Rabu, 11 Juli 2012

Cerbung >> Dalam Dunia Dhera *Part 17*




            Beberapa menit Indra belum juga nongol. Aku yang duduk di dapur mulai mengakar. Langsung saja aku bangkit dari dudukku hendak menyusul Indra. Tetapi, baru sampai di ruang tengah aku sudah mendengar suara saling bentak. Aku kenal dengan suara itu. Ampun! Itu Adie dan Indra ngapain *waaahh berantem nih*
            Aku bergegas menuju teras. Terlihat Indra dan Adie berhadapan dengan jarak yang tak bisa ditentukan. Mata mereka berdua merah menahan amarah. Dengan tergopoh-gopoh aku langsung berdiri di antara mereka berdua.
            “Stop! Kalian berdua apa-apaan sih!” bentakku bergantian mentapa Indra dan Adie. Keduanya hanya mendesis acuh. Tatapan Indra mau pun Adie masih tetap sama, tajam. Sumpah! Aku sama sekali tidak menginginkan keduanya perang seperti ini. Ini villa masih bagus, sayang kan. *Jadi sayang sama villa, bukan sama mereka berdua Nok, ckck*
            “Dia yang nyolot duluan, Nok.” sergah Adie menuding lurus ke arah Indra.
            “Hah!” desis Indra dengan mimik wajah tak suka sama Adie. “Cowok brengsek kayak elo nggak pantas berada di sini.”
            “Siapa elo, berani-beraninya ngelarang gue.” Adie mendorong bahu kiri Indra.
            “Gue, gue pacarnya Dhera. Elo mau apa, hah!” Indra tak mau kalah, ia balas mendorong bahu Adie juga. Aku yang berada di tengah-tengah semakin pusing.
                        “Stop! Gue bilang stop!” teriakku lagi. “Udah Ndra, kamu jangan emosi gitu.” Aku berusaha untuk menenangkan Indra.
            “Nok, apa bener yang di katakan cowok brengsek ini?” Adie menatapku meminta keterangan yang pasti. Aku tak langsung menjawab, bingung. Pacar? sama Indra? aku.... “Nok, jawab aku.” lanjut Adie. Aku semakin bingung. Indra belum mengatakan perasaannya, maksudku dia belum memberikan kepastian yang tepat. Di sisi lain, aku memang masih sayang sama Adie. Bagaimana tidak? Tadi malam baru saja kita menyudahi hubungan ini. Tentu saja Adie masih melekat di hatiku *Dilema yah Nok, biar Indra dan Adie sama author aja*
            “Heh! Meski pun Dhera belum jawab, pasti dia lebih memilih gue daripada elo. Dhera tahu mana yang terbaik untuknya, lagian gue nggak kayak elo yang bisanya menyakiti dia aja.” ucap Indra sembari memegang tanganku erat. Aku masih tidak berkutik di depan mereka. Terlihat amarah Adie semakin memuncak. Seharusnya Adie tidak boleh seperti itu. Seakan sikap Adie menandakan masih mengharapkanku.
            “Banyak bacot lo, gue mau penjelasan dari Inok, bukan dari mulut lo!” ujar Adie lagi.
            “Stop!!!” Bentakku dengan gerakan melepaskan tangan Indra. Lalu ku tatap Indra “Ndra, kamu memang sabagian dari hatiku, tapi itu dulu. Dan sekarang kamu ada di sini, tapi semuanya belum jelas kan.” kataku. Raut wajah Indra berubah jadi lemah.
            “Dan elo Die.” aku tatap Adie, yang pastinya dengan mengubah panggilanku dengan ‘lo’ ‘gue’ “Kita sudah membicarakan semuanya semalam. Kita sudah tidak bisa besama lagi. Berusahalah untuk menerima jalan ini.” ucapku sedikit tertaha.
            “Tapi...”
            “Die, gue berusaha menerima semuanya dengan ikhlas. Dan gue tahu...” aku tak melanjutkan kata-kataku. Mataku tertuju pada sosok yang baru datang memasuki pelataran villa. “Gea lebih membutuhkan elo.” kataku. Kontan yang lain juga mengikuti pandanganku. Gea langsung merangkul Adie manja.
            “Sayang, selalu deh kamu ngilang-ngilang terus.” rengeknya. *malas Adie sama elo Ge, lebih baik sama author si Adienya*
            Tanpa menunggu jawaban dari Adie aku langsung berbalik meninggalkan mereka. Ish! Nggak ada gunanya kan aku lihat adegan manis mereka. Bikin sakit hati saja. Aku memasuki villa dan langsung menuju kamarku. Terlihat Indra mengikuti di belakang. Tetep nih anak, ngekor mulu.


            Aku meraih Ona, Oni dan Ono, dan duduk di sisi ranjang lalu memeluk mereka. Sesak di dada ini masih ada, aku berusaha menahan air mata ini supaya tidak keluar. Aku sedang berusaha menerima keadaan ini, bukan berarti aku langsung bisa melupakan Adie. Itu butuh waktu.
            Kreeek...pintu berderak terbuka, rambut keribo nongol di pintu. Indra. Dengan langkah pelan Indra mendekatiku dan duduk di sampingku. Dari tangannya terdapat boneka monyet yang tadi pagi Indra kasih padaku.
            “Sekarang bonekanya nambah satu Dhe, jangan sampai lupa yah.” katanya menyerahkan boneka itu padaku. Aku langsung memeluk empat boneka monyet sekaligus. Aku benamkan daguku pada boneka. Hening, tak ada yang berbicara. Ada Indra di sampingku sesuatu mengalir lembut menelusuri setiap dinding hati, perlahan-lahan sesak itu menipis, mengembang, dan hilang. Dengan gerakan pasti Indra bangkit dari duduknya lalu mengambil posisi berlutut di hadapanku. Ku lihat matanya sayu menatapku, seakan membelai lembut setiap jengkal tatapannya. Indah! Meski pun rambutnya keribo. *Sorrry kak Indra*
            “Kenapa kamu tidak jawab pertanyaan Adie tadi.” Loh tahu dari mana dia itu cowok namanya Adie. Wah dukun nih anak. “Aku tahu semua tentang kehidupanmu Dhe, jangan tanya kenapa aku melakukannya. Aku juga tidak tahu, semua ini tuntutan hatiku.” tuh kan si Indra dukun belum aku tanya sudah jawab dan jelaskan. Kapan-kapan berguru ah, sama tuh anak, *Inok serius sedikit kenapa.* ok ok abaikan, kita serius sekarang.
            Indra masih menatapku tajam. “Aku...kita...” aku tergagap.
            “Aku tahu kok Dhe, aku belum memastikan bagaimana perasaanku sebenarnya. Tapi aku sudah menjelaskan apa tujuanku datang ke sini.” tuturnya pelan. Aku berusaha bertahan untuk melihat mata Indra. Karena tatapan mata itu tidak bisa dibohongi, aku hanya ingin memastikan perkataan Indra itu benar adanya.
            “Dhera, aku ke sini hanya untukmu, aku ingin menyelesaikan cerita cinta kita yang tertunda. Aku tahu Dhe, tidak mudah untuk menerima semua ini, apalagi dengan status kamu dan Adie yang baru saja pisah. Pastinya Adie masih ada di hati kamu.” terang Indra. Aku mendegarkannya dengan cermat tanpa memotong. Aku biarkan Indra mengungkapkan semuanya.
            “Dhe, kamu pasti mengerti kenapa aku seperti ini. Itu karena aku sayang kamu Dhe, dari dulu hingga sekarang. Aku sadar, aku juga tidak bisa dibilang baik dari pada Adie, karena aku sendiri pernah meninggalkanmu, pernah membuat kamu pedih, dan aku tak pernah ada di saat kamu sendiri. Aku juga termasuk brengsek, Dhera.” aku terenyuh mendengar pengakuan Indra.
            “Tapi satu hal Dhe, karena cinta aku ada di sini. Cintalah yang menuntunku untuk menemukanmu. Bisakah kamu beri kesempatan padaku sekali saja. Aku akan memperbaiki semuanya Dhe, aku janji tidak akan meninggalkan kamu lagi. Izinkan aku di sampingmu untuk melupakan perihnya sakit yang kamu rasakan. Izinkan aku untuk mencintaimu lagi Dhe, membiarkan cinta ini mengikat cintamu juga.” lanjut Indra. Ku lihat dari sorot matanya penuh dengan ketulusan dan kesungguhan. Aku masih tak bereaksi apa-apa. Ada Adie di hati ini, bagaimana bisa aku mencintai Indra seutuhnya.
            “Ndra...aku...”
            “Aku tidak akan memaksamu untuk melupakan Adie Dhe, aku tahu itu tidak mudah. Setidaknya butuh waktu. Tapi aku di sini Dhe, aku akan membantumu. Percayalah padaku, perlahan-lahan dengan semua sikapku, kamu bisa menghentikan perasaan kamu ke Adie.” Cinta yang sederhana, itu mungkin yang ingin Indra katakan. Aku terdiam, mencerna setiap kata-katanya. Membantuku untuk menghentikan perasaan ini. Indra masih menatapku sampai ke manik mata, kini tangannya juga menggenggam tanganku erat. Sekali lagi, ku telusuri bola mata indah itu. Keyakinan, ada keyakinan dan kesungguhan di sana.
            Aku mengangguk dan tersenyum *waaahh manis Nok* Indra juga tersenyum. Ia hendak bangkit dan memelukku, langsung saja aku menahannya dengan menekan bahu kanan Indra. “Aku lagi pengen dipeluk sama empat boneka monyet ini.” ujarku lalu memeluk boneka *ckckck kasihan si Indra*
            “Dheraaa..!!!” seru Indra mengacak-acak rambutku, aku tak peduli tetap memeluk Ona, Oni dan Oni serta boneka dari Indra yang belum aku kasih nama.
            “Ndra, pijitin kakiku dong, biar cepet sembuh. Kayaknya kamu pinte mijit deh.” pintaku sesuka hati.
            “Yaelah, kamu kira aku tukang pijit.”
            “Ih Indra, minta bantuin dikit doang.” aku memanyunkan bibirku. Indra tersenyum, lalu tangannya bergerak memijit-mijit kakiku yang masih terasa nyeri.
            “Bentar, tadi katanya kamu bawa pisang, mana?” tagihku. Dengan sigap Indra keluar dari kamar mengambil pisang. Sambil menunggu pisang aku memainkan handphoneku. Awas saja kalau di luar betengkar lagi, aku bakal bom nih villa.
            “Ini dia...” Indra datang dan langsung memberikan pisangnya padaku. Tanpa bicara lagi aku langsung melahapnya. Indra hanya menggeleng-geleng saja.
            “Makasih yah Indra sayang.” kataku sambil makan. Indra hanya tersenyum lalu kembali memijat kakiku dengan nyanyian kecil. Aku dan Indra tertawa bersama, tuh cowok kadang salah lirik. Huaaaa...semoga kisah ini akan lebih indah dari sebelumnya. Ku harap.



$#^#$&$*%^*$%^@%#$#^#



Bagian 14
Tersenyumlah



            Liburan tinggal beberapa hari. Kami semua menikmatinya dengan di isi hal-hal yang menarik. Kami juga berbicara dengan pak boss kalau Say’A tidak usah manggung dulu. Kami ingin menikmati sisa liburan kami di sini. Aku juga merasa sudah rindu sama Memey, Papa, Yoga, Yogi dan Gipson. Semoga semuanya baik-baik saja. Aku beberapa kali menghubungi Memey untuk mengetahui kabar di Cianjur bagaimana. Tentu saja aku tidak memberitahu tentang jatuhnya aku dari motor. Mereka bisa marah besar.

            “Nok, gimana dengan Indra?” tanya Akis yang saat itu kita berdua berbaring di tempat tidur.
            “Berjalan apa adanya aja Kis.” jawabku. Akis hanya mengangguk saja. “Kis, katanya elo suka sama kak Ivan dan Kak Febri, lah kok malah nerima si Aji?” aku mengutarakan pertanyaan yang sebelumnya sudah lama ingin aku tanyakan.
            “Hmmm...kenapa yah?” Akis berpikir sejenak meraih bonekaku. “Gue ngerasa sekedar suka sama Kak Ivan dan Kak Febri, seperti ngefans aja. Kalau sama Aji...” Ia menggantung kata-katanya, terlihat pipinya semu merona. Asem! Ini nih yang namanya cinta. Setomboy apa pun itu cewek kalau sudah di hadapkan dengan yang namanya cintrong langsung jadi aneh. Percaya nggak? harus percaya dong, contohnya si Akis.
            “Sudahlah, asem gue lihat wajah lo, Kis.” Aku menutup kedua mataku beharap cepat terpejam.
            “Nok, jatuh cinta itu berjuta rasanya yah,” ucap Akis.
            “Inikah namaya cinta, oh inikah cinta, cinta pada si Aji aneh,” aku jawab dengan satu lirik lagu yang aku ubah semauku. Kontan Akis memukulku dengan bantal. “Hhahaha...Tidur sana.” lanjutku.
            “Inok...”
            “Hmmm...” gumamku sambil terpejam.
            “Gue dikasih tahu Adie sebentar lagi dia mau tunangan sama Gea. Terus elo...”
            “Jangan bicarakan itu yah Kis, gue udah tahu kok.” kataku benar-benar memejamkan kedua mataku dan memeluk Ona erat sekali.
            “Ya sudah, selamat tidur Inok.” Lalu kami berrdua terlelap menjemput mimpi.


****


Aku menuruni tangga sambil terus menghubungi nomor Indra. Aku memakai celana pendek, T-shirt putih, cardigan hitam dan sandal. Ku edarkan pandangan ke bawah, sepi. Kemana nih anak-anak. Aku menepuk jidatku sendiri, lupa. Kalau yang lain sedang mencari makan di luar, Akis yang memberitahuku sewaktu aku mandi.
            “Yaelah, nomor Indra kok nggak aktif sih.” sungutku kesal. Lalu aku menuju teras belakang. Untung ini kaki sudah agak enakan mungkin karena di pijat sama Indra. *ehm cieee*
            “Selamat pagi dunia, kita siap tuk jalani hari yang penuh dengan tantangan.” aku menyanyikan lagu ciptaanku sendiri “Lupakan perpisahan di otak simpan kesenangan dan mulai...” Aku berhenti pada lirik itu. Pandanganku terasa panas melihat dua orang sedang bermesraan di bawah pohon sana. Duduk berdua dengan cewek yang manjanya minta ampun. Adie dan Gea. Asem! Mereka kira ini tempat pacaran apa.
            Aku hendak berbalik pergi. Tapi sayang, si Gea lebih dulu melihatku datang. Ia melambaikan tangannya ke arahku. “Dhera! Sini!” serunya. Sok akrab banget nih anak. Terlanjur dipanggil aku melangkah ke tempat mereka. Sekalian aku buktikan kalau aku tidak lemah. Yah, semoga seperti itu.
            “Nok, kok nggak ikut sama yang lain?” tanya Adie. Aku hanya menggeleng pelan. Terlihat Gea masih bergelayut manja. Ish! Manjanya melebihi aku.
            “Oh yah Dhe, sebentar lagi kita mau tunangan loh, Adie sudah membeli cincinnya. Elo harus datang yah.” Sambung Gea.
            “Ge, kamu apa-apaan sih,” terlihat Adie tak enak hati.
            “Iya pasti aku datang kok Ge.” jawabku dengan menarik sudut-sudut bibirku agar melukis senyum di sana. Pamer, tuh cewek tujuannya membuatku cemburu. Asem!
            “Hmmm...gue balik yah,” kataku lagi yang langsung berbalik. Rasanya panas mataku melihat mereka. Ok fine, semuanya akan baik-baik saja. Pastinya.
 maaf yah ngpostnya lama, hmmm...lagi banyak kerjaan di rumh...maaf kalau part ini nggak seru dan mengecewakan...saran aku sih para readers dengerin lagu yang dibawakan Andhika Pratama - Tersenyumlah. biar merasakan kebersamaan Dherindra. yg nggak kena tag maaf yah, mohon di maafkan toh...




            “Hmmm...gue balik yah,” kataku lagi yang langsung berbalik. Rasanya panas mataku melihat mereka. Ok fine, semuanya akan baik-baik saja. Pastinya.
            Langkahku terus berjalan ke sebuah tempat yang sering aku datangi beberapa hari ini. Bukit itu, tujuanku. Sepanjang jalan aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, indah. Kalau sudah berada di tempat ini rasanya nyaman. Tunggu, ada yang berubah. Sejak kapan aku suka menyendiri seperti ini? Jawabnya I dont know. *somplak lo , Nok*
            Aku duduk bersandar di batang pohon. Shit! perkataan Gea kembali terngiang di benakku. Yah Tuhan, apa mereka berdua jadi jenis makhluk lain, sepertinya selalu menghantui pikiranku.
            “Tunangan?” lirihku pelan, sangat pelan. Seketika kenangan bersama Adie semuanyaberseliweran di kepalaku, seperti lepas dari memory otak. Saat Adie mengatakan cinta yang mampu membuatku mematung, karena caranya yah beuh! so sweet. Saat kebersamaan aku dan Adie terhalang kesibukan masing-masing, tentang Adie yang selalu bisa membuatku tersenyum dan tertawa. Semuanya kembali melayang-layang di kepalaku, hingga kini. Keputusan ini, kejadian ini, pertunangan Gea dan Adie, dan takdir Tuhan.
            Aku menghela nafas berat, rasanya sesak sekali dada ini kalau mengingat itu semua. Menutup sesuatu yang kita belum siap, itu rasanya sakit. Aku membenamkan kepalaku di antara kedua lutut, tidak ingin aku menangis lagi. Lebih baik bersembunyi dari ejekan dunia. *seorang Inok nangis, dunia terasa sadis*
            Tiba-tiba terdengar petikan gitar, kontan aku mengangkat kepalaku. Terlihat Indra dengan rambut keribo yang menjadi ciri khasnya. Suara yang berkarakter itu menyanyikan sebuah lagu yang dinyanyikan Andhika Pratama – Tersenyumlah.

Kemana perginya cahaya dari wajahmu
Yang selalu menyejukkan hatiku
Mengapa sekarang mendung menyelimutinya
wajah ayumu begitu sendu pilu

            Indra tersenyum sangat manis sambil menyanyikan lagu itu. Ia menatapku sayu. Style yang dia pakai adalah Jeans panjang, sepatu kets, serta kemeja kotak-kotak hitam perpaduan dengan warna putih. So, keren ini anak.

Tidakkah kau ingin kembali bersinar
Seperti mentari di pagi hari
Beri kehangatan kebahagiaan juga kedamaian
Reff :  Tersenyumlah… terlalu pagi untuk bersedih
Tersenyumlah sayang waktu tak akan pernah menunggu
Tersenyumlah sayang hidup ini begitu indah
Tersenyumlah… jalan kita masih begitu panjang
Tersenyumlah sayang hidup ini begitu indah 

            Kali ini Indra menarik tanganku untuk berdiri di sampingnya. Kemudian dengan terus memetik gitar dan menyanyi, Indra mengitari tubuhku. Kakiku yang masih belum sembuh total hanya tertawa kecil melihat tingkah Indra yang sumpah, ini...sangat membuatku terkesan. Setiap nada yang dia mainkan terdengar sangat indah. Apalagi di tempat seperti ini, udara yang sejuk, dedaunan yang menghijau, membuat semuanya sempurna. Indra terus mengitari tubuhku, hingga pandanganku mengikuti dirinya. Kemudian ia berdiri agak jauh dariku, tanpa berhenti memetik gitarnya.

Tidakkah kau ingin kembali bersinar
Seperti mentari di pagi hari
Beri kehangatan kebahagiaan juga kedamaian

            Seketika tawaku pecah melihat Indra di setiap lirik dan nada yang ia mainkan, ia goyangkan pinggulnya perlahan, lalu memutar-mutar tubuhnya, kepalanya kadang ke kiri juga kanan, langkah kakinya berubah-ubah, lalu ia  menarik tanganku agar aku mengikuti gerakannya. Yah, ia menari. Menari untuk lagu ini, lagu yang menyuruhku tersenyum bahkan tertawa.*author harap para readers denger lagu ini, biar merasakan bagaimana romantisnya mereka berdua*

Reff :  Tersenyumlah… terlalu pagi untuk bersedih
Tersenyumlah sayang waktu tak akan pernah menunggu
Tersenyumlah sayang hidup ini begitu indah
Tersenyumlah… jalan kita masih begitu panjang
Tersenyumlah sayang hidup ini begitu indah 

            Perlahan-lahan aku mengikuti gerakannya, tentunya tepat di samping Indra. Memutar-mutar tubuhku mengikuti setiap nada yang terdengar. Entah aku juga tidak tahu tarian apa ini, yang pasti ini terasa ─menyenangkan─ Indra terus menuntuku dengan lembut. Ajaib! Lama-lama kaki ini tidak lagi nyeri, melihat kakiku yang tidak sakit lagi Indra semakin mengajakku menari menikmati lagu ini bersama cinta yang mungkin kembali bersemi.
            Tak ada kata terlambat untuk merubah semuanya. Indra datang untuk menebus kesalahannya yang dulu meninggalkan aku. Indra datang membawa senyum dan menyembuhkan luka yang menganga ini. Indra kembali melanjutkan cerita cinta kita yang tertunda. Semuanya akan terasa indah, bersama Tuhan, bersama musik, bersama nyanyian, dan bersama sahabat-sahabatku dan bersama Indra.

%&%$^($%#%&%*

            Matahari sudah naik, aku dan Indra memutuskan untuk kembali ke villa.
            “Ndraaa!!! balikin handphoneku!!” teriakku yang saat itu sedang membuka twitter. Aku mengejarnya. Yah, aku mengejar Indra. Kakiku benar-benar telah sembuh. Thanks God.
            “Pinjem sebentar Dhe, aku pengen tweet hari bahagia ini!” balas Indra dengan teriak juga. Karena Indra lebih tinggi dariku, aku hanya berusaha menggapai handphoneku tanpa bisa mendapatkannya.
            “Ndraaa!!!” Teriakku lagi. Kemudian Indra berlari di depanku dan dengan cepat ia fokus dengan handphoneku. Tentunya masih menenteng gitar.
            “Siip! Sudah! nih aku balikin.” kata Indra menyodorkan handphone padaku. Aku hanya memanyunkan bibirku beberapa senti. “Idiiih, asli! muka kamu jelek kayak gitu, Dhe.” sambil bergidik Indra melihatku. Langsung saja aku cubit lengannya sampai ia mengaduh.
            “Gila! kamu nyubit pake apa sih, Dhe. Pedes banget!” Indra mengelus-elus lengannya.
            “Pake cabai rawit.” Aku menjulurkan lidah ke arahnya. Tanpa basa-basi lagi, Indra langsung merangkul bahuku, lalu kami berdua berjalan beringingan.
            “Idih, berat nih bahuku.” sungutku.
            “Yaelah Dhe, diem napa. Kamu bawel banget sih,” Indra semakin memperkuat rangkulan bahuku. Hingga kepalaku jatuh di dadanya. Deg deg deg! Loh kok nyaman yah. Sejenak aku tak melawan lagi. Kami berdua terus berjalan menuju villa.
            “Ndra, thanks yah buat semuanya.” kataku. Indra tak menjawab, ia hanya tersenyum.
            “Sudah sepantasnya kan aku kayak gitu, Dhera sayang.”
            “Gombaaalll!!!” teriakku. Indra hanya tertawa lepas, begitu juga denganku.

            Begitu sampai villa, aku langsung melepaskan genggaman tangan Indra yang sedari tadi melekat. *Loh, kenapa?* Febri dan Ivan berada di teras villa bersama ke lima anak Say’A. Tanpa Adie dan Gea. Kayak arisan euy! Aku dan Indra langsung menghampiri mereka.
            “Hai!” sapaku riang.
            “Inok, kakinya sudah sembuh!” seru Akis. Aku hanya tersenyum.
            “Asyiik! bisa kejar-kejaran lagi sama Inok.” sambung Aji sambil tepuk tangan.
            “Kejar-kejarannya sama gue aja Ji, lebih gimana gitu.” sela Tablet.
            “Muka lo asem Blet, bikin gue mules.” ujar Aji yang langsung dengan gerakan menarik tangan Akis cepat. *Yaelah Ji, kamu buat Akis dag dig dug tuh*. Aku menatap Febri dan Ivan. Tumben mereka berdua ada di sini. Aku juga melihat di pangkuan Ivan ada Similikiti. Itu binatang peliharaan Ivan.
            “Ini yang kak Ivan ceritain yah, si similikiti.” kataku mengampiri Ivan. Ivan hanya tersenyum. Perlahan aku memegang hewan yang mempunyai nama latin Petaurus Breviceps adalah jenis tupai pohon kecil dan berkantung . Panjang tubuhnya sekitar 12 senti meter. Kecil kan, lucu sekali nih binatang. Binatang ini biasa disebut dengan sugar glider karena suka makan makanan yang manis. Di tambah binatang peliharaan ini bisa di taruh di saku. Wah, simple!
            “Dhera, gue mau ngomong sesuatu sama elo.” kata Febri tiba-tiba. “Guys, pinjam Dheranya dulu yah.” tak lupa menatap tajam ke arah Indra. Tanpa menunggu jawaban dariku dan yang lain, Febri langsung menarik tanganku ke teras belakang.




like dan coment :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar