huuuuaaaahhh udah part 14...hehe...happy reading guys...maaf kalau nggak seru... yg minta tag, penuh....so, lihat dinding aja yah...atau lihat anak2 yg kena tag...ini hanya hayalan yah, jangan di anggap beneran...
kritik saran di tunggu...:D
“Udah Dhe, jangan dipaksain.” Ivan menahanku.
“Gue harus jelasin ke Akis kak.”
“Bisa nanti kan jelasinnya.”
“Nggak bisa Kak, Akis itu suka sama kak Ivan, pasti Akis denger apa yang tadi kak Ivan katakan.” Terangku lalu meraih tongkat dan pergi meninggalkan Ivan yang masih terdiam bingung.
Aku menuruni tangga dengan pelan. Ruang tengah sepi, hanya ada Herdi yang sedang tiduran di sofa. Sepertinya Adie pergi bersama Gea, kalau Aji mungkin sama Tablet.
“Jenggot, Akis kemana?” tanyaku.
“Dia lari ke sana.” Herdi menunjuk ke taman belakang. Aku langsung meluncur ke sana. Semula Herdi yang diam, ia juga mengikuti dari belakang.
Terlihat Akis duduk di bawah pohon. Perlahan aku menghampirinya. Melihatku duduk di sampingnya, Akis langsung bangun. “Ngapain elo ke sini!” bentaknya.
“Kis...gue...”
“Elo tega sama gue Nok, elo udah punya Adie, tapi elo masih mau sama kak Ivan.”
“Demi Tuhan Kis, kapan gue bilang mau sama kak Ivan. Gue udah nganggap kak Ivan kakak gue sendiri, nggak lebih.” Terangku. “Kis, elo harus percaya sama gue.” Aku meraih tangan Akis masih dalam posisi duduk.
“Sebenarnya ada apa sih?” Herdi datang.
“Tanya aja sama dia.” Tunjuk Akis. “Katanya sahabat, tapi menusuk dari belakang, sahabat macam apaan itu. Entar malam gue nggak ikut perfom.” Tutur Akis lalu hendak pergi tapi Herdi segara menahannya.
“Kok jadi lari ke perfom sih.” Kata Herdi. “Semuanya bisa di selesaikan dengan cara baik-baik kan. Dan elo Kis, elo udah kenal lama kan sama Inok. Elo pasti tahu kapan Inok jujur dan kapan Inok bohong.”
“Tapi dia udah keterlaluan.” Sungut Akis masih tak mau melihatku.
“Kis, beneran gue nggak ada apa-apa sama kak Ivan.” Aku berusaha meyakinkannya.
“Kis, udah denger kan kata Inok. Udah dong jangan kayak gini. Gue cukup pusing dengan hadirnya Gea, kalian jangan nambah masalah dong.” Herdi meraih tanganku dan Akis. “Baikan yah. Kita adalah saudara, nggak boleh saling musuhan, gue nggak mau Say’A pecah.” Ucap Herdi yakin. Akis terdiam sesaat, lalu memelukku erat.
“Maafin gue Nok, gue kebawa emosi tadi. Maaf yah.” Kata Akis. Aku hanya mengangguk. Lalu kami bertiga berpelukan.
Bagian 11
Memory Tentangmu
Pukul 23.00 sudah lumayan larut malam. Kami baru sampai villa setelah manggung. Aku menaiki tangga di bantu dengan Akis. Dengan gelak tawa yang menyertai kami berdua. Sampai di kamar, Akis masuk kamar mandi untuk membersihkan wajahnya dan ganti baju tidur. Sedangkan aku memajang tubuhku di depan cermin. Sekali lagi perkataan Gea kembali terngiang di telingaku. Ah! Sebenarnya ada apa dengan Adie. Cowok itu langsung tidak berkutik jika sudah menghadapi Gea.
Ku raba pelipis yang perbannya baru saja ku lepas. Aku menghela nafas, lega. Setidaknya lukanya tidak sampai menimbulkan bekas yang mendalam, dan bisa di tutupi dengan poniku. Aku menunggu Akis sambil memainkan handphoneku.
Klek! Akis keluar dari kamar mandi dan sudah mengganti bajunya dengan setelan baju tidur. “Nok, bersihin dulu tuh wajah.” Ujar Akis sambil mengelap wajahnya. Aku hanya mengangguk.
Beberapa menit kemudian aku keluar dari kamar mandi dan menghampiri Akis yang saat itu duduk memeluk bonekaku. “Kis, lihat yah, gue bakal lepas tongkat nih.” Tuturku tersenyum ke arah Akis. Aku merasa harus belajar tidak memakai tongkat.
“Tapi Nok...”
“Ssstt...diem!” aku menyandarkan tongkat di tembok. Sejenak menatap Akis yang sudah meringis. Perlahan aku menginjakkan kaki kananku yang terkilir, perlahan pijakanku semakin yakin. Mulanya rasa ngilu dan nyeri ada. Satu langkah, dua langkah, aku terus menahan rasa nyeri ini. Tiga langkah, empat langkah, tinggal beberapa meter lagi aku sampai di tempat tidur.
“Kis...gue bi...” begitu langkah ke lima BRUUK! Bukan di lantai, tapi Akis segera menahanku. Cepet amat nih anak.
“Inok, udah jangan dipaksain.” Akis menuntunku menuju tempat tidur.
“Sorry yah Kis, gue selalu ngerepotin elo.” Tuturku menunduk.
“Ih, biasa aja kali Nok. Kita kan sahabat.” Akis melempar Ona ke arahku. Hap, aku tangkap dengan cepat. Kami berdua berbaring di atas tempat tidur, aku dan Akis menatap langit-langit kamar ini. Aku biarkan anganku melayang, meski rasa kantuk sama sekali belum menguasaiku.
“Kis, elo tahu nggak sebenarnya Adie sama Gea itu ada hubungan apa. Gue merasa ada sesuatu yang Adie tutupin dari gue.” Kataku masih menatap langit-langit kamar.
“Sebenernya gue sama yang lain sudah tahu apa yang Adie tutupin.”
“Kok, gue nggak di kasih tahu.” Sergahku melihat ke arah Akis.
“Sorry Nok, kata Adie biar dia aja yang ngejelasinnya ke elo.” Jawab Akis.
“Kalian kok main rahasiaan sih, sama gue.” Aku mencium sesuatu yang tidak beres.
“Bukannya gitu Nok, tapi....ah! sudahlah nanti juga Adie jelasin semuanya kok sama elo.” Akis meyakinkanku. “Oh yah Nok, elo beneran nggak suka sama kak Ivan kan?” tanya Akis. Yaelah nih anak bahas kak Ivan lagi. *ckckck*
“Nggak kok Kis, gue itu udah nganggap kak Ivan abang gue sendiri, elo tenang aja.”
“Kalau Kak Febri?”
“Ish! Kak Ivan dan Kak Febri itu satu paket. Mereka bener-bener udah gue anggap kayak abang sendiri. Udah deh, elo jangan parno.” Terangku. Akis tersenyum nggak jelas, kemudian ia mengambil posisi duduk, aku tetap pada posisiku, berbaring.
“Inok! Gue inget sesuatu!” serunya. Aku mengangkat salah satu alisku.
“Apa?”
“Lo ingat nggak sama Indra.” Deg! Akis nyebut nama Indra yah *Iya Inok, jangan bolot deh lo!* aku mengangguk. Bahkan nama Indra itu begitu melakat di memory otaknku, tidak butuh lama untuk aku membuka kenangan bersama Indra.
“Indra Widjaya?” aku menyebutkan nama lengkap Indra, takut salah. Akis mengangguk mantap. Ada apa ini? Kok jantungku berdetak lebih cepat yah, waduh! Masa gara-gara otakku sedang memutar memory tentang Indra langsung kayak gini.
“Gue dari kemarin ngikutin tweet dia loh, kayaknya tuh anak nggak pernah lelah cari keberadaan elo.” Deg! Aduh, udah dong. Nih jantung kenapa sih.
Siapa Indra Widjaya? *tukang bakso yah* salah... *tukang jualan pisang*rese...bukanlah *jangan-jangan teroris tuh* nggak ada tampang tetoris, ada juga tampang pembunuh *sama aja kali, peliharaan lama elo yah.* sok tahuuu... *ok abaikan, siapa Indra?* dia cinta monyetku. Beberapa tahun yang lalu, ketika kedekatanku dengan Indra tidak terbatas oleh waktu −menurutku−
Masih sangat kental kenanganku bersama Indra dulu. Memang sebelum kenal Indra, aku lebih dulu kenal Febri sama Ivan. Tepatnya saat aku lulus SD aku dan keluarga harus pindah ke Cianjur. Di mulai dari sinilah cinta monyet antara aku dan Indra bersemi *ciiieee....nostalgia nih :D* aku tidak pernah jauh dari Indra selama dua tahun, dan begitu naik kelas 3SMP aku harus menelan pedihnya di tinggal Indra. Dia pindah ke Malang, aku dengar-dengar sampai saat ini ia masih tinggal di Malang.
Ok, ok kita pending dulu bahas Indra Widjayanya. Bukankah Akis belum menyelesaikan ucapannya??
“Terus apa hubungannya sama gue” Gubrak! *masih belum jelas yah, Nok. Indra nyari elo dodol*
“Ya ampun Inok, dia itu lagi nyariin elo. Si keribo pasti deh, masih cinta sama elo.” Mendengar ucapan Akis aku tak menjawab. Cinta? Indra? *Keribo?* karena aku juga pernah lihat twitter dia, memang rambutnya keribo gitu. Tapi tidak mengurangi kecenya *cieee*
“Inok!” akis menyolek lenganku sambil mengedipkan matanya “Ciiee...nggak salah kok kalau elo balik sama cinta monyet elo. Lagian Indra nggak kalah cakepnya sama Adie. Elo sama Indra kan sama-sama slengean.” Goda Akis membuat rona merah di pipiku.
“Apaan sih lo, Kis. Udah ah! Gue ngantuk, mau tidur.” Elakku sambil memeluk Ona, Oni dan Ono.
“Pengen cepet-cepet mimpiin si keribo yah...suiit suiit..” ada yang punya ember, lama-lama aku lempar ember juga nih anak, ciiie ciiie suiit suiit.
Kemudian Akis kembali berbaring di sampingku. Tetapi ocehannya tidak berhenti. Bahkan kata-katanya kini membuat aku tertegun. Mau tahu apa kata Akis, katanya gini : “Tadi gue baca tweet terakhirnya. Indra lagi OTW ke Bogor, pasti dia baca tweet anak Say’A deh. Siap-siap ketemu sama cinta monyet elo, Inok.” Kemudian Akis memejamkan kedua matanya.
Aku sendiri masih memikirkan kata-kata Akis itu. Ada sesuatu yang menggelitik hatiku, seperti sebuah nyanyian rindu, semakin menggema dan merdu. Sesaat aku meyakinkan diriku sendiri kalau nyanyian rindu itu tidak sama dengan yang aku rasakan. satu detik, dua detik tiga detik aku terus meyakinkan diriku kalau aku tak rindu padanya. tapi...Ah! Indraaaa.....aku rinduuuu...*gubrak! berisik Inoookk!!!*
$&%#%@$#&^*&*
Malam Minggu, aku duduk di ayunan yang ada di taman belakang villa. Aku memandang langit dengan kerlipan bintang di atas sana. Kenapa tidak jauh-jauh hari melihat pemandangan menakjubkan ini. Pernah bermain dengan garis-garis bintang? Sekarang sedang aku coba.
Aku semakin konsentrasi menarik garis bintang satu dengan yang lain. Dengan cermat, di mataku kumpulan bintang itu membentuk Gipson. Lohan kesayanganku. Wiiih, kangen juga sama Gipson, gimana kabarnya yah?
Kembali aku menarik garis bintang, kali ini membentuk boneka monyetku. Aku senyum-senyum sendiri. Selanjutnya ada pisang, sketboard, gitar. Sumpah! Ini seru. Saat aku memejamkan kedua mataku, dan memfokuskan diri dengan perasaanku. Dan saat kubuka mata dan melihat pada kumpulan bintang, tertulis nama Adie di sana, tapi tidak lama berubah menjadi nama Indra. Ups! ada apa ini?? Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal, lalu tersenyum sendiri.
“Inok!” panggil seseorang. Aku menoleh. Ternyata Adie, ia langsung menghampiriku.
“Duduk di bawah aja yah,” kemudian aku turun dari ayunan dan duduk di rumput-rumput. Ok, kali ini aku harus berpikir positif tentang kedatangan Adie. So, kali saja pasti Adie mau menjelaskan semuanya.
“Nok, aku mau jelasin semuanya sama kamu.” Kata Adie. *100 buat elo Nok, tebakannya jitu* Aku hanya menunduk dengan kaki ku biarkan ke depan, karena belum bisa aku tekuk, bisa nyeri lagi.
Adie menarik nafas dalam-dalam, lalu dihembuskannya perlahan. Seakan sangat menyesakkan dadanya. Adie menatap jutaan bintang di langit, kemudian menarik kembali pandagannya ke arahku. Bingung, sepertinya ini sesuatu yang sangat berat untuk Adie jelaskan. Dan aku sendiri, tidak mau berpikir lebih jauh tentang Adie. Yang pasti ini menyangkut Gea.
Tak lagi menatap langit, kini tatapannya benar-benar ke mataku. Dan mulailah Adie menjelaskan semuanya. Aku mendengarkannya dengan cermat, tanpa memotong dan melihat mata Adie yang terkurung oleh sesuatu hal yang tidak bisa Adie lawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar