis melihat seluruh tubuh Dhera.
            “Nok, kalau badan elo di perban juga, elo persis kayak mummi.” Sela Aji yang langsung mendapat jitakan dari Herdi. Adie yang berada di sisi lain yaitu bersebrangan dengan Akis, masih takut untuk berbicara dengan Dhera.
            “Ya ampun Nok, elo bikin kita semua khawatir tahu nggak.” Lanjut Herdi.
            “Kalau aja tadi elo ngajak gue, nggak akan kayak gini.” Sambung Aji. Dhera tak menjawab. Merasa bersalah, sudah membuat teman-temannya khawatir. Langsung bayangan Memey dan Papa muncul di benaknya. Kalau mereka tahu, ultimatum untuk tidak boleh bermain musik pasti Papa berikan.
            “Gue mau pulang.” Lirih Dhera pelan sambil berusaha bangkit. Saat itu Febri yang sedari tadi juga diam berniat untuk membantu Dhera tapi Adie lebih dulu membantunya. Sejenak Dhera terdiam melihat tangan Adie memegang punggung dan tangannya. Tapi Dhera tidak menolak dengan sikap Adie itu.
            “Kis, ayo!” ujarnya lagi. Adie melirik Akis dan yang lain. Sepertinya Adie memberikan sebuah kode kepada mereka.
            “Nok, elo pulang sama Adie aja yah.” Kata Tablet.
            “Kak Febri gimana?” Inok melihat ke arah Febri.
            “Gue...”
            “Biar kak Febri ikut kita Nok, iya kan kak.” Akis sok centil. Febri hanya mengangguk pasrah.
            “Ok, kita duluan Nok. Die! Jaga Inok baik-baik. Kalau nggak, jangan harap elo lepas dari hantaman kita bertiga.” Ujar Aji. Adie hanya mengangguk mantap.
            Sepeninggalan mereka Adie langsung membantu Dhera turun dari ranjang. Ia menyerahkan tongkat pada Dhera. “Aku bantu yah.” Adie menggandeng tangan Dhera.
            “Semoga sikap kamu ini sebagai tanda kamu masih sayang aku, Die.” Kata Dhera dalam hati.
            Sepanjang perjalanan Dhera hanya diam duduk di samping kemudi. Adie juga konsentrasi menyetir. Kembali Dhera mengingat-ingat bagaimana kejadian yang membuatnya seperti ini. Kucing itu... batinnya tapi kok nggak ada kucingnya yah.
            Sekadar info, sebenarnya tidak ada kucing saat Dhera mengendarai motor. Ia hanya mengira ada kucing lewat di depannya. Dhera berniat menghindari kucing itu, karena panik sekaligus takut, ia hilang kontrol dan membanting kemudi.
            “Nok...aku mau jelasin semuanya tentang semalam.” Kata Adie membuka pembicaraan.
            “Hmmm...”gumam Dhera.
            “Itu semua nggak seperti yang kamu pikirkan Nok, aku sama cewek itu...” Adie tidak melanjutkan kata-katanya. Ia melirik Dhera, tatapannya lurus ke depan.
            “Sebelum kecelakaan juga aku lihat kamu bersama cewek itu.” Dhera to the point.
            “Itu...bisa aku jelaskan Nok.”
            “Jangan sekarang yah Die, aku ngantuk.” Jawab Dhera singkat lalu menyandarkan kepalanya di jok mobil. Perlahan Adie meraih tangan Dhera dan meremasnya. Kontan Dhera melihat ke arah Adie.
            “Tidurlah Nok, aku ada di samping kamu.” Ucap Adie lagi sambil tersenyum. Masih sama, senyum itu masih sama manisnya. Dhera membalas senyum itu. Lalu memejamkan kedua matanya mencoba terlelap, tentu saja dengan tangannya di genggam Adie.

            Sesampainya di villa Dhera belum juga bangun. Adie hendak membangunkannya, tapi ia tidak tega. Shock sekaligus capek pastinya si Dhera. Lama ia memandangi wajah cantik Dhera. Perlahan-lahan ia menyentuh pipi Dhera lembut. Dari sorot matanya, Adie seperti tertekan, ingin berontah, tapi ia tertahan.
            “Nok, aku sayang banget sama kamu. Sungguh, tidak ada sedikitpun niat untuk menyakitimu. Tapi, ada satu hal yang nggak bisa aku lawan. Aku nggak tahu apakah aku sanggup menjelaskan ini semua sama kamu, Nok.” Kata Adie dalam hati. Terlihat kesedihan yang dalam di matanya. Setelah puas memandang wajah Dhera, ia keluar dari mobil dan membuka pintu mobil Dhera. Dengan sangat hati-hati Adie menggotong tubuh Dhera.
            Adie membaringkan tubuh Dhera di tempat tidur, tentunya di bantu oleh Akis. Cowok itu juga menata boneka monyet yaitu, Ona, Oni, dan Ono, dan diletakkan di samping Dhera agar bisa dipeluk oleh Dhera. Akis mengerti dengan sikap Adie, perlahan ia juga meninggalkan mereka berdua.
            Kembali Adie memandangi wajah cewek agak tomboy ini sambil duduk di pinggir ranjang, membelai rambut Dhera lembut. Perasaannya semakin kalut, kalau Dhera bangun pasti menolak diperlakukan seperti ini olehnya. Cowok yang sudah menoreh luka di hati Dhera.
            “Nok, mungkin sekarang aku nggak bisa jelasin ke kamu. Tapi suatu hari nanti, aku pasti menjelaskannya. Aku sayang kamu, Nok.” Adie bangun dan mencium kening Dhera yang tertidur pulas. Kemudian ia keluar dari kamar Dhera.
            “Guys, gue mau jelasin sesuatu sama kalian.” Ujar Adie begitu sampai pada anak tangga yang terakhir. Anak-anak Say’A yang saat itu sedang asyik mengobrol sambil main musik langsung mengangguk memperbolehkan Adie gabung.

%^%^%#&%$^

ok bagian ini sudut pandang orang pertama pelaku utama, semoga para readers ngerti yah...:D

            Tercium di hidungku segelas susu. Perlahan aku membuka mata. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ona, Oni dan Ono dalam pelukanku. Kepalaku masih terasa pusing. Kemudian ku temukan dua sosok dengan segelas susu di tangan mereka berdua.
            “Kak Febri, kak Ivan.” Aku tertegun melihat mereka sudah ada di kamar ini. Aku bangun dari tidurku. “Kalian kok bisa ada di sini?” tanyaku. Febri dan Ivan langsung berebut duduk di sampingku. Mereka aneh! Sudah gitu membawa segelas susu di tangan mereka.
            “Ini susu buat elo, Dhe.” Ivan menyodorkan segelas susu padaku. Namun dengan cepat Febri mendesak.
            “Jangan mau Dhe, nih mending elo minum susu buatan gue. Di jamin, kamu bakalan cepet sembuh.”
            “Aduh Feb, asli yah, elo tuh kerjaannya ngikutin gue mulu.” Sungut Ivan.
            “Ada juga elo yang ngikutin gue, Van. Udah Dhe, mending minum susu dari gue.” Sebelum terjadi pertumpahan darah, aku langsung meraih susu di tangan mereka.
            “Daripada kalian berdua ribut, mending gue minum semuanya, ok.” Kataku. Sejenak mereka berdua saling pandang, lalu mengangguk setuju.
            “Tapi elo minum punya gue dulu yah, Dhe.” Sela Ivan.
            “Nggak bisa, elo harus minum punya gue dulu, Dhera.” Sambung Ivan. Ish! Kalau saja ada Yoga, pasti mereka sudah di sembur karena ribut terus.
            “Udah dong, mulut gue cuma satu, nggak mungkin minum dua gelas susu sekaligus, gantian aja.” Ucapku lalu meminum dua gelas susu itu secara bergantian.
            “Oh yah, sekarang jam berapa sih?” tanyaku.
            “Jam tiga sore, Dhe.” Jawab Febri.
            “Lama juga yah gue tidur.” Aku dekap bonekaku. Kedua cowok itu mengangguk. Lalu Ivan berlutut menghadapku.
            “Lo kenapa bisa kayak gini sih, Dhe. Elo udah buat gue dan Febri khawatir tahu nggak.” Tutur Ivan lembut sambil menatapku. Aku hanya tersenyum tipis “Untung si Febri berada di tempat saat elo jatuh.” Lanjut Ivan. Aku tertegun mendengarnya. Jadi bayangan yang menghampiriku dan memanggil-manggil namaku itu si Febri.
            “Jadi itu kak Febri.” Ucapku. Febri hanya mengangguk. “Makasih banget kak..” ku peluk Febri erat.
            “Dhera, gue nggak dipeluk nih,” rengek Ivan. Aku tersenyum, lalu memeluknya juga. Hangat. Inilah yang aku rindukan, pelukan dari sahabat-sahabatku.
            “Dhe, janji yah elo jangan bikin gue khawatir lagi.” Kata Febri. Aku hanya mengangguk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar