Rabu, 11 Juli 2012

Cerbung >> Dalam Dunia Dhera *Part 16*




Flashback On

            “Nok, aku mau jelasin semuanya. Tentang Gea, aku, kamu, dan bagaimana kita selanjutnya.” Adie menatapku. Aku sudah mencium sesuatu yang bakal menyakitkan nih.
            “Cewek itu bernama Gea, mantanku. Malam itu, saat kamu manggung di café, sebentar aku pergi toilet, ketika mau balik aku lihat Gea diganggu sama segerombolan pemuda. Kontan aku membantunya, begitu tahu itu aku Gea langsung berhambur memelukku. Awalnya reaksiku biasa saja, mungkin Gea cuma refleks. Tapi aku tertegun ketika dia mengatakan, ‘akhirnya aku menemukanmu’ tanpa basa-basi Gea mengajakku keluar dari café. Aku sudah menolak, tapi Gea terus memaksa. Karena jujur aku masih sakit dengan perlakuan dia padaku.
            Di luar, Gea tak henti-hentinya memelukku. Aku tak mengerti, ia juga menangis. Akhirnya dia menceritakan kalau selama ini dia mencariku, menungguku datang kembali ke Bogor. Ketika aku tanya kenapa, jawaban dan penjelasan Gea langsung membuatku tak berkutik.” Adie berhenti berbicara, sebentar dia memandangku lalu manarik kembali pandangannya lurus ke depan. Aku menunggu kelanjutannya.
            “Dari situlah aku harus menerima takdirku, Nok. Sejak kecil Gea tinggal bersama ayahnya, sedangkan ibunya meninggal. Tapi beberapa bulan yang lalu, kecelakaan merenggut nyawa ayahnya. Dan sebelum meninggal ayahnya berpesan untuk mencariku, karena di sini Gea juga tidak ada sanak saudara. ternyata ayahnya sudah menjodohkan aku dengan Gea, ini sudah perjanjian papaku dan ayahnya. Mulanya aku mengira Gea berbohong, tapi setelah ku tanya papa, itu benar. Papa sama sekali tidak tahu kalau ayah Gea meninggal, karena Gea sendiri tidak tahu bagaimana cara menghubungi papa.” sesak, dada ini rasanya terhimpit oleh sesuatu yang membuatku semakin sakit.
“Sudah beberapa bulan Gea mencariku, bahkan ia tidak memikirkan untuk menerima cowok lain. Menurutnya pesan ayahnya lebih penting. Hampir saja Gea putus asa karena tidak juga menemukanku.” Adie kembali berhenti, ia menarik nafas dalam-dalam.
            “Aku sudah menjelaskan kalau aku sudah punya kamu Nok, tapi Gea tak terima. Ia lebih memilih mati daripada hidup tanpa aku. Aku satu-satunya kerabat yang mungkin dekat dengan Gea. Konyolnya lagi papa malah menyuruhku segera bertunangan dengan Gea, dan membawa Gea ke Cianjur. Aku bingung, kalut, aku sudah menolak, tapi papa mengancamku dan Gea juga nekat bunuh diri. Kalau aku menolak semua perintah itu. Padahal papa tahu kalau aku pacaran sama kamu, tapi dia malah menyembunyikan perjodohan ini. Ketika aku benar-benar jatuh ke hatimu, Nok.
Aku tidak tahu harus mengatakan apa Nok, kadang aku bertanya apakah ini takdir untuk kita berdua. Apakah aku tidak bisa memilikimu selamanya.” Adie tertunduk. Ada buliran bening jatuh dari kelopak matanya. Seperti halnya aku. Aku sudah tidak bisa menahan air mata ini.
            “Aku tak sanggup untuk menceritakan semua ini sama kamu, Nok. Ini terlalu berat buatku. Aku datang ke sini bukan untuk Gea, tapi untuk bersamamu. Tapi di luar dugaanku semuanya jadi seperti ini. Aku nggak mau kehilangan kamu, Nok.” Adie manatapku, tapi segera ku alihkan pandangku ke arah lain.
            “Gea butuh kamu Die,” suaraku bergetar, lalu aku menghapus air mataku. Adie menggeleng.
            “Tapi aku butuh kamu, Nok.” sergahnya.
            “Gea lebih butuh kamu. Aku cewek Die, aku ngerti bagaimana perasaannya.” sesaat tidak ada yang berbicara. Hening. Aku semakin tak bisa menahan perih ini.
            “Andai papa dulu tidak mengadakan perjodohan ini. Mungkin aku tidak akan menyakiti perasaanmu Nok.” Dalam hitungan detik, aku sudah berada dalam rengkuhannya. Tapi perlahan aku melepaskannya, tertunduk dalam diam. Apa ini? Aku tidak pernah berpikir sampai pada titik ini. Mimpi! Kalau ini mimpi bangunkan aku, Tuhan. kataku dalam hati sembari menatap langit yang samar terhalang oleh genangan air mataku.
            “Kapan kamu tunangan sama, Gea?” ujarku.
            “Inok...aku...”
            “Kita nggak bisa berbuat apa-apa lagi, Die. Kamu sendiri berusaha menerima semua ini dengan ikhlas bukan, aku juga sama sepertimu. Aku akan berusaha menerima semua ini.” Tatapanku sampai pada manik matanya. Adie terdiam mengedarkan pandangannya mencari titik di mana letak kebohonganku mengatakan hal tadi. Tapi Adie sepertinya putus asa, ia tidak menemukan titik itu.
            “Mungkin seminggu setelah liburan ini berakhir.” jawab Adie lemah. Oh God, tambah sesak saja hati ini. Kembali hening, aku dan Adie sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku harus bagaimana? Penjelasan Adie di luar dugaanku, sebenarnya aku tidak siap mendengar ini. Tapi melihat mata Adie yang tertekan, aku tidak boleh egois. Ini pasti berat buat Adie. Dan satu hal yang kini aku sadari, kita yang mengendalikan perasaan kita tapi jalan yang sudah di gariskan Tuhan untuk kita tidak bisa berubah.
            Dalam hitungan detik, aku ditarik dalam pelukannya. Di sana, aku menumpahkan semua sakitku, begitu juga dengan Adie. Mungkin pelukan terakhir. “Aku sayang kamu Nok, tapi aku nggak bisa lari dari semua ini.” kata Adie. Aku tak berbicara apa-apa, ku biarkan bintang-bintang melihat perpisahan ini.

Flashback Off


            Tes! kembali air mataku jatuh, dengan segera ku hapus. Selalu seperti ini. Tiba-tiba handphoneku berdering. Ada panggilan masuk, Akis. “Iya Kis,” ujarku. Terdengar tawa Aji, Herdi dan Tablet di saluran sana. Mereka sedang melakukan penganiayaan apalagi sih?
            “Nok, elo ada di mana?” tanya Akis. Aku melihat ke sekeliling. Aku sendiri tidak tahu di mana aku berada.
            “Gue...yah, nggak jauh dari tempat pertama kali kita berhenti.” jawabku.
            “Nok, Indra lagi mencari elo. Dia lagi menuju ke tempat elo.”
            “Sarap, nggak mungkinlah.” jawabku.
            “Ih, elo yah dibilangan. Beneran, tadi gue nunjukin tempat elo berhenti tadi.” kata Akis lagi.
            “CIIIEEE, INDRA WIDJAYAAA...!” Itu pasti teriakan tiga cowok sayco. Kalau ada orangnya, aku lempar kucing baru tahu rasa. *emang elo berani pegang kucing*
            “Udah deh, ini udah siang Kis. Lo masih mimpi aja,” sungutku masih tak percaya. Jelas aku tidak percaya, Indra di Malang masa bisa di Bogor *Bukannya kemarin-kemarin Akis bilang lagi nyari elo di Bogor??*
            “Kalau nggak percaya, kita taruhan yah, kalau bener Indra sekarang menemui elo, elo nggak boleh makan pisang selama seminggu. Tapi kalau Indra nggak nemui elo sekarang, gue kasih pisang tiap hari ke elo selama seminggu. Gimana?” tantang Akis.
            “Idiih, taruhan apaan tuh, ogah! Elo sama aja bunuh gue, udah deh gue nggak percaya!” Klik! aku tekan tombol merah pada handphoneku. “Nggak mungkin Indra di sini, dan nggak mungkin juga gue nggak makan pisang” umpatku dalam hati.

percayakah dirimu...
pada keindahan cinta..
yang membuat jiwa ini, merona jingga...

            Seperti De’javu. Aku pernah mendengar lagu ini (Cinta – Irwansyah feat Acha S), dan seseorang yang aku yakini dari belakangku menyanyikan lagu ini. Aku masih tertegun, langsung terbayang di benakku dua remaja SMP duduk di pinggir danau. Sepasang remaja yang sedang dihujani cinta, duduk di sekitar danau. Cowok SMP itu menyanyikan lagu ini. Aku ingat, dia─Indra Widjaya─ tapi aku tak mau menebak siapa yang saat ini menyanyikan lagu itu.
            Belum sempat aku menengok ke belakang, tiba-tiba boneka monyet berwarna oranye tepat berada di depanku. Seseorang menyodorkannya padaku, terlihat di pergelangan tangannya jam tangan hitam melingkar. Lalu terdengar nyanyian lagi,

percayakah dirimu...
pada kekuatan cinta...
yang memberi kita waktu
untuk bersama lagi....

            Dan kini sosok itu sudah beralih di depanku, dengan senyum mengembang di bibirnya. Tangannya masih menyodorkan boneka monyet ke arahku. Kalian tahu apa yang aku rasakan *Nggak tahu.* aku juga nggak tahu, aku sulit untuk mengatakan siapa yang berada di depanku.
            Perlahan ke sentuh boneka itu, tapi belum berpindah ke tanganku. Senyumnya tak berkurang, tanganku dan tangannya memegang boneka bersamaan. Sekilas kita seperti terhalang oleh dinding kaca, dan hanya bisa bersentuhan melalui boneka monyet ini. Hatiku bergetar hebat, membuat aku ngilu sendiri. Kemudian orang itu kembali menyanyi.


karena cinta ku ada di sini
cintai dirimu walau sebentar saja...
           
melayanglah bersama diriku
melintasi samudera
tarikanlah, tarian cintamu
seindah gelombang...



            Berhenti, hanya pada sampai lirik itu. Tatapannya menuhuk ke mataku, sepertinya aku juga sama, menatapnya sangat dalam. Lidahku terasa kaku, untuk mengucap nama sosok yang berada di depanku saja, aku tidak bisa.
            “I...Indra!” akhirnya aku bisa menyebut nama itu. Tak butuh waktu lama, Indra langsung memelukku dengan erat. Seakan memecahkan dinding kaca yang tadi seolah menghalangi kami berdua. Perih ini hilang, relung yang terisi rindu kini perlahan mengembang. Seakan menyatu bersama pelukan kita.
            “Dhera, akhirnya aku bertemu denganmu juga.” ujarnya.Sejenak senyumku hilang, aku menatap ke arah lain. Getaran ini masih ada, getaran yang dulu pernah aku rasakan. *bakalan CLBK nih* cowok itu mengambil tempat di sampingku, rambut keribonya sedikit bergoyang tertiup angin. Sedangkan di pangkuanku boneka monyet duduk manis. Tahu aja nih anak, kalau aku suka boneka monyet.
            Adie pergi, Indra datang. Ini...ah! aku tak mengerti. Aku menatap lurus ke depan, nuansa warna hijau dan biru masih mendominasi. Tunggu, dari samping kayaknya ada yang memperhatikanku nih. Seeet...aku palingkan pandangku ke samping. Dan wajah Indra begitu dekat dengan wajahku. Deg, deg, deg, jantungku berdetak kencang. Sepertinya Indra juga sama, karena angin yang berhembus pelan, aku dapat terdengar detak jantung Indra.
            Waduh, pasti wajah gue memerah nih, umpatku dalam hati. *Nih, gue kasih cermin biar elo ngaca sendiri* wajah kami masih bertemu, tidak bisa dipungkiri, aku mau pun Indra pasti menikmati rasa yang sedang menyelimuti hati kami berdua. Tuhan, benarkah cinta ini akan kembali lagi, batinku. Wajah kami sangat begitu dekat, hanya berjarak beberapa senti saja. Ku rasakan tangan Indra terangkat, perlahan-lahan tangan itu mendarat di puncak kepalaku, lalu turun ke poniku. Dengan lembut Indra menyibak poniku yang menghalangi mata. Walah, walah, walah, nih anak membuat aku mematung.
            Setelah menyibakkan poni, jemarinya menyentuh pipiku, lembut. Stop, stop, ini nggak ada di skenario *yg baca cerbung pada masih kecil yah* mata cokelat Indra terlihat bagitu indah, kemudian dari bibirnya terucap kata-kata.
            “Aku....” Indra tertahan, ia terus menatapku. Mulutnya masih menganga, dan kini kedua tangannya memegang pipi kanan dan kiriku. Yaelah Ndra, elo bikin gue meleleh, elo mau ngomong apa?kataku dalam hati sembari terus menenangkan deburan rasa ini.
            “Kamu tetap indah,” lanjut Indra pelan. Tapi dalam jarak sedekat ini, aku mendengarnya dengan jelas. Sumpah! kini aku benar-benar meleleh.
            “Eg...ka...ka..mu...” loh, kok aku jadi gagap yah. God, kembalikan aku seperti semula. Nggak boleh, aku nggak boleh terlihat konyol di depan Indra. batinku lagi. Kemudian aku mengumpulkan segenap kekuatan super hero. *super hero apa wonder woman yah, tak tahulah*
            “Ndraaaa....jangan makan aku!” seruku dengan memejamkan mata. Kontan Indra tertawa, tentu saja kini jarak kami tidak sedekat tadi.
            “Dhera, Dhera, ngapain juga aku makan kamu. Daging kamu itu pahit, sama sekali nggak ada manisnya.” Indra masih cekikikan. Langsung saja kucubit lengannya. Indra mengadu, lalu membalas mengacak-acak rambutku. Wah, ngajak perang nih anak.
            Tanpa merubah posisi tempat duduk, aku terus bercanda dengan Indra. Aku kalah, jelas. Kakiku masih belum bisa bergerak bebas, sedangkan Indra dengan bebas menjahili aku. “Ndra, cukup. Aku geli.” tawaku bercampur geli. Indra terus saja menggelitikiku dan mengacak-acak rambutku dengan bebasnya.
            “Kamu lucu Dhe, aku sama sekali tidak pernah mengubah rasa cintaku sama kamu.” Kata Indra sambil terus menggelitiki perut dan pinggang. Aku tertegun mendengar ucapannya itu, entah sadar atau tidak Indra mengatakannya. Dan sekarang Indra berhenti menggelitiki.
            “Tadi kamu bilang apa?” tanyaku. Indra tak langsung menjawab, raut wajahnya tak bisa aku jelaskan. Indra menggaruk-garuk rambut keribonya.
            “Emang tadi aku bilang apa Dhe?” Indra tanya balik.
            “Tadi kamu bilang...”
            “Hahah, iya tadi ada pesawat sukhoi lewat, noh di sana!” Tunjuk Indra ke belakangku. Kontan aku menrngok ke belakang. Ini aku kok mau di begoin sama Indra yah. ckckkck.
            “Dhera!!! Kamu percaya aja sama omongan aku.” Indra tertawa sambil memegangi perutnya. Langsung saja aku meraih boneka monyet dan memukuli Indra bertubi-tubi. Indra terus tertawa tak henti.
            “Kamu rese, Ndra!!” seruku.
            Ada kalanya sesuatu yang kita sayangi tidak harus kita miliki. Ada kalanya cerita yang belum selesai harus di tutup dengan ending yang menyedihkan, dan akan menjadi kenangan. Itulah Adie, sekarang mungkin saatnya aku merelakan Adie pergi bersama Gea. Membiarkan tangan Adie merengkuh cewek lain yang lebih membutuhkan kehadirannya. Dan aku, di sini bersama sosok yang dulu menghilang. Kini dia kembali. Dan seperti yang Akis katakan, tidak ada salahnya menumbuhkan kembali rasa dan cinta yang pernah hilang. *author cuma lewat, nyumbang kata-kata*
            Puas tertawa, Indra merebahkan tubuhnya di rumput, matanya memandang ke atas, hanya sedikit sekali celah melihat birunya langit. Semuanya tertutup dedaunan. Di bibirnya masih tersungging senyum manis.
            “Sini Dhe, rebahan di sampingku.” Tangannya melambai ke arahku.
            “Ogah, bisa gatel kalau aku di samping kamu” jawabku langsung. Tapi tak butuh waktu lama, Indra langsung menarik tanganku hingga jatuh di sampingnya. “Indraaa!!” teriakku keras.
            “Diem, udah kamu di sampingku aja. Lagian aku nggak ngapain-ngapain kamu kok.” kata Indra. “Mulai hari ini aku akan terus di samping kamu.”
            “Ogah, bisa kudisan aku nantinya.” ujarku mencubit lengannya.
            “Tadi gatal, sekarang kudisan. Kamu belum mandi yah, Dhe. Dhera jorok ih.” Ucap Indra lagi.
            “Indraaaa!! kamu mau yah aku lempar sukhoi, hah!” aku pukul dia dengan boneka monyet. Indra hanya cengar-cengir saja. Kami berdua sama-sama memandang ke atas. Ada sedikit celah untuk melihat langit, rasanya begitu tenang dan nyaman seperti ini.
            Sekian tidak ada yang  berbicara. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Hanya ada desiran angin yang melewati kami berdua, serta beberapa daun yang gugur di sekitar kami. *kayaknya indah banget, pengeeen Nok*
            “Ndra, kok bisa ada di sini sih?” tanyaku.
            “Jawabnnya mau jujur apa nggak, Dhe.” kata Indra.
            “Yaelah Ndra, kamu kira ini acara apaan sih, udah napa jawab aja.” sungutku melirik ke arahnya. Cowok berpostur tinggi dan kulit putih bersih dengan rambut kribo sedikit mengembang itu telihat berpikir. *kayak ngisi tts yah, pake acara mikir dulu*
            “Indra, kok diem. Semedi yah,” aku menyenggol lengannya.
            “Hahah, semedi buat dapetin cinta kamu lagi, Nok.” Indra bangun dari rebahannya dan langsung mencubit pipiku gemas. Lalu aku ikut bangun.
            “Tadi kamu bilang apa?”
            Indra menatapku sampai ke manik mata. Yaaahhh, aku deg-degan lagi dah. “Iya Dhera, aku datang untukmu. Asal kamu tahu, sejak pindah dari Cianjur aku nggak bisa bohong, kalau aku sangat-sangat rindu sama kamu. Tapi kedua orang tuaku memilih tinggal di Malang. Setiap hari aku selalu ngikutin tweet kalian, Say’A. Bahkan aku beberapa kali komunikasi sama Akis.” terangnya. Ternyata benar yang dikatakan Akis kemarin. Tapi kalau masalah komunikasi sama Akis, wah itu anak main rahasian sama aku.
            “Terus hubungannya sama aku apa, Ndra?” tanyanya yang pastinya agak oon. Langsung saja Indra menghadiahi jitakan pelan di kepalaku. Aku meringis.
            “Dheraaaa...tadi dengar nggak sih apa yang aku katakan.” aku hanya senyum nyamping. Kemudian Indra memegang kedua pipiku “Gimana caranya biar aku bisa dapetin rasa cinta kamu lagi, Dhe.” kata Indra dengan nada yakin. Glek! Kalau serius Indra serem. Tuh buluk kudukku saja sampai berdiri kayak mau upacara.
            “Ndra, aku takut.” kataku pelan. Indra menghela nafas panjang. Kayaknya percuma saja ngomong ini, otakku eror.
            “Aku nggak peduli deh, kamu mau oon atau nggak. Pokoknya aku datang ke sini hanya untukmu.” setelah mengatakan itu aku ditarik dalam dekapnnya. Hangat.
            “INDRAAA!!! SAKIT!!!” Teriakku keras. Kontan Indra melepas pelukannya.
            “Kenapa Dhe?”
            “Itu...” tunjukku ke bawah. Tepat di sana, kaki Indra menginjak kakiku.
            “Aduh sorry Dhe, aku lupa kalau kakimu belum sembuh.” Indra meminta maaf.
            “Memey!!! Indra jahat!!!” teriakku kencang, tentu saja Indra langsung membungkam mulutku dengan tangannya. Aku berontah minta lepas.
            “Hmm..hmmmppt...” suaraku tak jelas.
            “Dhera sayang diem yah, entar macamnya datang loh.” Indra menatapku tajam. Aku terus berontah. Dan bersamaan dengan jeritan Indra, tangannya lepas dari mulutku.
            “Dhera, kok kamu malah gigit sih.” sungutnya. Aku hanya menjulurkan lidah ke arahnya. “Dheraaa..”
            “Apa? mau balas.” tantangku sambil tersenyum.
            “Nggak ah, enak juga kayak gini.” Indra kembali memelukku erat. Ish! nih anak gila kapan sih. “Aku sayang kamu, Dhe.” Aku tak lagi melawan.
            “Weee...gue juga sayang elo Ndra.” tiba-tiba suara datang dari arah belakang. Kontan Indra melepaskan pelukannya dan melihat ke belakang. Shit! Ternyata si Tablet bersama yang lain sambil cengengesan. Tak lupa, Aji juga merangkul bahu Akis. So sweet banget mereka berdua.
            “Ehm! Mentang-mentang ada Indra, sampe lupa sama kita-kita.” Kata Herdi. Aku menggaruk-garuk kepala dan tersenyum.
            “Apaan sih.” ada rona di kedua pipiku. Kemudian kami berenam kembali ke villa, tentunya dengan Indra di sampingku. Di sepanjang jalan Indra menceritakan semuanya. Ia juga mengatakan kalau sudah menginap di sebuah villa tak jauh dari villa Akis, jadi ia akan sering-sering main ke tempat kami. Sudah ku bilang tadi, kita berdua seperti mengulang kisah yang belum selesai beberapa tahun yang lalu. *Oh, indahnya duniamu Nok*
            Sesampainya di villa aku langsung menuju dapur, mencari buah berwarna kuning itu. Indra dari belakang mengikuti langkahku. Ngekor aja nih anak. “Dhera, kamu cari apa sih?” tanyanya yang sudah berada di sampingku.
            “Kecoa buat kamu.” jawabku asal.
            “Yeehh, aku udah berhenti makan gituan Dhe, sekarang makanan aku itu macan.”
            “Sarap!” aku meninju pelan lengan Indra. Cowok bernama Indra Widjaya hanya ketawa ngakak. “Aku cari pisang Ndra, aku lupa naruh di mana.”
            “Yaelah, bilang dong kamu cari pisang. Aku bawa pisang loh, bentar aku telpon sepupuku suruh ngantar ke sini.” kata Indra langsung cabut mengambil handphonenya.
            Beberapa menit Indra belum juga nongol. Aku yang duduk di dapur mulai mengakar. Langsung saja aku bangkit dari dudukku hendak menyusul Indra. Tetapi, baru sampai di ruang tengah aku sudah mendengar suara saling bentak. Aku kenal dengan suara itu. Ampun! Itu Adie dan Indra ngapain *waaahh berantem nih*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar