Kamis, 10 Januari 2013
Menggapai
Bintang Impian
Dua jam berlalu, aku masih tetap saja berkutat dengan buku bersampul daun
berserakan yang selalu kubawa kemana pun. Beberapa kali terdengar teriakan Mama
yang menyuruhku makan. Tapi aku tak mau beranjak. Masih menulis semua ide yang
ada dalam otakku hingga menjadi sebuah cerita.
“...dan
Awan akan menjadi kenangan untuk Quila. Tidak harus dengan status pacaran untuk
mendapatkan seseorang. Tapi, dengan status sahabat sama saja dengan...”
“Ivhi!”
pintu kamarku terbuka total. Di sana Mama dengan menatapku tajam. Segera
kumunculkan senyum di bibir tipisku. “kamu selalu lupa waktu kalau nulis. Makan
dulu, Vhi!” bentak Mama. Aku langsung menutup buku catatan itu dan turun dari
ranjang.
“Iya
ma, ini mau makan.” Sambil garuk-garuk pipiku dan tersenyum.
“Kalau
nggak Mama ingatkan, kamu bakalan nggak makan. Nulis sih, nulis Vhi, tapi harus
tetep jaga kondisimu. Kamu ini susah dibilangin, kalau magg nya kambuh kan,
mama juga yang repot.” Dan seperti inilah mama, bawelnya minta ampun.
“Iya,
maafin Ivhi.” Ucapku pelan.
*
Aku duduk di meja makan, dengan mama yang sedang membereskan dapur dan
muncuci piring. Yah, karena aku sendiri yang belum makan. Bunyi benturan sendok
dan piring terdengar. Saat suapan pertamaku, mama sudah berceloteh lagi.
Celotehan yang sama, sering aku dengar tiap harinya.
“Kamu
mau jadi apa sih, Vhi, dari nulis? Mending bantu mama jahit, pesanannya lagi
banyak. Nulis kan nggak dapat apa-apa.” Ujar mama. Aku tak menjawab, terus
mengunyah makanan dan memperosesnya dalam perutku ini. “wong, kamu dari dulu nulis, tapi nggak ada hasil apa-apa toh.”
Tandas mama lagi.
“Semuanya
kan butuh proses ma, Ivhi mau nekuni hobby nulis ini. Ivhi pengen jadi penulis.
Suatu saat pasti cita-cita Ivhi akan tercapai, dan bisa bantu mama.” Belaku.
Dari dulu mama memang tidak menyetujui aku menulis. Alasannya banyak, bilang
nulis itu kerjaan yang tidak pasti, apalagi sampai dijadikan profesi. Nulis itu
sedikit mendapatkan sisi finansial
jika tidak dikembangkan di kota-kota besar. Itu sebagian kecil pendapat mama,
antara setuju dan tidak setuju aku mendengarnya. Mama juga mengatakan bahwa
nulis itu menyita waktuku, aku lupa makan, lupa bantu mama, dan kadang lupa
mandi kalau sudah nulis. Mama ini bawelnya minta ampun, dan semua ini aku
terima, karena memang salahku yang selalu tidak tahu waktu.
“Sebenarnya
mama nggak suka kamu nulis Vhi, buang-buang waktu. Toh sampai detik ini kamu
belum ada perkembangan kan, cerpen-cerpen yang kamu kirim ke majalah juga belum
dapat respon.” Mendengar itu aku menghentikan suapan kesekian. Bosan rasanya
mendengar larangan mama yang satu ini. Tidak suka nulis.
“Mama
kok gitu, jadi penulis itu impian Ivhi ma, kalau masalah cerpen-cerpen itu kan
Ivhi masih dalam tahap. Nggak mudah masuk ke suatu majalah. Tapi Ivhi akan
terus berusaha, masih banyak waktu.” Ucapku. Jangan tanyakan kalau aku tidak
berusaha meyakinkan mama tentang hobby dan cita-citaku. Aku selalu berusaha.
Selalu. Tapi mama masih bersikeukuh dengan pendapatnya tentang seorang penulis.
Selera
makanku hilang sudah. Aku berdiri, kemudian meninggalkan ruang makan. “Ivhi,
makannya di habisin!” teriak mama. Aku tak peduli, langsung saja kuhempaskan
tubuhku di ranjang, memeluk boneka pisangku erat-erat.
Selalu
seperti ini. Kenapa mama sangat menentang hobbyku, apa yang salah. Banyak
teman-teman yang mendukung hobbyku ini, mendukung cita-citaku sebagai seorang
penulis novel dan cerpen. Tapi aku tidak mendapat dukungan sekali pun sama
mama, papa dan abangku. Dari Sekolah Menengah Pertama aku sudah mencoba
mengirim karyaku yang berupa cerpen ke koran dan majalah, tapi selalu tidak
mendapat respon. Tidak jatuh, malah aku terus mencoba, mungkin ada yang salah
dengan tulisanku. Kuperbaiki lagi, mencoba tema lain, mencoba sudut pandang
lain. Dan lain sebagainya. hingga kini aku tengah duduk di bangku Sekolah
Menengah Atas kelas XII. Mungkin ini yang mama maksud, beliau tidak ingin aku
tidak konsen belajar. Tapi selama ini nilai-nilai sekolahku baik-baik saja. Aku
teringat ucapan guru pembimbingku “Kalau
kamu suka menulis, boleh saja. Galih terus kemampuan kamu. Tapi jangan pernah
kamu jadikan hobby kamu ini sebagai penghalang. Penghalang apa saja, belajarmu,
membantu orang tua dan sebagainya. Tapi, jadikan nulis itu pengiring hidupmu
dan tempatkan pada posisi dan waktu yang benar.”
Ucapan
itu selalu aku ingat, sebisa mungkin hobby nulisku terus jalan tanpa
meninggalkan kewajibanku sebagai seorang pelajar. Tanpa meninggalkan statusku
sebagai anak yang membantu mama. Sejujurnya aku ingin sekali mendapat dukungan
penuh dari keluarga, tapi nyatanya, tidak. Aku tidak mendapatkannya. Kecuali
satu, jika aku berhasil membuat mama melihat hasil kerja kerasku.
“Indah!”
pekikiku teringat sahabat terdekatku. Meski usianya beda satu tahun dan dia
adik kelasku di sekolah yang sama. Hanya dia yang mau mendengarkan keluh
kesahku. Tentang apa saja. Aku meraih tas selempang serta memasukkan buku
catatan. Secepat kilat aku keluar kamar menemui mama yang sedang duduk di ruang
tengah dengan menekuni gambar pola baju yang dibuatnya sendiri.
“Ma,
Ivhi mau ke rumah Indah dulu.” Seruku.
“Hmm...jangan
lama-lama, sepulang nanti bantu mama nyelesaikan jahitan.”
“Yah,”
aku mencium punggung tangan mama dan berlalu.
*
Dengan
mengayuh sepeda santai, kunikmati setiap terpaan mentari dikulitku. Butuh waktu
sekitar lima belas menit untuk sampai di rumah Indah. Dan saat kuparkirkan
sepeda di depan rumah yang dikelilingi berbagai macam bunga, tiba-tiba pintu
terbuka. Indah berdiri dengan melipatkan tangannya di depan dada.
“Sudah
gue duga, itu bau elo.” Ucapnya langsung. Aku nyengir lalu menghampirinya.
“Maksud
lo?”
“Hidung
gue nyium aroma lo, sekitar beberapa meter dari rumah gue. Bener kan, lo
dateng.” Ucapnya enteng seraya menunjuk-nunjuk hidungnya sendiri.
“Hidung
lo tetep oke Ndah, kapan-kapan kalau sepatu gue ilang, boleh juga tuh, minta
bantuan hidung lo.” Aku mengikuti langkah Indah memasuki rumahnya.
“Sorry
sist, hidung gue terlalu canggih buat
nyari sepatu bau lo.” Kami tertawa bersama. Sedetik kemudian aku menahan
tangannya yang mau membuka pintu kamarnya yang aku tahu bernuansa oranye. Semua
berbau oranye Indah suka. “Apa?!” ia memincingkan sebelah matanya.
“Kali
ini gue nggak mau numpang tidur di kasur matahari lo, gue juga nggak mau pakai
aksesoris oranye lo, apalagi pinjem buku diary Winy The Poo lo.” Aku
menyebutkan kebiasaanku bila di kamar Indah.
“Terus...”
“Gue
mau ke kebun lo, tempat favorit kita. Pengen nikmati cuaca hari ini.” tambahku.
Indah semakin tak mengerti. Ok, biasanya aku paling rame kalau sudah main ke
sini, apalagi sama cewek satu ini. Indah urung membuka kamarnya. Tanpa ba bi bu
lagi, ia berlari ke belakang, dan kembali dengan menenteng satu buah tikar,
satu bungkus plastik berisi makanan dan minuman. Aku melongo melihatnya, apalagi dengan
mengembang kan senyum bibirnya membuat pipi Indah chubby.
“Gue
tahu betul lo gimana Vhi, pasti di sana lo mau nulis, ngeluarin unek-unek lo ke
dalam tulisan. Dan gue dianggurin. Sekarang gue nggak akan bosen, gue udah
nyiapin makanan, minuman dan MP4.” Ucapnya bangga. Bagus. Indah memang tahu
segalanya tentangku.
Lokasi
kebun Indah juga tidak terlalu jauh. Kami cukup berjalanan kaki saja ke arah
Barat dari rumah Indah. Bila yang lain lebih memilih jalan-jalan ke mall, atau
ke pusat pembelajaan, aku dan Indah tidak. Ini tempat favorit kita dari kita
sama-sama duduk di bangku SD. Pembeda umur kita tidak terlalu dipikirkan,
panggilannya juga gue-lo, seakan kita ini sebaya.
Aku
langsung menggelar tikar di bawah pohon mangga. Di depan kita hamparan sawah
yang sudah menguning, sebentar lagi siap panen. Di kebun Indah juga ada saung
cukup besar, dengan sumur yang airnya sangat jernih. Ayahnya Indah memang suka
berkebun, dari kebun inilah macam sayuran di tanam, lihat saja tubuh Indah
tinggi langsing gitu. Kebanyakan makan sayuran.
“Vhi,
gue ke rumah tante Mira dulu yah, mau pinjam gelas.” Kata Indah, aku hanya
mengangguk. Satu lagi, ini kebun juga dekat dengan dua buah rumah, salah
satunya rumah tante Mira, tantenya Indah. aku sudah menyiapkan semua makanan
dan minuman untuk Indah. Sekilas, kita seperti sedang piknik di alam terbuka.
Hampir
tujuh menit Indah tak kunjung datang. Pasti itu anak diajak ngobrol dulu sama
tante Mira. Aku menunggunya sambil mencoret-coret buku yang kubawa. Tanpa
menulis apa-apa. Yang ada hanya lingkaran tak jelas.
“Sorry
lama, tante Mira lagi bikin kue, eh malah dikasih ini.” Indah datang dan
menunjukkan satu piring berisi kue-kue yang sangat menggiurkan dan dua buah
gelas yang ditaruh di plastik, Indah malah sudah makan dua. Ia duduk di
sampingku. “loh, bukunya kok malah penuh coretan, nggak nulis?” Aku menggeleng,
memberhentikan aktivitas tanganku lalu meraih sepotong kue dan memasukkan ke
mulut.
“Gue
buntu.” Jawabku singkat sambil memandangi langit biru terang dengan arsiran
awan tipis. Masih sama seperti dulu, aku tetap menyukai awan.
“Buntu?!”
seru Indah lalu tertawa kecil. “nih yah, setahu gue lo akan guling-guling kalau
otak lo buntu, lo bakal acak-acak kamar gue kalau elo nggak dapat ide buat
nulis. But, ini beda. Lo itu nggak
buntu,” tuturnya. Aku mendelik memperhatikan wajah oval Indah yang putih mulus.
“Lo
ngomong apa sih, emangnya kalau gue otak gue buntu gue harus guling-guling, gue
harus acak-acak kamar lo.” Kurebahkan tubuhku di atas tikar sambil mendekap
bukuku di dada. Pandangaku masih ke awan-awan itu yang malai berarak semaunya.
“Ok,
ok, kayaknya elo sedang punya masalah. Nggak biasanya lo kayak gini, nggak
rame. Otak lo udah menjelma menjadi sebuah kuburan angker.” Celoteh Indah tak
henti.
“Omongan
lo makin ngaco Ndah, kesurupan apa sih, lo.” Alisku terangkat melihat Indah
yang sedari tadi makan saja.
“Aduh
Ivhi, lo pikir gue kenal lo baru kemarin sore gitu. Nggak, Nyet! Dari kecil
kita bareng, gue tahu lo, dan lo tahu gue.” Glek! Indah meneguk minumannya.
“wajah lo itu mendung tahu nggak, nggak sesuai dengan cuaca hari ini.” lanjut
Indah. aku menghela napas panjang. Indah memang tahu segalanya. Aku tidak bisa
bohong, mungkin dengan menceritakan masalah tadi bebanku akan berkurang. “ok,
lo tahu kan gue itu pendengar setia. Sekarang kuping gue siap, ayo cerita sama
gue, Vhi.” Aku mengembuskan napas kasar. Sekali lagi, mencari titik di mana aku
harus memulai cerita ini.
“Mama
nyuruh gue berhenti nulis Ndah, meski nggak secara langsung.” Satu ucapan
keluar dari mulutku pelan. Indah berhenti memakan kripik singkongna. Ia
melirikku sebentar, sebelum kembali memakan kripik itu.
“Masih
nggak setuju juga kalau lo ingin menjadi penulis?” ini pertanyaan mungkin, yang
sebenarnya tidak perlu Indah tanyakan.
Karena ia sudah tahu sendiri jawabannya. Tidak. Pasti. “terus lo mau berhenti
nulis seperti yang mama lo inginkan?”
“Nggak
tahu. Sekarang mama mulai ngungkit-ngungkit usahaku yang tak kunjung membuahkan
hasil. Lo tahu kan gue sangat, sangat, sangat ingin menjadi penulis. Tapi mama
selalu mengatakan kalau seorang penulis itu....” aku menarik napas berat. “...finansialnya kecil.” Lanjutku. Indah tak
menjawab, ia tahu masih banyak yang menganggu pikiranku. Ia pasti menunggu
kelanjutan episode curhatan ini.
“Ndah,
apa mungkin yah, gue nggak berbakat nulis. Tak ada satu pun karya gue yang
dilirik penerbit majalah atau koran.” Kali ini nada suaraku terdengar putus
asa. Ah, apakah aku salah berbicara seperti itu?
“Salah
lo, ngomong gitu,” dan dijawab Indah. “lo lupa kalau puisi lo pernah masuk
majalah dan koran? Itu artinya lo layak, Vhi.”
“Tapi
mama belum juga yakin, Ndah. Apalagi kalau lihat masalah cerpen gue yang nggak
ada kabarnya.” Sungutku kesal. “mungkin benar kalau gue ini aslinya emang nggak
bakat, Ndah. Gue nggak bisa gapai bintang impian gue jadi seorang penulis.”
Kali ini Indah merubah posisi duduknya menghadapku yang rebahan di atas tikar.
Mata bulatnya menatapku lekat, tiba-tiba Indah menjejali mulutku dengan bungkus
kripik singkong.
“Ngomong
lo ngawur. Lo tuh berbakat Vhi. Gue masih inget saat lo kehilangan kepercayaan
diri lo buat nulis, bahkan lo nekat mau berhenti nulis. Gara-gara lo denger
omongan pembimbing lo tentang bakat lo yang emang nggak terlahir dari diri lo,
tapi karena usaha lo bakat itu jadi ada. Lo udah buktiin kalau elo itu bisa,
pembimbing lo benar, lo nya aja yang ciut nyali.” Ucap Indah. Kembali kulempar
ingatan tentang itu. Yah, dulu sempat aku mau berhenti nulis. Karena
pembimbingku mengatakan : “Sebenarnya
kamu itu tidak terlalu bakat nulis dari diri kamu, kata-katamu standar Vhi.
Tapi karena usahamu yang keras, kamu berhasil menumbuhkan bakat itu, meski
belum sepenuhnya. Dan jika kamu berhenti berusaha dan belajar, maka semuanya
akan sia-sia. Yang perlu kamu tunjukkan pada kita semuanya, hanyalah tunjukkan
kalau kamu bisa dengan usaha dan keyakinanmu, untuk ‘menjadi’.”
Mataku
berkilat, tanpa sadar pelupuk mataku sudah tergenang air mata. Aku menarik
napas panjang, dan menghembuskannya perlahan. “Tapi bintang impian gue jauh
Ndah, gue nggak bisa menggapainya. Mama benar, mungkin bintang impian yang gue
harapka itu terlalu indah, terlalu sulit untuk gue jangkau.” Lagi-lagi
terdengar putus asa. Indah, pembimbingku, semuanya, memang benar aku bisa nulis
karena usaha dan keyakinanku, meski tulisan yang aku hasilkan jauh dari
orang-orang yang sudah handal. Tapi aku selalu punya keyakinan, bahwasanya
semua itu butuh proses, mungkin proses yang aku jalani masih banyak. Tapi,
rasanya begitu sulit melalui setiap prosesnya.
Hening,
tak ada yang berbicara lagi. Entah Indah sibuk apa, yang kutahu ia sedang
melipat-lipat sedotan plastik bekas minumannya tadi. Aku tak mau mengusiknya.
Tiba-tiba sesuatu menempel tepat di hidungku. Sebuah bintang dari sedotan
plastik. Aku melirik Indah yang sedang tersenyum manis ke arahku. Kemudian ia
ikut merebahkan tubuhnya di sampingku.
Ku
pandangi satu bintang sedotan yang kutahu Indah yang membuatnya. Setiap sisinya
kuteliti, buatan tangan cewek ini memang rapi. Tapi apa artinya?
“Itu
bintang buat lo, bintang sederhana.” Ucap Indah pelan. Dari samping
kuperhatikan wajahnya. “Vhi, lo itu bisa menggapai bintang impian lo. Lo tahu,
bintang selalu punya keistimewaan dibalik kesederhanaannya. Mungkin banyak
orang yang nganggap bahwa bintang impian lo itu jauh dari jangkauan lo sendiri.
Sampai-sampai lo hanya bisa mandanginya dari kejauhan, sama halnya elo lihat
penulis-penulis terkenal yang wara-wiri di televisi. Sama halnya lo lihat karya
orang lain dimuat di majalah, koran dan sebagainya, dan dengan khusuknya elo
membaca bintang impian mereka. Tapi mereka dan elo itu nggak beda, Vhi. Mereka
dan elo juga sama-sama berusaha untuk ‘menjadi’,
hanya waktu yang menjadi pembeda. Mungkin waktu mereka untuk ‘menjadi’ itu cepat dari usaha mereka dan
waktu elo lama. Tapi, tetap tidak menutup kemungkinan lo itu bisa selama lo mau
berusaha.” Terang Indah panjang lebar. Aku mendengarkan dengan saksama,
memaknai setiap ucapan sahabatku ini.
“Lo
nggak tahu betapa sulitnya, Ndah.” Lirihku.
“Nggak
ada yang sulit selama lo mau usaha.” Kata Indah lagi. “lo lihat bintang sedotan
di tangan lo. Itu bermula dari sedotan lurus kan, tapi sekarang berubah bentuk
menjadi sebuah bintang setelah melalu proses yang gue lakukan tadi. Sama
seperti tulisan cerita lo, Vhi. Deretan tulisan lo yang ada di sini.” Indah
meraih buku catatan dari dadaku. Ia membukanya satu persatu hingga pada satu
judul ‘Pangeran dalam Minibus’.
“...ini tulisan juga butuh proses Vhi. Gue yakin sama lo, gue percaya sama lo,
kalau elo tuh bisa dengan usaha keras lo. Dengan keyakinan lo.” Mataku
berkaca-kaca mendengar penjelasannya.
“Ndah...”
“Vhi,
gue sahabat lo, gue tahu apa bintang impian lo. Percayalah sama hati lo Vhi,
tanamkan satu keyakinan kalau elo bisa seperti mereka. Gue nggak mau denger lo
putus asa, nggak mau nulis, otak buntu, dan sebagainya. Gue cuma mau lihat lo
berusaha, lihat lo nulis dengan semangat yang elo punya. Gue di sini Vhi, sama
seperti waktu kita kecil dulu. Selalu ada kalau lo ngebutuhin gue.” Ucapnya
meletakkan buku itu di telapak tanganku seraya mendekapnya kembali. Satu tetes
air mata jatuh. Indah menghapusnya.
“Gue
janji Ndah, gue janji akan terus berusaha. Gue akan buktikan ke mama, kalau gue
bisa.” Ucapku yakin.
Tamat
Kamis, 10
januari 2013