Rabu, 11 Juli 2012

Cerbung >> Dalam Dunia Dhera *Part 13*


hmmmm langsung aja yah...maaf kalau mengecewakan...dan ingat jangan menjelek2an tokoh dalam cerbung...ini hanya fiktif belaka *kayak FTV yah*
oh iya...aku kok merasa nih cerbung kayak sinetron yah, lama banget gitu, bertele-tele *ok abaikan*

Bagian 10
Kau Harus Tahu Inok
            Tak terasa sudah lima hari aku dan anak-anak Say’A berada di villa. Ada yang aku sesali, seharusnya kita semua senang-senang, tapi teman-teman sibuk mengurusiku yang belum pulih dari kejadian dua hari yang lalu. Lalu, bagaimana dengan hubunganku dengan Adie? Entahlah, aku pikir biarlah semua berjalan apa adanya. Dan sampai sekarang juga Adie belum menjelaskan perkaranya tentang malam itu. Sikap Adie menunjukkan bahwa ia memang masih menyayangiku, meski terkadang cewek yang bernama Gea sering main ke villa untuk menemui Adie.
            Seperti sekarang ini, di ruang tengah aku bersama anak Say’A sedang asyik bermain musik karena nanti malam kami di undang lagi untuk menghibur sebuah acara ulang tahun oleh salah satu teman baik Akis di Bogor. Awalnya Herdi dan yang lain melarangku ikut, biar vokalis sementara digantikan oleh Akis. Tapi aku memaksa ikut, toh yang sakit cuma kaki untuk sekedar duduk dan memangku gitar aku bisa.
Saat ku jumpa dirinya
Di suatu suasana
Terasa getaran dalam dada
Ku coba mendekatinya
Ku tatap wajahnya
Oh dia sungguh mempesona
Ingin daku menyapanya
Menyapa dirinya
Bercanda tawa dengan dirinya...
            Aku menyanyikan lagu dari Me - Inikah Rasanya Cinta. Sebelumnya sudah dua lagu yang aku nyanyikan, Kau dihatiku dan Happy Birthday. Aku senyum-senyum sendiri menyanyi sambil memainkan handphoneku.
            “Blet, lo salah nada!” sergah Aji memberhentikan permainan gitarnya, tentu aku juga ikut berhenti.
            “Sorry gue ...”
            “Yang serius dong Blet.” Potong Aji. Lalu pandangannya ke arahku “Lo juga Nok, udah dong mainan handphonenya, dan elo Kis main bassnya yang semangat, dan elo Jenggot, ngapain elo senyum-senyum gitu.” Aji mencak-mencak. Kenapa nih anak, sewot gitu.
            “Ji, kita semua udah bener kok. Lo lagi kenapa sih, lagi datang bulan yah.” Kata Herdi.
            “Iya nih, sebelumnya fine-fine aja kan kalau gue mainin handphone gue.” Sambungku yang saat itu sedang membuka yaitu twitter. Aji menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, lalu meletakkan gitar di kursi dan bangun dari duduknya.
            “Ji, elo mau kemana?” tanya Tablet melihat Aji melengang pergi. “Tuh anak kenapa sih?” Tablet melihat kami semua. Aku dan Herdi hanya mengangkat bahu tanda tak tahu.
            “Aji lagi berantem sama ceweknya, semalam dia cerita sama gue.” Tutur Akis.
            “Oh, kasihan juga yah, si tambun Say’A.” Gumam Herdi.
            “Sudah, biarin dia tenang dulu dan menyelesaikan masalahnya, toh dia juga hafal betul kan lagu ini. Mending kita lanjutin aja.” Terang Tablet. Kami semua mengangguk serempak.
Namun apa yang kurasa, aku tak kuasa
Aku tak tahu harus berkata apa
Inikah namanya cinta, inikah cinta
Cinta pada jumpa pertama
Inikah rasanya cinta, inikah cinta
Terasa bahagis aat jumpa
Dengan dirinya...
            “Hai guys!” sapa Adie dengan senyum mengembang di bibirnya. Kontan aku berhenti dan langsung menunduk. Asem! Jadi dag dig dug lagi nih jantung. Kemudian Adie duduk di antara kami.
            “Dari mana aja lo, Die?” tanya Herdi.
            “Dari rumah paman gue,” jawab Adie “Inok, udah makan?” tanya Adie mengalihkan tatapannya padaku. Aku hanya mengangguk pelan.
            “Udah deh, kalian jangan malu-malu gitu, baikan aja.” Sergah Tablet.
            “Iya ih, bikin kita pusing tahu nggak. Lihat elo sama Adie uring-uringan.” Sambung Akis. Aku hanya menundukkan kepala, malu. Bruuk!! Handphoneku jatuh, saat aku ingin mengambil tiba-tiba Adie juga ikut mengambilnya. Bertemulah tanganku dan tangan Adie *kayak di film-film yah* Adie menatapku. Siram aku cepat! Bisa-bisa tidak akan bangun kalau sudah lihat matanya.
            “Cieee...” seru yang lain serempak. Dengan terburu-buru aku langsung mengambil handphoneku. Salting. Sepertinya Adie juga sama, salah tingkah gitu.
            “Jenggot, elo manis banget sih, gue dag dig dug deket elo” Tablet bermanja-manja sama Herdi, tangannya di lingkarkan di leher Herdi. Hafal betul tuh anak, pastinya nyindir aku.
            “Apaan sih lo, gue bukan Aji, lo nggak usah ngondek gitu sama gue.” Sungut Herdi berusaha melepas tangan Tablet. Aku, Akis dan Adie cekikikan melihat aksi mereka berdua.
            “Lo gitu deh sama gue,” sekarang Tablet mengedipkan salah satu matanya, membuat Herdi bergidik ngeri. “Mata elo bisa nyihir gue, Nggot.”
            “Iya, gue sihir elo jadi kodok dan nggak ada panawarnya.” Sungut Herdi lagi lalu berpindah duduknya di dekat Akis. Tanpa aku sadari, Adie sedari tadi memandangiku dengan tatapan sayu *curi, curi-curi pandang* *jadi nyanyi*
            “Kenapa kamu, Die.” Ujarku menyadarkannya.
            “Eg...nggak kok.” Jawab Adie. “Kamu...manis.”
            “Cieee...” kembali mereka berseru membuat rona muncul di kedua pipiku.
            “Adie!” panggil seseorang. Seketika pandangan kami beralih ke ambang pintu. Sumpah! Begitu tahu siapa pemilik suara itu, rasanya aku ingin muntah.*siapkan plastik* “Die, katanya ketemu di rumah paman elo, ternyata elonya udah balik ke villa.” Gea langsung duduk di samping Adie dan merangkul lengan Adie di depanku yang juga duduk di samping Adie.
            Adie berusaha melepaskan rangkulan Gea, agak risih. Sepertinya Adie tidak ingin menyakitiku lagi. “Gea, lepasin...” Adie berontah.
            “Elo kenapa sih, karena cewek itu.” Gea menunjuk ke arahku. Kontan aku yang sedari tadi meredam emosi terbelalak melihatnya. “Setelah kejadian ini terjadi sama gue, elo masih sempat peduli sama gadis kecil sok cantik itu, Die.”  Umpat Gea. Aku tertahan mendengar perkataannya.
            Gea bangun dari duduknya. “Eh! Denger yah Dhera, elo tuh nggak pantas buat Adie, elo tuh cewek manja yang nggak bisa apa-apa. Baru kaki elo terkilir aja, elo ngerepotin semua orang. Apalagi kalau patah, bisa bunuh diri lo.” Caci Gea. “Elo tuh sama sekali nggak berguna!” lanjutnya dengan tatapan tajam ke arahku.
“Cukup Ge!” Adie menarik tangan Gea.
“Apa sih Adie sayang, gue bener kan. Tuh cewek emang nggak berguna.”Ish! Nih emosi sudah berada di ubun-ubun. Akis mendekatiku dan meremas tanganku agar tetap tenang. Tapi Gea benar-benar telah menyalakan amarah padaku. Aku langsung meraih tongkat dan berdiri menghadapnya.
            “Elo sama sekali nggak tahu apa-apa tentang gue, elo nggak berhak nilai gue!” bentakku. “Dan lagi, kalau elo pengen Adie kembali lagi sama elo, ambil aja, ambil! Tapi nggak usah injak harga diri gue!”
            “Tanpa elo suruh, gue juga bakal ambil Adie dari tangan elo.” Dengan bangganya Gea mengatakan itu. Akis langsung menahan lenganku, tapi aku tepis pelan.
            “Die! Mending elo bawa cewek sayco ini deh, ribet ada dia.” Ujar Tablet berusaha menengahi. Bukannya Adie berdiam diri saja, sedari tadi juga ia menahan Gea agar tidak berbuat yang macam-macam, lihat saja tangannya, menggenggam erat banget tangan Gea.
            “Gea, gue bilang cukup!” bentak Adie.
            “Tega lo Die sama gue, lo nggak ingat perjanjian kita dulu.” Gea melempar tatapan ke Adie tajam. Seketika Adie menunduk. “Gue nggak suka elo berhubungan dengan cewek ini.” Kembali Gea menunjuk ke arahku. Adie masih terdiam, terlihat jelas ia bingung. Ada apa dengan Adie? Tak tahan melihat situasi ini, aku langsung berbalik meninggalkan ruangan ini tentu saja dengan di bantu tongkat.
            “Inok!” Teriak Adie memanggilku. Aku tak peduli, aku terus berjalan dengan tertatih-tatih. Perkataan Gea tadi benar-benar mengiris telingaku, dan itu membuat air mataku nyeloroh jatuh.
            “Adie!” Gea akan mengejar Adie, tapi dengan segera Akis, Aji dan Tablet menahannya.
            Tujuanku taman belakang villa. Tentunya dengan Adie yang terus memanggilku dan berusaha mengejarku. “Nok! Tunggu Nok, itu semua...” Adie berhasil menahan tanganku. Tapi segera ku tepis dengan kasar. Masih tak berbicara, aku meraih gagang pintu yang menghubungkan dengan taman belakang.
            “Jangan sentuh aku!” bentakku. Sial. Dalam situasi seperti ini, aku malah kesusahan membuka pintu karena terkunci. Kalau lewat depan juga pasti ada cewek gila itu. Aku meraih kunci yang tergantung di tembok tak jauh dari pintunya.
            “Nok, dengerin aku dulu. Aku bisa jelasin semuanya.” Adie memelekku erat. Namun,  itu tidak bisa membuat amarahku redah, aku mendorong tubuh Adie.
            “Nggak ada yang perlu jelasin lagi Die.” Klek! Pintu terbuka, dengan terburu-buru aku melangkah. Tongkat ini membuat langkahku menjadi lamban dan BRUUK!! Saking terburu-burunya aku hilang kendali ketika menuruni tiga tangga. Kontan aku tersungkur ke tanah. Perih, sakit dan nyeri di kakiku.
            “Ya Allah Inok!” Adie menghampiri dan berusaha membantuku bangun.
            “Nggak perlu!” ku tepis tanganya kasar. Sedangkan air mataku tak henti keluar. “Pergi! Pergi kamu dari sini!”bentakku lagi dan mendorong tubuh Adie hingga jatuh. Aku berusaha meraih tongkat, tapi sayang tanganku tak sampai. Tak menyerah, Adie kembali mencoba membantuku.
            “ADIIEE!! AKU BILANG PERGI!” Teriakku kesal. Tiba-tiba kurasakan sebuah tangan menahan tubuhku.
            “Biar gue aja.” Ivan. Itu Ivan. Dengan sigap Ivan menggotong tubuhku dan berlalu meninggalkan Adie yang terdiam membisu melihat Ivan membawaku masuk ke dalam.
            Ivan membaringkanku di tempat tidur, bahkan dengan lembut ia juga menghapus air mataku. Masih tak ada yang berbicara. Raut wajah Ivan sama sekali tidak bisa aku jelaskan. Yang pasti ada rasa marah dan sedih di matanya.
            “Kenapa elo kayak dini sih, Dhe.” Untuk pertama kalinya Ivan mengeluarkan suara. Aku langsung mengambil posisi duduk di atas ranjang.
            “Makash Kak.” Jawabku singkat. Tak tahu harus berbicara apa. Aku sibuk membagi pikiranku pada Adie dan Gea.
            “Kalau ada apa-apa cerita sama gue Dhe.” Ivan memegang kedua pipiku dan menatap tajam, sampai terasa pada manik-manik mataku. “Gue nggak pengen lihat elo sedih, apalagi sampai menangis. Apakah ini semua gara-gara Adie.” Kata Ivan menekankan setiap perkataannya. Aku mengangguk lemah.
“Brengsek si Adie! Lihat aja apa yang akan gue lakuin ke dia!” terlihat Ivan mengepalkan tangannya. Jelas amarah tergambar di sana.
“Kak Ivan, sudah kak. Ini memang sudah jalan buat gue.” Ucapku. Dalam hitungan detik aku sudah berada dalam pelukan Ivan.
            “Gue sayang elo Dhe, dari dulu sampai sekarang. Gue sayang sama elo, gue cinta sama elo.” Kata Ivan masih memelukku. Aku tertegun mendengarnya. “Selama ini gue selalu menunggu elo datang ke Bogor, dan sekarang lo ada di sini, di depan gue. Tapi rasanya perih, lihat elo sedih seperti ini.” Tutur Ivan. Aku masih tak berbicara.
            “Dhe, izinkan gue membawa lo dalam dunia cinta gue.” Kemudian Ivan melepaskan pelukannya dan menggenggam tanganku erat.
            “Gue...”
            “Inok!” tiba-tiba Akis datang dan berdiri di ambang pintu. Mampus gue! Akis kan suka sama Kak Ivan. Umpatku dalam hati. “Elo tega yah sama gue!” Aku segera melepas tangan Ivan dan berusaha turun dari tempat tidur, tapi nyeri kakiku semakin terasa. Akis sudah pergi.
            “Udah Dhe, jangan dipaksain.” Ivan menahanku.
            “Gue harus jelasin ke Akis kak.”
            “Bisa nanti kan jelasinnya.”
            “Nggak bisa Kak, Akis itu suka sama kak Ivan, pasti Akis denger apa yang tadi kak Ivan katakan.” Terangku lalu meraih tongkat dan pergi meninggalkan Ivan yang masih terdiam bingung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar